f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan hurug f, yang
tidak berdedia memenuhi panggilan Komisi; h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Secara umum, dari sekian banyak wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kewenangan sebagai berikut: :
1. Menerima Pengaduan Masyarakat Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU berwenang menerima
dan menindaklanjuti berbagai pengaduan masyarakat berkaitan dengan dugaan adanya kegiatan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kewenangan ini lebih bersifat pasif karena KPPU merespon adanya dugaan terjadinya kegiatan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
berdasarkan pengaduan masyarakat. Meski demikian kewenangan tersebut pada dasarnya manifestasi dari terjalinnya hubungan yang baik antara KPPU
sebagai sebuah institusi dengan berbagai steakholder baik masyarakat secara personal individual maupun secara komunal.
2. Investigatif Selain “menunggu” pengaduaan dari masyarakat, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha KPPU juga memiliki kewenangan aktif yaitu melakukan langkah-langkah investigasi terhadap adanya dugaan dan atau patut diduga
berkaiatan kegiatan yang mengarah terjadinya praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Langkah-langkah investigatif bisa dilakukan
dengan penelitian, pemeriksaan dan penyelidikan. Melalui kewenangan investigasi ini, KPPU juga berwenang untuk
meneliti, mendapatkan atau meminta dokumen dan alat bukti lain yang berkaitan dengan peneylidikan dan pemeriksaan suatu kasus.
3. Eksekutor Dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU, memiliki
kewenanangan untuk mengajukan tuntutan melaui pemanggilan terhadap pelaku usaha yang diduga melanggar, pemanggilan saksi-saksi yang
diperlukan serta menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang anti monopoli.
Meski KPPU memiliki kewenangan memberikan putusan sanksi dalam perkara tindak praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, pelaku
usaha dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU kepada Pengadilan Negeri PN dan Mahkamah Agung MA. Dengan kata lain
KPPU merupakan pemutus perkara ditingkat awal. 4. Koordinatif
Dalam melakukan tugas dan kewenangannya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU berwenang berkoordinasi bekerjasama dengan
pihak-pihak yang dibutuhkan termasuk dengan pihak penyidik. Kewenangan ini mutlak diperlukan sehingga KPPU dapat lebih efektif dan efisien dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya.
B. Kegiatan Pengawasan Persaingan Usaha Dalam Prespektif Ketatanegaraan
Islam. 1.
Wilayah Hisbah Dalam Sistem Ketatanegaraan Islam
Struktur kelembagaan yang digunakan di seluruh ketatanegaraan dunia termasuk Indonesia dewasa ini, tentu tidak mudah menemukan persamaan
lembaga dari segi tugas, wewenang dan kedudukan dalam sejarah ketatanegaraan Islam. Lembaga Negara seperti Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif memang bisa
di analogikan dengan sulthan Tanfiziyyah, Tasri’iyah dan Qadhaiyyah akan tetapi hubungan ini tidak bisa disamakan karena perbedaan yang begitu besar
antara masa lalu dan modern seperti sekarang ini. Apalagi dengan lembaga- lembaga seperti kepala Negara, Wizarat, imarat ‘ala al-bilad, Qadha, hisbah,
madzalim , dan lain sebagainya.
Dalam konsep Islam segala bentuk tindakan dan kegiatan yang merugikan orang lain adalah sesuatu yang dilarang. Termasuk dalam kegiatan
perekonomian mu’amalah. Meskipun dalam sejarah sistem ketatanegaraan Islam tidak dijelaskan secara eksplisit lembaga yang secara spesifik khusus
menangani persoalan kegiatan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, tetapi secara subtantif, fungsi pelarangan, pengawasan dan penetapan sanksi
terhadap pelaku usaha yang merugikan orang lain sudah ada dan melekat pada sebuah institusi yang disebut wilayah hisbah. Dikatakan tidak spesifik
mengawasi kegiatan perekonomian karena institusi ini menjalankan fungsinya
lebih luas yakni amar ma’ruf nahi munkar dalam semua sendi kehidupan masyarakat.
Apabila dikaitkan dengan tiga pilar sistem kelembagaan negara yang lazim berlaku yakni wilayah legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka dalam
sistem ketataneraan Islam juga mengenal istilah Sulthan Tanfiziyyah legislatif, Tasri’iyah
eksekutif dan Qadhaiyyah yudikatif. Jika dilihat dari fungsinya sebagai lembaga yang mengawasi tegaknya amar ma’ruf nahi munkar dalam
semua sendi kehidupan masyarakat termasuk sektor kegiatan perekonomian, maka lembaga wilayah hisbah termasuk kedalam institusi Qadhaiyyah
yudikatif karena juga dapat memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran aturan syariat yang terjadi.
Secara prinsipil, konsep hisbah yang berkaitan dengan pengaturan kegiatan perekonomian telah dipraktekan sejak awal periode Islam di zaman
Rasulullah SAW. Pada perkembangan selanjutnya terutama di zaman para sahabat dan periode setelahnya, kegiatan hisbah mengalami banyak kemajuan
dan keberadaannya menjadi barometer terciptanya tatatan kehidupan masyarakat terutama dalam kegiatan mu’ammalah perekonomian yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam. Berikut adalah beberapa contoh pelaksanaan lembaga hisbah dalam
pengaturan kegiatan perekonomian masyarakat dan negara:
1 Masa Nabi Muhammad SAW Kondisi peradilan mulai berkembang setelah Rasulullah hijrah dari Makkah
ke Madinah. Pada waktu itu Rasulullah SAW mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat
yang diutus oleh Rasulullah SAW untuk menjadi qadhi, seperti Ali bin Abi Thalib di Yaman dan Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Janad.
