Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strength

b. Gratitude: menyadari dan berterimakasih atas hal-hal baik yang terjadi; menyediakan waktu untuk mengekspresikan rasa bersyukur. c. Hope [optimism, future-mindedness, future orientation]: Mengharapkan yang terbaik untuk masa depan dan berusaha mewujudkannya; meyakini bahwa nasib bisa berubah dan masa depan yang baik bisa dicapai. d. Humor [playfulness]: Senang tertawa dan menggoda; membuat orang lain tersenyum; melihat sisi terang; membuat gurauan e. Spirituality [religiousness, faith, purpose]: Memiliki keyakinan yang koheren tentang kehendak yang lebih tinggi dan makna dari alam semesta; memiliki keyakinan mengenai makna kehidupan yang membentuk tingkah laku dan memberikan kenyamanan.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strength

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, strength atau kekuatan menurut Peterson dan Seligman 2004 ada dua puluh empat, yakni : Creativity, Curiosity, Open-mindedness, Love of learning, Perspective, Bravery, Persistence, Integrity, Vitality, Love, Kindness, Social-intelligence, Citizenship, Fairness, Leadership, Forgiveness and Mercy, Humility and Modesty, Prudence, Self-regulation, Appreciation of beauty and excellence, Gratitude, Hope, Humor, Spirituality. Berikut akan dijelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi strength atau kekuatan tersebut. Namun pengecualian untuk strength leadership. Peterson dan Seligman 2004 di dalam bukunya tidak memaparkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi leadership. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kedua puluh tiga kekuatan sebagai berikut: 1. Creativity [originality, ingenuity] : Di sisi positif, kreativitas difasilitasi oleh lingkungan yang mendukung, yang memperkuat reinforcing, terbuka, dan informal. Kemudian, individu-individu yang sangat kreatif cenderung untuk bekerja pada beberapa persoalan atau proyek secara bersamaan, serta kerap kali memikirkan gagasan-gagasan mengenai satu hal disaat bekerja pada hal yang lain. Di sisi negatif, ekspresi kreativitas dapat dihalangi ketika seseorang berada di bawah tekanan berat. 2. Curiosity [interest, novelty-seeking, openness to experience] : penelitian eksperimental telah menemukan bahwa perolehan pengetahuan yang spesifik membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk memperoleh informasi lebih jauh. Pengalaman kompetensi dan penguasaan berbasis reward juga mendorong rasa ingin tahu di masa depan. Keyakinan bahwa seseorang dapat bertindak sesuai kehendaknya sendiri otonomi dalam suatu situasi dapat memfasilitasi secara kuat rasa ingin tahu di berbagai tugas, pengaturan, dan berbagai domain. Faktor penghambat yang ada meliputi percaya diri yang berlebihan, dogmatisme, sumber daya kognitif yang rendah untuk memproses stimulus, dan kondisi patologis seperti narsisisme, psikopat, dan skizofrenia. Lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi rasa ingin tahu dan eksplorasi, studi eksperimental telah menemukan bahwa kegelisahan menghambat rasa ingin tahu dan menghambat eksplorasi dalam interaksi interpersonal. Kecemasan interaksi sosial misalnya, takut bertemu orang baru, takut memulai percakapan menunjukkan hubungan yang unik dan negatif dengan rasa ingin tahu. Lebih lanjut lagi, perhatian terhadap diri self-focused yang berlebihan juga menghambat rasa ingin tahu dan menghambat eksplorasi terhadap lingkungan. Sebuah penelitian besar menunjukkan bahwa tekanan internal, seperti rasa bersalah dan ketakutan, serta tekanan eksternal seperti ancaman dan hukuman, dan imbalan eksternal yang nyata mengurangi rasa ingin tahu untuk tugas-tugas tertentu. 