Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah BBLR

plasenta, perkembangnan atau pertumbuhan janin atau kesehatan umum dan nutrisi ibu Behrman, dkk., 2000. IUGR mungkin merupakan respon janin normal terhadap kehilangan nutrisi atau oksigen. Dengan demikian, hal tersebut dapat menyebabkan kelahiran preterm yang ditandai oleh perlunya persalinan awal karena lingkungan intrauteri berpotensi merugikan kesehatan janin Behrman, dkk., 2000. Pada pemeriksaan darah dari umbilicus saat operasi seksio sesarea didapatkan konsentrasi glukosa, asam amino esensial, lemak trigliserin, kolestrol Low density lipoprotein dan kolestrol total, vitamin, elektrolit lebih tinggi dari darah ibu atau sebanding. Hal tersebut menunjukkan aliran menuju janin terjamin baik. Plasenta memegang peranan penting sebagai perantara nutrisi, oksigen, dan lainnya dari ibu untuk dapat mencukupi segala kebutuhan janin, sehingga tumbuh kembang janin dapat sesuai dengan umur kehamilan Manuaba, dkk., 2007. Kegagalan aliran nutrisi sebagai akibat gangguan tumbuh kembang plasenta akan menyebabkan gangguan tumbuh kembang janin dalam rahim dan menimbulkan hasil, berupa persalinan prematurnitas atau sesuai untuk massa kehamilan SMK maupun tumbuh kembang terhambat atau kecil untuk masa kehamilan KMK Wong, dkk., 2008; Manuaba, dkk., 2007.

E. Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah BBLR

Pada tahun 2010, sebanyak 1 bayi dilahirkan dengan berat kurang dari 2500 gram dan sebanyak 22 bayi dilahirkan dengan berat di bawah 1.500 gram dan tidak dapat bertahan hidup dalam tahun pertamanya Martin, dkk., 2013. Terdapat faktor risiko maternal yang memengaruhi kejadian BBLR, adapun beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pekerjaan Ibu

Penelitian Syarifuddin, dkk. 2011 menunjukkan bahwa rata-rata berat lahir bayi pada kelompok ibu bekerja lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi dari ibu yang tidak bekerja. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada rata-rata berat lahir bayi antara kelompok ibu bekerja dengan kelompok ibu tidak bekerja. Selain itu, ibu yang bekerja berisiko 2.41 kali lebih besar melahirkan BBLR dari pada ibu rumah tangga Aminian, dkk., 2014. Sedangkan, penelitian Viengsakhone, dkk. 2010 menemukan bahwa wanita hamil yang memiliki pekerjaan fisik berat buruh berisiko 5 kali lebih besar melahirkan BBLR daripada wanita pekerja kantoran ataupun ibu rumah tangga. Hal tersebut dapat disebabkan oleh jam kerja yang panjang, aktivitas fisik yang lebih tinggi, beban kerja yang berat dapat menimbulkan ancaman bagi pekerja yang hamil. Selain itu, jenis pekerjaan yang berat dapat memicu pelepasan hormon stres, seperti norepinefrin dan kortisol, yang mengganggu pertumbuhan janin sebagai akibat dari kerusakan hypothalamic pituitary axis HPA yang sangat merugikan selama trimester pertama Vrijkotte, dkk., 2009. Berdasarkan penelitian Niedhammer, dkk. 2009 diketahui bahwa lama waktu kerja lebih dari 40 jam per minggu dan shift waktu kerja pada ibu hamil memiliki hubungan dengan kejadian BBLR. Penelitian Aminian, dkk. 2014 menunjukkan bahwa usia kehamilan kurang dari 37 minggu sering terjadi pada ibu yang bekerja dan rerata berat bayi lahir berbading terbalik dengan lama waktu ibu bekerja. Selain itu, hal tersebut juga turut dipengaruhi oleh durasi waktu berdiri ibu selama bekerja dalam sehari. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Viengsakhone, dkk. 2010 yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan BBLR. Namun, penelitian Pramono dan Putro 2009 berdasarkan data Riskesdas 2007 menemukan bahwa tidak ada hubungan antara status bekerja dengan kejadian BBLR.

