Analisis Peranan Kebijakan Moneter Dalam Menangani Dampak Variabel Shock External Di Indonesia

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PERANAN KEBIJAKAN MONETER DALAM MENANGANI DAMPAK VARIABEL SHOCK EXTERNAL DI INDONESIA

Oleh:

ADMIRON P.D SIBURIAN 100501089

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

i ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan kebijakan moneter dalam menangani dampak variabel shock external di Indonesia. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Model Vector Auto Regretion (VAR) untuk periode 2004-2014

Hasil analisis VAR secara keseluruhan menunjukkan bahwa : pertama, shock kurs dollar Amerika Serikat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kedua, shock suku bunga internasional berpengaruh terhadap BI Rate. Kebijakan moneter (BI Rate) berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia.

Kata kunci: Kurs Dollar AS, Suku Bunga Internasional The Fed, BI Rate, Model


(3)

ii ABSTRACT

This study aims to know the function of monetary policy to face the effect of external shock in Indonesia. The test is use the Vector Auto Regretion (VAR) for the periode 2004-2014.

The result of VAR are show that : first, US Dollar shock are affect to economic growth in Indonesia. Second, The Fed Rate are affect to BI Rate. BI Rate are affect to inflation in Indonesia.

Keywords : US Dollar, The Fed Rate, BI Rate, Vector Auto Regretion Model (VAR).


(4)

iii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan atas segala kebaikanNya sehingga karya tulis yang berbentuk skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Analisis Peranan Kebijakan Moneter Dalam Menangani Dampak Variabel Shock External Di Indonesia”. Penyusunan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Departemen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penelitian ini, telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan, yaitu kepada:

1. Teristimewa dan terkasih kepada kedua orang tua, Sadiman Siburian dan Sondang Sinaga serta adik-adik Haryono Siburian, Maschrist Siburian, Natalia Siburian dan Anisa Siburian yang telah memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan yang tak terbatas kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec., Ac., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E., M.Ec., dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si., selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.


(5)

iv

4. Bapak Irsyad Lubis, S.E., M.Soc.Sc., Ph.D., selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan dan Bapak Paidi Hidayat, S.E., M.Si., selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E., M.Ec., selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan petunjuk, pengarahan, dan bimbingan dari awal hingga selesainya skripsi ini serta Ibu Dra. Raina Linda Sari, M. Si dan Bapak Irsyad Lubis, S.E., M.Soc.Sc., Ph.D selaku dosen pembanding I dan pembanding II yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

6. Untuk seluruh staf pengajar, dan staf departemen ekonomi pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan yang disebabkan keterbatasan penulis dalam pengetahuan dan pengulasan skripsi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun sehingga skripsi ini dapat dijadikan acuan dalam penulisan karya-karya ilmiah selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca

Medan, April 2015 Penulis

NIM: 100501089 Admiron P D Siburian


(6)

v DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ……….. i

ABSTRACT ... ...……….….. ii

KATA PENGANTAR………... ... iii

DAFTAR ISI……….. ... v

DAFTAR TABEL ………. ... vii

DAFTAR GAMBAR ………... ... viii

DAFTAR LAMPIRAN . ……….. ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Moneter ... 8

2.1.1 Pengertian Kebijakan Moneter ... 8

2.1.2 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 9

2.2 Teori-Teori Perdagangan Internasional ... 11

2.3 Inflasi ... 13

2.4 Kurs ... 16

2.5 BI Rate ... 18

2.6 Suku Bunga Bank Sentral Amerika ... 18

2.7 Pertumbuhan Ekonomi ... 19

2.8 Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut Para Ahli ... 21

2.8.1 Teori Pertumbuhan Klasik ... 21

2.8.2 Teori Schumpeter ... 21

2.8.3 Teori Harrod-Domar ... 21

2.9 Penelitian Terdahulu ... 22

2.10Kerangka Konseptual ... 25

2.11 Hipotesis Penelitian ... 27

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data ... 28


(7)

vi

3.3 Model Penelitian ... 29

3.4 Metode Analisis Data ... 30

3.4.1 Model VAR ... 30

3.4.2 Ciri-Ciri VAR ... 31

3.4.3 Langkah-Langkah VAR ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Perkembangan Perekonomian Indonesia... 36

4.1.1 Perkembangan Perekonomian Indonesia Tahun 1999-2008 ... 36

4.1.2 Perkembangan Perekonomian Indonesia Tahun 2009-2014 ... 40

4.2 Analisis Hasil Penelitian ... 42

4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi ... 42

4.2.2 Penentuan Lag Optimal ... 43

4.2.3 Uji Kausalitas Granger ... 44

4.2.4 Hasil Estimasi VAR ... 49

4.2.5 Hasil IRF ... 51

4.2.6 Hasil Analisis Dekomposisi Varians ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(8)

vii DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman 2.1 Penelitian Terdahulu ... 24 3.1 Variabel dan Sumber Data ... 29 4.1 Hasil Uji Akar Unit Variabel ... 42 4.2 Hasil Penentuan Lag Optimal

Variabel ... 43 4.3 Hasil Uji Kausalitas Granger ... 44 4.4 Hasil Varians Decomposition BI Rate ... 60 4.5 Hasil Varians Decomposition

Kurs Dollar AS ... 62 4.6 Hasil Varians Decomposition


(9)

viii DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman 2.1 Kerangka Konseptual ... 26 4.1 Hasil Impulse Response Function ... 52


(10)

ix LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Data Penelitian ... 73

2 Hasil Uji Stastioneritas BI Rate (Tingkat Level) ... 72

3 Hasil Uji Stastioneritas BI Rate (1st Different) ... 73

4 Hasil Uji Stasioneritas Suku Bunga The Fed (Level) ... 74

5 Hasil Uji Stasioneritas Suku Bunga The Fed (1st Different) ……….. 75

6 Hasil Uji Stasioneritas Kurs Dollar AS (Level) ... 76

7 Hasil Uji Stasioneritas Kurs Dollar AS (1st Different) . 77 8 Hasil Uji Stasioneritas Inflasi ( Level) ... 78

9 Hasil Uji Stasioneritas Inflasi (1st Different) ... 79

10 Hasil Uji Stasioneritas Pertumbuhan Ekonomi (Level) ... 80

11 Hasil Uji Stasioneritas Pertumbuhan Ekonomi (1st Different)……… 81

12 Hasil Penentuan Lag Length ... 82

13 Hasil Uji Kausalitas ... 82

14 Hasil Estimasi VAR ... 83

15 Hasil IRF (Impulse Response Function) ... 84


(11)

i ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan kebijakan moneter dalam menangani dampak variabel shock external di Indonesia. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Model Vector Auto Regretion (VAR) untuk periode 2004-2014

Hasil analisis VAR secara keseluruhan menunjukkan bahwa : pertama, shock kurs dollar Amerika Serikat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kedua, shock suku bunga internasional berpengaruh terhadap BI Rate. Kebijakan moneter (BI Rate) berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia.

Kata kunci: Kurs Dollar AS, Suku Bunga Internasional The Fed, BI Rate, Model


(12)

ii ABSTRACT

This study aims to know the function of monetary policy to face the effect of external shock in Indonesia. The test is use the Vector Auto Regretion (VAR) for the periode 2004-2014.

The result of VAR are show that : first, US Dollar shock are affect to economic growth in Indonesia. Second, The Fed Rate are affect to BI Rate. BI Rate are affect to inflation in Indonesia.

Keywords : US Dollar, The Fed Rate, BI Rate, Vector Auto Regretion Model (VAR).


(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dan menganut sistem perekonomian terbuka. Dengan demikian Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ekonomi global. Hal ini membuat negara Indonesia terintegrasi dengan negara lainnya. Negara Indonesia membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan terhadap barang dan jasa. Pemenuhan kebutuhan terhadap barang dan jasa ini tidak bisa diperoleh dari negara itu sendiri. Pemenuhan kebutuhan ini tentu saja melalui pemanfaatan daya secara efisien dan berlangung dari waktu ke waktu.

Perekonomian terbuka (Sukirno, 2004) merupakan suatu negara yang mempunyai hubungan ekonomi dengan negara lain. Dalam perekonomian terbuka sebagian produksi dalam negeri diekspor atau dijual ke luar negeri dan disamping itu terdapat pula barang di negara itu yang diimpor dari negara lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa satu negara juga membutuhkan negara lain dalam pemenuhan kebutuhannya.

Interaksi dalam bidang perekonomian ini perlu selalu dijaga karena sifat dari negara-negara itu adalah saling ketergantungan. Berbagai negara juga akan terintegrasi terkhusus dalam bidang perekonomian. Integrasi negara ini akan membantu mengatasi masalah domestik dari masing-masing negara sehingga akan


(14)

2

banyak solusi yang dihasilkan. Bahkan juga termasuk masalah-masalah perekonomian internasional yang menyangkut negara tersebut.

Interaksi antar negara tersebut terjalin melalui mekanisme perdagangan internasional yang melibatkan arus barang dan jasa yang keluar dan masuk dalam negara tersebut. Suatu negara melakukan perdagangan internasional disebabkan dua alasan yaitu untuk mendapatkan keuntungan perdagangan (gains from trade)

dan negara berdagang satu sama lain dengan tujuan skala ekonomis dalam proses produksi.

Perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia memiliki dampak positif dan negatif. Sebab setiap sistem perekonomian yang dianut suatu negara pasti memiliki resiko baik positif maupun negatif. Hal ini dialami Indonesia terutama pada masa krisis. Pada masa ini perekonomian Indonesia mengalami gejolak yang sangat tragis yang membawa perubahan besar dalam perekonomian kita.

Krisis ekonomi yang menimpa Asia Tenggara yang diawali pada Juli tahun 1997 dan ditandai dengan jatuhnya keuangan Thailand, meluas hingga ke Asia Tenggara, sehingga mengakibatkan kebanyakan negara di kawasan Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang serta Indonesia mengalami penurunan nilai tukar, devaluasi harga saham dan harga aset, peningkatan hutang yang tajam, tingkat bunga yang tinggi, mata uang yang terdepresiasi, inflasi meningkat dan gangguan pertumbuhan ekonomi. Krisis tersebut menyentak perhatian dunia karena kecepatan dan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya. Krisis membuat


(15)

3

lelah banyak pihak yang terlibat dan yang paling parah menimbulkan derita yang berkepanjangan bagi rakyat. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 ini telah menimbulkan berbagai permasalahan yang demikian sulit dan kompleks di berbagai bidang.

Perekonomian Indonesia memang hampir bangkrut yang ditandai dengan tumpukan utang yang menuntut pelunasan. Bahkan ekspor dalam setahun hanya mencapai jumlah yang sangat rendah yaitu hanya sebesar 679 juta dollar atau hampir seperseratus jumlahnya dari ekspor Indonesia saat ini. Sementara itu impor, sudah dicatu jumlahnya untuk keperluan yang esensial saja mencapai 527 juta dollar pada tahun tersebut. Cadangan devisa pun yang selama ini dianggap mampu menutupi kekurangan tidak mampu berbuat banyak. Cadangan devisa hanya mampu membiayai impor dalam beberapa minggu saja. Padahal Indonesia perlu cadangan yang banyak untuk mampu bertahan dari krisis yang melanda. Oleh karena itu, tidak heran lagi bila Indonesia tidak mampu untuk keluar dari jerat utang yang melanda. Pada masa itu, jumlah utang yang menjadi kewajiban pemerintah berjumlah lebih dari USD 4 miliar.

Salah satunya adalah tingkat bunga yang tinggi melanda perbankan di Indonesia. Tulus T.H Tambunan (2009:177) di dalam kelompok ASEAN, Indonesia termasuk ekonomi dengan suku bunga relatif tinggi. Suku bunga untuk tabungan deposito di Indonesia berkisar 23% pada tahun 1998 saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya dan itu merupakan titik tertinggi. Sedangkan titik terendah berada pada angka 3.48% pada tahun 2007. Sementara itu untuk deposito berjangka 12 bulan pada tahun 1998 juga mencapai level tertinggi yaitu 28.3%.


(16)

4

Hal ini disebabkan oleh krisis rupiah sehingga pemerintah melalui kebijakan moneternya berusaha menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pada masa itu rupiah pun terus mengalami depresiasi terhadap dolar AS yakni dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per dolar AS. Keadaan melemahnya rupiah ini membuat para investor luar negeri menarik dananya secara bersamaan dari Indonesia. Otomatis kondisi ini membuat goncangan (shock) yang serius terhadap perekonomian negara ini. Akibatnya, nilai tukar rupiah pernah mencapai titik terendah sekitar Rp 15.000 per dolar AS pada awal tahun 1998.

Setelah krisis ekonomi 1997 transaksi modal mengalami penurunan yang berkaitan dengan menurunnya aliran dana asing baik pemerintah dan swasta. Hal ini juga berdampak pada menurunnya investasi asing di Indonesia yang diakibatkan ketidakpercayaan pihak asing terhadap kondisi perekonomian saat itu. Padahal investasi asing merupakan sumber devisa yang dapat menunjang perekonomian Indonesia. Semakin menipisnya cadangan devisa dan kuatnya tekanan depresiasi rupiah membuat pemerintah mengambil keputusan untuk beralih ke sistem nilai tukar mengambang bebas pada Agustus 1997. Ditambah lagi dengan tingginya pembayaran pokok pinjaman utang Indonesia yang semakin memperburuk keadaan ekonomi Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa krisis juga mengalami penurunan yang signifikan. Saat itu tepatnya pada tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 4.7 % dan itu sangat rendah dibandingkan tahun 1996 yang mencapai 7.8%. Padahal pertumbuhan ekonomi merupakan hal


(17)

5

yang sangat esensi karena bila meningkat maka otomatis pendapatan nasional (GNP) akan meningkat, inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat yang wajar dan akan merangsang investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara goncangan-goncangan (shock) perekonomian dari luar negeri terhadap variabel ekonomi (pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah) serta kebijakan moneter yang efektif untuk menangani shock-shock tersebut di Indonesia. Dengan demikian penulis memberi judul “Analisis Efektivitas Kebijakan Moneter Dalam Menangani Dampak Variabel Shock External Di Indonesia”

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti dapat merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh perubahan (shock) kurs dolar AS terhadap suku bunga internasional (The FED), BI Rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh perubahan (shock) suku bunga internasional (The FED) terhadap kurs dollar AS, BI Rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia?

3. Bagaimana pengaruh kebijakan moneter (BI Rate) terhadap kurs dollar AS, suku bunga internasional (The FED), pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia?


(18)

6 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, adapun tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Menjelaskan bagaimana pengaruh perubahan (shock) kurs dolar AS terhadap suku bunga internasional (The FED), BI Rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia.

2. Menjelaskan bagaimana pengaruh perubahan (shock) suku bunga internasional (The FED) terhadap kurs dollar AS, BI Rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar rupiah di Indonesia.

3. Menjelaskan bagaimana pengaruh kebijakan moneter (BI Rate) terhadap kurs dollar AS, suku bunga internasional (The FED), pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia.

1.3.2 Manfaat penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas maka manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis, sebagai salah satu media latihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan sesuai disiplin ilmu yang dipelajari.

2. Bagi peneliti dan mahasiswa, sebagai data dasar dan tolok ukur bagi penelitian-penelitian selanjutnya sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


(19)

7

3. Bagi para pengambil kebijakan, sebagai bahan masukan dalam mengambil kebijakan dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat keputusan.


(20)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Moneter

2.1.1 Pengertian Kebijakan Moneter

Menurut Mishkin (2004), kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan Bank Sentral dalam mempengaruhi perkembangan variabel moneter (uang beredar, suku bunga kredit, dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Sementara itu Ismail (2006) menyatakan bahwa kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya Bank Sentral) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.

Kebijakan moneter dilakukan oleh bank sentral sebagai otoritas moneter untuk menjaga stabilitas moneter yang operasionalnya dilakukan oleh bank umum dan lembaga keuangan non bank. Dengan demikian Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewajiban untuk mengawasi aktivitas usaha yang dilakukan bank umum dan non bank sehingga tujuan ekonomi makro tercapai. Tujuan kebijakan moneter sebagai upaya untuk memecahkan isu ekonomi makro dalam kerangka memacu pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, dan mengatasi pengangguran.

Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) sebagai pengganti dari jumlah uang beredar


(21)

9

(Base Money). Sejalan dengan kebijakan moneter kuantitatif yaitu dengan

pengaturan tingkat suku bunga, Bank Indonesia menggunakan instrumen BI Rate dalam rangka stabilisasi harga demi tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dari sudut ekonomi makro kebijakan moneter dapat digolongkan dalam 2 bagian yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif (Monetary Expansive Policy) adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk menambah uang beredar. Sedangkan kebijakan moneter kontraktif (Monetary Contractive Policy) adalah kebijakan yang memiliki tujuan untuk mengurangi jumlah uang beredar.

2.1.2 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Manurung (2008:279) menyatakan ada beberapa mekanisme transmisi kebijakan moneter yaitu :

1. Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga

Tingkat bunga adalah kunci mekanisme transmisi moneter dalam model IS, model LM, model AD, dan model AS. Penurunan tingkat bunga riil dan biaya modal diakibatkan oleh meningkatnya stok uang namun di sisi yang lain akan meningkatkan investasi bisnis. Dengan demikian penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan belanja atau konsumsi dan permintaan agregat.


(22)

10

m↑→r↓→i↑→y↑ m↑→p↑→r↓→i↑→y↑ dimana :

m = stok uang nominal r = tingkat bunga riil p = ekspektasi tingkat harga i = investasi riil

y = output riil agregat

2. Mekanisme Transmisi Alur Harga Aset

Mekanisme transmisi alur harga aset terdiri dari efek nilai tukar (exchange

rate effect), teori q Tobin dan efek kekayaan (wealth effect). Pertumbuhan

ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata uang suatu negara.

a) Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar mata uang dirumuskan : m↑→r↓→e↓→x↑→y↑

dimana :

e = nilai tukar mata uang x = ekspor riil netto b) Teori q Tobin

Tobin mendefenisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya pengganti an modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal naik.