3
Pada waktu itu, kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat qadhi, tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut,
boleh mengajukan keputusan kembali kepada Rasulullah SAW. Meski secara kelembagaan Wilayah Hisbah pada masa Rasulullah SAW ini
belum terbentuk, akan tetapi praktik-praktik yang mengarah pada kewenangan hisbah sudah dilakukan sendiri oleh beliau langsung. Sebagai salah satu contoh prektek
wilayah hisbah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terdapat dalam sebuah hadits
berikut:
ﱠﻥﹶﺃ ﹶﻝﻮﺳﺭ
ِﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ
ُﷲﺍ ِﻪﻴﹶﻠﻋ
ﻢﱠﻠﺳﻭ ﺮﻣ
ﻰﹶﻠﻋ ﺻ
ِﺓﺮﺒ ٍﻡﺎﻌﹶﻃ
ﹶﻞﺧﺩﹶﺄﹶﻓ ﻩﺪﻳ
ﺎﻬﻴِﻓ ﺖﹶﻟﺎﻨﹶﻓ
ﻪﻌِﺑﺎﺻﹶﺃ ﹰﻼﹶﻠﺑ
ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻣ
ﺍﹶﺬﻫ ﺎﻳ
ﺐِﺣﺎﺻ ِﻡﺎﻌﱠﻄﻟﺍ
ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﺘﺑﺎﺻﹶﺃ
ُﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﺎﻳ
ﹶﻝﻮﺳﺭ ِﷲﺍ
ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﻼﹶﻓﹶﺃ
ﻪﺘﹾﻠﻌﺟ ﻕﻮﹶﻓ
ِﻡﺎﻌﱠﻄﻟﺍ ﻲﹶﻛ
ﻩﺍﺮﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ
ﻦﻣ ﺶﹶﻏ
ﺲﻴﹶﻠﹶﻓ ﻲﻨِﻣ
.
ﺭ ﻩﺍﻭ
ﻢﻠﺴﻣ ﻦﻋ
ﻮﺑﺃ ﺓﺮﻳﺮﻫ
Artinya : “Bahwa Rasulullah SAW berjalan melihat-lihat tumpukan makanan, lalu beliau memasukan tangannya kedalam makanan tersebut. Jari beliau
menemukan bahwa bagian bawah tumpukan makanan itu basah. Lalu beliau bertanya: “Ini apa, wahai pemilik makanan?” Dia menjawab: “Terkena hujan, ya
3
Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002, H. 226-227.
Rasulullah.” Beliau bersabda: “Tidakkah seharusnya yang terkena hujan diletakkan dibagian atas makanan ini, sehingga orang-orang bisa mengetahuinya. Siapa yang
menipu maka bukan termasuk golongan umat ku”.
Dari hadits diatas secara tegas dijelaskan bahwa segala unsur penipuan yang
berujung pada kerugian salah satu pihak dalam kegiatan perekonomian adalah suatu tindakan yang terlarang. Pada periode ini Rasulullah SAW telah meletakkan pondasi
dasar sistem perekonomian yang sesuai prinsip-prinsp syari’at Islam.
2 Masa Sahabat al-Khulafa al-Rasyidin Setelah Rasulullah SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin masyarakat
negara digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak
mengalami perubahan. Tetapi pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi hisbah yang diangkat. Namun
pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muhtasib dipegang sendiri oleh khalifah.
Sahabat Umar Ibn al Khaththab merupakan salah satu al-Khulafa al-Rasyidin yang konsen didalam praktek dan pengembangan konsep hisbah. Wilayah Hisbah
difokuskan juga pada kegiatan perekonomian masyarakat dan Negara. Melalui keberadaan Wilayah Hisbah ini, kegiatan pasar dapat dimonitoring dengan baik.
Praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dicegah, pelanggaran terhadap peraturan kegiatan perekonomian dapat ditindak tegas sehingga
geliat perekonomian dapat berkembang pesat sesuai dengan aturan syari’at Islam.
Berikut adalah beberapa contoh pelaksanaan wilayah hisbah dalam kegiatan perekonomian pada masa sahabat Umar Ibn al Khaththab :
a Memerangi Segala Bentuk Penipuan Dalam Perdagangan Umar Ibn al Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu mempunyai
perhatian yang kuat untuk melawan penipuan dan melarangnya. Misalnya
diriwayatkan bahwa beliau melarang mencampur susu dengan air dalam hal ini beliau memerintahkan penyerunya dan menyerukan : “Jangan
campur susu dengan air.” Umar Ibn al Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu juga melawan segala penyimpangan terhadap larangan tersebut dengan
sungguh-sungguh dan tegas. Buktinya adalah diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu ‘Anhu
melihat seorang laki-laki yang mencampur susu dengan air untuk dijual, maka beliau meyiramkan susu itu kepadanya.”
4
Persoalan yang ada bukan terletak pada dicampurnya susu dengan air tersebut, tetapi unsur penipuan yang dilakukan oknum padagang tersebut
yang menyatakan bahwa susu tersebut adalah murni. Hal ini berbeda jika disebutkan bahwa susu tersebut sudah dicampur dengan air dengan
disebutkannya jumlah kadar air tersebut. Dengan demikian segala tindakan yang mengandung unsur penipuan termasuk dalam kegiatan
perekonomian adalah sesuatu yang sangat dilarang.
4
Jaribah bin Ahmad Al-Harisi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Jakarta, 2006, h.594