3. Open-mindedness [judgment, critical thinking] : open-mindedness dapat diaktifkan atau dihambat tergantung dari bagaimana suatu ide atau gagasan dibingkai dalam pikiran individu. Tetlock dalam Peterson dan Seligman 2004 berpendapat, individu berpandangan terbuka open minded secara lebih aktif ketika mereka harus membuat penilaian atau pun keputusan mencakup nilai-nilai serta tujuan-tujuan yang kesemuanya sama-sama kuat dan bertentangan. Janis dan Mann dalam Peterson dan Seligman 2004 berpendapat bahwa pemikiran yang baik terjadi ketika keputusan yang diambil merupakan keputusan yang penting, ketika si pembuat keputusan memiliki waktu untuk memutuskannya, dan ketika ada kemungkinan bahwa beberapa hasil keputusan dapat diterima. Tekanan waktu yang sangat berat, atau rasa putus asa, mengarah ke disorganisasi total atau panik. 4. Love of learning: sejumlah faktor situasional yang telah diidentifikasi mendukung kecintaan untuk belajar, yakni mencakup strategi-strategi yang dapat digunakan oleh pengajar atau pun orang tua diantaranya dalam menyesuaikan, mengatur atau menyetel instruksi atau pun tugas yang memenuhi kekuatan, minat, serta kebutuhan yang dimiliki anak atau siswa, strategi lainnya juga termasuk menyesuaikan atau pun menyetal metode- metode sehingga individu dapat mengatur proses belajar mereka sendiri. Pendahulu dan kondisi yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menemukan koneksi ke konten yang dipelajari; menghasilkan dan merevisi strategi; merasakan dukungan; dan mengatur diri sendiri untuk terlibat dan mempelajari bidang konten tertentu adalah sebagai berikut: a Perasaan positif untuk area konten tertentu yang akan dipelajari b Pengetahuan tentang bidang konten yang relatif terhadap keterlibatan lain yang dimiliki c Keyakinan bahwa tugas yang bersangkutan dapat dilakukan d Rasa ingin tahu terhadap tugas yang bersangkutan e Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mengerjakan tugas yang bersangkutan. 5. Perspective [wisdom] : Studi longitudinal Hartman dalam Peterson dan Seligman 2004 tentang perempuan setengah baya yang diidentifikasi pada beberapa faktor yang mengaktifkan atau menghambat perkembangan kebijaksanaan wisdom dan Perspective. Dalam investigasinya,menunjukkan bahwa kepribadian memainkan peran yang signifikan sebagai prediktor pendahulu atas perkembangan kebijaksanaan pada usia paruh baya, dengan potensi kreatif dan produktivitas kreatif menyajikan jalur independen bagi kebijaksanaan, dan produktivitas motivasi yang secara signifikan memprediksi perkembangan kebijaksanaan pada usia setengah baya. Selain itu, Hartman dalam Peterson dan Seligman 2004 menemukan bahwa akumulasi berbagai pengalaman dewasa mengawali perkembangan kebijaksanaan. 6. Bravery [valour] : Penelitian menunjukkan beberapa faktor yang dapat memunculkan keberanian dalam Peterson dan Seligman 2004: a pesan-pesan kontekstual yang mendukung keberanian b dukungan kontekstual dari nilai-nilai prososial dan penekanan pada penyampaian kebenaran c kepemimpinan yang kuat d kepercayaan e harapan yang jelas terhadap perilaku f hubungan masyarakat g kepribadian seseorang Keberanian dapat ditingkatkan dengan praktek kebiasaan moral, dengan mencontoh pemodelan, dan dengan mengembangkan atribut tertentu dari individu self-confidence atau kelompok kohesi. Namun di samping faktor-faktor di atas, tampak bahwa kepribadian merupakan faktor yang juga penting untuk meningkatkan keberanian. 7. Persistence [perseverance, industriousness] : faktor yang mempengaruhi ketekunan yakni, dukungan sosial, umpan balik positif, penghargaan atas usaha yang positif, pengendalian diri yang baik serta self- awareness yang tinggi. Beberapa masalah pribadi dan patologi juga dikaitkan dengan penurunan ketekunan pada tugas-tugas. Masalah-masalah ini secara singkat dapat dikatakan sebagai berikut: retardasi mental, anak-anak retardasi mental telah terbukti memiliki ketekunan yang kurang dari anak- anak normal terutama dalam menghadapi tugas-tugas motorik, anak berkesulitan, depresi, serta orang-orang yang memiliki kontrol diri rendah seperti perokok, pemakai obat-obatan, dan alkoholik. 