Hambatan Struktural Penegakan Hukum Oleh Penyidik Tni Al Dalam Penanganan Tindak Pidana ”Illegal Fishing” (Studi Pada Lantamal I Belawan)

D. Hambatan Terhadap Pelaksanaan Penegakan Hukum Tindak Pidana Illegal Fishing

Dalam melaksanakan kegiatan penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan banyak sekali menemukan permasalahan yang pada gilirannya akan menghambat dan mengurangi keberhasilan dalam mengemban tugas yang diamanatkan oleh undang-undang. Adapun hambatan-hambatan terhadap pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah Lantamal I, penulis akan menganalisa melalui pendekatan dengan mengadopsi pemikiran Friedman mengenai sistem penegakan hukum yang meliputi struktur hukum, subtansi hukum dan budaya hukum.

1. Hambatan Struktural

Aspek struktural yang dimaksud disini meliputi aparat penegak hukum, sarana dan prasarana serta proses atau prosedur, dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Perwira TNI Angkatan Laut yang nota bene sebagai penyidik tidak semua berlatar belakang Sarjana Hukum dan tidak semua Perwira TNI Angkatan Laut mendapatkan kursus penyidikan. Penulis menggambarkan ada beberapa kelemahan yang melekat kepada aparat penegak hukum selaku individu dan kelembagaan, antara lain : 1 Aspek intelektual yang mendorong dan melahirkan profesionalisme patut dipertanyakan serta belum mampu mengikuti perkembangan hukum dan peraturan perundang-undangan yang cenderung dinamis. 2 Aspek moral sebagai dasar sikap dan perilaku aparat penyidik di laut sudah terkontaminasi dengan hal-hal yang merugikan dan memalukan, sehingga berdampak kepada citra institusi TNI Angkatan Laut. 3 Motivasi dan kesejahteraan aparat penegak hukum masih rendah, sehingga tidak akan mampu memberikan arah pengabdian yang jelas. 4 Dedikasi sebagai bobot pengabdian terasa semakin menipis. Pandangan tentang keamanan nasional perlu digalakkan dalam rangka berpikir secara komprehensif integral artinya penegakan hukum dan menjaga keamanan di laut menjadi tugas bersama. b. Keterbatasan sarana dan prasarana berupa kapal patroli yang dimiliki oleh TNI Angkatan Laut yaitu peralatan yang dapat mendeteksi keberadaan kapal ikan yang sedang melakukan penangkapan ikan secara illegal 84 . Begitu juga jumlah kapal yang dimiliki untuk melaksanakan pengawasan di laut tidak sebanding dengan luas wilayah perairan yang harus diawasi. Lantamal I. Adapun tanggung jawab pengawasan kawasan perairan laut meliputi : 79.939,2 NM² 148.047,398 Km 2 dan memiliki 35 pulau termasuk 2 pulau terluar P. Rondo dan P. Berhala perairan yurisdiksi nasional yang membentang dari perairan Sabang ke perairan Bengkalis Riau. Saat ini Lantamal I hanya memiliki 57 unsur terdiri: 3 KRI, 5 KAL dan 47 84 Mayor R. Johan, Kasubdisdargakkum Diskum Lantamal I, Hasil Wawancara di Kantor Diskum Lantamal I, tanggal 20 April 2010, Ibid. Patkamla, 2 Sea Hunter dari berbagai ukuran dan bangunan dari 35 Fiber, 22 Kayu , dengan perincian: 85 1 Satkamla 21 unsur terdiri: 3 KRI, 1 KAL, 9 PAT fibre, 8 PAT kayu Kondisi siap 2, siap terbatas 10, tidak siap 9 2 Lanal SAB 8 unsur terdiri: 2 KAL dan 6 PAT fibre Kondisi Siap 4, siap terbatas 3, tidak siap 1 3 Lanal LSM : 5 unsur terdiri: 4 PAT fibre, 1 Sea Hunter Kondisi siap semua. 4 Lanal TBA : 14 unsur terdiri: 3 PAT fibre, 10 PAT Kayu dan 1 Sea Hunter Kondisi Siap 7, siap terbatas 7. 5 Lanal DUM : 9 unsur terdiri: 2 KAL, 3 PAT fibre, 4 PAT Kayu Kondisi Siap 3, siap terbatas 5, tidak siap 1. Lebih lajut Johan menambahkan bahwa dari sarana patroli yang kondisinya siap terbatas permasalahan yang menonjol adalah : sistem pendorongan, bangunan kapal, peralatan navigasi dan komunikasi yang kurang memadai karena faktor usia serta profesionalisme pengawaknya. c. Tingkat modernisasi kapal patroli dan peralatan deteksi. Pada umumnya kapal patroli yang dimiliki oleh Lantamal I sudah berusia tua dibangun tahun antara 1982 sd 1994. Kondisi teknis kapal yang siap terbatas ditambah usia tua yang identik 85 Laporan Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran Staf Operasi Lantamal I Belawan TA.2009, hlm. 10. dengan ketertinggalan teknologi menyebabkan keterbatasan kemampuan profesionalisme prajurit. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat telah berdampak pula pada peningkatan kuantitas dan kualitas ancaman, sementara alokasi anggaran pemeliharaan unsur KALPatkamla masih sangat minim 86 . d. Kapal patroli yang dimiliki Pangkalan TNI Angkatan Laut kemampuannya sangat terbatas. e. Fasilitas labuh dermaga dan dukungan logistik sangat terbatas, hal ini akan menyulitkan untuk penempatan kapal tangkapan. f. Rumah tahanan tidak dibangun sebagai kelengkapan Pangkalan, sehingga tidak jarang tahanan yang mampu lolos dan melarikan diri. g. Dalam undang-undang diamanatkan bahwa TNI Angkatan Laut sebagai penegak hukum di laut dan sekaligus sebagai penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Namun ironis, selama proses penyidikan dimulai dari pemeriksaan sampai dengan pemberkasan, termasuk untuk memberikan uang makan bagi para tahanan tidak dibekali dengan anggaran. Semakin lama proses penyidikan dilaksanakan, semakin besar beban yang ditanggung oleh Lantamal I untuk membiayai uang makannya 87 . h. TNI Angkatan Laut yang merupakan salah satu aparat penegak hukum di laut hanya mempunyai kewenangan sebatas sampai dengan penyidikan. Dalam hal 86 Ibid. 87 Mayor R. Johan Edi, Kasubdisdargakkum Diskum Lantamal I, Hasil Wawancara di Kantor Diskum Lantamal I, tanggal 20 April 2010, Ibid. penuntutan dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Apabila tidak tercipta kondisi hubungan yang harmonis, kesepahaman dan kesepakatan untuk menegakkan hukum secara sungguh-sungguh, maka dapat dimungkinkan upaya keras yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dalam menegakkan hukum akan kandas pada saat proses penuntutan. i. Proses penyidikan tindak pidana illegal fishing, penyidikannya adalah KUHAP sebagai rujukan. Namun dalam hal-hal tertentu juga menggunakan hukum acara yang melekat dalam undang-undang tertentu pula. Sebagai contoh dalam melakukan penahanan terhadap tersangka. Tabel 2 Rincian Penahanan Berdasarkan Pasal 24-29 KUHAP 88 . No. Keterangan Penahanan Jumlah Hari 1. Penahanan oleh penyidik atau penyidik pembantu 20 2. Perpanjangan oleh penuntut umum 40 3. Penahanan oleh penuntut umum 20 4. Perpanjangan oleh Ketua PN 30 5. Penahanan oleh Hakim PN 30 6. Perpanjangan oleh Hakim PN 60 7. Penahanan oleh Hakim PT 30 8. Perpanjangan oleh Ketua PT 60 9. Penahanan oleh MA 50 10. Perpanjangan oleh Ketua MA 60 J u m l a h 400 88 Mahmud Mulyadi, Op. Cit, hlm. 23 . Tabel 3 Rincian Penahanan Berdasarkan Pasal 73-83 UU No. 31 Tahun 2004 89 . No. Keterangan Penahanan Jumlah Hari 1. Penahanan oleh penyidik atau penyidik pembantu 20 2. Perpanjangan oleh penuntut umum 10 3. Penahanan oleh penuntut umum 10 4. Perpanjangan oleh Ketua PN 10 5. Penahanan oleh Hakim PN 20 6. Perpanjangan oleh Hakim PN 10 7. Penahanan oleh Hakim PT 20 8. Perpanjangan oleh Ketua PT 10 9. Penahanan oleh MA 20 10. Perpanjangan oleh Ketua MA 10 J u m l a h 140 j. Prosedur dan mekanisme, diawali dengan kegiatan penyelidikan atau pemeriksaan, penyidikan dan seterusnya dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum untuk dibuatkan surat dakwaan ke Pengadilan guna persidangan. Seharusnya semua hak dan kewajiban tersangka terdakwa diperhatikan, namun karena tidak ada dukungan yang memadai sehingga hak dan kewajiban itu sedikit diabaikan. k. Khusus tindak pidana illegal fishing ada hal-hal yang disimpangi dari KUHAP yaitu yang berhubungan dengan waktu penangkapan, penahanan, daerah hukum terjadinya tindak pidana sampai dengan pemeriksaan di Pengadilan. Terhadap perbedaan tersebut tentunya harus dimengerti oleh Penyidik TNI Angkatan Laut. l. Problem yang dihadapi oleh Penyidik khususnya di pangkalan-pangkalan adalah mendatangkan keterangan ahli dan juru bahasa. Kesulitan lain adalah deportasi ABK 89 Republik Indonesia,” Undang undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan”, Direktorat Pengawasan dan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 2006, Pasal 73-83. Non Justisial, pengamanan dan perawatan kapal Barbuk 90 . Hal ini tentunya akan mempersulit dan memakan waktu dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik. 2. Hambatan dari Materi Perundang-undangan Dalam hal ini dibicarakan hambatan yang berasal substansi hukum yang meliputi materi perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan, terutama menyangkut peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten, sehingga membawa pengaruh dalam pelaksanaan penegakan hukum, antara lain : a. Kewenangan Penyidikan. Pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, disebutkan :”Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Namun pada ayat 2 disebutkan bahwa yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang perikanan yang terjadi di ZEEI adalah penyidik TNI AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Sementara Penyidik Kepolisian tidak diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Padahal jika dikaitkan dalam pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 jelas 90 Mayor R. Johan Edi, Kasubdisdargakkum Diskum Lantamal I, Hasil Wawancara di Kantor Diskum Lantamal I, tanggal 20 April 2010, Ibid. dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, PPNS berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Menurut Kompol J. Tondang bahwa adanya perubahan pasal 73 dimaksud, pihak Polri khususnya Dit Pol Air Polda Sumut tidak setuju karena menghalang- halangi pihak penyidik Polri untuk melaksanakan tugas berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP bahwa Polri adalah satu-satunya penyidik diwilayah hukum Republik Indonesia 91 . Lebih lanjut Tondang menanggapi terhadap UU No. 45 Tahun 2009 yang merupakan revisi dari UU No. 31 Tahun 2004 perlu direvisi ulang mengingat bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik Polri sebagai korwas PPNS. Menanggapi pernyataan Tondang tersebut, penulis berpendapat bahwa pihak Polri khususnya Dit Pol Air Polda Sumut cenderung menunjukkan sikap ego sektoral. Ketentuan yang diatur di dalam UU No. 45 Tahun 2009 adalah sebagai ketentuan khusus lex specialis dari UU No. 8 Tahun 1981. Jika penyidik Polri masih mempermasalahkan hal ini, maka akan terjadi tumpang tindih penyidikan, masing- masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi dalam satu lembaga terpadu sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar penyidik tersebut. Bahkan terkesan adanya tumpang tindih kewenangan atau berebut kasus dalam menangani kasus-kasus tindak pidana perikanan. 91 Kompol J. Tondang, Kasubbagrenmin Dit Pol Air Polda Sumut, Hasil Wawancara di Kantor Ditpolairda Sumut, tanggal 7 April 2010. b. Ketentuan pidana penjara bagi Tersangka tindak pidana illegal fishing. Sanksi pidana penjara dalam tindak pidana illegal fishing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tidak dapat diterapkan, sehingga terkesan sanksi terlalu ringan dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Perihal penerapan sanksi tersebut diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1 Pasal 102 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan berbunyi: ”Ketentuan tentang pidana penjara dalam undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan”. Adapun yang dimaksud Pasal 5 ayat 1 adalah: ”Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan meliputi : a. perairan Indonesia; b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. 2 Pasal 73 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention On The Law Of The Sea 1982 : ”Hukuman Negara Pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara- negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya”. Mengingat sanksi tersebut dianggap terlalu ringan, oleh karena itu muncul wacana bagi kapal yang melakukan tindak pidana di bidang perikanan untuk ditenggelamkan seiring dengan semakin meningkat dan maraknya kegiatan illegal fishing baik yang dilakukan oleh Kapal Ikan Asing maupun Kapal Ikan Indonesia. Tindakan menenggelamkan kapal akan membuat efek jera pelaku illegal fishing 92 . Wacana ini tertuang pada pasal 69 ayat 4 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 yang berbunyi : “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat 1 penyidik danatau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran danatau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup Diharapkan bahwa implikasinya benar-benar dapat menimbulkan efek jera serta mengurangi beban maupun ongkos sosial selama proses hukumnya berjalan. c. Penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela atau yang lebih di kenal Jaring Trawl. Dalam Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, bahwa penggunaan alat penangkapan ikan berupa jaring trawl dilarang, namun dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.06Men2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela justru diperbolehkan. Dapat dikatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.06Men2008 telah cacat hukum, karena menyalahi ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan perundangan yang berbunyi : 92 Djoko Tribawono, ”Illegal Fishing Antara Dua Pilihan”, Dikutip dari http;www.p2sdkpkendari.comindex.php?pilih, diakses tanggal 12 April 2010. ”Ayat 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Ayat 5 Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Pada penjelasan ayat 5 berbunyi : ”Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”hierarki” adalah penjenjangan Peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Larangan Penggunaan Trawl di perairan Indonesia sampai saat ini belum dicabut oleh peraturan perundang- undangan manapun. Memang Keputusan Presiden sudah tidak berlaku lagi, namun demikian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa penyebutan Keputusan Presiden telah diubah menjadi Peraturan Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 yang berbunyi: ”Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan BupatiWalikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”. Hierarki perundang-undangan tersebut mengartikan bahwa ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan asas hukum yang berbunyi ”Lex superior derogat legi inferiori”. Dengan adanya dua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana dibidang perikanan. d. Adanya peluang bagi nelayan asing untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif ZEE. Pada pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa : “Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat 2 dinyatakan, kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional”. Hal ini membuka celah pada aturan hukum yang memberikan peluang illegal fishing di wilayah perairan Indonesia 93 . e. Larangan Pengoperasian Jaring Batu di Wilayah tertentu. Pemerintah kabupaten Bengkalis telah melarang penggunaan jaring batu untuk menangkap ikan kurau di Perairan Bengkalis. Larangan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 52 Tahun 2002 tentang Pelarangan Beroperasinya Jaring BatuJaring Kurau Bottom Gill Net. Kewenangan izin eksplorasi dan 93 Arief Arfianto, ”Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan”, Dikutip dari http:www.indonesiamoslemblogger.blogspot.com , diakses tanggal 12 April 2010. eksplotasi di perairan sepanjang 4 mil dari pasang surut air berada di tangan Pemerintah Kabupaten. Larangan penggunaan jaring batu dimaksud agar tidak merusak alat tangkap nelayan yang lebih kecil. Namun persoalannya, sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi Riau disekitar Bengkalis mengizinkan penggunaan jaring batu. Faktanya nelayan jaring batu masih saja membandel mencari ikan di perairan terlarang 0-4 mil yang sudah ditetapkan. Akibatnya konflik antara nelayan tradisional jaring rawai Kecamatan Bantan dengan pengusaha dan nelayan jaring batu Kecamatan Ransang dan Kabupaten Bengkalis tidak dapat dihindari. Konflik ini sudah terjadi lama dan sudah banyak makan korban luka, kerugian harta benda akibat kapal yang dibakar dan ditabrak, serta gangguan psikologis masyarakat nelayan akibat perang terbuka di laut. f. Kegiatan Pemindahan Ikan Transhipment di Laut. Ketentuan mengenai kegiatan pemindahan ikan di laut berdasarkan Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kegiatan pemindahan ikan di laut bukan merupakan tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 41 ayat 4 yang berbunyi: ”Setiap