Kewarisan menurut Ulama 4 Madzhab

1. Pengahalang Pertama : Budak Budak menurut bahasa berarti pengabdian, sedangkan menurut istilah adalah ketidakmapuan secara hukum yang menetap pada diri manusia. Penyebabnya pada asalnya adalah kafir. Kafir adalah penghalang warisan secara mutlak, baik status budak itu utuh atau tidak menurut pendapat Hanafiyyah dan Malikiyyah. Oleh karena itu, antara orang yang merdeka dan budak tidak bisa saling mewarisi. 2. Penghalang kedua : Membunuh Fuqaha bersepakat bahwa membunuh adalah penghalang warisan. Sebab, dia mempercepat warisan sebelum waktunya dengan perbuatan yang dilarang oleh karena itu, dia di hukum karena melanggar apa yang dimaksudkan, supaya dia takut dengan apa yang dilakukannya. 6 Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai macam- macam pembunuhan yang menghalangi warisan : Pendapat Hanafiyyah : adalah pembunuhan yang haram. Yakni pembunuhan yang terkait dengan kewajiban qishas dan kafarat. Mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena salah juga yang semacam pembunuhan salah. Pendapat Malikiyyah : adalah pembunuhan sengaja karena amarah, baik langsung maupun karena sebab tertentu. Mencakup orang yang memerintah, orang yang menganjurkan, orang yang memberi 6 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu terjemah jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, Hal. 354. fasilitas, orang yang bersama-sama membunuh, orang yang menaruh racun dalam makanan dan minuman, orang yang mengintai tempat saat terjadi pembunuhan, saksi palsu dan orang yang memaksa dengan sungguh-sungguh untuk orang yang terjaga darahnya. Adapun pembunuhan karena salah tidak menghalangi warisan harta namun menghalangi warisan diyat. Pendapat Syafi‟iyyah : orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang dibunuh secara mutlak, baik langsung ataupun karena sebab, terpaksa ataupun tidak, hak atau tidak, orang yang mukallaf atau bukan mukallaf. Ini adalah pendapat yang paling luas. Pendapat Hanabilah bahwa pembunuhan yang menghalangi warisan adalah pembunuhan karena tidak hak. Yaitu, pembunuhan, yang dijamin dengan qishash, diyat atau kafarat. Oleh karena, itu hal ini mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena salah. 3. Penghalang Ketiga : Perbedaan Agama Berlainan Agama adalah berbeda agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang diwarisi dengan orang yang mewariskan. 7 Perbedaan agama antara Muwarrits dan orang yang mewarisi karena Islam dan lainnya menghalangi warisan sebagaimana kesepakatan ulama madzhab empat. Semua ulama mengkelompokkan orang selain muslim adalah kafir. Orang kafir disini adalah pemeluk 7 Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 74 selain beragama Islam, baik beragama samawi atau beragama ardhi atau tidak beragama sekalipun atheis. Bahwa mereka adalah orang- orang yang menentang Nabi Muhammad SAW. 8 Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim, baik disebabkan kekerabatan atau hubungan suami istri karena sabda Nabi Muhammad SAW: ݐْݞاسح ݐْب ِݜلاع ْݐاع ۹ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح ْݐاع اݏاامْثع ݐْب ورْماع ْݐاع َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ ݓاور املْسمْلا رفااكْلا اَاو ارفااكْلا ملْسمْلا ثراي اَ ا݇ااق امَلاساو ݔْݞالاع ََ ݚَلاص ݛراخبلا 9 Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” Petunjuk yang pasti dalam Al- qur’an tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab ada dijelaskan dalam Al- Qur’an. Mengingat bahwa antara 8 Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al Faraidh: Deskripsi Hukum Islam Praktis dan Terapan, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005, hal. 40 9 M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal 784. hak kewarisan dengan hak perkawianan dekat hubungannya, maka dalam menghadapi hadits Nabi yang melarang hak kewarisan muslim dari non-Muslim terdapat perbedan pendapat dikalangan ulama. 10 Nabi SAW sendiri telah mempaktikkan pembagian warisan, dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang saling waris mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Tholib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu Uqail dan Thalib. Sementara anaknya yang telah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, oleh beliau tidak diberi bagian waris. 11 َنأ ل ط ي أ نْ ِيلع نْ نْيسح نْ ِيلع ْنع ش نْ ا ْنع كل م ْنع ي ثَدح ع ل ط أ ث مَنإ ْخأ يصن ْك ت كل لف ل ق ٌيلع ْث ي ْمل ل ط ليق ْعِشلا ْنم كل ملا ا ١2 Artinya : “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa Aqil dan Thalib telah mewarisi harta dari Abu Thalib, sedang Ali tidak mewarisi hartanya. Ali 10 Fathur Rachman, Ilmu Waris,Bandung: Al-Maarif,1975, hal. 97 11 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 108 12 M. Ridwan Syarif Abdullah, Al-Muwaththa Imam Malik Jakarta : Pustaka Azzam, 2005, 434 bin Husain berkata; Maka dari itu, kami tidak mengambil bagian kami berupa tanah yang ada di lembah”. 4. Adapun warisan dari orang murtad, ada perbedaan pendapat: a. Abu Hanifah mengatakan, ahli waris muslim mewarisi laki-laki murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun yang diperoleh saat murtad maka menjadi fa‟i Baitul Mal harta yang disimpan oleh kaum muslimin. Perempuan murtad semua peninggalannya untuk ahli waris yang muslim. b. Dua murid Abu Hanifah tidak membedakan antara laki-laki murtad dan perempuan murtad. Keduanya mengatakan bahwa semua peninggalannya pada saat Islam dan murtad menjadi hak ahli waris mereka yang muslim. c. Mayoritas ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak di warisi sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi fa‟i rampasan untuk Baitul mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam atau pada saat murtad. Sebab, dengan kemurtadannya dia menjadi musuh umat Islam. Status hartanya seperti harta kafir harbi. Ini jika dia meninggal dalam keadaan murtad, kalau tidak maka hartanya diwakafkan. Oleh karena itu, jika dia kembali kepada Islam maka harta itu menjadi miliknya. 13 13 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu terjemah jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, Hal. 354-360. Adapun jika salah seorang suami murtad sebelum persetubuhan maka nikahnya menjadi batal seketika. Jika murtadnya setelah persetubuhan maka ada dua riwayat : 1. Dipercepat perpisahan keduanya. 2. Menunggu sampai selesai iddah. Adapun kafir zindiq, adalah orang yang menunjukkan keislaman sementara dia menyembunyikan kekafiran. Hukum zindiq menurut mayoritas ulama selain Malikiyyah adalah seperti orang murtad. Malikiyah mengatakan bahwa kafir zindiq diwarisi berbeda dengan orang murtad, Para ahli warisnya yang muslim juga mewarisinya, jika dia menunjukkan keislamannya. 14 Kesimpulannya, murtad secara umum menghalangi pewarisan. Sebagian ulama menghitungnya sebagai penghalang khusus berbeda dengan perbedaan agama. Sebab, murtad mempunyai hukum khusus. Orang murtad tidak mewarisi siapa pun selain orang murtad secara mutlak, juga tidak diwarisi menurut pendapat mayoritas ulama selain Hanafiyyah. Sedang menurut dua orang muridnya Abu Hanifah, bisa diwarisi secara mutlak. Hartanya yang diperoleh pada waktu Islam sajalah yang diwarisi menurut Abu Hanifah.

B. Kewarisan Menurut Yusuf Qardhawi

14 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu terjemah jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, Hal. 360. Seorang ulama kontemporer bernama Yusuf al-Qara ḍawi menjelaskan dalam bukunya Hadyu al-Islam Fatawi M u’asirah bahwa orang Islam dapat mewarisi dari orang non-Islam sedangkan orang non-Islam itu sendiri tidak boleh mewarisi dari orang Islam. Menurutnya Islam tidak menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Terlebih lagi dengan harta peninggalan atau warisan yang dapat membantu untuk mentauhidkan Allah, taat kepada-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya. Bahkan sebenarnya harta ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada-Nya. 15 Hal ini, didasarkan kepada surat Al-Maidah Ayat 5: ا݋ْݘاݞْلا َ݈حأ مكال ۿاابِݞَطلا ݋ااعاطاو اݐيܖَلا اݘتوأ ا۹اا܂كْلا ݈ح ْمكال ْمكمااعاطاو ݈ح ْمݖال ۿااݒاصْحمْلااو اݐم ۿااݒمْ۰مْلا ۿااݒاصْحمْلااو اݐم اݐيܖَلا اݘتوأ ا۹اا܂كْلا ْݐم ْمكلْباق ااܕإ َݐݕݘم܂ْݞاتآ َݐݕارݘجأ اݐݞݒصْحم ارْݞاغ اݐݞحفااسم َاو ݛܖخَ܂م ݏاادْخاأ ْݐاماو ْرفْكاي ݏااميإاب ْداقاف اطباح ݔلاماع اݘݕاو ݜف ۽ارخݟا اݐم اݐيرسااخْلا ملا ۽دى۬ : ٥ Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan sembelihan Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang- orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa yang kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amalan mereka dan di hari kiamat dia termasuk orang-orang yang rugi. Q. S. Al-Maidah: 5 15 Al-Qara ḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah, Jilid ke-3 Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 850. Pada ayat di atas memperbolehkan menikahi wanita ahli kitab yang pada hakikatnya non muslim, yang nantinya ketika sang ahli kitab tersebut meninggal menimbulkan hukum baru yaitu kewarisan, pada hal ini kewarisan beda agama. Dengan perkataan lain kalau seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan non-Muslim yang Ahli al-kitab, maka seorang Muslim dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris yang non-Muslim yang Ahli al-kitab. Istinbat hukum yang ditempuh oleh Yusuf al-Qaradawi dalam masalah waris beda agama adalah menafsiri hadits tentang larangan waris beda agama dengan menggunakan hasil ta’wil-an dari ulama mazhab Hanafi terhadap hadits tentang tidak dibunuhnya orang Islam disebabkan membunuh orang kafir harbi. Dimana, lafaz kafir pada ḥadis larangan waris beda agama adalah masih bersifat umum, sehingga perlu adanya pentakhsisan, yaitu diartikan dengan kafir harbi. Selain itu, Yusuf Qara ḍawi memandang akan adanya kemaslahatan yang besar ketika orang Islam bisa mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang kafir zimmi, di antaranya dapat menarik hati orang-orang kafir zimmi untuk masuk Islam. Dimana yang dimaksud kafir disini adalah kafir harbi, jadi seorang muslim tidak mewarisi kafir harbi kaum yang memerangi umat Islam secara nyata disebabkan terputusnya hubungan mereka. 16 16 Al-Qara ḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah, Jilid ke-3 Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 856-860. 30

BAB III WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA

A. Hukum Waris Beda Agama menurut KHI

Dalam KHI, hukum kewarisan terdapat dalam Buku II yang terdiri dari 6 Bab dan 44 Pasal dari pasal 171- 214 dengan rincian Bab I tentang Ketentuam Umum, Bab II tentang Ahli Waris, Bab III tentang Besarnya Bahagian, Bab IV tentang Aul dan Rad, Bab V tentang Wasiat, dan Bab VI tentang Hibah. 1 Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam pasal 171 ayat c, “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalan g karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum. Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal 172 yakni, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang 1 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2011, hal. 98. baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya” Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada garis- garis hukum faraid. Warna alam pikiran asas qath’i masih agak dominan dalam perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al- Qur’an. Buku II tentang hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam hanyalah penjelasan yang berupa pokok-pokoknya saja. Ini disebabkan karena garis-garis hukum yang dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam hanyalah sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Adapun untuk pengembangannya diserahkan kepada para hakim dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dengan demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada peraturan secara khusus tentang kewarisan beda agama. Kompilasi Hukum Islam KHI hanya saja menjelaskan secara garis besar tentang kewarisan. Penjelasan tentang kewarisan beda agama sudah tercakup dalam pasal 171 ayat c, yaitu bahwasanya perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi dan agama Islam merupakan syarat utama dalam memperoleh warisan. 2 2 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2011, hal. 99-101.