BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di zaman modern ini maraknya penyalahgunaan narkoba terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh
BNN bekerja sama dengan Puslitkes UI pada tahun 2008 memperoleh hasil bahwa jumlah penyalahguna Narkoba di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,1 juta sampai
3,6 juta orang atau sekitar 1,99 dari total seluruh penduduk Indonesia yang beresiko terkena Narkoba di tahun 2008 usia 10-59 tahun atau dengan nilai
tengah sebanyak 3.362.527 orang. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26 coba pakai, 27 teratur pakai, 40 pecandu bukan suntik
dan 7 pecandu suntik BNN Puslitkes UI, 2008 Pecandu yang ada di Indonesia pun memiliki berbagai latar belakang yang
berbeda-beda. Dari kumpulan penelitian yang dilakukan BNN dan lembaga terkait dapat dilihat berbagai macam segi dari pecandu di Indonesia. Pertama dari segi
usia, kecenderungan usia pertama kali menggunakan narkoba penyalahguna di Indonesia dimulai dari usia yang sangat dini, yakni kurang dari 12 tahun, bahkan
yang sangat memprihatinkan, yakni usia 7 tahun BNN, 2003, 2006. Hal tersebut sesuai dengan tulisan Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya 1980 dimana usia 7
tahun merupakan masa kanak-kanak akhir dan pelanggaran yang paling sering dilakukan kanak-kanak akhir salah satunya adalah mengkonsumsi obat-obatan
terlarang terutama marijuana.
Untuk kelompok usia tertinggi pada penyalahguna narkoba rata-rata terjadi pada kelompok usia 20 tahun keatas BNN, 2003, 2005. Hal tersebut sangat
disayangkan dimana usia yang menurut Hurlock 1980 termasuk masa dewasa awal tersebut juga merupakan fase pencapaian prsetasi. Menurut Schaie dalam,
Santrock 2002, fase mencapai prestasi achieving stage adalah fase di masa dewasa awal yang melibatkan penerapan intelektualitas pada situasi yang
memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan.
Schaie dalam, Santrock 2002 percaya bahwa orang dewasa muda yang menguasai kemampuan kognitif perlu memonitor perilaku mereka sendiri
sehingga memperoleh kebebasan yang cukup untuk berpindah ke fase selanjutnya yang melibatkan tanggung jawab sosial, yakni fase tanggung jawab. Fase
tanggung jawab the responsibility stage adalah fase yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan pasangan dan
keturunan. Namun, jika seorang individu pada usia 20 tahun sudah menyalahgunakan narkoba, adalah hal mustahil jika individu tersebut dapat
mencapai fase tanggung jawab. Untuk dapat memenuhi fase mencapai prestasi secara utuh saja sangat disangsikan. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika
potensi-potensi individu yang dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa dewasa awal ini harus terhambat oleh narkoba.
Dari segi pendidikan, angka penyalahgunaan narkoba lebih tinggi pada kelompok pendidikan tinggi dibanding pendidikan rendah; lebih tinggi pada
kelompok pelajar dan mahasiswa BNN, 2005. Hal tersebut sangat
memprihatinkan karena kelompok responden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba paling tinggi,
kemudian responden tingkat SMU memiliki proporsi penyalahgunaan narkoba lebih tinggi dari pada tingkat SMP BNN, 2003.
Dari segi latar belakang keluarga. penyalahgunaan narkoba cenderung terjadi pada kelompok responden yang orang tuanya berpisah, tetapi belum cerai;
kelompok responden yang tidak pernah berbincang-bincang dengan orang tua mereka; responden yang tidak tinggal bersama keluarga; kelompok responden
yang sebagian anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok; kelompok responden yang semua anggota keluarganya mempunyai kebiasaan minum-
minuman keras; kelompok responden yang anggota keluarganya mempunyai kebiasaan pergi ke tempat hiburan; dan yang pasti responden yang semua anggota
keluarganya memiliki kebiasaan menyalahgunakan narkoba BNN, 2003. Dapat peneliti lihat bahwa peran keluarga inti terutama orang tua sangat berperan
penting sebagai faktor penentu individu untuk mudah tidaknya ia terjerumus pada narkoba.
Untuk pintu masuknya peredaran narkoba kepada individu, teman sebaya atau peer-group merupakan faktor yang paling potensial menjadi pintu masuknya
narkoba pada individu BNN, 2006. Karena pada umumnya penyalahgunaan narkoba pertamakali diperkenalkan oleh teman.
