Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945

Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Lembaga negara kedua itu adalah: a Menteri Negara; b Tentara Nasional lndonesia; c Kepolisian Negara; d Komisi Yudisial; e Komisi pemilihan umum; f Bank sentral. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM, 11 Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, 12 Komisi Penyiaran Indonesia KPI, 13 Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU, 14 11 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889. 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4250. 13 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4252. 14 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817, Keppres No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingah Usaha. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR, 15 Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI 16 , dan lain sebagainya. Kelompok ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Lembaga-lembaga daerah tersebut adalah: a Pemerintahan Daerah Provinsi; b Gubemur; c DPRD provinsi; d Pemerintahan Daerah Kabupaten; e Bupati; f DPRD Kabupaten; g Pemerintahan Daerah Kota; h Walikota; i DPRD Kota 15 Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4429. 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan :”Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut komisi”. Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain KPPU dapat dikatakan sebagai “wasit” yang mengawasi sekaligus dapat memberikan eksekusi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut. Sesuai dengan pasal 34 UU Nomor 5 tahun 1999, selanjutnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU secara kelembagaan ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden. Sebagai tindak lanjut UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dikeluarkanlah Keputusan Presiden Keppres Nomor 75 Tahun 1999 tentang pembentukan sebuah komisi yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.

B. Lembaga Negara Menurut Ketatanegaraan Islam

Pada masa Rasulullah lembaga-lembaga belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut masing- masing melembaga dan mandiri. 17 Pembagian tiga macam kekuasaan ini disebutkan dengan jelas pada masa khalifah Umar bin Khatab. 18 Kondisi kelembagaan Islam pada awal perkembangan Islam di masa Rasulullah SAW masih berpusat kepada beliau langsung. Keadaan ini dimaklumi mengingat Rasulullah SAW merupakan figur central dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat. Meski demikian, pondasi-pondasi sebagai cikal bakal kelembagaan dalam pemerintahan Islam telah diletakkan sejak awal oleh beliau. Seperti pengaturan adanya baitul mall, sistem kehakiman pengadilan Islam, pedoman pembagian harta rampasan perang ghonimah dll. Pada perkembangan lebih lanjut, dalam sejarah ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan, yakni Sulthan Tanfiziyyah kekuasaan eksekutif, Sulthan Tasyri’iyyah kekuasaan legislatif, dan Sulthan Qadhaiyyah kekuasaan kehakiman. Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif baru mulai dilakukan di zaman para khalifah Nabi, dengan pengangkatan para hakim Qadhi serta pengangkatan kelompok sahabat senior yang memiliki kemampuan dalam 17 Salim Ali Al-Bahansawi, Wawasan Sistem Politik Islam Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996. 18 Abdul Qadir Djaelani, Negara Islam Menurut Konsepsi Islam Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, h. 148. memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi, yang kemudian disebut ahl al-hall wa al-’aqd dan kini identifikasikan sebagai lembaga legislatif, seperti telah dilakukan Khalifah Umar yang dikenal sebagai negarawan, adminitrator serta seorang pembaru yang membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan. 19 Dengan demikian, untuk beberapa provinsi, Umar telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif.

1. Sulthan Tanfiziyyah Kekuasaan Eksekutif

Dalam sistem tatanegara modern, kekuasaan Eksekutif mencakup Kepala Negara Presiden dan wakil presiden dan atau Raja dan Ratu, Perdana Menteri, Menteri-menteri, serta Kepala-kepala Daerah. Kepala Negara adalah penghubung antara dua kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. 20 Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Islam kekuasaan eksekutif jika dikategorikan berdasarkan fungsi, bentuk dan ruang lingkup tugasnya menurut Al- Mawardi, mencakup: kepala negara khalifah atau imam, lembaga kementerian wizarah dan pemerintah daerah imarat ‘ala al-bilad. Sulthan Tanfiziyyah Kekuasaan Eksekutif merupakan pelaksana kegiatan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun daerah. Keberadaan pemerintah daerah 19 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h.73 20 Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam. Penerjemah Firman Hariyanto, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995, h. 95. imarat ‘ala al-bilad dan kementerian wizarah merupakan kepanjangan tangan wakil dari pemerintah pusat dalam hal ini adalah khalifah atau imam karena keduanya diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau imam.

2. Sulthan Tasyri’iyyah Kekuasaan Legislatif

Secara terminologi fiqh, Sulthan Tasyri’iyyah Kekuasaan Legislatif disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” ahl al-hall wa al-‘aqd. 21 Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Allah, tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan A-Qur’an dan As-sunnah, meskipun konsensus rakyat menuntutnya. Allah berfirman: t B u r t b x . 9 ‘ ˇ BsJ ˇ 9 w u r p u Z ˇ Bs ª B s ˛ | s “ … ªŁ q u u r •ł B r b r t b q3 t ª Ng s 9 o u z ˇł : ‘ ˇ B N ˇ d ł B r 3 ‘ t B u r ˜ ¨ Ł t … ª s q u u r s s ø ¤ | ˚ W x » n = | ˚ Y Z ˛ 7 B ˙ ˇ¨ Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. QS. Al-Ahzab: 36 21 Abdul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Cet III, Penerjemah Asep Hikmat, Bandung, Mizan, 1993, h. 245. Dari perintah-perintah ini, maka timbul prinsip bahwa Majlis Tasyri’iyyah lembaga legislatif dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Tasri’iyyah lembaga legislatif harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang dasar. 22 Dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana didalamnya diduduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu: satu, jika perkara yang dinisbatkan ada nash nya, maka tugas mereka adalah memahami nash dan menjelaskan hukum yang ditunjukannya; dua, jika suatu perkara tidak ada nashnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nashnya, dan mengistinbath- kan menetapkan hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya. Dengan demikian, dua pokok sumber hukum dan ajaran Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan referensi utama pengambilan keputusan yang diambil oleh Majlis Tasyri’iyyah lembaga legislatif. Dengan kata lain setiap produk hukum yang dihasilkan Majlis Tasyri’iyyah lembaga legislatif tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. 22 Abdul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi, h. 245