marahnya dan tidak mengingatnya. Fase ini membantu korban menyadari bahwa respon-respon ini bersifat self-defeating dan self-hurting. Hal ini hanya
akan membuat korban merasa dilukai kedua kalinya. Karena yang pertama adalah saat peristiwa yang melukai terjadi dan yang kedua saat ia membiarkan
perasaannya dikuasai perasaan-perasaan negatif. 2.
Decision Phase Di fase ini korban mengerti akan dampak dari luka yang dialaminya dan
respon apa yang diberikan. Korban menyadari bahwa harus ada cara yang lebih baik untuk membantunya menyembuhkan rasa sakit. Pada tahap ini
korban mempertimbangkan pemaafan sebagai pemilihan respon dan berkomitmen kepada diri sendiri untuk memaafkan pelaku.
3. Work-Phase
Untuk dapat melaksanakan komitmen yang telah dibuat difase sebelumnya itu, korban harus mewujudkannya dalam tindakan nyata. Korban dapat ikut serta
dalam reframing atau menyusun kembali pandangannya terhadap pelaku, dengan berusaha untuk melihat perilaku dalam konteks yang lebih luas dan
tidak hanya berdasarkan perbuatan yang melukai.Hal ini dapat dilakukan korban dengan berempati kepada pelaku.
4. Deepening Phase
Setelah melakukan tiga fase sebelumnya, korban akan merasakan bahwa ketika ia memaafkan, ia mengalami kesembuhan. Pada saat korban mulai
memaafkan ia akan menemukan makna baru dalam peristiwa menyakitkan yang dialaminya. Ia juga akan menyadari bahwa ia juga membutuhkan
pemaafan dari orang lain dan bukan ia sendiri saja yang mengalami penderitaan. Mendekati akhir dari proses memaafkan ini korban akan
menyadari adanya penurunan emosi negatif dan akan terjadi peningkatan perasaan positif terhadap pelaku.
2.3.3 Pengukuran forgiveness
Dalam mengukur forgiveness, ada beberapa alat ukur yang bisa digunakan seperti Marital-Offense Forgiveness Scale MOFS dan Transgression-Related
Interpersonal Motivation TRIM-18. Sedangkan dalam penelitian ini digunakanlah skala Transgression-Related Interpersonal Motivations Scale
TRIM untuk mengukur tingkat forgiveness korban. Skala ini dikembangkan oleh
Michael E. Mc Cullough dan digunakan untuk mengetahui seberapa besar seorang individu mampu memaafkan. Skala TRIM sempat berkembang dua kali, TRIM -
12 yang pertama berkembang sekitar tahun 1998. Skala ini selanjutnya disempurnakan oleh Michael E. Mc Cullough sekitar tahun 2006 melalui
penelitiannya dan memunculkan skala baru, yaitu skala TRIM-18 yang dipakai sampai saat ini.
Peneliti memilih menggunakan alat ukur ini karena dimensi yang diukur oleh alat ukur ini merupakan dimensi yang cocok dengan teori forgiveness yang
digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian dari McCullough Cohen 2006 didapat nilai reliabilitas yang cukup tinggi dari alat ukur ini sebesar
0.85. Dan berdasarkan hasil penelitian yang sama, didapatkan nilai validitas kontruknya memiliki kategori sedangmoderate sebesar 0.50.
2.4 Kerangka Berpikir
Kekerasan seksual pada anak kini memasuki status “darurat” liputan6.com, Juni
2014. Mengapa demikian? Karena satu persatu kasus kekerasan muncul dalam waktu yang hampir berdekatan. Ironisnya, pelaku adalah orang yang cukup
dikenal korban dengan baik. Hal ini jelas menimbulkan masalah yang sulit sekali diselesaikan
korban. Mulai
dari masalah
psikososial seperti
adiksi, penyalahgunaan zat, agresi, gangguan kepribadian, PTSD serta beberapa trauma
yang menyertai seperti powerlessness, trauma sexualization, betrayal trauma dan
stigmatization.
MenurutDePrince, et al. 2012 mengatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk meminimalisasi terjadinya betrayal trauma yang
merupakan salah satu efek dari kekerasan seksual pada remaja. Diantaranya adalah motivasi untuk melupakan seperti forgiveness atau memaafkan,
misremembering, mekanisme kognitif atau cognitive appraisal, attention, attachment style dan dukungan sosial.