orang yang memiliki danatau mengoperasikan kapal penangkap ikan danatau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin”. Dengan demikian penulis mengartikan bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 terlalu ringan sanksinya, sehingga tidak membuat jera bagi pelakunya. Padahal kegiatan pemindahan ikan di laut dapat dimanfaatkan pelaku melakukan penyelundupan ikan ke luar negeri tanpa melalui aparat Bea dan Cukai, sehingga kegiatan tersebut dapat merugikan negara dari sektor non migas. g. Permohanan untuk membebaskan kapal danatau orang. Pasal 104 ayat 1 berbunyi: ”Permohonan untuk membebaskan kapal danatau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan”. Permohonan untuk membebaskan kapal danatau orang sebelum ada putusan pengadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 104 ayat 1 dapat membuka peluang kongkalikong antara para pengusaha atau pelaku dengan aparat penegak hukum Penyidik, Penuntut Umum dan Pengadilan. Mengingat ketentuan ”sejumlah uang jaminan yang layak ” adalah relatif, sementara harga kapal ikan asing sangat mahal, sehingga melalui pendekatan- pendekatan dapat dimainkan harganya. h. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan. Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi corporate liability tidak diatur dalam hukum pidana umum KUHP, melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. KUHP menganut pendirian bahwa korporasi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. KUHP menganut sistem bahwa hanya manusia yang merupakan subjek tindak pidana 94 . Selama ini prinsip pertanggungjawaban korporasi tidak begitu populer dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana perikanan. Meski Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, mengakui adanya ”Badan Hukum” disamping orang perorangan sebagai subyek hukum dalam tindak pidana perikanan, namun undang- undang tersebut tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut. Akibatnya penanganan kasus-kasus tindak pidana perikanan sulit dituntaskan, khususnya yang melibatkan pihak korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang diseret ke Pengadilan hanya pelaku di lapangan seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin KKM, dan anak buah kapal ABK, sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka korporasi nyaris tidak pernah tersentuh. Titik terang dari persoalan tersebut sebenarnya mulai tampak, ketika diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dimana yang dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka. Sayangnya rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 94 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Penerbit Grafiti Pers, 2007, hlm. 59 tentang Perikanan justru mengalami kemunduran. Dalam Pasal 101 dalam undang- undang dimaksud disebutkan bahwa : ”dalam hal tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari pidana yang dijatuhkan”. Dengan rumusan demikian, penulis bependapat meskipun korporasi diakui sebagai pelaku suatu tindak pidana, akan tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pengaturan demikian akan menimbulkan banyak kelemahan. Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu dimana keuntungan yang diperoleh perusahaan sedemikian besar danatau kerugian yang ditanggung masyarakat sedemikian besar, maka pengenaan pidana penjaradenda hanya kepada pihak pelaku dilapangan menjadi tidak sebanding. Disamping itu, pengenaan pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari. i. Perebutan Daerah Penangkapan Ikan. Kasus perebutan daerah penangkapan ikan terjadi sebagai dampak dari otonomi daerah. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tepatnya Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: ”Ayat 1 Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut ; Ayat 3 Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud ayat 1 meliputi : a eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Ayat 4 Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 3 paling jauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas danatau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 13 sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupatenkota. Pemahaman yang salah tentang pembagian wilayah dalam pengelolaan laut sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sehingga muncul kasus perebutan daerah penangkapan ikan. Pada umumnya kalangan nelayan tradisional, mencari ikan bukan di wilayah perairan kabupaten dimana ia berasal, namun menyeberang ke wilayah perairan kabupaten lain. j. Sistem Perijinan tidak dilaksanakan satu atap. Dokumen perijinan yang diperlukan dalam kegiatan usaha di bidang perikanan tidak dilaksanakan satu atap. Dokumen perijinan perikanan diatur dan diurus melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, sementara pihak Kementerian Perhubungan juga mengeluarkan Surat Izin Berlayar. Adanya dualisme izin berlayar akan menimbulkan pertikaian antar institusi yang mengeluarkan Surat Izin Berlayar yang pada gilirannya akan membingungkan dan merugikan para nelayan. k. Tindak pidana perikanan dan tindak pidana tertentu lainnya yang terjadi di laut tidak mengenal ”Locus Delicti”. Tindak pidana perikanan atau tindak pidana yang terjadi di laut lainnya tidak mengenal tempat terjadinya perkara atau ”Locus Delicti”. Hal tersebut mengacu kepada ketentuan Pasal 14 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang bunyi selengkapnya adalah pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal danatau orang-orang yang melakukan tindak pidana di wilayah ZEEI. Disamping pengaturan dalam Pasal 14 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia juga diatur dalam berbagai peraturan antara lain : 1 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 17 November 1983 yang berisi: ”Dalam rangka membantu kelancaran penyelesaian kasus pelanggaran tindak pidana yang terjadi di laut atau wilayah perairan yurisdiksi Negara RI yang tertangkap tangan oleh kapal perangkapal patroli keamanan laut, yang proses perkaranya diserahkan kepada petugas keamanan laut di pangkalan yang terdekat untuk kemudian diserahkan ke Kejaksaan Negeri, yang selanjutnya akan dilimpahkan berkas perkara itu ke Pengadilan Negeri setempat tanpa mengkwatirkan apakah locus delicti-nya termasuk dalam wewenang Pengadilan Negeri tersebut”. 2 Pasal 3 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan, berbunyi : ”tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan tempat penahanan terhadap kapal danatau orang yang diduga melakukan tindak pidana di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tersebut”. 3 Surat Jaksa Agung Nomor B-058A-341983 tanggal 22 April 1983 dalam titik 3 berbunyi : ”Kapal perangkapal patroli Kamla yang ditugaskan pada suatu waktu untuk patroli telah ditentukan limit waktu pelaksanaannya. Apabila dalam melaksanakan patroli tersebut menemukan pelanggaran di laut, maka kapal pelanggar akan digandengditarik ke pangkalan yang terdekat dan selanjutnya proses perkaranya dilaksanakan oleh Satgas KamlaPokgas Kamla setempat, tanpa memperhitungkan apakah locus delicti-nya termasuk dalam wewenang Pengadilan Negeri yang diserahi berkas tersebut”. l. Lama penangkapan Dalam hal penangkapan terhadap tersangka sebagaimana Pasal 19 KUHAP dapat dilakukan untuk paling lama satu hari, sementara dalam Pasal 13 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia disebutkan bahwa penangkapan terhadap kapal danatau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkan kapal danatau orang-orang tersebut di pelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut tidak boleh melebihi jangka waktu tujuh hari. m. Lama penahanan Waktu penahanan tersangka ditingkat penyidik, berdasarkan Pasal 25 KUHAP perintah penahanan hanya berlaku paling lama dua puluh hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama 30 tiga puluh hari. Adapun menurut Pasal 73B ayat 2 dan 3 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama dua puluh hari, apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama sepuluh hari. Artinya undang- undang perikanan mengatur tentang batas waktu penyelesaian perkara tindak pidana perikanan dalam 30 tiga puluh hari di tingkat penyidik.

3. Hambatan dari Masyarakat