Dalam kumpulan hasil penelitian sebelumnya dinyatakan terdapat hubungan signifikan antara penyalahgunaan narkoba dengan teman sepergaulan
yang memiliki kebiasaan merokok dan meminum minuman keras BNN, 2003, 2005. Perilaku tersebut merupakan perilaku awal yang biasanya menjadi pemicu
orang mencoba narkoba BNN Badan Pusat Statistik, 2003. Untuk alasan pemakaian narkoba, alasan ingin coba-coba dan bersenang-
senang adalah alasan yang umumnya diutarakan para penyalah guna narkoba BNN, 2003 ; BNN 2005. Sangat disayangkan, tujuan mereka yang pada awalnya
hanya ingin mencoba dan bersenang-senang pada akhirnya dapat mengantarkan mereka pada ketergantungan narkoba yang merusak diri sendiri dari segi fisik dan
psikologis. Masuknya narkoba ke dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi vital organ
tubuh, yaitu jantung, peredaran darah, pernafasan, dan terutama pada kerja otak susunan saraf pusat. Hal ini menyebabkan kerja otak berubah bisa meningkat
atau menurun. Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan perasaan, yang disebut dengan sistem limbus. Pusat kenikmatan
pada otak Hipotalamus adalah bagian dari sistem limbus. Narkoba menghasilkan perasaan tinggi dengan mengubah susunan bio kimia molekul pada sel otak yang
disebut neurotransmitter BNN, Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas Dan Rutan.
Dari jenis narkoba yang dipakai untuk pertama kali pada umumnya adalah ganja dan codein BNN Badan Pusat Statistik, 2003; BNN, 2003. Dimana
ganja merupakan golongan halusinogen, yaitu jenis narkoba yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan, pikiran dan
seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh persaan dapat terganggu. Disamping itu ganja juga merupakan narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Sedangkan codein termasuk golongan depresan downer , yakni jenis narkoba yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
membuat pemakainya menjadi tenang dan membuat tertidur bahkan tak sadarkan diri. Selain itu, codein ini juga merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
BNN, 2009. Untuk hasil penelitian pada kelompok rumah tangga di indonesia sangat
memprihatinkan. Sekitar 20 responden penyalahguna narkoba di rumah tangga serta separuh responden di rumah kos, baik perempuan ataupun laki-laki
mempunyai lebih dari satu pasangan, termasuk berhubungan seks dengan pekerja seks BNN, 2005. Ditambah lagi pencurian, penipuan, perampasan, dan
penodongan merupakan tindak kriminalitas yang banyak dilakukan oleh penyalahguna narkoba BNN Pusat Penelitian Kesehatan UI, 2004.
Adapun institusi yang diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan Narkotika di Indonesia
adalah BNN Badan Narkotika Nasional. Mengapa peneliti memutuskan untuk mengambil responden di Badan Narkotika Nasional ? Karena Badan Narkotika
Nasional merupakan institusi yang diberikan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan strategi dan implementasi penanggulangan permasalahan
Narkotika di Indonesia. Dimana institusi ini merupakan Lembaga Non Struktural yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan
pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika,
prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN, dan dalam melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur
instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Pada tahun 2007 BNN telah membangun Unit Pelaksana Teknis UPT terapi dan rehabilitasi di Lido, Sukabumi yang melaksanakan pelayanan terapi dan
rehabilitasi secara komprehensif dan integratif. Dengan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi korban penyalahguna narkoba di seluruh Indonesia.
Adapun metode rehabilitasi yang digunakan di BNN bagi para klien yang mengikuti rehabilitasi di BNN residen, yakni therapeutic community.
Therapeutic Community adalah suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan
kepada korban penyalahguna narkoba, yang merupakan sebuah ‘keluarga’ terdiri atas orang-orang yang mempunyai masalah yang sama dan memiliki tujuan yang
sama, yaitu untuk menolong diri sendiri dan sesama yang dipimpin oleh seseorang dari mereka, sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari yang negatif ke arah
tingkah laku yang positif BNN R.I. Departemen Sosial R.I. 2004. Adapun indikator keberhasilan therapeutic community di BNN meliputi
dua aspek, yaitu indikator keberhasilan program dan indikator keberhasilan residen. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai program rehabilitasi ini
berhasil atau gagal, yakni: angka drop-out pada setiap tahapan; angka residen yang kabur; angka kekambuhan; adanya peningkatan status kehidupan residen
yang lebih baik selama dan setelah mengikuti program yang dinilai dari pelasanaan pekerjaan, sekolah, dan perilaku sehari-hari baik di lingkungan
keluarga maupun di lingkungan sosial lainnya. Indikator keberhasilan yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan residen di BNN, yakni Pertama, residen
dalam keadaan bebas zat abstinensia. Kedua, residen dapat menjalankan kehidupan sosialnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
BNN R.I. Departemen Sosial R.I. 2004. Dalam panduan metode therapeutic community yang disusun oleh BNN
R.I. Departemen Sosial R.I. 2004 ada tahapan yang di sebut primary stage, yakni tahapan yang dilaksanakan selama kurang lebih 6 sampai dengan 9 bulan
yang memiliki berbagai kegiatan. Adapun kegiatan di primary stage yang berkaitan dengan kekuatan karakter dan resiliensi, diantaranya morning meeting,
yang merupakan komponen utama dilaksanakan setiap pagi hari yang mengawali kegiatan residen dan diikuti oleh seluruh residen. Morning meeting memiliki
tujuan, salah satunya, yakni membangkitkan kepercayaan diri, dimana kepercayaan diri sendiri merupakan salah satu karakteristik resiliensi menurut
Conner dalam O’Neal, 1999. Tujuan lainnya yakni melatih kejujuran dan kepercayaan terhadap residen yang lain, dimana hal ini sesuai dengan salah satu
klasifikasi kekuatan karakter menurut Peterson dan Seligman 2004, yakni kejujuran honesty. Dalam morning meeting juga dilakukan pembahasan
mengenai isu keseluruhan rumah yang harus diselesaikan oleh komunitas. Dimana hal tersebut sesuai dengan salah satu klasifikasi dalam kekuatan karakter, yaitu
team work , yang salah satu definisinya menurut Seligman adalah berbagi dengan
kelompok. Kegiatan selanjutnya, yakni encounter group. Group ini dirancang khusus
untuk mengekspresikan atau menyatakan perasaan kesal, kecewa, marah, sedih dan lain-lain. Group ini adalah bagian untuk memodifikasi perilaku agar
menjadikan residen lebih disiplin. Sesuai dengan klasifikasi dalam kekuatan karakter yaitu keberanian bravery dalam Peterson dan Seligman, 2004, dalam
encounter group ini residen dilatih agar berani mengungkapkan perasaan di depan
banyak residen lain kepada orang yang telah membuatnya kecewa kesal, marah, dan lain-lain dengan cara yang layak.
PAGE Peer Accountability Group Evaluation adalah suatu kelompok
yang mengajarkan residen untuk dapat memberikan satu penilaian positif dan negatif dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam kelompok
ini tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan terhadap perilaku komunitas. Hal tersebut selaras dengan klasifikasi dalam kekuatan karakter, yakni kecerdasan
sosial social intelligence dimana seseorang harus peka terhadap motif dan perasaan orang lain juga diri sendiri serta harus dapat menyesuaikan diri pada
situasi sosial yang berbeda dalam, Peterson dan Seligman 2004. Selain itu, PAGE
juga sejalan dengan faktor lain dalam kekuatan karakter, yakni perspektif perspective, dimana seseorang harus mampu memberikan saran serta memiliki
cara pandang yang luas dan dapat diterima oleh orang lain dalam, Peterson dan Seligman 2004.
Namun, berhasil atau tidaknya kekuatan karakter dan resiliensi itu tumbuh dalam diri residen kembali lagi tergantung para residen tersebut. Apakah mereka
memandang dan menghayati program yang mereka jalani sebagai sesuatu yang positif dan dapat membantu mereka untuk menjadi lebih baik serta
menjalankannya dengan sungguh-sungguh ataukah sebagai sesuatu yang negatif, melelahkan, tidak bermanfaat atau bahkan menyulitkan diri mereka sendiri. Salah
satu contohnya adalah residen-residen yang kabur dari BNN, seperti pada tanggal 24 maret 2010 berita yang ditayangkan pukul 11.56 wib di metro tv menampilkan
residen yang kabur dengan alasan tidak kuat mengikuti program penyembuhan di BNN. Ia menyatakan bahwa dirinya lelah mengikuti semua program yang ada di
BNN. Dapat tercermin dari pendapatnya itu bahwa secara tidak langsung, ia
menganggap kegiatan yang ia jalani selama ini di BNN sebagai sesuatu yang melelahkan serta tidak bermanfaat baginya.