8. Integrity [authenticity, honesty] : stress psikososial, termasuk perceraian, penyalahgunaan, dan penelantaran, juga dapat meningkatkan anak-anak untuk berbohong. Sikap dan tindakan berbohong yang dilakukan oleh keluarga dapat menjadikan contoh yang dapat dimodel oleh anak-anak dalam tingkah lakunya baik langsung atau pun tidak langsung. Teman sebaya juga menjadi faktor yang mendukung anak untuk dapat berbohong. Terakhir, norma budaya dan praktek budaya dapat menekan gambaran diri self-portrayal yang asli. Sebuah masyarakat pluralistik memberikan kontribusi penerimaan diri self-acceptance, penerimaan orang lain, dan keselarasan antara diri dan tindakan di dunia. kesadaran akan multikulturalisme dan keragaman merupakan bagian dari lingkungan yang aman di mana individu bisa hidup secara autentik. 9. Vitality [zest, enthusiasm, vigour, energy] : Penelitian oleh Ryan dan Frederick dalam Peterson dan Seligman 2004 menunjukan bahwa terdapat faktor fisik dan sosial yang mempengaruhi semangat. Dari segi fisik, penyakit, rasa sakit, dan kelelahan semuanya menghambat semangat atau vitalitas. Selain itu, merokok, diet yang buruk, dan kurang olahraga juga dapat menyebabkan rendahnya vitalitas. Konteks sosial juga mempengaruhi vitalitas. Dalam beberapa penelitian, faktor-faktor yang berkaitan dengan dukungan untuk otonomi telah terbukti secara positif terkait dengan vitalitas. Nix et al. dan Thayer dan Moore dalam Peterson dan Seligman 2004 keduanya memberikan bukti eksperimental yang menunjukkan bagaimana pengendalian konteks dapat mengurangi energi subjektif atau vitalitas. e.g., Reis et al., 2000. 10. Love : Teori kelekatan attachment theory didasarkan pada gagasan bahwa kapasitas untuk mencintai dan dicintai adalah aspek sifat manusia yang berevolusi. Namun, kekuatan adaptif yang sama bertanggung jawab atas kapasitas alamiah kita untuk mencintai dan dicintai hal tersebut juga berakibat pada keberadaan diri kita melalui alam, dengan responsif dan lunak terhadap masukan inputdari lingkungan. Apa yang menumbuhkan kapasitas untuk mencintai dan dicintai adalah pengalaman sensitivitas dengan orang yang berarti significant others. 11. Kindness [generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love, niceness] : Dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang meningkatkan dan menghambat altruisme dan kebaikan, akan sangat membantu untuk membedakan antara altruisme sebagai sifat dan altruisme sebagai perilaku diskrit dalam menanggapi situasi tertentu. a Altruisme sebagai suatu trait Para ahli telah lama menduga bahwa ada jenis orang yang berdasarkan sifat-sifat yang mereka miliki, cenderung ke arah altruisme dan jenis perilaku prososial lainnya. Meskipun berbagai ciri telah terlibat sebagai ciri kepribadian altruistik. Tiga ciri trait telah mendominasi percobaan-percobaan peneliti untuk mengidentifikasi trait-trait ini secara empiris, yakni: empati simpati, moral penalaran, dan tanggung jawab sosial. b Altruisme sebagai Perilaku Diskrit Mood positif. Salah satu efek yang menarik dan terdokumentasi dengan baik adalah bahwa orang-orang yang berada ke dalam suasana hati yang positif jauh lebih bersedia untuk membantu orang lain daripada orang-orang yang berada dalam suasana hati netral. Empati. Dalam situasi di mana seorang individu tidak mengalami empati terhadap orang yang membutuhkan, motif altruistik tidak muncul untuk distimulasi, dan dengan demikian, perilaku membantu yang mungkin timbul tidak akan muncul. 12. Social intelligence [emotional intelligence, personal intelligence] : Sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang menghambat atau memfasilitasi kecerdasan sosial ini. Misalnya, seseorang mungkin percaya bahwa berada dalam state emosi yang kuat seperti depresi dapat mengganggu kecerdasan emosional yang diukur, namun bukti yang ada belum kuat Caruso et al., 2002. 13. Citizenship [social responsibility, loyalty, teamwork] : Secara historis, kelompok-kelompok pemuda telah berbagi misi umum dalam pembinaan karakter generasi berikutnya dari penduduk kota dengan mengintegrasikan orang-orang muda ke dalam norma-norma dan adat istiadat tatanan sosial. Kelompok-kelompok menyediakan struktur untuk waktu luang, kelompok sebaya prososial, dan pembimbing dewasa yang biasanya secara sukarela menyediakan waktu mereka. Suasana belajar nonformal dan struktur egaliter serta fakta bahwa orang-orang muda sendiri sering bertugas menawarkan keuntungan unik untuk praktek kewarganegaraan. Secara bersama-sama, orang muda dapat membentuk karakter organisasi, memutuskan secara kolektif tujuan kelompok, dan terus saling bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Fitur program sukses termasuk penekanan pada kolektif bukan pada sifat individu dari agensi pemuda dan gaya kepemimpinan yang memelihara kelompok, sebagai perhatian utama; kesempatan bagi semua anggota untuk mempraktekkan berbagai peran; keseimbangan antara kebebasan dan struktur serta orang dewasa yang membimbing dan melatih tapi tidak memimpin, juga peran yang serius bagi para pemuda dalam pembuatan keputusan dan dalam memberikan hal-hal yang berharga untuk komunitas mereka. 14. Fairness : faktor-faktor tertentu dapat dipengaruhi dalam intervensi untuk mempercepat atau menghambat pengembangan penalaran keadilan. Diantaranya, yakni pengasuhan, pengasuhan penting dalam pengembangan penalaran moral anak. Rest et al. dalam Peterson dan Seligmanm 2004, dalam studi kualitatif dari pengalaman hidup dan jalur perkembangan yang terkait dengan pengembangan penalaran moral, disimpulkan bahwa orang-orang yang berkembang dalam penilaian moral adalah mereka yang suka belajar, yang mencari tantangan baru, yang menikmati lingkungan yang menstimulus secara intelektual, yang reflektif, yang membuat rencana dan menetapkan tujuan, yang mengambil risiko, yang melihat diri mereka dalam konteks sosial yang besar dari sejarah dan lembaga-lembaga serta tren budaya yang luas, yang bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Selanjutnya, mereka menerima dorongan dari orang lain untuk melanjutkan pendidikan mereka, mereka mengalami lingkungan yang menstimulus, dan mereka memiliki dukungan sosial yang luas untuk karya dan prestasi mereka. 15. Forgiveness and mercy : faktor yang mempengaruhinya, yakni empati, attribusi serta penilaian terhadap kesalahan dari orang yang bersalah. Permintaan maaf juga meningkatkan kemungkinan untuk pengampunan dimaafkan. Pada umumnya, efek permintaan maaf tidak langsung. Korban mengembangkan empati yang lebih besar atas penyesalan orang yang bersalah. Terakhir, memaafkan forgiveness dapat dipengaruhi oleh karakteristik dari hubungan di mana kesalahan terjadi. Studi telah menunjukkan bahwa pasangan lebih bersedia untuk memaafkan kesalahan satu sama lain jika hubungan mereka dicirikan dengan kepuasan tinggi, komitmen, dan kedekatan. 16. Humility and Modesty : faktor yang berpengaruh yakni, perkembangan identitas jati diri, pola asuh. Faktor-faktor tersebut dan disipliner lain serta gaya interaksi dengan keluarga hanya secara tidak langsung mendorong perkembangan kerendahan hati. Pengaruh langsung baik positif maupun negatif terhadap nilai-nilai ini tetap belum tereksplorasi hingga saat ini. 17. Prudence : banyak spekulasi yang muncul di antara para ahli mengenai faktor yang mempengaruhi prudence, namun, yang dapat digaris bawahi adalah fakta bahwa studi-studi yang telah ada menunjukkan bahwa sedikit kurang dari setengah varians dalam pengukuran sifat kehati-hatian dalam hal ini prudence, dapat diwarisi. Hal itu menujukkan bahwa pengaruh lingkungan merupakan hal yang penting dan prudence pada prinsipnya dibentuk oleh lingkungan. 