2. Usia Ibu Melahirkan

Pada penelitian Khatun dan Rahman 2008 menemukan bahwa kejadian BBLR banyak terjadi pada ibu yang melahirkan di usia 19 tahun dan 30 tahun, sedangkan usia 20-29 tahun merupakan usia ibu yang optimum untuk melahirkan bayi dengan berat badan normal. Namun, penelitian Dharmalingam, dkk. 2010 menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan di usia 20-24 tahun lebih berisiko melahirkan bayi BBLR daripada wanita yang melahirkan di usia lebih dari 25 tahun. Sedangkan pada penelitian Syarifuddin, dkk. 2011, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata berat badan lahir bayi antara ibu yang berada pada kelompok umur 20 tahun dan atau 35 tahun dengan kelompok ibu yang berumur antara 20-34 tahun. Akan tetapi, berdasarkan penelitian Viengsakhone, dkk. 2010 diketahui bahwa usia ibu melahirkan 18 tahun berisiko 8 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR. Usia ibu melahirkan yang kurang dari 20 tahun dilaporkan turut mempengaruhi terjadinya BBLR Badshah, dkk., 2008; Ganesh Kumar, dkk., 2010. Usia muda untuk menjadi seorang ibu seringkali membuat para ibu muda tersebut kekurangan pengetahuan, pendidikan, pengalaman, pendapatan dan kekuatan dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Pada beberapa budaya di masyarakat, menjadi ibu di usia yang muda harus menanggung efek dari sikap menghakimi dan seringkali membuat situasi yang sudah sulit menjadi lebih buruk WHO, 2015a. Namun, berdasarkan penelitian Frederick, dkk. 2008 diketahui bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu melahirkan dengan berat bayi saat dilahirkan. Sedangkan penelitian Borders, dkk. 2007 menunjukkan bahwa semkin tua usia ibu melahirkan, maka risiko melahirkan bayi BBLR semakin tinggi. Usia ibu melahirkan yang terlalu tua juga dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan ibu maupun anak. Berdasarkan penelitian Tabcharoen, dkk. 2009 d iketahui bahwa usia ibu melahirkan ≥ 40 tahun merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian BBLR. Namun, hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Shaikh, dkk. 2012 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu melahirkan ≥ 40 tahun dengan kejadiaan BBLR. Umumnya kehamilan pada wanita usia lanjut dapat disebakan oleh perubahan gaya hidup, karena banyak wanita lebih memfokuskan diri untuk melanjutkan pendidikan dan meniti karir, sehingga menunda pernikahan maupun memiliki anak Tabcharoen, dkk., 2009 .

3. Pendidikan Ibu

Berdasarkan penelitian Syarifuddin, dkk. 2011 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata berat lahir bayi antara ibu yang berpendidikan rendah dengan ibu yang berpendidikan tinggi. Selain itu penelitian Khatun dan Rahman 2008 juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian BBLR. Tingkat pendidikan seringkali dihubungkan dengan tingkat sosial ekonomi dalam konteks kesehatan, di mana tingkat pendidikan yang rendah dapat membatasi sesorang untuk mendapatkan pekerjaan Abu-Saad dan Fraser, 2010. Namun, hasil tersebut berbeda dengan penelitian Torres-Arreola, dkk. 2005 di mana tingkat pendidikan ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian BBLR. Selain itu, penelitian Frederick, dkk. 2008 menemukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan berat bayi yang dilahirkan, di mana hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Khanal, dkk. 2014.

