Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Study Kasus Reg. No.3142Pid B2006PN.SBY, No. 256Pid2007PT.SBY, No.
455KPID,SUS2007, 2008. USU Repository © 2009
pengawasan tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan wewenang untuk itu, dapat merugikan kesehatan individu pengguna, yang pada akhirnya dapat
menurunkan derajat kesehatan masyarakat. Sebelum kelahiran UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak ada
ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika. Pada waktu itu utusan-putusan badan pradilan terhadap kasus-kasus psikotropika
ekstasi berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan dianggap kurang kuat, sebagai dasar hukum dari sisi hukum pidana.
37
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak dapat dilepaskan dari adanya konvensi Psikotropika 1971 yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 dan Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang
Pengesahan United Nations Convention Agains Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotripic Subsstances.
38
Pada tanggal 7 Nopember 1996, Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan Konvensi Internasional 1971 melalui Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1996,ini membuktikan secara otomatis Indonesia menjadi pihak pada
1. Konvensi Psikotropika Substansi Tahun 1971
37
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Cv. Mandar Maju, 2003, Hlm. 123.
38
Dani krisnawati, Et al, Op. Cit Hal. 177
Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Study Kasus Reg. No.3142Pid B2006PN.SBY, No. 256Pid2007PT.SBY, No.
455KPID,SUS2007, 2008. USU Repository © 2009
konvensi, yang memberikan landasan hukum yang kukuh dalam rangka mencegah dan menaggulangi penyalahgunaan serta memerangi peredaran gelap psikotropika
dalam tatanan kerjasama internasional. Dengan demikian Indonesia dapat lebih menkonsolidasikan upaya mencegah, dan melindungi kepentingan masyarakat
terutama generasi muda terhadap akibat buruknya psikotropika. Konvensi ini merupakan suatu perangkat hukum internasional, sebagai
resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No.1474, 24 Maret 1970, yang diselenggarakan di Wina, Australia. Konvensi tersebut mulai berlaku sejak 16
Agustus 1976, dan sampai Desember 1995 tercatat 140 negara menjadi pihak dengan menandatangani konvensi, tetapi pada saat itu Indonesia belum ikut
menandatanggani konvensi tersebut. Pengaturan itu mendorong terciptanya suatu sistem untuk mengawasi
setiap kegiatan, yang berhubungan dengan psikotropika secara internasional, yang didasarkan pada kepentingan kelangsungan untuk mempertahankan hidup dan
kehidupan umat manusia dalam bermasyarakat dan benegara secara wajar. Konvensi mengatur kerjasama internasional dalam pengadilan dan
pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan serta pencengahan, pemberantasan terhadap penyalahgunaan psikotropika dengan membatasi
penggunaannya hanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Permasalahan penyalahgunaan psikotropika berdasarkan mukadimah
konvensi psikotropika ialah akan memberikan dampak kepada masalah kesehatan dan kesejahteraan umat manusia serta permasalahan social lainnya. Dengan
semakin pesatnya kemajuan dalam bidang transportasi dan sejalan dengan
Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Study Kasus Reg. No.3142Pid B2006PN.SBY, No. 256Pid2007PT.SBY, No.
455KPID,SUS2007, 2008. USU Repository © 2009
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika menunjukan gejala yang semakin meluas dan berdimensi
internasional yang melewati batas teritorial masing-masing Negara sehingga diperlukan peningkatan kerja sama internasional yang berdampak pada aspek
hukum internasional. Convention on Psychotropic Substances 1971 dalam konteks hukum
internasional secara substansial telah mengatur beberapa hal, yakni: a
Merupakan perangkat hukum internasional yang menatur kerjasama internasional tentang pengunaan dan peredaran psikotropika.
b Lebih menjamin kemungkinan penyelengaraan kerjasama dengan
negara-negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan usaha-usaha penanggulangan atas penyalahgunaan psikotropika.
c Dari aspek kepentingan negara, Indonesia dapat lebih
menonsolidasikan upaya pencegahan dan perlindunagan kepeningan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk
yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika.
d Disamping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar
tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri.
e Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana
penyalahgunaan psikotropika akan lebih dapat dimantapkan.
39
Convention on Psychotropic Substances 1971, mengandung pokok-pokok pikiran yang didorong dari semua Negara dan dianggap sebagai hukum kebiasaan
internasional sebagai berikut: a
Perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat manusia, tekad untuk mencegah dan memerangi penyalahgunaan dan peredaran
psikotropika.
b Perimbangan bahwa tindakan yang tepat diperlukan untuk membatasi
pengunaan psikotropika hanya untuk pengobatan danatau tujuan ilmu pengetahuan.
c Pengakuan bahwa pengunaan psikotropika untuk pengobatan danatau
39
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, Hal.53
Meyranda Lista Purba : Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Produsen Psikotropika Menurut UU No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Study Kasus Reg. No.3142Pid B2006PN.SBY, No. 256Pid2007PT.SBY, No.
455KPID,SUS2007, 2008. USU Repository © 2009
tujuan ilmu pengetahuan sangat diperlukan sehingga ketersediannya perlu terjamin.
d Keyakianan bahwa tindakan efektif untuk memerangi penyalahgunaan
psikotropika tersebut memerlukan koordinasi dan tindakan universal. e
Pengakuan adanya kewenangan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam melakukan pengawasan psikotropika dan keinginan bahwa Badan
Internasional yang melakukan pengawasan tersebut berada dalam kerangka organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
f Pengakuan bahwa diperlukan konvensi internasional untuk mencapai
tujuan ini.
40
Inilah yang menjadi pokok-pokok pikiran yang disepakati bersama oleh beberapa negara di dunia sehingga konvensi tersebut dapat disahkan.
Kedudukan Indonesia sebagai Negara bukan penandatanganan konvensi, sesuai dengan Pasal 25 dan 26 Convention on Psychotropic Substances 1971,
tetapi agar dapat berperan dalam penangulangan pskotropika maka cara yang ditempuh untuk menjadi pihak pada konvensi adalah menyampaikan piagam
aksesi. Apabila Indonesia telah menyampaikan piagam aksesi, konvensi ini akan
mulai berlaku bagi Indonesia secara internasional setelah 90 hari, terhitung sejak tanggal diterimanya piagam aksesi oleh seketaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Aspek kepentingan nasiona yang hendak dicapai Republik Indonesia adalah untuk mempelancar kerjasama internasional di bidang penanggulangan
bahaya peredaran gelap dan penyalahgunaan psikotropika dengan Negara-negara anggota ASEAN lainnya yang telah terlebih dahulu meratifikai konvensi ini.
2. Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan