Dukungan Sosial Pengaruh dukungan sosial dan forgiveness terhadap kekerasan seksual pada remaja

2.2.3 Pengukuran dukungan sosial

Ada beberapa instrument yang dapat digunakan untuk mengukur dukungan sosial seperti, Social Support Questionnaire SSQ, Student Social Support Scale, dan Multidimensional Scale of Perceived Social MSPSS. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur Interpersonal Support Evaluation List ISEL berdasarkan teori Cohen, McKay, Sarason 2000 yang terdiri dari 40 item dengan menggunakan skala likert dari 1-4. Peneliti memilih menggunakan alat ukur ini karena dimensi yang diukur oleh alat ukur ini merupakan dimensi yang cocok dengan teori dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian dari Kamau, Olson, Zipp, and Clark 2011 didapat nilai validitas dari alat ukur ini berkisar dari 0.30 sampai 0.46. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, didapatkan nilai realibilitas alpha’s cronbach dari alat ukur ini adalah berkisar dari 0.88 sampai 0.90.

2.3 Forgiveness

2.3.1 Definisi forgiveness

Forgiveness adalah kesedian menanggalkan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang telah menyakiti hati atau melakukan suatu perbuatan salah pada individu lain McCullough, 2001. Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya muncul keinginan untuk berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti, walaupun orang yang telah menyakiti telah berbuat hal yang menyakitkan terhadap kita. McCullough, et. al, 1998. Selain itu, McCullough 2001 menjelaskan bahwa forgiveness adalah proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap pelaku. Dikatakan bahwa forgiveness merupakan peningkatan motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari avoidance motivations pelaku, rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam revenge motivations terhadap pelaku, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan kembali benevolence motivations terhadap pelaku. Berdasarkan definisi-definisi di atas peneliti menggunakan pengertian dari McCullough 2001 bahwa forgiveness adalah peningkatan dorongan dari arah yang negatif untuk berperilaku ke arah yang lebih baik, yang ditandai dengan rendahnya dorongan seseorang untuk menghindar, untuk membalas dendam, dan bertambahnya dorongan dari diri untuk membina hubungan kembali.

2.3.2 Dimensi dan proses forgiveness

Dimensi forgiveness yang dikemukakan merupakan penjelasan lebih jauh mengenai definisi McCullough 2001. Forgiveness merupakan proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap transgressor. Tiga dorongan tersebut adalah avoidance motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations, yang selanjutnya juga menjadi dimensi forgiveness. Penjelasan dari ke tiga dimensi yang mendasari forgivenesssadalah sebagai berikut: 1. Avoidance motivations Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri withdrawal dari pelaku. 2. Revenge motivations Ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku yang ditujukan kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan berkeinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu dilukai oleh individu lain pelaku, maka yang terjadi dalam dirinya adalah peningkatan dorongan untuk menghindar avoidance dan membalas dendam revenge. 3. Benevolence motivations Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan adanya kehadiran benevolence, berarti juga menghilangkan kehadiran dua dimensi sebelumnya. Oleh karena itu, individu yang memaafkan, memiliki benevolence motivations yang tinggi, namun di sisi lain memiliki avoidance dan revenge motivations yang rendah. Selain dimensi dari forgiveness yang ada 3. Terdapat 4 tahap forgiveness yang diungkap oleh Enright dan Fitzgibbon 2000, tahap-tahap tersebut diantaranya: 1. Uncovering Phase Sebelum pihak yang terluka atau korban bermaksud untuk memaafkan pelaku, maka ia harus terlebih dulu mengakui bahwa dirinya telah dilukai. Pada saat korban mengakui perasaan marah tersebut, ia harus melepaskan perasaan marahnya dan tidak mengingatnya. Fase ini membantu korban menyadari bahwa respon-respon ini bersifat self-defeating dan self-hurting. Hal ini hanya akan membuat korban merasa dilukai kedua kalinya. Karena yang pertama adalah saat peristiwa yang melukai terjadi dan yang kedua saat ia membiarkan perasaannya dikuasai perasaan-perasaan negatif. 2. Decision Phase Di fase ini korban mengerti akan dampak dari luka yang dialaminya dan respon apa yang diberikan. Korban menyadari bahwa harus ada cara yang lebih baik untuk membantunya menyembuhkan rasa sakit. Pada tahap ini korban mempertimbangkan pemaafan sebagai pemilihan respon dan berkomitmen kepada diri sendiri untuk memaafkan pelaku. 3. Work-Phase Untuk dapat melaksanakan komitmen yang telah dibuat difase sebelumnya itu, korban harus mewujudkannya dalam tindakan nyata. Korban dapat ikut serta dalam reframing atau menyusun kembali pandangannya terhadap pelaku, dengan berusaha untuk melihat perilaku dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya berdasarkan perbuatan yang melukai.Hal ini dapat dilakukan korban dengan berempati kepada pelaku. 4. Deepening Phase Setelah melakukan tiga fase sebelumnya, korban akan merasakan bahwa ketika ia memaafkan, ia mengalami kesembuhan. Pada saat korban mulai memaafkan ia akan menemukan makna baru dalam peristiwa menyakitkan yang dialaminya. Ia juga akan menyadari bahwa ia juga membutuhkan