4. Kunjungan Antenatal Care ANC

Antenatal care adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan professional kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal care seperti ditetapkan dalam buku pedoman pelayanan antenatal. Standar pelayanan yang harus diberikan tenaga kesehatan pada antenatal care terdiri dari Kementerian Kesehatan RI, 2010b: a. Timbang berat badan Penimbangan berat badan dilakukan setiap kali kunjungan antenatal untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang kurang dari 9 kilogram selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap bulannya menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin. b. Ukur lingkar lengan atas LiLA Pengukuran LiLA hanya dilakukan pada kontak pertama untuk skrining ibu hamil berisiko kurang energi kronis KEK. Kurang energi kronis disini maksudnya ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama beberapa bulantahun di mana LiLA kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK dapat melahirkan bayi berat badan lahir rendah BBLR. c. Ukur tekanan darah Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertensi tekanan darah ≥ 14090 mmHg pada kehamilan dan pre-eklampsia. d. Ukur tinggi fundus uteri Pengukuran tinggi fundus pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur kehamilan. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur setelah kehamilan 24 minggu. e. Hitung denyut jantung janin DJJ Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. DJJ yang lambat kurang dari 120menit atau DJJ yang cepat lebih dari 160menit menunjukkan adanya gawat janin. f. Tentukan presentasi janin Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II dan selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui letak janin. Jika, pada trimester III bagian bawah janin bukan kepala, atau kepala janin belum masuk ke panggul berarti ada kelainan letak, panggul sempit atau ada masalah lain. g. Beri imunisasi Tetanus Toksoid TT Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum, ibu hamil harus mendapat imunisasi TT. Pada saat kontak pertama, ibu hamil di skrining status imunisasi TT-nya. Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil disesuai dengan status imunisasi ibu. h. Beri tablet tambah darah tablet besi Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hamil harus mendapat tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan diberikan sejak kontak pertama. i. Periksa laboratorium rutin dan khusus Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat antenatal, meliputi pemeriksaan golongan darah, pemeriksaan kadar hemoglobin darah Hb, pemeriksaan protein dalam urin, pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan darah Malaria, pemeriksaan tes Sifilis, pemeriksaan HIV, pemeriksaan BTA j. Tatalaksanapenanganan Kasus Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal dan hasil pemeriksaan laboratorium, setiap kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus ditangani sesuai dengan standar dan kewenangan tenaga kesehatan. Kasus-kasus yang tidak dapat ditangani akan dirujuk sesuai dengan sistem rujukan. k. KIE efektif KIE efektif dilakukan pada setiap kunjungan antenatal yang meliputi kesehatan ibu, perilaku hidup bersih dan sehat, peran suamikeluarga dalam kehamilan dan perencanaan persalinan, tanda bahaya pada kehamilan, persalinan dan nifas, asupan gizi seimbang, gejala penyakit menular dan tidak menular, penawaran untuk melakukan konseling dan testing HIV di daerah tertentu risiko tinggi, Inisiasi Menyusu Dini IMD dan pemberian ASI ekslusif, KB paska persalinan, dan imunisasi. Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama masa kehamilan, dengan distribusi yang dianjurkan: a. Minimal 1 kali pada trimester pertama kehamilan hingga 12 minggu b. Minimal 1 kali pada trimester kedua 12 – 24 minggu c. Minimal 2 kali pada trimester ketiga setelah 24 – 36 minggu Kunjungan antenatal bisa lebih dari 4 kali sesuai dengan kebutuhan dan jika ada keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan, di mana kunjungan tersebut termasuk dalam K4. Pelaksanaan kegiatan ANC memiliki peran penting untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, karena kunjungan ANC merupakan salah satu sumber utama ibu mendapatkan tablet Fe dan edukasi mengenai kebutuhan nutrisi yang penting selama masa kehamilan Balarajan, dkk., 2013. Penelitian di Brazil diketahui bahwa jumlah kunjungan antenatal berhubungan dengan kejadian BBLR 95 CI 1.32-2.34 setelah dikontrol dengan usia kehamilan Fonseca, dkk., 2014. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian lainnya, di mana ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal, bahkan jumlah kunjungan yang kurang, dapat meningkatkan risiko ibu melahirkan bayi BBLR Dharmalingam, 2010. Adapun menurut penelitian case control yang dilakukan Syarifuddin, dkk. 2011 diketahui bahwa secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara ANC dengan kejadian BBLR p value = 0,014. Selain itu, penelitian Khanal, dkk. 2014 menemukan bahwa kunjungan antenatal memiliki hubungan dengan kejadian BBLR berdasarkan data survei kesehatan Nepal Tahun 2006 dan 2011. Ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal berisiko dua kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR. Namun, penelitian Jammeh, dkk. 2011 dan Torres-Arreola, dkk. 2005 menunjukkan tidak adanya hubungan antara kunjungan antenatal dengan terjadinya BBLR. Hal tersebut dapat dikarenakan mayoritas ibu yang memiliki bayi BBLR maupun berat lahir normal, keduanya melakukan kunjungan antenatal.

