Secara garis besar panjang malai galur mutan lebih pendek dibandingkan dengan kontrolnya kecuali varietas Selayar. Panjang malai umumnya berkorelasi
dengan hasil panen. Semakin panjang malai maka semakin banyak jumlah spikelet yang akan terbentuk. Banyaknya spikelet memungkinkan biji yang dihasilkan pun
akan lebih banyak. Namun demikian, panjang malai tidak menjamin hasil panen
yang tinggi. Varietas Dewata memiliki malai yang terpanjang, akan tetapi hasil pengamatan menunjukan bahwa jumlah biji per malai yang dihasilkan varietas
Dewata lebih sedikit dibandingkan galur mutan CBD 17 dan CBD 23 yang memiliki panjang malai yang lebih pendek. Kondisi ini semakin menguatkan
dugaan bahwa hanya genotipe gandum yang dapat beradaptasi baik pada daerah dataran rendah tropis yang dapat menghasilkan panen biji yang tinggi.
4.3.2. Jumlah biji per malai
Berdasarkan hasil uji Duncan, jumlah biji per malai antar perlakuan tidak berbeda nyata Tabel 3. Jumlah rata-rata biji per malai terbanyak adalah galur
mutan CBD 17 melebihi tiga varietas kontrol dan yang terendah adalah galur mutan CBD 24. Tingginya jumlah biji per malai galur mutan CBD 17 disebabkan
karena galur ini memiliki malai yang tidak terlalu panjang dan jumlah spikelet yang banyak, sehingga spikelet tersusun lebih rapat. Keadaan ini memungkinkan
spikelet yang ada pada bagian tengah malai terlindungi dari hempasan air hujan, sehingga proses pembentukan biji pada spikelet tidak terlalu terganggu.
Pernyataan ini sesuai dengan yang diungkapkan Pringgohandoko dan Suryawati 2006, posisi spikelet dalam bulir yang rapat membuat susunan spikelet dibagian
tengah terlindungi dari hempasan air hujan secara langsung. Semua genotipe menunjukan penurunan jumlah biji per malai yang tinggi. Ini disebabkan karena
banyak sekali biji yang hampa. Rata-rata persentase biji hampa pada semua galur mutan tidak berbeda nyata dengan varietas kontrol Tabel 4. Namun demikian
persentase jumlah biji hampa pada masing-masing genotipe gandum berbeda- beda. Banyaknya biji hampa lebih dari 50 hampir terjadi pada semua genotipe
gandum. Galur mutan CBD 24 adalah galur dengan nilai rata-rata biji hampa tertinggi dan yang terendah adalah varietas Nias.
Galur mutan CBD 17 merupakan galur mutan yang memiliki jumlah biji per malai tertinggi, namun keadaan ini masih belum munujukan hasil yang
semestinya. Potensi yang dimiliki galur mutan ini belum maksimal karena persentase biji yang terbentuk pada galur mutan ini hanya mencapai 48,43,
51,57 sisanya hampa. Ini tentu masih jauh dari harapan. Seandainya persentase biji yang terbentuk mencapai 80-90 maka kemungkinan hasil panennya pun
akan semakin tinggi lagi, begitu pula dengan galur mutan lainnya. Oleh karenanya perlu penanganan dan pengelolaan yang lebih intensip lagi agar didapat hasil yang
lebih maksimal. Beberapa faktor lingkungan yang dapat mengakibatkan biji hampa diantaranya adalah suhu vernalisasi, curah hujan dan kelembaban.
Data lapangan menunjukan rata-rata suhu terendah minimum selama masa
pertumbuhan dan perkembangan gandum April-Juli sekitar 23,23°C. Ini
menunjukan bahwa ada kemungkinan gandum tidak mengalami vernalisasi. Suhu
yang dibutuhkan gandum untuk berbunga sekitar 11-13°C OECD, 1999 dalam
Biology of Triticum aestivum L. em Thell. Bread Wheat, 2008. Banyaknya biji
yang hampa kemungkinan disebabkan karena tidak adanya vernalisasi pada saat memasuki fase pembungaan. Vernalisai merupakan periode dingin suhu rendah
yang menstimulasi terjadinya proses pembungaan. Tidak adanya vernalisasi dapat mempengaruhi proses pembungaan yang berakibat pada terganggunya
pembentukan biji. Akibatnya banyak sekali biji yang hampa. Banyaknya biji yang hampa akan mempengaruhi hasil panen, yang berupa penurunan hasil panen.
Menurut Oldeman dalam Kartasapoetra 2005, curah hujan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: curah hujan 200 mm tinggi bulan basah, 100-
200 mm sedang bulan lembab, dan 100 mm termasuk rendah bulan kering. Berdasarkan klasifikasi oldeman di atas bulan Juni dan Juli termasuk bulan basah
curah hujan tinggi. Faktor lain yang dapat menyebabkan biji hampa adalah serangan mikroorganisme jamur. Curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan
kelembaban udara yang cukup tinggi pada bulan Juni dan Juli, sehingga terjadi serangan jamur pada malai gandum. Pada saat itu seluruh genotipe gandum
sedang mengalami pembungaan dan pengisian biji. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi tanaman gandum, karena udara yang lembab disertai udara
yang panas pada saat fase reproduktif sangat menurunkan hasil panen Wilson, 1955 dalam Wiyono, 1980. Kelembaban udara memiliki pengaruh terhadap
serangan penyakit karat Puccinia spp, Helminthosporum, Fusarium, Septoria, dan sebagainya Wiyono, 1980. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan
bahwa malai yang terserang jamur dikelilingi oleh hifa Gambar 7c, terdapat bintik-bintik hitam pada spikelet dan biji yang terbentuk menjadi busuk.
a b
c Gambar 7. a. Malai normal b. Malai yang terserang burung
c. Malai yang terserang jamur.
Selain dari banyaknya biji yang hampa akibat tidak adanya vernalisasi dan serangan jamur, tingginya curah hujan pada saat pembungaan bulan Juni pun
dapat mempengaruhi pembentukan biji. Umumnya serbuk sari tidak dapat tahan hidup jika hujan lebat Amilla, 2009. Kondisi ini menyebabkan proses
pernyerbukan menjadi kurang baik. Sebagai akibatnya proses pembentukan biji tidak akan berjalan dengan optimal terganggu. Wiyono 1980 mengungkapkan
bahwa tingginya curah hujan akan menyebabkan kegagalan pensarian sehingga mempertinggi kehampaan sterilitas. Pringgohandoko dan Suryawati 2006
menyatakan, hujan yang deras menyebabkan cairan pekat yang ada pada kepala putik yang berfungsi untuk menahan tepung sari yang jatuh ke kepala putik
menjadi sangat cair, sehingga tepung sari akan tersebar di luar kepala putik, yang mengakibatkan penyerbukan menjadi terganggu.
4.3.3. Jumlah spikelet