Senada dengan yang diungkapkan Bunga nama samaran,13 tahun salah satu korban kekerasan seksual mengatakan bahwa dukungan dari orang
terdekatnya membuat dia kembali ceria. Dukungan materiil atau tangible assistance dari teman serta sahabatnya pun kembali membuat Bunga percaya diri
lagi dan mau kembali ke sekolah. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fleming, Baum, Gisriel, Gatchel 1982 bahwa dukungan sosial efektif untuk
mengurangi psychological distress seperti depresi dan kecemasan.
Hal senada juga diungkapkan Melati nama samaran, 15 tahun dukungan yang ibunya berikan dengan selalu mendengarkan keluh kesahnya, menemaninya
dalam konseling membuat Melati yang awalnya tidak percaya diri dan tidak mau menjalin hubungan dengan orang lain, kini sedikit demi sedikit Melati mau
membuka dirinya dan menjalin hubungan baik. Dari pemaparan yang diungkapkan Melati, apa yang dilakukan ibunya adalah bentuk emotional support
dari ibunya untuk Melati. Sesuai dengan penelitian Sauzier yang mengatakan bahwa dukungan sosial khususnya dukungan empati dapat menolong korban
kekerasan seksual anak dari trauma yang dialami 1989, dalam Testa, et. al, 1992. Dukungan informasi pun merupakan hal yang penting untuk mengurangi
efek kekerasan seksual pada remaja. Mengapa demikian? Karena dengan dukungan informasi yang diberikan oleh orang terdekatnya, itu sama dengan
mengembangkan kemampuan untuk mempelajari sumber-sumber dukungan sosial yang tersedia Taylor, 2003.
Tidak hanya informational support, emotional support, dan tangible assistance. Appraisal support juga merupakan bagian yang penting untuk
mengurangi efek kekerasan seksual pada remaja. Karena dengan terjadinya perubahan pemahaman pada korban maka korban dapat menentukan bagaimana
mengurangi tingkat stressnya serta mendapatkan keuntungan dari saran yang diterimanya Taylor, 2003.
Selain dukungan sosial, forgiveness juga merupakan salah satu cara yang sering digunakan dalam proses penyembuhan korban kekerasan seksual. Witvliet
et al. 2001, dalam Brook, 2007 membuktikan bahwa respon fisiologis untuk
memaafkan forgiving atau tidak memaafkan unforgiving pelaku, di mana kondisi unforgiving membuat emosi menjadi negatif. Pengukuran fisiologis
tentang kondisi unforgiving juga mengungkapkan bahwa kondisi tersebut akan membuat peningkatan tensi, arousal, debar jantung, dan tekanan darah. Karena
hal itu pula forgiveness dikaitkan erat hubungannya dengan psychological well- being Karremans, et. al, 2003 dalam Luzombe Dean, 2009. Karena kegagalan
dalam memaafkan berarti mengartikan bahwa tingginya level dari psychological tension. Hal inilah yang membuat kondisi unforgiving membuat korban rentan
akan stress. Berdasarkan uraian diatas, bahwa meminimalisasi efek kekerasan seksual
pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti dukungan sosial dan forgiveness, seperti skema dibawah ini:
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
2.5 Hipotesis
Karena penelitian ini diuji dengan analisa statistik, maka hipotesis yang akan diuji adalah hipotesis nol nihil, lalu dipaparkan juga hipotesis alternatif yang
digunakan untuk menguji teori yang digunakan. Hipotesis Nol Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan dari dukungan
sosial dan forgiveness terhadap kekerasan seksual pada remaja. Hipotesis Alternatif Ha:
H01 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari appraisal support terhadap kekerasan seksual pada remaja.
H02 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari tangible asisstance terhadap kekerasan seksual pada remaja.
H03 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari informational support terhadap kekerasan seksual pada remaja.
H04 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari emotional support terhadap kekerasan seksual pada remaja.
H05 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari avoidance motivation terhadap kekerasan seksual pada remaja.
H06 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari revenge motivation terhadap kekerasan seksual pada remaja.
H07 : Tidak ada pengaruh yang signifikan dari benevolence motivation terhadap kekerasan seksual pada remaja.