Mekanisme transmisi alur teori q Tobin dirumuskan : m↑→s↑→q↑→i↑→y↑


(23)

11

dimana :

s = ekspektasi harga saham

q = rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal c) Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan : m↑→s↑→w↑→c↑→y↑

dimana :

w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen c = konsumsi riil rumah tangga

3. Mekanisme Transmisi Alur Kredit

Mekanisme transmisi alur kredit terdiri atas mekanisme transmisi alur pinjaman bank, alur neraca, alur arus kas, alur tingkat, harga tak terantisipasi dan alur likuiditas rumah tangga.Ketergantungan bisnis terhadap kredit sistem perbankan dalam pembiayaan mengakibatkan peningkatan kredit sistem perbankan, investasi, dan output riil agregat.

2.2 Teori-Teori Perdagangan Internasional

Ada beberapa teori perdagangan internasional (Apridar, 2009) yaitu : a. Teori Keunggulan Mutlak/Absolut (The Theory of Absolute Advantage)

Pandangan ini berpendapat bahwa logam mulia tidak mungkin ditumpuk dengan surplus ekspor karena logam mulia akan mengalir dengan sendirinya melalui perdagangan internasional (price specie flow mechanism). Adam Smith menginginkan tidak adanya campur tangan pemerintah dalam perdagangan bebas, karena perdagangan bebas akan membuat orang bekerja keras untuk kepentingan negaranya sendiri dan menciptakan spesialisasi. Spesialisai akan menghasilkan suatu produk yang memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage). Menurut Adam Smith dalam teori absolute advantage negara akan memperoleh manfaat


(24)

12

perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara ini memiliki keunggulan mutlak tersebut dan akan mengimpor barang bila tidak memiliki ketidakunggulan mutlak.

Teori keunggulan mutlak meiliki asumsi yaitu : 1. Faktor produksi yang digunakan hanya tenaga kerja. 2. Kualitas barang yang diproduksi kedua negara sama. 3. Pertukaran dilakukan secara barter atau tanpa uang. 4. Biaya transpor diabaikan.

b. Teori Keunggulan Komparatif (The Theory of Comparative Advantage)

Teori David Ricardo ini didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor

value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu cost comparative produk

ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut teori comparative advantage (labor eficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien.

Dalam teori ini, setiap negara mengkhususkan produksinya dalam bidang yang diungguli secara komparatif dan semua negara melakukan perdagangan secara bebas tanpa hambatan, maka akan tercapainya efisiensi dalam penggunaan faktor-faktor produksi dan pada gilirannya produksi dunia secara keseluruhan akan mencapai maksimum. Teori David Ricardo ini didasarkan pada nilai kerja atau


(25)

13

ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya.

c. Teori Heckscher-Ohlin (Modern Theory of Comparative Advantage)

Menurut teori Heckscher-Ohlin atau tori H-O, perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment

factors) masing-masing negara. Dalam analisisnya, teori modern H-O

menggunakan dua kurva yaitu kurva “isocost” (kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama dan kurva “isoquant” (kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama.

2.3 INFLASI

Menurut Boediono (1985:161) defenisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada sebagian besar dari harga barang-barang lain. Sehingga pemerintah menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah.

Sadono Soekirno (2004) berdasarkan kepada sumber atau penyebab kenaikan harga-harga yang berlaku, inflasi dibedakan atas :

1. Inflasi Tarikan Permintaan

Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi


(26)

14

menegluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang berlebihan ini akan menimbulkan inflasi

2. Inflasi Desakan Biaya

Inflasi ini berlaku dalam masa perekonomian berkembang dengan pesat ketika tingkat pengangguran rendah. Apabila perusahaan-perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka akan berusaha menaikkan produksi dengan cara memberikan gaji dan upah yang lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja baru dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi ini. Langkah ini mengakibatkan biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga-harga berbagai barang.

3. Inflasi Diimpor

Inflasi ini akan terwujud apabila barang-barang impor yang mengalami kenaikan harga mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan pengeluaran perusahaan-perusahaan.

Berdasarkan pada tingkat kelajuan kenaikan harga-harga yang berlaku, inflasi dapat dibedakan atas :

a. Inflasi Merayap

Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga yang lambat jalannya. Yang digolongkan kepada inflasi ini adalah kenaikan harga-harga yang tingkatnya tidak melebihi dua atau tiga persen setahun.


(27)

15

Hiperinflasi adalah proses kenaikan harga-harga yang sangat cepat, yang menyebabkan tingkat harga menjadi dua atau beberapa kali lipat dalam masa yang singkat.

c. Inflasi Sederhana (Moderate)

Inflasi ini di sebagian negara mencapai antara 5 hingga 10 persen.

Menurut Boediono (1985) berdasarkan atas dasar sebab-musabab awal dari inflasi dibagi menjadi :

a. Demand Inflation

Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat.

b. Cost Inflation

Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi.

2.4 KURS

Menurut Mankiw (2006) kurs (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Sementara itu menurut Yoopi (2004) nilai tukar atau exchange rate atau kurs adalah harga relatif mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain.

Para ekonom membedakan kurs menjadi 2 yaitu 1. Kurs Nominal (nominal exchange rate)


(28)

16

Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika kurs antara dolar AS dan yen Jepang adalah 120 yen per dolar, maka anda bisa menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang.

2. Kurs Riil (real exchange rate)

Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs ini menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Kurs riil kadang-kadang disebut terms of trade.

Hubungan antara kurs riil dan kurs nominal : Kurs Riil =

Harga Barang Luar Negeri Kurs Nominal x Harga Barang Domestik

Tingkat harga dimana kita memperdagangkan barang domestik dengan barang luar negeri tergantung pada harga barang dalam mata uang lokal dan pada tingkat kurs yang berlaku.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kurs adalah sebagai berikut :

• Perubahan dalam citarasa masyarakat.

• Perubahan harga barang ekspor dan impor

• Kenaikan harga umum (inflasi)

• Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.

Dalam sistem perekonomian terbuka ada sistem kurs yang dikenal (Mankiw, 2006) yaitu:


(29)

17

Dibawah kurs mengambang, kurs ditentukan oleh pasar dan dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi perekonomian yang sedang berubah. Pada kasus ini, kurs e menyesuaikan untuk mencapai keseimbangan simultan di pasar barang dan pasar uang. Ketika sesuatu terjadi pada keseimbangan tersebut, kurs memungkinkan untuk bergerak ke nilai keseimbangan baru.

B.Kurs Tetap (Fixed Exchange Rates)

Di bawah kurs tetap, bank sentral mengumumkan nilai kurs dan siap untuk membeli dan menjual mata uang domestik untuk mempertahankan kurs sesuai dengan tingkat yang diumumkan. Dengan kata lain, esensi dari sistem kurs tetap adalah komitmen bank sentral untuk membiarkan jumlah uang beredar menyesuaikan pada level berapapun akan menjamin kurs ekuilibrium sama dengan kurs yang diumumkan. Menurut Levin, 1975 (dalam buku memahmi kurs valuta asing, Yoopi, 2004) sistem nilai tukar tetap bersifat excessive rigidity atau sangat kaku. Di sisi lain, sistem nilai tukar mengambang mendorong spekulasi yang bersifat destabilizing.

2.5 BI Rate

BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyalin Bank Indonesia ditetapkan

pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulan untuk berlaku selama satu triwulan berjalan, kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, suku bunga tertimbang rata-rata hasil lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.


(30)

18

BI Rate diumumkan kepada publik segera setelah ditetapkan dalam RDG

sebagai sinyal kebijakan moneter dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan. Fungsi BI Rate adalah sebagai sinyal kebijakan dan sasaran pengendalian moneter bagi Bank Indonesia. Dengan langkah ini kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat sehingga dapat pula meningkatkan efektivitas moneter.

2.6 Suku Bunga Bank Sentral Amerika (The Fed)

Suku bunga The Fed merupakan tingkat suku bunga moneter yang ditetapkan oleh Federal Open Market Commite (FOMC) atau Komite Pasar Terbuka Bank Sentral Amerika. Penetapan tingkat suku bunga The Fed ini merupakan sebuah piranti moneter Bank Sebtral Amerika untuk mempengaruhi jumlah uang beredar. Hal ini dilakukan melalui salah satu kebijakan yaitu operasi pasar terbuka.

Perubahan tingkat suku bunga The Fed secara langsung akan mempengaruhi perkembangan ekonomi global seperti tingkat suku bunga internasional. Hal ini karena nilai mata uang dollar Amerika yang stabil sehingga banyak dipakai dalam transaksi internasional. Hal ini membuat pengaruh terhadap tingkat suku bunga negara-negara yang memakai dollar dalam transaksi tersebut.

Di Indonesia, perkembangan suku bunga di dalam negeri selain dipengaruhi oleh inflasi, juga dipengaruhi oleh suku bunga luar negeri terutama Amerika Serikat. Penurunan dan peningkatan suku bunga dalam negeri ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk mengupayakan perbedaan selisih antara


(31)

19

tingkat suku bunga domestik (BI Rate) dengan tingkat suku bunga luar negeri The Fed berada pada tingkat yang wajar, guna mengurangi ekspansi moneter yang berasal dari aliran modal masuk terutama yang berjangka pendek.

2.7 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat menggambarkan kondisi perekonomian negara tersebut. Hal itu sangat berpengaruh karena pertumbuhan ekonomi dapat merangsang investor untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu (wikipedia.org).

Menurut Samuelson (2001) pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional negara. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi terjadi apabila batas kemungkinan produksi

(production-possiblity frontier/PPF) bangsa bergeser keluar. Pertumbuhan ekonomi meliputi

pertumbuhan output perkapita merupakan sasaran penting pemerintah karena berkaitan dengan peningktan rata-rata riil pendapatan dan standar-standar hidup.

Ada empat faktor pertumbuhan ekonomi yaitu :

1. Sumber daya manusia (penawaran tenaga kerja, pendidikan, displin, motivasi). 2. Sumber daya alam (tanah, mineral, bahan bakar, kualitas lingkungan).

3. Pembentukan modal (mesin, pabrik, jalan).


(32)

20

Sadono Sukirno (2004) menyatakan bahwa dalam kegiatan perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan fisikal produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu negara, seperti pertambahan dan jumlah produksi barang industri, perkembangan infrastruktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan produksi sektor jasa dan pertambahan produksi barang modal.

Todaro (2006) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses peningkatan kapasitas produksi dari perekonomian secara komprehensif dan terus menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan nasional yang semakin lama semakin besar.

2.8 Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut Ahli 2.8.1 Teori Pertumbuhan Klasik

Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik (Sadono Sukirno, 2004) ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu : jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, serta tingkat teknologi yang digunakan.


(33)

21

Teori Schumpeter menekankan tentang pentingnya peranan pengusaha di dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Para pengusaha merupakan golongan yang akan terus-menerus membuat pembaharuan atau inovasi dalam kegiatan ekonomi. Menurut Schumpeter makin tinggi tingkat kemajuan sesuatu ekonomi semakin terbatas kemungkinan untuk mengadakan inovasi. Pada akhirnya akan akan tercapai tingkat “keadaan tidak berkembang” atau “stationary state”.

2.8.3 Teori Harrod-Domar

Teori Harrod-Domar bertujuan untuk menerangkan syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth dalam jangka panjang. Dalam Teori Harrod-Domar tidak diperhatikan syarat untuk mencapai kapasitas penuh apabila ekonomi terdiri dari tiga sektor atau empat sektor. Melalui analisis Harrod-Domar dapat dilihat bahwa dalam jangka panjang pertambahan pengeluaran agregat yang berkepanjangan perlu dicapai untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang teguh hanya mungkin dicapai apabila I+G+(X-M) terus menerus bertambah dengan tingkat yang menggalakkan.

2.9 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian Yu Hsing (2012) meneliti tentang dampak dari desakan makroekonomi dan shock eksternal terhadap produksi riil di Indonesia. Penelitian ini menggunakan model IS-MP untuk mempelajari dampak potensial dari variabel ekonomi makro yang sudah dipilih dan shock eksternal yaitu harga minyak dunia terhadap GDP Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa tingginya tingkat harga, rupiah yang terapresiasi, rendahnya tingkat inflasi, tingginya harga minyak dunia


(34)

22

dan rendahnya tingkat persediaan federal diharapkan bisa meningkatkan GDP riil Indonesia. Persentase defisit dari GDP tidak akan mengakibatkan produki meningkat. Oleh karena itu, Indonesia tidak akan menderita karena tingginya harga minyak dunia.

Penelitian Ibnu Yahya (2007) menganalisis efektivitas kebijakan moneter dalam menangani dampak variabel shock external pada rezim nilai tukar mengambang bebas : studi kasus Indonesia (model struktural VAR : periode 1997:8-2006:12). Penelitian ini ingin menguji efektifitas kebijakan moneter terhadap perubahan variabel harga minyak dunia dan suku bunga internasional pada perekonomian Indonesia dalam rezim nilai tukar mengambang bebas periode Agustus 1997 sampai dengan Desember 2006. Dengan menggunakan model struktural VAR milik Kim dan Roubini (1999) yang telah dimodifikasi oleh Andrea Brischetto dan Graham Voss (1999), maka didapat kesimpulan bahwa kebijakan moneter berlangsung secara efektif dalam mempengaruhi tingkat harga. Kebijakan moneter yang cenderung ketat menyebabkan penurunan tingkat inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan harga minyak dunia dan suku bunga internasional.

Penelitian Andrea Brischetto dan Graham Voss (1999) menganalisis efektivitas kebijakan moneter negara Australia dengan memperhatikan variabel shock eksternal, yaitu harga minyak dunia dan suku bunga internasional. Kesimpulan dari penelitian ini adalah respon kualitatif dari tingkat harga dan nilai tukar terhadap perubahan dari kebijakan moneter konsisten dengan teori. Sebagai respon dari perubahan kebijakan moneter mereka mengamati bahwa perubahan


(35)

23

terhadap output dan harga, besar dan waktunya konsisten secara empiris untuk Australia dan negara lainnya. Selain itu, model ini juga memberikan prediksi yang tepat untuk dampak terhadap output dan harga dari shock suku bunga luar negeri atau shock siklus bisnis eksternal. Model ini juga berkesimpulan bahwa kebijakan moneter dapat mengurangi dampak dari shock siklus bisnis eksternal.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti dan Tahun

Penelitian

Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan Yu Hsing (2012) Impacts of Macroeconomic Forces and External Shocks on Real Output for Indonesia

Meneliti dampak beberapa variabel

ekonomi makro

yang dipilih dan shock eksternal termasuk harga minyak dunia terhadap produksi riil di Indonesia

Regresi Ordinary Least Square (OLS) dan metode Newey-West

GDP riil memiliki hubungan yang positif dengan harga minyak dunia Ibnu Yahya (2007) Efektivitas Kebijakan Moneter Dalam Menangani Dampak Variabel 1.Menjelaskan bagaimana pengaruh perubahan (shock) harga minyak dunia

Model Struktural Vector Auto Regressive (VAR) Kebijakan moneter berlangsung secara efektif dalam mempengaruhi


(36)

24

Shock External Pada Rezim Nilai Tukar

Mengambang

Bebas : Studi Kasus Indonesia (Model Struktural VAR :Periode 1997:8-2006:12)

dan tingkat suku bunga internasional terhadap variabel domestik Indonesia seperti pendapatan nasional dan tingkat harga. 2.Membuktikan apakah kebijakan moneter yang diterakan, terutama penggunaan variabel suku bunga domestik sudah benar dan efektif dalam menghadapi gangguan-gangguan external tersebut. kebijakan moneter yang cenderung ketat menyebabkan penurunan tingkat inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan harga minyak dunia dan

suku bunga internasional. Andrea Brischetto dan Graham Voss (1999) A Structural Vector Auto Regression Model of Monetary Policy In Australia Menganalisis efektivitas kebijakan moneter negara Australia dengan memperhatikan variabel shock eksternal, yaitu harga minyak dunia dan suku bunga internasional Structural Vector Auto Regression Model (VAR) Respon kualitatif dari tingkat harga dan nilai tukar terhadap perubahan dari kebijakan moneter adalah konsisten dengan teori. Model ini juga memberikan prediksi yang tepat untuk dampak terhadap output dan harga dari shock suku bunga luar negeri atau shock siklus bisnis eksternal.


(37)

25 2.10 Kerangka Konseptual

Kurs Dollar AS Terhadap rupiah

Suku Bunga The FED

Pertumbuhan Ekonomi

Inflasi

Suku Bunga The FED

Kurs Dollar AS

BI Rate BI Rate

Pertumbuhan Ekonomi


(38)

26 Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.11 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu serta variabel-variabel yang dijelaskan dalam penelitian ini untuk menguji apakah terjadi hubungan antar variabel, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Shock kurs dollar Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap suku bunga The FED, BI Rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia.

2. Shock suku bunga internasional berpengaruh positif terhadap kurs dollar AS, BI Rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia. 3. Kebijakan moneter (BI Rate) berpengaruh positif terhadap kurs dollar AS,

suku bunga The FED, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah di Indonesia.

Dollar AS

Suku Bunga The FED

BI Rate Pertumbuhan

Ekonomi


(39)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series tahunan dari tahun 1996-2006. Sumber data berasal dari buku, internet, Asian Development Bank, World Bank dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini. Pengolahan data ini akan menggunakan software eviews 5.

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis secara kuantitatif dan deskriptif. Dilakukan analisis untuk melihat pengaruh variabel perubahan (shock) kurs dollar AS (K) terhadap suku bunga The FED (F), BI Rate (BI), pertumbuhan ekonomi (Y), inflasi (I) dan nilai tukar rupiah (R). Serta untuk melihat pengaruh variabel perubahan (shock) suku bunga internasional (F) terhadap kurs dollar AS (K), BI Rate (BI) pertumbuhan ekonomi (Y), inflasi (I) dan nilai tukar rupiah (R). Begitu juga untuk melihat pengaruh variabel kebijakan moneter BI Rate (BI) terhadap kurs dollar AS (K), suku bunga The FED (F), pertumbuhan ekonomi (Y), inflasi (I) dan nilai tukar rupiah (R).

3.2 Defenisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :


(40)

28

Variabel ini merupakan harga relatif mata uang AS terhadap mata uang Indonesia (Rupiah).

2. Suku Bunga Internasional

Variabel ini merupakan Suku Bunga The FED dalam periode tahun 2004-2014. 3. BI Rate

Variabel ini merupakan kebijakan moneter yang dikeluarkan BI sebagai suku bunga acuan dalam periode 2004-2014.

4. Pertumbuhan Ekonomi

Variabel ini diperoleh dari Gross Domestic Product (GDP) riil. GDP merupakan penjumlahan total terhadap barang-barang dan jasa akhir.

5. Inflasi

Variabel ini merupakan kecenderungan naiknya harga-harga secara umum dalam periode tahun 2004-2014

3.3 Model Penelitian

Penelitian ini mengggunakan model sebagai berikut :

Kt = a10 + a11Ft-1 + a12BIt-1 + a13Yt-1 + a14It-1 + a15Rt-1+ a16Ft-2 + a17BIt-2 +

a18Yt-2+ a19It-2 +eiz

Ft = a30 + a31Kt-1 + a32BIt-1 + a33Yt-1 + a34It-1 + a35Rt-1+ a36Kt-2 + a37BIt-2 +

a38Yt-2+ a39It-2 +eiz

BIt = a50 + a51Kt-1 + a52Ft-1 + a53Yt-1 + a54It-1 + a55Rt-1+ a56Kt-2 + a57Ft-2


(41)

29

Keterangan:

Kt : Kurs Dollar AS pada tahun t

Ft : Suku Bunga Internasional (The FED) pada tahun t BIt : BI Rate pada tahun t

Yt-n : Pertumbuhan Ekonomi pada tahun t-n It-n : Tingkat inflasi pada tahun t-n

an : Parameter yang diduga (n = 1,2,3, …)

eiz : standar error

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Model VAR

Yonathan (2003) menyatakan bahwa Vector Auto Regression (VAR) biasanya digunakan untuk memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel tersebut. Siregar dan Irawan, 2005 (dalam buku cara cerdas menguasai eviews, Shochrul dan Rahmat, 2011) menjelaskan bahwa VAR merupakan suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari variabel itu sendiri, secara nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem.

Variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh variabel tak bebas dalam sistem VAR yang membutuhkan identifikasi retriksi untuk mencapai persamaan melalui interpretasi peramaan. VAR dengan ordo p dan n buah variabel tak bebas pada periode t dapat dimodelkan sebagai berikut :

Yt= A0+A1Yt-1 + A2Yt-2.... + ApYt-p + εt

Dimana :

Yt = Vektor variabel tak bebas (Y1,t,Y2,t,Y3,t) A0 = Vektor intersep berukuran n x 1 At = Vektor Parameter berukuran n x 1


(42)

30 3.4.2 Ciri-Ciri VAR

1. Bersifat ateori, artinya tidak berlandas teori dalam menentukan model regresi. 2. Memperlakukan semua variabel secara endogen (tidak dibedakan independen

atau dependen).

3. Perangkat estimasi yang digunakan adalah fungsi IRF (Impulse Response

Function) dan variance decomposition.

4. IRF digunakan untuk melacak respons saat ini dan masa depan setiap variabel akibat shock suatu variabel tertentu.

5. Variance Decomposition, memberikan informasi mengenai kontribusi (persentase) varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu.

3.4.3 Langkah-Langkah VAR

1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 1995 dalam buku cara cerdas menguasai eviews).

Gujarati (2003:817) menjelaskan bentuk persamaan uji stasioner dengan analisis ADF dalam persamaan berikut :


(43)

31

Dimana :

Yt = bentuk dari first difference

α0 = Intersep

Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya P = Panjang lag yang digunakan dalam model

� = error term

Dalam persamaan tersebut, kita ketahui bahwa Ho menunjukkan adanya unit root dan Ht menunjukkan kondisi tidak adanya unit root. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukkan nilai ADF statistik yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADF statistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I (1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya.

2. Penentuan Lag Optimal

Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji stasioneritas adalah penentuan lag optimal. Haris, 1995 (dalam buku cara cerdas menguasai eviews, Shochrul dan Rahmat, 2011) menjelaskan bahwa jika lag yang digunakan dalam uji stasioneritas terlalu sedikit, maka residual dari regresi tidak akan menampilkan proses white noise sehingga model tidak dapat mengestimasi actual error secara tepat. Akibatnya, γ dan standar kesalahan tidak diestimasi secara baik. Namun demikian, jika memasukkan terlalu banyak lag, maka dapat mengurangi


(44)

32

kemampuan untuk menolak Ho karena tambahan parameter yang terlalu banyak akan mengurangi derajat bebas.

Selanjutnya, untuk mengetahui jumlah lag optimal yang digunakan dalam uji stasioneritas, berikut adalah kriteria yang digunakan :

Akaike Information Criterion (AIC) : -2�1

�� + 2 (k+T) Schwarz Information Criterion (SIC) : -2 �1

�� + k� log (�)

� � Hannan Quinn Information Criterion ( HQ) : -2 �1

�� + 2 k��� � log (�)

� � Dimana:

1 = nilai fungsi log like lihood yang sama jumlahnya dengan – �

2 ( 1+ log (2�) + log (

�” �”

� ) ); �” �” merupakan sum of squared residual

T = jumlah obesrvasi

K = parameter yang diestimasi

Dalam penentuan lag optimal dengan menggunakan kriteria informasi tersebut, kita pilih/tentukan kriteria yang mempunyai final prediction error correction (FPE) atau jumlah dari AIC, SIC, dan HQ yang paling kecil diantara berbagai lag yang diajukan.

3. Uji Kausalitas Granger

Metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Secara umum, suatu persamaan granger dapat diinterpretasikan sebagai berikut Gujarati [2003:696-697] (dalam buku cara cerdas menguasai eviews : hal 167) :

a. Unindirectional causality dari variabel dependen ke variabel independen. Hal

ini terjadi ketika koefisien lag variabel dependen secara statistik signifikan berbeda dengan nol, sedangkan koefisien lag seluruh variabel independen sama dengan nol.


(45)

33

b. Feedback/bilaterall causality jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel

dependen maupun independen secara statistik signifikan berbeda dengan nol.

c. Independence jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel dependen

maupun independen secara statistik tidak berbeda dengan nol. 4. Estimasi VAR

Dalam estimasi VAR, model VAR yang digunakan adalah : Yt = α + ∑�=1�jYt-j + ∑�=1�jXt-j + u1t

Xt = α + ∑�=1�jXt-j + ∑�=1�j Yt-j + u2t

Selanjutnya, dari hasil estimasi VAR, untuk melihat apakah variabel Y mempengaruhi X dan demikian pula sebaliknya, kita dapat mengetahuinya dengan cara membandingkan nilai t-statistik hasil estimasi dengan nilai t-tabel. Jika nilai t-statistik lebih besar daripada nilai t-tabelnya, maka dapat dikatakan bahwa variabel Y mempengaruhi X

5. IRF

Sims, 1992 (dalam buku cara cerdas menguasai Eviews : 168) menjelakan bahwa fungsi IRF menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui.

6. Variance Decomposition

Variance decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposotion merupakan perangkat dari model VAR yang akan memisahkan


(46)

34

variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel innovation, dengan asumsi bahwa variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian, variance decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang.


(47)

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Perkembangan Perekonomian Indonesia

4.1.1 Perkembangan Perekonomian Indonesia Tahun 1999-2008

Kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 1999 mulai menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan tahun 1998. Laju pertumbuhan mulai positif hanya 0.8% dan yang paling mencengangkan adalah tingkat inflasi pada titik 2.0%. Memasuki tahun 2000 ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian mulai membaik, tetapi investasi yang stagnan mengakibatkan pertumbuhan tidak optimal dan mencapai angka 4.9%. Pada tahun 2000 inflasi juga meningkat menjadi 9.3%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh perkembangan moneter yang semakin membaik. Nilai tukar terus mengalami apresiasi sehingga pada akhirnya memberikan manfaat pada pengendalian inflasi. Sementara itu, suku bunga juga mulai menunjukkan kecenderungan untuk mengalami penurunan. Dalam masa itu merupakan perkembangan yang baik yang dihasilkan oleh pemerintahan Habibie.

Walaupun meningkat dari tahun sebelumnya, namun perkembangan tersebut belum mampu mendorong dunia usaha untuk bangkit. Defisit APBN diperkirakan 4% dari PDB dalam dua tahun fiskal 2000/2001 dan sedikit menurun 3.5% dari PDB dalam tahun fiskal 2001/2002. Inflasi diharapkan turun menjadi 17% dalam 2000 dan turun lagi menjadi 9.5% dalam 2001. Untuk menyusun


(48)

36

APBN 2001 pemerintah menggunakan berbagai asumsi dasar seperti kurs rupiah, suku bunga SBI, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan harga minyak mentah. Dalam APBN 2001 pemerintah mematok kurs rupiah Rp 7.800/US dollar, pertumbuhan ekonomi 5 persen, tingkat suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) 11.5%, tingkat inflasi 7.2%, dan harga minyak mentah 24 US dollar per barrel.

Dalam perkembangannya, berbagai asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan APBN 2001 tersebut tidak lagi sesuai dengan kondisi riil yang ada seiring dengan dinamika faktor internal dan eksternal di tanah air. Misalnya kurs rupiah dipatok Rp 7.800/ US yang diperkirakan bahkan cenderung melemah mencapai kisaran Rp 11.500/per US dollar. Melemahnya rupiah terhadap US dollar jelas memperberat posisi keuangan pemerintah. Begitu pula tingkat suku bunga SBI 3 bulan yang

ditetapkan oleh pihak BI juga sudah merangkak naik hingga 15 persen. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan dunia perbankan nasional karena dikahawatirkan berdampak pada munculnya negative

Pelemahan terhadap posisi rupiah nampaknya terus berlanjut hingga Maret 2001 rupiah terpuruk mencapai Rp 11.500/US dollar. Kekhawatiran dunia luar (investor) terhadap situasi keamanan dan politik dii tanah air semakin memperkeruh situasi perekonomian nasional. Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan bagi bergeraknya perekonomian nasional dimana daya beli masyarakat melemah, lapangan kerja semakin sedikit, pengangguran semakin banyak, pemutusan hubungan kerja dimana-mana, kemiskinan bertambah, suku


(49)

37

bunga SBI menaik yang berdampak pada semakin sulitnya posisi dunia perbankan nasional, yang pada gilirannya menghambat bergeraknya sektor riil. Kondisi tersebut masih diperparah dengan berbagai kebijakan pemerintah saat itu melalui kebijakan yang tidak populer menaikkan harga BBM, Tarif Dasar Listrik, dan Tarif Telepon.

Dalam perjalanannya, rupiah masih jauh dari yang diperkirakan dalam APBN 2001. Oleh karena itu, maka pemerintah melakukan perubahan pertama atas asumsi dasar APBN 2001 sebelumnya dimana kurs rupiah dari Rp 7.800/US dollar menjadi Rp 9.600/US dollar, pertumbuhan ekonomi dari 5% menjadi 3.5%, inflasi dari 7.2% menjadi 9.3%, suku bunga SBI dari 11% menjadi 15% dan tetap mempertahankan deficit anggaran 3.7% dari PDB (Produk Domestik Bruto).

Pada tahun 2002 perekonomian mulai mengindikasikan adanya proses pemulihan ekonomi. Meski demikian, pertumbuhan hanya mampu mencapai angka 4,3%. Investasi yang semula diperkirakan membaik justru mengalami kontraksi tajam selama tahun 2002. Rendahnya kinerja investasi tidak terlepas dari masih tingginya risiko investasi yang memperburuk daya saing perekonomian terkait dengan berbagai masalah struktural yang ada. Kondisi ekonomi makro stabil dan cenderung membaik selama 2003 sebagaimana jika nilai tukar yang menguat, laju inflasi dan suku bunga yang tajam, serta pertumbuhan ekonomi yang menigkat. Kegiatan investasi pada 2003 tumbuh sebesar 1.4%, sedikit menigkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 0.2%. Namun masih jauh


(50)

38

berada di bawah pertumbuhan investasi sebelum krisis yang mampu mencapai 12% per tahun.

Pada tahun 2004, berkat stabilitas makroekonomi yang terjaga, kegiatan ekonomi mencatat pertumbuhan tertinggi pascakrisis ekonomi, yaitu sebesar 5.1%. Pertumbuhan tersebut diikuti oleh sumber pendorong pertumbuhan yang lebih berimbang, dengan kontribusi investasi dan ekspor yang semakin besar. Investasi tumbuh pesat sebesar 15.7% jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Meningkatnya kegiatan investasi didorong oleh membaiknya permintaan domestik dan dukungan pembiayaan. Meskipun lebih tinggi tahun 2004, pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5.6% cenderung melambat seiring dengan semakin kuatnya tekanan pada kestabilan makroekonomi. Perlambatan pertumbuhan terutama terjadi pada konsumsi dan investasi menurunnya daya beli, kenaikan biaya produksi, dan iklim investasi yang belum kondusif sehingga pertumbuhan investasi turun menjadi 9.93%.

Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2006 mencapai 6.1% yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang besarnya 5.5%. Sisi lain yang menarik untuk dicermati adalah besarnya sumbangan masing-masing sektor dalam menciptakan laju pertumbuhan ekonomi selama tahun 2006. Sektor-sektor ekonomi yang nilai nominalnya besar tetap akan menjadi

penyumbang terbesar bagi pertumbuhan, walaupun pertumbuhan sektor bersangkutan relatif kecil. Sektor pengangkutan dan komunikasi, walaupun mengalami pertumbuhan tertinggi 13.6%, hanya memberikan kontribusi sebesar 0.9% terhadap total pertumbuhan 5.5%. Sebaliknya industri pengolahan,


(51)

39

walaupun hanya tumbuh 4.6% tetapi tetap menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomis besar 1.3%. Perekonomian Indonesia pada tahun 2007 mengalami pertumbuhan sebesar 6.32% dibanding tahun 2006. Pada tahun 2008 angkanya sedikit melambat, yakni antara 6.1-6.2%.

Meskipun pada tahun 2008 terjadi krisis global namun tidak terlalu

berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Fondasi perekonomian Indonesia pun di tahun 2007-2008 lebih baik ketimbang yang ada pada tahun 1996-1997, termasuk inflasi yang lebih terkendali.

4.1.2 Perkembangan Perekonomian Indonesia Tahun 2009-2014

Perekonomian suatu negara dianggap berhasil apabila terdapat

peningkatan dalam perekonomian suatu negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari seluruh kegiatan perekonomian suatu negara dalam periode tertentu, yang pada umumnya adalah satu tahun.Perekonomian dunia sekarang ini yang semakin dinamis menyebabkan pertumbuhan perekonomian tidak hanya dinikmati oleh negara-negara dunia pertama saja atau negara maju, tetapi juga telah dirasakan oleh negara-negara dunia ketiga yang perlahan-lahan membangun perekonomiannya dan mulai menjadi kekuatan perekonomian baru bagi dunia.

Krisis global pada tahun 2008 semakin menunjukkan betapa tangguhnya perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara lain sedang mengalami kejatuhan dalam kondisi perekonomiannya Indonesia justru mencetak hasil pertumbuhan yg positif yaitu 4.5 % pada 2009. Meskipun melambat dibandingkan dengan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dapat mencapai 4.5%, tertinggi ketiga setelah China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar


(52)

40

dapat dihindari karena struktur ekonomi banyak didorong permintaan domestik. Inflasi juga tercatat rendah 2.78%, terendah dalam satu dekade terakhir. Sistem keuangan kembali terjaga dengan mulai pulihnya fungsi intermediasi perbankan terutama pada paruh kedua tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 mencapai 6.1% yang hampir meyerupai angka tahun lalu sebesar 6.1%. Pada tahun 2009, perekonomian Indonesia mengalami penurunan yakni 4.5%. Tapi, setelah perekonomian dunia mulai membaik pada tahun 2010 mengalami perkembangan kembali mencapai 6,3% sama. Sedangkan pada tahun 2011, mengalami peningkatan lagi dengan angka 6.5% yang merupakan angka tertinggi pada satu dekade terakhir. Tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 6.23% pada tahun 2012.

Besaran PDB Indonesia pada tahun 2008 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 4.954 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp 2.082,1 triliun.

Pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 5.613,4 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp2.177 triliun. Tahun 2010 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 6.422,9 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp 2.310,7 triliun. Tahun 2011 atas dasar harga berlaku mencapai Rp7.427,1 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp2.463,2 triliun. Pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 8.241,9 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp 2.618,1 triliun. 2


(53)

41 4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi (Uji Akar Unit)

Uji stasioneritas ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga

diperoleh suatu data yang stasioner. Dikatakan stasioner (tidak mengandung akar unit) jika nilai probabilitasnya kurang dari α = 1% atau α = 5 % dan sebaliknya dikatakan tidak stasioner (mengandung akar unit) jika nilai probabilitasnya lebih dari α = 1% atau α = 5 %. Dari hasil uji akar unit yang terdiri dari beberapa variabel yaitu variabel suku bunga The Fed, kurs dollar AS, BI rate, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah.

Tabel 4.1 Hasil Uji Akar Unit Variabel

Variabel Tingkat Stasioner

Level 1st different

BI Rate (BI) Probabilitas 0.0397 0.0001 level

Critical Value

1% -4.1923 -4.2349 5% -3.5207 -3.5403 Suku Bunga

The Fed (F)

Probabilitas 0.0201 0.1767 level

Critical Value

1% -4.2050 -4.1923 5% -3.5266 -3.5207 Kurs Dollar

AS (K)

Probabilitas 0.5838 0.0004 1st

different Critical

Value

1% -4.1923 -4.1985 5% -3.5207 -3.5236

Inflasi (I) Probabilitas 0.1177 0.0043 1st

different Critical

Value

1% -4.1864 -4.2528 5% -3.5180 -3.5484 Pertumbuhan

Ekonomi (Y)

Probabilitas 0.1030 0.0000 1st

different Critical

Value

1% -4.1864 -4.1923 5% -3.5180 -3.5207 Sumber : pengolahan data

Hasil uji akar unit yang ditunjukkan oleh tabel 4.1 menunjukkan bahwa variabel kurs dollar AS (K), inflasi (I), dan pertumbuhan ekonomi (Y) yang


(54)

42

diteliti tidak stasioner pada derajat level, sehingga harus dilakukan uji derajat integrasi sebagai tes kedua (1st different) terhadap data yang digunakan. Hasil uji akar unit pada differensiasi pertama menunjukkan bahwa data dari variabel kurs dollar AS (K), inflasi (I), dan pertumbuhan ekonomi (Y) tidak mengandung akar unit atau sudah stasioner sehingga data yang akan digunakan untuk analisis selanjutnya adalah data pada tingkat defferensiasi pertama. Sedangkan dari hasil analisis bahwa variabel BI Rate suku bunga The Fed (F) menunjukkan tidak mengandung akar unit pada tingkat level, maka data tersebut sudah stasioner pada derajat level.

4.2.2 Penentuan Lag Optimal

Penentuan lag optimal dilakukan dengan melihat hasil kriteria informasi dari Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan

Hannan-Quinn Criterion (HQ). Lag yang dipilih adalah lag memiliki nilai AIC, SIC, dan

HQ terkecil. Panjang lag yang digunakan dalam penelitian ini adalah ke -2.

Tabel 4.2 Hasil Penentuan Lag Optimal Variabel

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -595.5530 NA 3634313. 29.29527 29.50424 29.37136

1 -461.1479 229.4720 17670.18 23.95844 25.21227 24.41501

2 -408.5192 77.01764* 4859.121* 22.61069* 24.90939* 23.44775*

3 -384.4008 29.41276 5900.238 22.65370 25.99725 23.87123

*indicates lag order selected by the criterion Sumber : pengolahan data


(55)

43

Berdasarkan tabel di atas, penetuan lag optimal variabel dari setiap kriteria menunjukkan lag yang berbeda satu dengan yang lain. Dari hasil ini, diketahui bahwa semua tanda bintang berada pada lag 2. Hal ini menunjukkan bahwa lag optimal yang direkomendasikan adalah lag 2.

4.2.3 Uji Kausalitas Granger

Dalam menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas ini dilakukan agar dapat melihat arah hubungan antar variabel. Berikut adalah hasil uji kausalitas granger yang telah dilakukan.

Tabel 4.3 Hasil Uji Kausalitas Granger

Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

Y does not Granger Cause BI 42 0.08020 0.92309

BI does not Granger Cause Y 0.86587 0.42903

K does not Granger Cause BI 42 0.38774 0.68132

BI does not Granger Cause K 0.98898 0.38157

I does not Granger Cause BI 42 2.26232 0.11832

BI does not Granger Cause I 13.7423 3.4E-05

F does not Granger Cause BI 42 5.40524 0.00872

BI does not Granger Cause F 1.39592 0.26034

K does not Granger Cause Y 42 8.65124 0.00083

Y does not Granger Cause K 0.96418 0.39067

I does not Granger Cause Y 42 0.91379 0.40986

Y does not Granger Cause I 0.33219 0.71947

F does not Granger Cause Y 42 0.32049 0.72779

Y does not Granger Cause F 1.39704 0.26007

I does not Granger Cause K 42 0.10098 0.90420

K does not Granger Cause I 0.09936 0.90566

F does not Granger Cause K 42 0.17938 0.83651


(56)

44

F does not Granger Cause I 42 0.97658 0.38609

I does not Granger Cause F 0.35764 0.70172

Sumber : pengolahan data

Keterangan :

1. Ho : Y tidak mempengaruhi BI atau sebaliknya Ha : BI mempengaruhi Y atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas

F-statistik > α maka Ho diterima.

2. Ho : K tidak mempengaruhi BI atau sebaliknya Ha : BI mempengaruhi K atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

3. Ho : I tidak mempengaruhi BI atau sebaliknya Ha : BI mempengaruhi I atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

4. Ho : F tidak mempengaruhi BI atau sebaliknya Ha : BI mempengaruhi F atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

5. Ho : K tidak mempengaruhi Y atau sebaliknya Ha : Y mempengaruhi K atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

6. Ho : I tidak mempengaruhi Y atau sebaliknya Ha : Y mempengaruhi I atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas

F-statistik > α maka Ho diterima.

7. Ho : F tidak mempengaruhi Y atau sebaliknya Ha : Y mempengaruhi F atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

8. Ho : I tidak mempengaruhi K atau sebaliknya Ha : K mempengaruhi I atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

9. Ho : F tidak mempengaruhi K atau sebaliknya Ha : K mempengaruhi F atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas F

-statistik > α maka Ho diterima.

10. Ho : F tidak mempengaruhi I atau sebaliknya Ha : I mempengaruhi F atau sebaliknya

Jika nilai probabilitas F-statistik < α maka Ho ditolak dan jika nilai probabilitas


(57)

45

Berdasarkan hasil pengujian maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Nilai probabilitas dari Y terhadap BI menunjukkan angka sebesar 0.92309 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari BI terhadap Y menunjukkan angka sebesar 0.42903 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Y dan BI adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

2. Nilai probabilitas dari K terhadap BI menunjukkan angka sebesar 0.68132 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari BI terhadap K menunjukkan angka sebesar 0.38157 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara K dan BI adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

3. Nilai probabilitas dari I terhadap BI menunjukkan angka sebesar 0.11832 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari BI terhadap I menunjukkan angka sebesar 3.4E-05 yang mana lebih kecil dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho ditolak. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara BI dan I adalah hubungan satu arah yaitu BI rate berpengaruh terhadap inflasi.


(58)

46

4. Nilai probabilitas dari F terhadap BI menunjukkan angka sebesar 0.00872 dimana hasil tersebut lebih kecil dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho ditolak. Demikian juga nilai probabilitas dari BI terhadap F menunjukkan angka sebesar 0.26034 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara F dan BI adalah hubungan satu arah yaitu suku bunga the fed berpengaruh terhadap BI rate.

5. Nilai probabilitas dari K terhadap Y menunjukkan angka sebesar 0.00083 dimana hasil tersebut lebih kecil dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho ditolak. Demikian juga nilai probabilitas dari Y terhadap K menunjukkan angka sebesar 0.39067 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara K dan Y adalah hubungan satu arah yaitu kurs dollar AS terhadap pertumbuhan ekonomi.

6. Nilai probabilitas dari I terhadap Y menunjukkan angka sebesar 0.40986 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari Y terhadap I menunjukkan angka sebesar 0.71947 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara I dan Y adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

7. Nilai probabilitas dari F terhadap Y menunjukkan angka sebesar 0.72779 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho


(59)

47

diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari Y terhadap F menunjukkan angka sebesar 0.26007 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara F dan Y adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

8. Nilai probabilitas dari I terhadap K menunjukkan angka sebesar 0.90420 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari K terhadap I menunjukkan angka sebesar 0.90566 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara I dan K adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

9. Nilai probabilitas dari F terhadap K menunjukkan angka sebesar 0.83651 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari K terhadap F menunjukkan angka sebesar 0.16683 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara F dan K adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

10.Nilai probabilitas dari F terhadap I menunjukkan angka sebesar 0.38609 dimana hasil tersebut lebih besar dari α sebesar 5% sehingga hipotesis Ho diterima. Demikian juga nilai probabilitas dari I terhadap F menunjukkan angka sebesar 0.70172 yang mana lebih besar dari α sebesar 5% sehingga


(60)

48

hipotesis Ho diterima. Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara F dan I adalah independence atau tidak saling mempengaruhi.

4.2.4 Hasil Estimasi VAR

Hasil estimasi VAR bertujuan untuk melihat apakah variabel-variabel saling mempengaruhi dengan cara membandingkan nilai t-statistik hasil estimasi dengan nilai t-tabel. Jika nilai t-statistik lebih besar daripada nilai t-tabelnya, maka dapat diketahui bahwa variabel tersebut mempengaruhi.

Y = 1.226191 + 0.119415 BIt-1 - 0.025955 It-1 – 8.24E-05 Kt-1 – 0.183812

Yt-1

[0.98746] [1.18628] 0.69116] 0.93971] [-1.93214]

+ 0.911370 Ft-1

[14.0090***] ………. (4.1)

R-squared = 0.960537

Adjusted R-squared = 0.955056

F-statistik = 175.2483

*** = signifikan pada 1%

Angka dalam kurung merupakan nilai t-statistik Sumber : pengolahan datas

Pada persamaan diatas menunjukkan pada lag satu atau satu sebelumnya (BIt-1) Y dipengaruhi dengan pengaruh positif tidak signifikan sebesar

(0.119415). Pada lag satu atau satu tahun sebelumnya (It-1) Y dipengaruhi dengan pengaruh negatif tidak signifikan sebesar (0,025955). Pada variabel selanjutnya yaitu pada lag satu atau satu tahun sebelumnya (Kt-1) Y dipengaruhi dengan pengaruh negatif tidak signifikan . Pada variabel selanjutnya yaitu pada lag satu atau satu tahun sebelumnya (Yt-1) Y dipengaruhi negatif tidak signifikan. Pada


(61)

49

variabel selanjutnya yaitu pada lag satu atau satu tahun sebelumnya (Ft-1) Y dipengaruhi dengan pengaruh positif tidak signifikan.

Hasil yang ditunjukkan pada F-statistik signifikan, artinya secara

keseluruhan variabel I, K, Y danF dipengaruhi secara nyata oleh BI Rate. Kedua, bahwa secara keseluruhan variabel BI, I, Y dan F dipengaruhi secara nyata oleh kurs dollar AS. Ketiga bahwa secara keseluruhan variabel BI, I, K, dan Y dipengaruhi secara nyata oleh suku bunga internasional The Fed.

4.2.5 Hasil IRF (Impulse Response Function)

Di dalam model VAR fungsi IRF menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Dalam model ini juga terdapat bahwa ada kesulitan untuk mengintrepetasikan koefisien, maka dilakukan analisis Impulse response.

Analisis Impulse response ini merupakanbagian yang sangat penting dalam model VAR. Analisis ini melacak respon dari variabel endogen dalam VAR, karena adanya guncangan (shock) atau perubahan dalam variabel gangguan.


(1)

79

S.E. of regression 0.644416 Akaike info criterion 2.027804

Sum squared resid 16.19560 Schwarz criterion 2.151924

Log likelihood -39.58389 F-statistic 26.64205

Durbin-Watson stat 1.996164 Prob(F-statistic) 0.000000

12. Lampiran 12

Lag Optimal

VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: BI F I Y K Exogenous variables: C

Date: 04/04/15 Time: 01:17 Sample: 2004Q1 2014Q4 Included observations: 41

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -595.5530 NA 3634313. 29.29527 29.50424 29.37136

1 -461.1479 229.4720 17670.18 23.95844 25.21227 24.41501

2 -408.5192 77.01764* 4859.121* 22.61069* 24.90939* 23.44775*

3 -384.4008 29.41276 5900.238 22.65370 25.99725 23.87123

* indicates lag order selected by the criterion

LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error

AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion

13. Lampiran 13

Uji Kausalitas

Pairwise Granger Causality Tests Date: 04/04/15 Time: 07:50 Sample: 2004Q1 2014Q4 Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

Y does not Granger Cause BI 42 0.08020 0.92309


(2)

80

K does not Granger Cause BI 42 0.38774 0.68132

BI does not Granger Cause K 0.98898 0.38157

I does not Granger Cause BI 42 2.26232 0.11832

BI does not Granger Cause I 13.7423 3.4E-05

F does not Granger Cause BI 42 5.40524 0.00872

BI does not Granger Cause F 1.39592 0.26034

K does not Granger Cause Y 42 8.65124 0.00083

Y does not Granger Cause K 0.96418 0.39067

I does not Granger Cause Y 42 0.91379 0.40986

Y does not Granger Cause I 0.33219 0.71947

F does not Granger Cause Y 42 0.32049 0.72779

Y does not Granger Cause F 1.39704 0.26007

I does not Granger Cause K 42 0.10098 0.90420

K does not Granger Cause I 0.09936 0.90566

F does not Granger Cause K 42 0.17938 0.83651

K does not Granger Cause F 1.88032 0.16683

F does not Granger Cause I 42 0.97658 0.38609

I does not Granger Cause F 0.35764 0.70172

14. Lampiran 14

Estimasi VAR

Vector Autoregression Estimates Date: 04/06/15 Time: 23:22 Sample (adjusted): 2004Q3 2014Q4

Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

BI DI DK DY F

BI(-1) 1.066651 2.284831 33.62374 -0.219283 0.119415

(0.17129) (0.48773) (116.869) (0.12027) (0.10066)

[ 6.22715] [ 4.68460] [ 0.28771] [-1.82329] [ 1.18628]


(3)

81

(0.06390) (0.18195) (43.5976) (0.04487) (0.03755)

[-1.46885] [-0.43478] [ 0.87676] [ 0.58670] [-0.69116]

DK(-1) 9.03E-05 -0.000316 0.869458 -0.000280 -8.24E-05

(0.00015) (0.00042) (0.10182) (0.00010) (8.8E-05)

[ 0.60501] [-0.74410] [ 8.53955] [-2.67339] [-0.93971]

DY(-1) 0.143627 0.639919 160.3368 0.391576 -0.183812

(0.16188) (0.46094) (110.449) (0.11366) (0.09513)

[ 0.88724] [ 1.38829] [ 1.45168] [ 3.44512] [-1.93214]

F(-1) 0.013991 -0.765688 -106.5949 0.139339 0.911370

(0.11070) (0.31521) (75.5290) (0.07773) (0.06506)

[ 0.12639] [-2.42915] [-1.41131] [ 1.79270] [ 14.0090]

C -1.570023 -9.679189 49.59714 7.510900 1.226191

(2.11301) (6.01658) (1441.67) (1.48360) (1.24177)

[-0.74303] [-1.60875] [ 0.03440] [ 5.06262] [ 0.98746]

R-squared 0.869038 0.691789 0.756962 0.602780 0.960537

Adj. R-squared 0.850849 0.648982 0.723207 0.547611 0.955056

Sum sq. resids 18.18298 147.4223 8464404. 8.963919 6.279758

S.E. equation 0.710692 2.023627 484.8941 0.498997 0.417657

F-statistic 47.77797 16.16062 22.42499 10.92599 175.2483

Log likelihood -42.01456 -85.96369 -316.0833 -27.16171 -19.68831

Akaike AIC 2.286408 4.379223 15.33730 1.579129 1.223253

Schwarz SC 2.534646 4.627462 15.58554 1.827368 1.471492

Mean dependent 7.803571 6.986905 9668.049 5.781905 1.608571

S.D. dependent 1.840216 3.415589 921.6565 0.741894 1.970077

Determinant resid covariance (dof

adj.) 14541.52

Determinant resid covariance 6727.845

Log likelihood -483.0713

Akaike information criterion 24.43197

Schwarz criterion 25.67316

15. Lampiran 15


(4)

82

-0.4 0.0 0.4 0.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI to BI

-0.4 0.0 0.4 0.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI to DI

-0.4 0.0 0.4 0.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI to DK

-0.4 0.0 0.4 0.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI to DY

-0.4 0.0 0.4 0.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of BI to F

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DI to BI

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DI to DI

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DI to DK

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DI to DY

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DI to F

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DK to BI

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DK to DI

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DK to DK

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DK to DY

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DK to F

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DY to BI

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DY to DI

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DY to DK

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DY to DY

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of DY to F

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of F to BI

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of F to DI

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of F to DK

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of F to DY

-.4 -.2 .0 .2 .4 .6 .8

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Response of F to F Response to Cholesky One S.D. Innov ations ± 2 S.E.


(5)

83

16. Lampiran 16

Variance Decomposition

Variance Decomposition of BI:

Period S.E. BI DI DK DY F

1 0.710692 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000

2 0.997447 96.64741 2.748219 0.101570 0.499646 0.003158

3 1.167694 94.87184 3.769452 0.395078 0.819093 0.144536

4 1.280546 93.65133 4.166522 0.757852 0.974470 0.449829

5 1.362239 92.65332 4.350712 1.111739 1.028785 0.855448

6 1.425336 91.78365 4.454726 1.428394 1.029428 1.303799

7 1.476438 91.01032 4.524281 1.703511 1.005471 1.756422

8 1.519285 90.31898 4.576495 1.941313 0.972674 2.190536

9 1.556128 89.70100 4.618366 2.147868 0.938695 2.594071

10 1.588392 89.14960 4.653078 2.328743 0.906788 2.961791

Variance Decomposition of DI:

Period S.E. BI DI DK DY F

1 2.023627 22.21711 77.78289 0.000000 0.000000 0.000000

2 2.543623 46.93100 49.36233 0.688797 1.563689 1.454192

3 2.855282 55.01832 40.22007 0.759664 2.389769 1.612175

4 3.023534 58.49819 36.56642 0.712253 2.735988 1.487152

5 3.120252 60.33020 34.75242 0.669607 2.846454 1.401313

6 3.181815 61.40040 33.69191 0.647884 2.850405 1.409404

7 3.225391 62.06294 32.98174 0.644885 2.813880 1.496555

8 3.259213 62.49033 32.45064 0.656811 2.767279 1.634938

9 3.287354 62.77739 32.01968 0.680588 2.722350 1.799992

10 3.311896 62.97973 31.65029 0.713731 2.682277 1.973972

Variance Decomposition of DK:


(6)

84

1 484.8941 0.761717 0.018982 99.21930 0.000000 0.000000

2 648.5403 2.239142 1.195810 94.63679 1.494725 0.433534

3 751.1616 4.146956 1.761400 88.82016 3.852522 1.418958

4 820.2270 5.661319 2.015161 83.51238 6.197762 2.613376

5 866.6433 6.562120 2.157094 79.31074 8.171850 3.798194

6 897.1383 6.946640 2.262072 76.21503 9.697393 4.878865

7 916.7535 7.000937 2.354859 74.01273 10.80878 5.822692

8 929.3209 6.901483 2.441947 72.45752 11.57551 6.623537

9 937.6166 6.781726 2.523601 71.33543 12.07209 7.287153

10 943.5228 6.725920 2.598511 70.48350 12.36661 7.825460

Variance Decomposition of DY:

Period S.E. BI DI DK DY F

1 0.498997 0.057858 0.217930 2.764139 96.96007 0.000000

2 0.578307 4.532884 0.975302 10.37833 83.18184 0.931647

3 0.636515 10.11092 0.926627 17.86468 68.92598 2.171797

4 0.689504 14.20033 0.789704 22.44945 59.24568 3.314840

5 0.733256 16.62508 0.726772 24.60497 53.76566 4.277528

6 0.765858 17.88205 0.720172 25.40389 50.91147 5.082414

7 0.788350 18.42338 0.742093 25.56647 49.50860 5.759453

8 0.803001 18.55928 0.776615 25.47105 48.86438 6.328673

9 0.812165 18.49143 0.815755 25.29603 48.59371 6.803074

10 0.817796 18.34764 0.855483 25.11712 48.48689 7.192865

Variance Decomposition of F:

Period S.E. BI DI DK DY F

1 0.417657 6.958022 1.002363 0.027499 0.013009 91.99911

2 0.590566 10.35283 2.729910 0.109171 2.575593 84.23249