25
dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut membawa hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Proses ini
berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan dampak sesuai dengan
yang diharapkan sejak awal.
1.5.2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy maker, bukan menjadi jaminan bahwa kebijakan tersebut akan berhasil untuk
diimplementasikan. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompokinstitusi.
Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy maker untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan
dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor
unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel yang individual maupun
organisasional dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.
1. Model George C. Edward III
16
Edward memberikan empat variabel yang menunjukkan peran penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi, yaitu sebagai berikut:
1. Komunikasi
Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut
16
Dwiyanto Indiahono. Op. Cit., hal. 31
Universitas Sumatera Utara
26
Edwards, prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja
komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu:
a. Transmisi
Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak
selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau
jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1 Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan
perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi
seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan
dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan
Universitas Sumatera Utara
27
sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.
b. Kejelasan.
Jika kebijakan-kebijakan diimpelentasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus
diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Namun demikian, ketidakjelasan pesan
komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam
melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan,
yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus
mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan
sifat pembuatan kebijakan pengadilan. c.
Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-
perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan
berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan. Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan
Universitas Sumatera Utara
28
implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah
pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan
perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan. 2.
Sumber-sumber Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas
dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun
cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang
penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan pelayanan publik.
a. Staf.
Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak
selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang
dapat digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efesien.
Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya sumber daya
Universitas Sumatera Utara
29
manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukap hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai, namun
harus disertai dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh
pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang mempunyai keterampilan- keterampilan pengelolaan. Seringkali mereka yang mempunyai latar
belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka seringkali tidak
mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat
minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu
pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka
panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal
ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan
mempertahankan administrator-administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja mereka yang rendah. Dalam
banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi pemerintah. Orang-orang
yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.
Universitas Sumatera Utara
30
b. Informasi
Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi
mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana- pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana
mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-
peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini
mentaati Undang-Undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan
mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1 Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi
atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2 Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain
atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak
diperlukan.
c. Wewenang.
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun
demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu
Universitas Sumatera Utara
31
kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di atas kertas, seringkali salah dimengerti
oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Wewenang di atas kertas atau
wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah hal lain. Dengan demikian,
bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut
Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial
merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan
beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan konsesi dari
mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom, sebab-
sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang
memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.
d. Fasilitas-fasilitas
Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang
memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin
Universitas Sumatera Utara
32
mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa
perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.
3. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan
yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan
kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-
perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus,
karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin
terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar- benar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan,
sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi
yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif,
maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
33
a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan
Menurut Edwards banyak kebijakan masuk dalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif
karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung
dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan- kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang
diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi,
yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan pencapaian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana kebijakan akan
menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi. Para pejabat dalam birokrasi
pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan penting dalam mengetahui pengaruh-pengaruh tertentu pada
kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka, bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan
swastanonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan
lainnya, yaitu: 1
Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model
rekruitmen staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka yang tertarik bekerja dalam badan-badan pemerintah mungkin
Universitas Sumatera Utara
34
mendukung kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu. Badan-badan ini lebih suka mempekerrjakan orang-orang yang
mempunyai pikiran yang sama sehingga mendorong timbulnya lingkungan yang secara relatif seragam dimana pembuatan
kebijakan dilakukan. 2
Berkembangnya pandangan-pandangan parokial Sifat parokial ini didukung oleh beberapa faktor, yakni: a terlalu
sedikitnya jumlah pembuat keputusan tingkat tinggi yang menghabiskan masa jabatannya dalan suatu badan atau
departemen. Karena orang ingin percaya apa yang mereka lakukan untuk hidupnya, maka hubungan-hubungan lama akan sangat
mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Suatu hasil dari pengelompokan ini adalah bahwa komunikasi-komunikasi
antarorganisasi terutama berlaku dikalangan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme
birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut. b pengaruhpengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan
Edwards, kita sering menemukan fakta bahwa apabila kelompok- kelompok kepentingan dan komite-komite dalan badan legislatif
mendukung satu badan, maka mereka akan mengharapkan imbalan dukungan birokrasi yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini
akan menciptakan suatu lingkungan yang baik bagi perkembangan parokialisme. Pandangan parokialisne ini mempunyai pengaruh
yang cukup kuat bagi implementasi kebijakan yang efektif.
Universitas Sumatera Utara
35
Beberapa pejabat diangkat dengan alasan-asalan politik dan dalam waktu yang singkat. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan
pandangan-pandangan unit birokrasi yang sempit. Ketergantungan pejabat-pejabat tersebut pada pejabat-pejabat bawahan karena
ingin mendapatkan informasi dan nasehat, kebutuhan untuk mempertahankan moral organisasi dengan mendukung pandangan-
pandangan yang ada, serta tekanantekanan dari para klien bercampur menjadi satu yang pada akhirnya mendorong pejabat-
pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik. b.
Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana akan cenderung melihat kepentingan organisasi mereka sebagai
prioritas yang tinggi. Hal ini lah yang menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara pembuat keputusan puncak dan
mendorong ketidakefektivan implementasi kebijakan.
c. Pengangkatan birokrat.
Kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatan- hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang
menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat tinggi, mengapa
mereka tidak diganti dengan orang yang lebih bertanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
36
kepada pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita dapat merujuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat
eksekutif oleh presiden. Dalam pengangkatan pejabat tinggi, presiden sering menemui hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan
bahwa pengangkatan pejabat-pejabat tinggi ini harus menunjukkan perimbangan geografis, ideologi, kesukuan, seks dan karakteristik-
karakteristik kependudukan yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabat-pejabat tinggi ini hanya beberapa
saja dari jumlah orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik
maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat. Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk
menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada pertimbangan –pertimbangan politik, seperti misalnya untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan
pendukung-pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landasan bagi administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengangkatan pejabat tinggi akan menghambat implementasi
kebijakan yang efektif. d.
Beberapa insentif Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan
yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan
Universitas Sumatera Utara
37
lancar. Menurut Edwards salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan
memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi
insentif-insentif oleh para pembuat kebijakan tingkat tinggi bisa kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana
kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi,
organisasi atau kebijakan substanstif. 4.
Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka
memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga dalam organisasi-organsiasi
swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan kadang kala satu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu.
Ripley dan Franklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi Amerika, mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni: 1 Birokrasi
dimana pun berada, dipilih sebagai instrumen sosial yang ditujukan untuk masalah-masalah yang didefinisikan sebagai urusan publik 2 Birokrasi
merupakan institusi yang didominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang
Universitas Sumatera Utara
38
tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap. 3 Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4 Fungsi birokrasi berada dalam
lingkungan yang luas dan kompleks. 5Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. 6 Birokrasi bukan merupakan
sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Otonomi yang
mereka miliki membuat mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan yang mereka
ambil. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diungkapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi
merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan. Pada dasarnya para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan
dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, namun dalam pelaksanaannya mereka masih dihambat oleh struktur-struktur
organisasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni:
a. Prosedur kerja Standart Operating Procedures = SOP
SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk
keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas
yang besar orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-
Universitas Sumatera Utara
39
peraturan. Kurangnya sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan semestinya membantu
dalam menjelaskan penggunaan SOP yang berulang-ulang. Para pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan
seksama dan secara individual setiap keadaan yang mereka hadapi. Sebaliknya mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur biasa yang
menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada. Sekali prosedur-
prosedur biasa ditetapkan, maka akan cenderung tetap berlaku. Hal ini menguntungkan para pelaksana kebijakan karena kondisi seperti in
ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas dan kurangnya konflik dan biaya yang tinggi dalam mengembangkan SOP, telah
mendorong pelestarian status quo. Namun demikian, prosedur- prosedur biasa yang dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan
untuk meyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang justru akan menghambat perubahan dalam kebijakan
karena prosedur- prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaan baru. Cara-cara yang lazim seringkali ditetapkan terhadap tanggung jawab-
tanggung jawab baru, tetapi cara ini mungkin menghalangi implementasi dengan membatasi fleksibilitas yang diperlukan untuk
menanggapi keadaan-keadaan baru, menghambat pengangkatan personil dengan kemampuan yang baik, dan tidak mendorong teknik-
teknik kerja yang tepat. Kadang-kadang organisasi bahkan menghindari tanggung jawab yang baru karena pemimpin-pemimpin
Universitas Sumatera Utara
40
mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang lazim ditetapkan. Di samping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran
dasar, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat implementasi. Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan
program-program atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas bagi tindakan pada program-program tertentu. Sementara pada sisi
yang lain, prioritas-prioritas untuk program-program biasa tidak sama besarnya dengan perhatian untuk program-program baru. Pemborosan
akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan
yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara
kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan
dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun demikian,
disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur pelaksanaan yang luwes dan
kontrol yang besar atas program yang luwes mungkin lebih dapat meyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi
tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini. b.
Fragmentasi Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam
pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
41
bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, sering pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut
dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Sifat multidimensi dari banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi.
Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat dengan alasan-
alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, didorong untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal penyebaran
wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan- kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini
diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada umumnya semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang
sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil.
1 Tidak ada orang yang akan mengahiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab
suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Di samping itu karena badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-
tugas yang penting mungkin akan terdampar antara retak-retak organisasi. 2 Pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan
mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan
Universitas Sumatera Utara
42
itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan
perubahan. Keempat variabel tersebut memiliki keterkaitan satu dengan yang lain
didalam mencapai tujuan dan sasaran programkebijakan. semuanya saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan sangat
mempengaruhi variabel yang lain. Hubungan keempat variabel tersebut digambarkkan sebagai berikut:
Gambar 1.1 Model Implementasi Edward III
2. Model Van Meter Van Horn