Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
melihat matematika sebagai sekumpulan konsep yang terintegrasi, maka pembelajaran matematika idealnya harus dirancang sebagai pembelajaran yang
bermakna bagi siswa dan dapat mendorong siswa untuk memahami keterkaitan konsep pada materi yang disampaikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat
kalangan pendidik matematika serta pengamat masalah matematika bahwa pembelajaran matematika di sekolah harus bermakna dan juga mampu
menunjukkan manfaat matematika dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan Sabandar dalam Maulana, 2010b. Untuk menciptakan pembelajaran
yang bermakna, guru dapat mendesain pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat
mengaktualisasikan kemampuan dirinya. Maulana 2008: 88 mengatakan bahwa pendekatan approach pembelajaran adalah cara yang ditempuh guru dalam
pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Pembelajaran yang bermakna akan membuat pengetahuan yang diperoleh
siswa bertahan lama. Kekuatan memori otak akan sangat berguna, baik untuk saat ini maupun pada masa yang akan datang. Jangan sampai pada saat siswa belajar,
mereka hanya merasa menggunakan rumus untuk soal-soal yang diberikan oleh guru tanpa mengetahui makna dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Keterkaitan materi matematika secara internal maupun eksternal dalam kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi disebut kemampuan koneksi
matematis. Kemampuan koneksi matematis merupakan salahsatu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang ditargetkan dalam kurikulum pembelajaran
matematika. Maulana 2008a mengatakan bahwa standar kompetensi kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang harus dicapai siswa setelah
mengikuti pembelajaran matematika di antaranya pemahaman matematis, pemecahan masalah matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, dan
komunikasi matematis. Sejalan dengan hal tersebut, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP mata pelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar dalam Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP, 2006: 30 menargetkan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut, yaitu:
3
1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam penyelesaian masalah;
2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5.
memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari tujuan-tujuan di atas, salahsatu tujuan pembelajaran matematika
adalah agar siswa dapat memahami keterkaitan antarkonsep matematika dan mengaplikasikan konsep secara tepat dalam penyelesaian masalah. Selain itu,
siswa juga dapat memahami bahwa matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang ditargetkan dalam KTSP tersebut termasuk dalam
kemampuan koneksi matematis. Tanpa adanya koneksi, siswa akan merasa harus belajar, mengingat dan
mengulangi pelajaran lebih banyak dari yang lain. Siswa juga akan menganggap matematika sebagai konsep abstrak yang kurang memiliki kaitan dengan
kehidupan sehari-harinya. Padahal, sebenarnya matematika terbentuk dari konsep- konsep yang saling berkaitan dan saling menunjang. Oleh karena itu, kemampuan
koneksi matematis sangat diperlukan oleh siswa sejak dini. Melalui koneksi matematis, siswa akan memandang matematika sebagai suatu bagian yang
terintegrasi, bukan sebagai sekumpulan materi yang terpisah-pisah. Herlan Setiawan, 2009 mengatakan bahwa dalam standar kurikulum
NCTM National Council of Teacher of Mathematic, koneksi matematis digolongkan sebagai alat bagi pemecahan masalah. Penyebab rendahnya
kemampuan matematis siswa, bisa jadi disebabkan oleh kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematis yang masih rendah. Oleh karena itu, agar
kemampuan berpikir matematis dapat terpenuhi, terlebih dahulu guru harus
4
menyampaikan konsep matematika secara terkoneksi agar siswa tidak memiliki pandangan bahwa matematika merupakan sekumpulan materi yang terpisah-pisah.
Dari pentingnya pendidikan matematika dan kemampuan koneksi matematis siswa berdasarkan pemaparan di atas, idealnya pendidikan di Indonesia
dapat menghasilkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan berpikir matematis yang baik terutama pada kemampuan koneksi matematisnya. Namun, dari hasil
studi yang telah dilakukan, tampaknya mutu pendidikan di Indonesia cenderung masih rendah. Wardhani dan Rumiati 2011 mengatakan bahwa salahsatu
indikator yang menunjukkan mutu pendidikan di tanah air cenderung masih rendah adalah hasil penilaian internasional tentang prestasi siswa. Survey Trends
International Mathematics and Science Study TIMSS pada tahun 2003
menunjukkan hasil belajar siswa kelas VIII Indonesia berada di peringkat 34 dari 45 negara. Walaupun rata-rata skor naik dari 403 pada tahun 1999 menjadi 411,
Indonesia masih berada di bawah rata-rata untuk wilayah ASEAN. Pada tahun 2007 rata-rata skor siswa turun menjadi 397, jauh lebih rendah dibanding rata-rata
internasional yaitu 500. Prestasi Indonesia pada TIMSS tahun 2007 berada pada peringkat 36 dari 49 negara.
Tidak jauh berbeda dengan TIMSS, Wardhani dan Rumiati 2011 juga mengatakan bahwa pada Programme for Student Assessment PISA prestasi
belajar anak Indonesia yang berusia 15 tahun masih rendah. Pada PISA tahun 2006 Indonesia menempati peringkat ke-50 dari 57 negara dengan rata-rata skor
391. Pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-61 dari 65 negara. Dengan skor rata-rata 371, sementara skor internasional adalah 496.
Hasil TIMSS dan PISA yang rendah ditentukan oleh banyak faktor di antaranya siswa Indonesia kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal dengan
karakteristik soal pada TIMSS dan PISA. Soal-soal itu rata-rata mengukur kemampuan tingkat tinggi. Dari salahsatu soal yang termasuk kemampuan
koneksi matematis, hanya ada 11 yang menjawab benar. Kemungkinan penyebab hal ini adalah siswa belum mampu melakukan koneksi antartopik yang
termuat dalam soal tersebut. Topik-topik yang termuat dalam soal yang mengukur kemampuan koneksi matematis itu di antaranya menghitung luas lingkaran,
5
melakukan operasi hitung perkalian dan pembagian bilangan bulat serta membandingkan dua bilangan. Dari contoh soal tersebut, dapat diketahui bahwa
kemampuan koneksi siswa SMP khususnya di Indonesia masih lemah. Lemahnya kemampuan koneksi matematis siswa SMP ini mungkin disebabkan oleh
pembelajaran yang tidak terbiasa mengedepankan koneksi matematis sejak dari jenjang sekolah dasar.
Selain kemampuan koneksi matematis, motivasi siswa juga tampaknya menjadi salahsatu hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran matematika.
Melihat matematika sebagai konsep yang abstrak cenderung lebih mendorong siswa merasakan kurangnya semangat dalam belajar, padahal pembelajaran
matematika sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Motivasi yang paling penting dalam diri setiap siswa adalah motivasi intrinsik. Djamarah 2011: 149
mengatakan bahwa motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar. Dengan motivasi intrinsik, siswa
akan memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari matematika. Motivasi intrinsik ini sifatnya sangat kuat karena tidak dipengaruhi oleh faktor luar.
Namun, jika seorang siswa tidak memiliki motivasi intrinsik, inilah tugas guru untuk memberikan dorongan dari luar atau motivasi ekstrinsik.
Kurangnya motivasi belajar siswa akan berdampak buruk bagi pembelajaran matematika itu sendiri. Pembelajaran tidak mungkin berhasil jika
siswa tidak memiliki motivasi terhadap pembelajaran tersebut. Hal itu terjadi karena motivasi merupakan suatu modal awal untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Orang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Begitupun orang yang kurang memiliki
motivasi dalam belajar, tidak akan bersungguh-sungguh dalam aktivitas belajar. Pada kenyataannya, siswa sekolah dasar umumnya banyak yang tidak
menyukai pelajaran matematika. Mereka menganggap matematika sebagai suatu pembelajaran yang sulit dan membosankan. Seperti yang dikemukakan Ruseffendi
Maulana, 2010b: 3 “Matematika itu pasti bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan pelajaran yang
paling dibenci”. Banyak dari siswa yang menganggap matematika adalah
6
sekumpulan rumus yang abstrak yang kurang memiliki manfaat bagi kehidupan- nya. Kesulitan yang dirasakan siswa dan ketidaktahuan siswa terhadap manfaat
dari materi yang dipelajari ini mengakibatkan siswa menjadi malas dan tidak bersemangat untuk belajar. Gaya mengajar guru yang kurang inovatif dalam
merancang model pembelajaran yang dapat menimbulkan kesenangan dan membuat siswa terlibat aktif dalam pembelajaran menjadi salahsatu penyebab
kesulitan dan ketidaksukaan siswa terhadap matematika. Salahsatu materi pembelajaran SD memiliki keterkaitan dengan konsep
lain dan kehidupan sehari-hari adalah materi skala. Namun, sebagian besar siswa dari hasil wawancara yang dilakukan di salahsatu sekolah di Kecamatan
Tanjungsiang cenderung hanya memahami penghitungannya saja. Mereka kurang merasakan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun siswa yang
mengatakan faham terhadap penerapan konsep skala dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak diantara mereka yang hanya menganggap skala itu hanya digunakan
dalam peta. Salahsatu masalah yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan koneksi
matematis dan motivasi siswa adalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, masih ada guru yang menggunakan paradigma teacher
centered dan lebih mempermasalahkan bagaimana mereka menyampaikan materi
matematika hingga akhirnya tagihan kurikulum dapat diselesaikan. Hal ini sejalan dengan ungkapan Maulana 2010b bahwa masih ada di kalangan guru yang
mempersoalkan bagaimana mereka mengajarkan materi matematika hingga akhirnya tagihan kurikulum dapat dilunasi. Guru terkadang kurang mendorong
siswa untuk mengembangkan potensinya. Pembelajaran hanya diarahkan untuk memberi pengetahuan siap pakai dan hapalan saja, sehingga siswa merasa jenuh
dan tidak termotivasi dengan pembelajaran yang cenderung monoton dan kurangnya inovasi dalam proses pembelajarannya. Selain itu, masih ada guru yang
kurang melibatkan siswa secara aktif dalam penemuan konsep matematika dan mengaitkannya dengan keseharian siswa. Padahal, pembelajaran yang bermakna
itu dapat diperoleh dengan melibataktifkan siswa baik secara fisik maupun mental dalam menemukan konsep matematika.
7
Mengingat pentingnya kemampuan koneksi matematis dan motivasi belajar siswa, maka guru diharapkan dapat mengembangkan suatu pendekatan
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk lebih aktif dan lebih banyak memberikan peluang kepada siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Salahsatu pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan motivasi belajar siswa adalah
pendekatan matematika realistik PMR. Karakter yang dimiliki PMR adalah menggunakan konteks, model-model,
produksi, konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan Suharta, dalam Adjie dan Maulana, 2006. Selain itu, Adjie dan Maulana 2006 juga mengatakan bahwa
dalam pendekatan matematika realistik, tahap-tahap yang dilalui di antaranya sebagai berikut ini, yaitu:
1. pembelajaran dimulai dengan masalah kontekstual sehingga
memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
2. Siswa diberi kebebasan untuk membuat model-model sendiri dalam
penyelesaian masalah, dari model-of masalah tersebut menjadi model-for masalah sejenis.
3. Menekankan bahwa dengan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar.
4. Interaksi siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam matematika
realistik 5.
Pengintegrasian unit-unit matematik adalah hal yang esensial, karena jika diabaikan keterkaitannya dengan konsep lain, maka akan berpengaruh
pada penyelesaian masalah. Dari karakteristik dan tahap-tahap PMR di atas, dapat dilihat bahwa
pendekatan matematika realistik menekankan pada kemampuan koneksi matematis dan peningkatan motivasi siswa. PMR yang menekankan pada
penggunaan konteks dan pengintegrasian unit-unit matematik akan menumbuhkan kemampuan koneksi matematis siswa. Di samping itu, pembelajaran dengan PMR
8
yang melibatkan siswa secara langsung dalam penemuan konsep maupun aktivitas matematis lainnya diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar, sehingga
siswa akan terdorong untuk belajar lebih rajin dan sungguh-sungguh di dalam kelas.
Atas pertimbangan di atas, dilakukanlah penelitian ini dengan judul “Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan
Koneksi Matematis dan Motivasi Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Materi Skala Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas VA-VB SDN Neglasari, Kelas V
SDN Buniara dan Kelas V SDN Sindanglaya di Kecamatan Tanjungsiang Kabupaten Subang
”.