18. Self-regulation [self-control] : Perhatian sangat penting bagi keberhasilan kontrol diri, dan memang proses perhatian ini sering menjadi langkah pertama menuju baik keberhasilan atau kegagalan pada kontrol-diri. Orang yang hidup hanya pada saat ini tidak mungkin untuk menunjukkan pengendalian diri yang baik, sedangkan pikiran masa depan akan memudahkan pengaturan diri. Selain itu, lingkungan juga dapat mengajarkan orang apakah mengontrol diri dan menentang godaan merupakan usaha yang berharga atau tidak. Pertentangan atau standar yang tidak jelas merusak pengaturan diri. Standar yang tidak jelas sering menjadi masalah karena orang-orang fokus pada pencapaian tujuan yang beragam. Kesadaran diri self-awareness sangat penting untuk memonitor perilaku seseorang serta penting juga untuk pengendalian diri. 19. Appreciation of beauty and excellence [awe, wonder, elevation] : orang yang dibesarkan dalam keluarga, sekolah, atau lingkungan lokal di mana orang secara terbuka menyatakan apresiasi mereka tentang keindahan dan kesempurnaan dapat meningkatkan sifat penghargaan terhadap kecantikan dan kesempurnaan. Sebaliknya, lingkungan budaya di mana kekaguman dan penghargaan disamakan dengan kenaifan dan sinisme serta dianggap secara dingin mungkin dapat menghambat sifat menghargai kecantikan dan kesempurnaan itu. 20. Gratitude : Optimisme serta murah hati pada pandangan hidup akan mendorong rasa syukur, begitu juga dengan kesadaran spiritual dan kereligiusan intrinsik, serta empati, kerendahan hati, dan pandangan hidup yang luas dapat mendorong rasa syukur seseorang. Hambatan untuk rasa syukur dan terima kasih, yakni persepsi bahwa seseorang adalah korban pasif, rasa akan memiliki suatu hak tertentu, suatu kenikmatan materi, dan kurangnya refleksi diri. Rasa terima kasih juga memerlukan kesadaran atau kepekaan terhadap kekurangan sebelumnya. Salah satu variabel kepribadian utama yang memungkinkan menghambat rasa syukur dan terima kasih adalah narsisme. Orang dengan kecenderungan narsistik keliru. Mereka percaya bahwa mereka layak akan hak-hak khusus dan hak istimewa sehingga tidak perlu merasa berterimakasih. 21. Hope [optimism, future-mindedness, future orientation] : Seligman dan Rekan. dalam Peterson dan Seligman 2004 berspekulasi bahwa peristiwa tunggal dapat mengubah dan membuat seseorang lebih optimis atau pesimis secara tiba-tiba, tetapi mereka juga mengakui bahwa hipotesis tersebut tidak mungkin diuji. 22. Humor [playfulness] : Studi empiris yang baru, menemukan bahwa kemampuan untuk menciptakan humor berkorelasi dengan kecerdasan dan kreativitas, kemudian suasana hati yang buruk terkait dengan apresiasi sindiran, sinisme, dan sarkasme. 23. Spirituality [religiousness, faith, purpose] : Ada beberapa bukti empiris bahwa faktor jaringan sosial memainkan peran penting dalam meningkatkan perkembangan agama dan spiritual. Kohesi kepaduan keluarga juga memainkan peran penting dalam pengaturan tahapan untuk transmisi antargenerasi atas nilai-nilai agama dan komitmen. Sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang menghambat spiritualitas dan religiusitas. Pargament dalam Peterson dan Seligmanm 2004 mencatat bahwa orang yang merasa tidak dapat menemukan makna mendalam dan besar dari suatu pengalaman kehilangan ataupun menyakitkan akan berpaling dari agama. Faktor-faktor lain misalnya, stres, kesehatan yang buruk, pengalaman keberagamaan negatif mungkin memainkan peran dalam keputusan seseorang untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan formal.

2.3 Karakteristik Residen