Setelah primary stage ada tahapan yang disebut re-entry stage atau tahap lanjutan. Re-entry stage adalah suatu tahapan proses lanjutan setelah tahap primer
dengan tujuan mengembalikan residen ke dalam kehidupan masyarakat resosialisasi pada umumnya. Tahap ini dilaksanakan selama 3 sampai 6 bulan
BNN R.I. Departemen Sosial R.I. 2004. Terjadi fenomena di BNN dimana pada tahap re-entry ini sebagian residen banyak yang kabur. Karena pada tahap ini
ijin pulang dan ijin bepergian menjadi lebih longgar. Home leave
serta bussines pass merupakan bagian dari treatment yang ada di re-entry stage, yakni ijin pulang meninggalkan fasilitas TC yang diberikan
kepada residen dengan tujuan agar residen bisa mendekatkan diri dengan keluarga, menjaga komunikasi di lingkungan keluarga, menindaklanjuti isu yang
ada di dalam keluarga BNN R.I. Departemen Sosial R.I. 2004. Residen yang kabur dari BNN merupakan residen yang menyalahgunakan
kesempatan home leave atau business pass mereka. Pada saat peneliti melakukan PKL di BNN Lido selama 2 minggu, ada tiga orang residen re-entry yang kabur
ketika sedang bussiness pass dan satu residen yang di serang pada saat encounter group
berulangkali karena kabur ketika ia sedang mendapat ijin keluar panti rehabilitasi outing, selain itu tidak sedikit pula residen yang mengikuti
rehabilitasi di BNN untuk yang kesekian kalinya, sebagian residen di BNN sudah keluar masuk BNN hingga beberapa kali, mereka yang sudah pernah keluar BNN
kemudian masuk lagi karena relapse disebut dengan second admission dimana
selama peneliti menginap di BNN, beberapa kali para second admission sering mencoba kabur serta menghasut para residen baru untuk kabur bersama-sama.
Hasil wawancara dengan salah seorang staff ahli BNN yang merupakan Primary Program Manager
di BNN menunjukkan bahwa dari 100 residen yang kabur 97 diantaranya pasti relapse. Dimana Primary Program Manager merupakan unsur
pimpinan yang bertanggung jawab penuh pada keseluruhan program primer serta seluruh fasilitas yang digunakan oleh residen tahap primer BNN R.I.
Departemen Sosial R.I. 2004. Berikut cuplikan wawancaranya: “Selama ini yang kabur lebih banyak yang relapse, dibanding yang selesai
program ya...” “Presentasenya kalo kita ambil dari seratus, sembilan puluh tujuhnya
relapse
. Jadi, sedikit sekali yang berhasil, kalo dia mulainya buruk ya... paling berapa bulan kemudian ada lagi di detoks.”
Jadi, dapat dilihat bahwa dibandingkan dengan residen yang
menyelesaikan programnya di BNN secara utuh, residen yang kabur lebih banyak yang relapse. Dengan perbandingan 3 : 97 dari 100 orang residen yang kabur, 97
diantaranya sudah pasti relapse, dan akan kembali masuk BNN beberapa bulan kemudian dimulai dari detoxification stage atau tahap detoksifikasi.
Yang jadi pertanyaan disini adalah mengapa para residen tersebut banyak yang kabur, dan beberapa residen yang kabur kemudian relapse menggunakan
narkoba kembali serta kembali masuk rehabilitasi mengikuti program rehabilitasi di BNN untuk ke sekian kalinya. Apakah penyebabnya? Ada apa didalam diri
mereka? seberapa tinggikah kekuatan karakter dan resiliensi yang mereka miliki? kekuatan karakter apakah yang memiliki skor paling tinggi serta paling rendah
pada residen BNN? apakah ada hubungan antara kekuatan karakter dengan
kemampuan resiliensi yang ada dalam diri mereka ? Bagaimana kemampuan resiliensi yang ada di dalam diri mereka ? hal-hal yang seperti itulah yang akan
peneliti angkat di dalam penelitian ini. Jadi, berdasarkan hal-hal tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti
serta mengkaji lebih dalam mengenai fenomena kekuatan karakter serta resiliensi yang ada di dalam diri residen narkoba dengan mengangkat judul dalam penelitian
ini, yakni HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN KARAKTER DENGAN RESILIENSI RESIDEN NARKOBA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS UPT
TERAPI DAN REHABILITASI BNN LIDO.
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah