1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan untuk selanjutnya disebut UU OJK, terjadi banyak
perubahan dalam setiap sektor lembaga keuangan.Pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun non-bank awalnya dilakukan oleh beberapa lembaga, menjadi
pengawasan yang dilakukan oleh satu lembaga tunggal, yaitu Otoritas Jasa Keuangan untuk selanjutnya disebut OJK.
Penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan disektor jasa keuangan yang
mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan
agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin
tercapainya stabilitas sistem keuangan.Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.
Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang untuk selanjutnya disebut UU BI, juga mengamanatkan
pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup
Universitas Sumatera Utara
perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut di atas pada hakikatnya merupakan lembaga bersifat independen dalam menjalankan tugasnya
dan kedudukannya berada di luar pemerintah.Lembaga ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk selanjutnya
disebut BPK dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk selanjutnya disebut DPR.
1
1
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Umum.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya
saing nasional.Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan
di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran fairness.
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK;
3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK; dan
7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
2
2
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan usaha perasuransian di Indonesia semakin pesat seiring dengan semakin banyaknya masayarakat yang ingin mengalihkan resiko yang
akan di hadapinya kepada pihak asuransi. Resiko dalam asuransi adalah ketidak pastian akan terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian
ekonomis. Bentuk-bentuk risiko antara lain risiko murni, risiko spekulatif, risiko
partikular dan risiko fundamental. Risiko murni adalah risiko yang akibatnya hanya ada 2 macam: rugi atau break even, contohnya pencurian, kecelakaan atau
kebakaran. Risiko spekulatif adalah risiko yang akibatnya ada 3 macam: rugi, untung atau break even, contohnya judi. Risiko partikular adalah risiko yang
berasal dari individu dan dampaknya lokal, contohnya pesawat jatuh, tabrakan mobil dan kapal kandas.Sedangkan risiko fundamental adalah risiko yang bukan
berasal dari individu dan dampaknya luas, contohnya angin topan, gempa bumi dan banjir.
Bagi masyarakat pada umumnya risiko yang mungkin menimpa dirinya dan atau keluarga-keluarga inti dialihkan ke pihak lain, dalam hal ini perusahaan
asuransi. Tapi perlu juga disadari bahwa perusahaan asuransi suatu lembaga atau tepatnya sebagai badan usaha, tentunya tidak dapat dilepaskan dari perhitungan
bisnis artinya perusahaan asuransi bersedia mengambil alih risiko dengan imbalan berupa pembayaran premi dari nilai risiko yang akan ditanggung.
Menghindari risiko merupakan sebab lahirnya lembaga asuransi dimana asuransi merupakan tuntutan masa depan karena mengandung manfaat sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari risiko
kerugian yang mungkin timbul. 2.
Menciptakan efisiensi perusahaan business efficiency. 3.
Sebagai alat penabung saving yang aman dari gejolak ekonomi. 4.
Sebagai sumber pendapatan earning power yang didasarkan pada financing the bussiness.
3
Pesatnya perkembangan dalam industri perasuransian tidak diimbangi dengan peraturan perundang-undangannya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian untuk selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian tidak lagi cukup untuk menangani permasalah yang ada dalam
industri perasuransian. Melihat hal tersebut, OJK dan anggota legislatif mengganti UU Usaha Perasuransian dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Perasuransian selanjutnya disebut dengan UU Perasuransian. Upaya untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat
diandalkan, amanah, dan kompetitif secara umum dilakukan, baik dengan penetapan ketentuan baru maupun dengan penyempurnaan ketentuan yang telah
ada. Upaya tersebut diwujudkan antara lain dalam bentuk: 1.
penetapan landasan hukum bagi penyelenggaraan usaha asuransi syariah dan usaha reasuransi syariah;
2. penetapan status badan hukum bagi perusahaan asuransi berbentuk usaha
bersama yang telah ada pada saat UU Perasuransian diundangkan; 3.
penyempurnaan pengaturan mengenai kepemilikan perusahaan perasuransian yang mendukung kepentingan nasional;
3
A. Abbas Salim, Dasar-DasarAsuransi Principle of Insurance Bandung: Tarsito. 2001, hlm.2.
Universitas Sumatera Utara
4. pemberian amanat lebih besar kepada perusahaan asuransi dan perusahaan
asuransi syariah untuk mengelola kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pemasaran layanan jasa asuransi dan asuransi syariah, termasuk kerja sama
keagenan; dan 5.
penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga tata kelola perusahaan yang baik, kesehatan keuangan, dan perilaku usaha yang sehat.
4
Banyak perubahan dalam UU Perasuransian salah satunya adalah tentang pengaturan dan pengawasan.Pengaturan dan pengawasan dalam undang-undang
yang lama dilakukan oleh Kementrian Keuangan, sedangkan undang-undang yang baru pengawasan dilakukan oleh OJK.
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan agar lembaga jasa keuangan non-bank memenuhi janjinya kepada nasabah.Agar tujuan tersebut
tercapai, diperlukan suatu sistem pengawasan yang dapat memberikan indikasi mengenai potensi kegagalan lembaga jasa keuangan non-bank secara dini.Indikasi
tersebut dapat diperoleh secara akurat apabila OJK memperoleh informasi yang memadai mengenai kondisi lembaga jasa keuangan non-bank. Salah satu cara
untuk memperoleh informasi tersebut adalah melalui pemeriksaan langsung. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya OJK dapat menugaskan pihak lain
untuk dan atasnama OJK untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pengawasan OJK.
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu, antara lain melakukan penunjukan dan menetapkan penggunaan
pengelola statuter. Penunjukan pengelola statuter dilakukan apabila pengelolaan
4
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Penjelasan Umum.
Universitas Sumatera Utara
suatu lembaga jasa keuangan dinilai merugikan kepentingan konsumen sehingga diperlukan pengelola yang dapat mewakili kepentingan OJK dan konsumen.
Pada prinsipnya pengelola statuter melaksanakan kewenangan OJK antara lain dalam bentuk upaya penyelamatan kelangsungan usaha lembaga jasa
keuangan, pengambil alihan seluruh wewenang dan fungsi manajemen lembaga jasa keuangan, pembatalan atau pengakhiran perjanjian, serta pengalihan
portofolio kekayaan atau usaha dari lembaga jasa keuangan. Agar kewenangan penunjukan dan penggunaan pengelola statuter dapat dilakukan dengan tata kelola
yang baik. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih
lanjut mengenai pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap industri perasuransian, sehingga penulis mengangkat judul “Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan Pada Industri Perasuransian Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian”.
B. Perumusan Masalah