5. Status Kurang Energi Kronis KEK Ibu

Memahami hubungan antara nutrisi maternal dengan dampak kelahiran mungkin dapat dijadikan sebagai dasar dalam perkembangan jenis intervensi terhadap pemenuhan kebutuhan zat gizi maternal, di mana kebutuhan gizi tersebut dapat meningkatkan bayi sehat yang dilahirkan dan menurunkan angka kematian, kesakitan maupun biaya pelayanan kesehatan Abu-Saad dan Fraser, 2010. Kondisi asupan nutrisi saat kehamilan yang buruk merupakan salah satu faktor risiko melahirkan bayi berat badan lahir rendah Martin, dkk., 2013. Adapun hal yang mempengaruhi kondisi bayi lahir pada ibu yang kurang nutrisi adalah status sosial ekonomi, di mana tingkat sosial ekonomi yang berbeda turut memberi pengaruh terhadap konsumsi makanan maupun nutrisi sehari-hari ibu Han, dkk., 2011; Abu-Saad dan Fraser, 2010; Behrman, dkk., 2000. Salah satu indikator untuk mengetahui status gizi ibu adalah melalui ukuran lingkar lengan atas LiLA ≤ 23,5 cm, di mana hal tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keadaan kekurangan energi dalam waktu lama kronis pada wanita usia subur WUS dan ibu hamil Kementerian Kesehatan RI, 2010a. Berdasarkan penelitian Syarifuddin, dkk. 2011 diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Kurang Energi Kronis KEK terhadap kejadian BBLR, di mana ibu hamil yang menderita KEK berisiko empat kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK. Hal tersebut pun sejalan dengan hasil penelitian Nasreen, dkk. 2010 yang menyatakan ada hubungan antara malnutrisi pada ibu hamil dengan kejadian BBLR, di mana pada penelitian tersebut status malnutrisi ibu di ukur berdasarkan LiLA 22cm. Namun, penelitian Badshah, dkk. 2008 menunjukkan bahwa status gizi ibu yang diukur berdasarkan indeks massa tubuh IMT tidak behubungan dengan kejadian BBLR.

