Wilayat Al-Qadha Sulthan Qadhaiyyah kekuasaan kehakiman
menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di
jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.
Namun demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang
tampak zahir dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara
umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah
menjadi ‘uruf adat dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, dan memerlukan investigasi secara mendalam,
pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayah Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul madzalim.
Secara umum tugas dan dan fungsi muhtasib adalah:
35
1 Menjalankan tugas amar maruf nahi munkar. 2 Melakukan supervise pengawasan pelaksanaan perdagangan dan pasar.
3 Supervise bidang pertanian dan lapangan kehidupan sosial. 4 Memberikan hukuman.
35
Ibid, h. 225.
Seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman
melalui proses pengadilan.
36
Di samping itu, Wilayah Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu
berbentuk ta’zir,
37
yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan Wilayah
Hisbah juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan.
Tentu ketika menjatuhi hukuman Wilayah Hisbah harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas terbukti bahwa seseorang betul-betul
melanggar syari’at, atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at. Karena itu Wilayah Hisbah tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya
berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi
kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka Wilayah Hisbah
saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka.
36
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 168.
37
Rohadi abd. Fatah, Islam and Good Governance, …Jakarta: Lekdis, 2007, h. 225.