Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak tahun 1998 Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami krisis ekonomi yang pada akhirnya melahirkan krisis multi dimensi yang mencakup seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu yang dirasakan pada saat itu adalah sentralisasi pemerintah pusat yang dirasakan amat besar, terutama sejak orde baru. Terjadinya krisis ini
juga tidak terlepas karena tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Menanggapi hal tersebut, sejak tahun 2001, Negara Kesatuan Republik
Indonesia menerapkan Desentralisasi otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 saat ini telah dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang “Pemerintahan
Daerah” dan UU No. 25 tahun 1999 saat ini telah dirubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 22 Tahun 1999 pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan atas dasar desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor”
sedangkan pemerintah propinsi sebagai kordinator. Atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah daerah menjadi lebih besar dari sebelumnya, dimana daerah dalam hal ini
Propinsi, Kabupaten atau Kota berhak untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Salah satu implementasi hal tersebut adalah Pemerintah Daerah mempunyai wewenang dalam
mengatur ekonomi daerah tanpa campur tangandipengaruhi secara mutlak oleh Pemerintah pusat.
Menurut Yuwono, dkk 2005 : 50 “Paket undang-undang otonomi daerah ini mengamanatkan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan
Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.
kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD”. Era otonomi daerah ini memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk
merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai kebijakannya sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Otonomi atau desentralisasi perlu dilakukan karena tidak ada suatu pemerintahan dari suatu negara yang luas mampu secara efektif membuat kebijakan publik di segala bidang
ataupun mampu melaksanakan kebijakan tersebut secara efisien diseluruh wilayah tersebut. Dengan adanya desentralisasi diharapkan beban pemerintah pusat dapat berkurang.
Desentralisasi juga diharapkan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Krisis ekonomi di Indonesia yang antara lain disebabkan oleh tata cara
penyelenggaraan pemerintah yang tidak dikelola dan diatur dengan baik, sehingga timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN yang sulit diberantas, dan
masalah penegakan hukum yang sulit berjalan. Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala
permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Pada saat ini, banyak pihak yang menyerukan
tentang Good Governance. Good Governance atau tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik, dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada
semua tingkat. Otonomi daerah sangat identik dengan tuntutan adanya Good Governance. Menurut
Krina. P 2003 setidaknya ada tiga pilar Good Governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Salah satu upaya nyata mewujudkan akuntabilitas dan transparansi ini adalah
penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah
diterima secara umum.
Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.
Untuk itu pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan SAP, dimana dalam peraturan tersebut
menyebutkan bahwa setiap pemerintah, baik pusat maupun daerah harus menyusun laporan keuangan sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, dalam hal
ini adalah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Keluarnya PP No. 24 Tahun 2005 merupakan salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara. Kaho dalam Munir, dkk 2004 : 92 menyatakan bahwa “Salah satu faktor yang
mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik”. Istilah keuangan disini mengandung arti bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang,
antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah, uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Keberhasilan penyelenggaraan
otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna
mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Hal ini mudah dipahami, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif
dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakatnya tanpa tersedianya dana untuk itu.
Dengan bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Dengan otonomi terdapat
dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan
daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah Desentralisasi Fiskal. Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan
keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih
Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.
efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai reformasi pembiayaan atau Financing Reform Mardiasmo, 2002 : 50.
Reformasi pembiayaan merupakan bagian integral dari reformasi pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi ketentuaninstrumen keuangan
daerah. Instrumen yang mengatur penerimaan daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan
Pemerintah PP No. 65 dan PP No. 105, PP No. 106, PP No. 107, PP No. 109 serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002.
Terkait dengan otonomi khusus, yaitu suatu otonomi yang lebih luas dari otonomi daerah, Nanggroe Aceh Darussalam sebagai sebagai salah satu propinsi di Indonesia yang
memperoleh keistimewaan dari pemerintah Pusat dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan, maka Pemerintah
Pusat memberikan status otonomi khusus bagi propinsi DI Aceh. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan propinsi
Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi DI Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta baru-baru ini juga telah disahkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Dengan memperoleh status otonomi khusus ini, tentunya Propinsi NAD beserta kabupaten atau kota yang berada
didalamnya memperoleh hak-hak khusus yang tidak diperoleh oleh daerah lainnya. Salah satu hak tersebut adalah hak untuk mengatur dan mengelola keuangan daerah sepenuhnya dengan
alokasi dana yang besar serta pembagian porsi kekayaan daerah yang lebih besar dimiliki oleh daerah dibandingkan dengan pusat. Sebagai contoh, dalam UU No. 18 Tahun 2001
disebutkan Propinsi NAD akan memperoleh dana penerimaan dalam rangka otonomi khusus yaitu bagi hasil sumber daya alam yang ada di propinsi NAD setelah dikurangi pajak yaitu
sebesar 55 untuk minyak bumi, dan 40 untuk gas alam selama delapan tahun sejak UU
Dora Detisa : Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintahan Naggroe Aceh Darussalam, 2010.
No. 18 Tahun2001 tersebut berlaku. Kemudian dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tersebut menyatakan bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan memperoleh dana
Alokasi Umum DAU sebanyak 2 dari DAU nasional. Selain itu, Propinsi NAD juga akan memperoleh dana-dana lainnya seperti dana migas, dana otsus, dan lain sebagainya. tentunya
hal ini akan mengakibatkan atau membawa perubahan yang begitu besar bagi daerah. Kabupatenkota yang ada di Propinsi NAD, tentunya ikut merasakan perubahan akibat
adanya perubahan ini dengan diberlakukannya otonomi khusus tersebut. Dalam hal ini tentunya perubahan yang sangata kentara ada pada keuangan daerah. Dalam hal ini, tentu
terdapat perubahan setelah diberlakukannya otonomi khusus yang dapat dilihat pada beberapa rasio keuangan daerah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Dengan otonomi khusus maka daerah memperoleh banyak tambahan dana. Diharapkan dengan dana yang banyak ini maka kesejahteraan rakyat di Propinsi NAD dapat
naik atau menjadi lebih baik dari sebelumnya, karena memang otonomi daerah dan otonomi khusus ini diterapkan agar kesejahteraan rakyat dapat meningkat, serta kinerja dari
pemerintah dapat menjadi lebih daik dari sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana tingkat
kinerja keuangan Pemerintah KabupatenKota yang berada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan diterapkannya status otonomi khusus ini yang berjudul :
“Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Khusus Pada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam”.
B. Perumusan Masalah