6. Usia Gestasi Usia Kehamilan

Usia gestasi usia kehamilan adalah istilah umum yang digunakan selama masa kehamilan untuk menggambarkan seberapa jauh perkembangan kehamilan tersebut dan diukur dalam satuan minggu, sejak hari pertama siklus menstrual wanita hingga waktu tertentu National Institute of Health, 2013. Pada masa gestasi ini dibutuhkan nutrisi yang cukup memenuhi kebutuhan nutrisi bagi perkembangan janin yang sempurna Abu-Saad dan Fraser, 2010. Adapun klasifikasi bayi berdasarkan usia gestasi adalah sebagai berikut Hatfield, 2014: a Preterm infant atau bayi prematur, yaitu bayi yang lahir pada usia tidak mencapai 37 minggu. b Term infant atau bayi cukup bulan matureaterm, yaitu bayi yang dilahirkan pada umur kehamilan antara 37-42 minggu. c Post term infant atau bayi lebih bulan postermpostmature, yaitu bayi yang lahir pada usia kehamilan sesudah 42 minggu. Berdasarkan penelitian Yuliva, dkk. 2009 di RSUP DR. M. Djamil Padang diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia kehamilan dengan berat lahir bayi p value=0.038 dan hal tersebut menunjukan hubungan yang kurang kuat r=0.113 serta berpola positif. Artinya semakin tua umur kehamilan, maka semakin berat bayi yang dilahirkan dan sebaliknya, apabila semakin muda umur kehamilan berpotensi menyebabkan kurang sempurna pertumbuhan dan perkembangan dari organ-organ tubuh janin didalam kandungan yang berakibat berat bayi yang dilahirkan akan berkurang. Selain itu, usia kehamilan 36 minggu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap BBLR Mumbare, dkk., 2012. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut berlawanan dengan hasil penelitian Jammeh, dkk. 2011, di mana bayi yang dilahirkan pada usia 37 minggu tidak berhubungan dengan kejadian BBLR.

7. Konsumsi Tablet Besi Fe

Kebutuhan terhadap zat besi akan terus meningkat seiring dengan perkembangan kehamilan. Oleh karena itu dibutuhkan asupan zat besi tambahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yakni dengan mengonsumsi tablet Fe selama masa kehamilan. Berdasarkan penelitian Khanal, dkk. 2014 dengan membandingkan peran antenatal care dan pemberian tablet Fe dalam mencegah BBLR di Nepal melalui survei tahun 2006 dan 2011, diketahui bahwa konsumsi tablet Fe memiliki hubungan yang positif terhadap kejadian BBLR. Ibu yang tidak mengonsumsi tablet Fe selama masa kehamilan berisiko dua kali lebih besar untuk melahirkan bayi berat badan rendah daripada ibu yang rutin mengonsumsi tablet Fe. Absorpsi besi yang berasal dari makanan berkisar antara 10-15 bergantung pada sumber zat besinya. Zat besi hem yang berasal dari makanan hewani lebih banyak dan dapat langsung diabsorpsi karena berbentuk ferro daripada zat besi non heme yang berbentuk ferri dari makanan nabati Utama, dkk., 2013. Konsumsi sayur, terutama sayuran hijau akan memberikan konstribusi zat besi non hem yang juga berperan dalam peningkatan kadar Hb. Absorpsi zat besi non hem dapat ditingkatkan apabila terdapat kadar vitamin C yang cukup, di mana vitamin C dapat merubah bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diserap tubuh Robbins, 2007; Utama, dkk., 2013. Oleh karena itu, seringkali dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber vitamin C tiap kali mengonsumsi tablet besi. Sumber vitamin C yang baik adalah buah, tomat, paprika hijau dan merah, brokoli, kembang kol, bayam, dan stroberi Francis-Cheung, 2008. Namun, perlu terdapat beberapa zat dalam makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, diantaranya adalah tannin dalam the, fitat, oksalat dalam sayuran hijau, serta polifenol dalam kedelai dan serat makanan.zat besi dengan senyawwa tersebut, akan membentuk senyawa kompleks yang sulit untuk diserap usus Anwar dan Khomsan, 2009. Adapun risiko defisiensi zat besi akan semakin besar selama masa kehamilan, terutama pada wanita dengan tingkat sosial ekonomi rendah Abu-Saad dan Fraser, 2010. Namun, berdasarkan penelitian Torres- Arreola, dkk. 2005 di Mexico menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi tablet besi dengan berat bayi lahir, di mana hal tersebut dapat disebabkan tidak adanya perbedaan proporsi bayi BBLR maupun tidak BBLR pada ibu yang mengonsumsi tablet Fe saat hamil. Kurangnya asupan zat besi selama masa kehamilan dapat menyebabkan terjadinya anemia saat hamil yang berpengaruh secara signifikan terhadap usia kehamilan yang lebih cepat dan meningkatkan kejadian bayi lahir prematur, namun dampak buruk tersebut dapat dicegah melalui konsumsi tablet Fe pada masa kehamilan Bánhidy, dkk., 2011. Adapun berdasarkan hasil penelitian Balarajan, dkk., 2013 melalui analisis multivariat diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara konsumsi tablet Fe dengan kejadian BBLR setelah mengontrol faktor sosioekonomi maupun kunjungan antenatal. Pada penelitian tersebut, lebih dari setengah wanita hamil yang menjadi sampel mengalami anemia, di mana konanggaran

8. Sosial Ekonomi Ibu

Rata-rata berat lahir bayi pada ibu dengan status sosial ekonomi tinggi lebih berat dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi pada ibu dengan status sosial ekonomi rendah, tetapi berdasarkan hasil uji statistik diketahui tidak ada perbedaan rata-rata berat lahir bayi pada ibu dengan status sosial ekonomi rendah dan ibu dengan status sosial ekonomi tinggi Yuliva, dkk., 2009. Hal tersebut dapat disebabkan kondisi sosial ekonomi yang tinggi memungkinkan ibu untuk menerima pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan standar yang digunakan pada negara-negara berpendapatan tinggi. Hasil penelitian tesebut berbeda dengan penelitian di Mexico yang menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor risiko utama terhadap terjadi BBLR, di mana kondisi sosial ekonomi yang rendah berisiko 2,68 lebih besar terhadap kejadian BBLR Torres-Arreola, dkk., 2005. Sosial ekonomi merupakan salah satu ukuran untuk menggarambarkan tingkat perbedaan sosial, yang meliputi pendapatan, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Tingkat sosial ekonomi yang rendah tidak dapat langsung mempengaruhi perkembangan janin, melainkan sebagai suatu perantara pada faktor risiko lainnya yang dapat meningkatkan risiko buruk pada saat janin lahir, seperti nutrisi ibu, aktivitas fisik ibu, akses yang kurang terhadap kualitas prenatal care, dan psikososial ibu Abu-Saad dan Fraser, 2010.

9. Merokok pada Masa Kehamilan

Banyak dampak buruk dari merokok yang sangat mungkin terjadi pada perkembangan janin. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa anak- anak dilahirkan dari ibu yang merokok selama masa kehamilan memiliki berat lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok selama masa kehamilan Beyerlein, dkk., 2011. Studi menunjukkan bahwa konsentrasi plasma yang lebih rendah dari vitamin asam folat dan B12 dan oksida nitrat dari ibu yang merokok dapat menyebabkan peningkatan homosistenin plasma darah hiperhomosisteinemia pada ibu hamil, yang merupakan faktor risiko dari hipertensi kehamilan, abrusi plasenta, dan pertumbuhan intrauterine restriksi Centers for Disease Control and Prevention, dkk., 2010. Hipertensi pada ibu hamil dapat menyebabkan BBLR karena memberi pengaruh pada aliran darah di plasenta yang menyebabkan terbatasnya suplay nutrisi pada janin Viswanatha, dkk., 2014. Terdapat bukti konsisten yang menghubungkan antara ibu merokok dengan gangguan dalam transformasi fisiologis arteri spiral dan penebalan membran vili yang membentuk plasenta, di mana masalah pada plasenta dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur, maupun berat lahir rendah Centers for Disease Control and Prevention, dkk., 2010. Namun, penelitian Frederick, dkk. 2008 menyatakan bahwa merokok selama masa kehamilan tidak berpengaruh terhadap berat bayi yang akan dilahirkan. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Khanal, dkk. 2014 yang menunjukkan bahwa merokok tidak berhubungan dengan kejadian BBLR, hal tersebut dapat dikarenakan hanya sebagian kecil saja ibu hamil yang dilaporkan merokok pada saat survei dilakukan 2.4. Berdasarkan penelitian Holloway, dkk. 2014 Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki pengaruh secara langsung dan berbahaya terhadap beberapa proses dalam perkembangan plasenta. Susunan tali pusar pada wanita hamil yang merokok mengalami perubahan, di mana Nikotin yang ada dalam rokok bekerja cepat menyempitkan pembuluh darah, termasuk pembuluh darah di dalam tali pusat, sehingga oksigen harus bersaing ketat dengan molekul karbon monoksida yang juga dibawa oleh sel darah. Kurangnya asupan oksigen dan nutrisi inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi serius terhadap janin. Ibu yang merokok dapat menyebabkan penurunan berat lahir bayi maupun terganggunya perkembangan janin karena hipoksia, di mana hal tersebut dapat terjadi karena paparan karbon monoksida Centers for Disease Control and Prevention, dkk., 2010.

10. Paritas

Paritas adalah banyaknya jumlah anak yang pernah dilahirkan BKKBN, 2011. Paritas seorang wanita dapat mempengaruhi bentuk dan ukuran uterus Cunningham, dkk., 2005. Adapun kondisi uterus tersebut dapat mempengaruhi kemampuan janin selama masa kehamilan, di mana dampak buruk dari hal dapat terjadi pada kondisi bayi yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan ibu dapat dikelompokkan menjadi, sebagai berikut Manuaba, dkk., 2007: 1. Primipara, adalah perempuan yang pernah melahirkan 1 kali 2. Multipara, perempuan yang pernah melahirkan beberapa kali 3. Grandemultipara, perempuan yang pernah melahirkan ≥ 5 kali Banyaknya anak yang dilahirkan akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu maupun anak, di mana risiko BBLR, kematian ibu maupun anak akan meningkat apabila jarak melahiran terlalu dekat. Hal tersebut dikarenakan fisik ibu dan rahim yang masih kurang cukup istirahat karena Ibu yang sering hamil, terutama dengan jarak yang pendek akan menyebabkan ibu terlalu lelah akibat dari hamil, melahirkan, menyusui, merawat anaknya terus menerus Juaria, 2014. Selain itu, pada ibu yang paritas tinggi dapat menyebabkan tempat implantasi plasenta pada dinding rahim tidak sempurna lagi, sehingga pertumbuhan plasenta dan janin akan terganggu Hapisah, dkk., 2010. Namun, berdasarkan penelitian Yuliva, dkk., 2009 diketahui bahwa paritas tidak memiliki hubungan dengan kejadian BBLR. Selain itu, penelitian Jammeh, dkk. 2011 menunjukkan bahwa ibu yang pernah melahirkan satu kali memiliki risiko terhadap kejadian BBLR maupun kelahiran prematur. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Khatun dan Rahman 2008 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara primipara dan grandemultipara terhadap kejadian BBLR. Akan tetapi, penelitian Pramono dan Putro 2009 menunjukkan hal yang sebaliknya, di mana ibu yang diperkirakan mempunyai paritas aman untuk tidak terjadi BBLR mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan ibu yang mempunyai paritas pertama atau ke empat ke atas.

11. Riwayat Ibu Melahirkan Berat Badan Lahir Rendah BBLR

Kelahiran preterm dan BBLR cenderung berulang dalam keluarga, di mana kelompok ibu dengan riwayat BBLR 3,4 kali lebih berisiko melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki yang tidak memiliki riwayat BBLR Hapisah, dkk., 2010. Selain itu, berdasarkan penelitian Darmayanti, dkk. 2010 diketahui bahwa ibu dengan riwayat BBLR merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan kelahiran BBLR. Selain itu, ibu yang memiliki riwayat melahirkan BBLR 3,3 kali lebih berisiko melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat melahirkan BBLR Metgud, dkk., 2012.

F. Kerangka Teori