Kerangka Teori dan konsepsi

etis dari proses menemukan kebenaran dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan permasalahan.

F. Kerangka Teori dan konsepsi

1. Kerangka Teori Dalam pembahasan mengenai Penegakan hukum oleh penyidik TNI AL dalam penanganan tindak pidana illegal fishing, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M. Friedman, dalam bukunya Legal Culture and Social Development mengenai sistem hukum. Dalam pandangannya tentang penegakan hukum, bahwa untuk memahami efektif tidaknya hukum di dalam masyarakat, harus diperhatikan komponen-komponen sistem hukum sebagai berikut : 1. Komponen Struktural dalam sistem hukum mencakup berbagai institusi, bentuk serta proses yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Salah satu lembaga tersebut adalah pengadilan. Dalam hubungan ini, pembicaraan termasuk pula tentang struktur organisasi, landasan bekerjanya hukum, kompetensi dan lain sebagainya. 2. Komponen Substantif, mencakup keluaran output dari sistem hukum, apakah dalam bentuk peraturan, keputusan ataupun doktrin, sepanjang hal tersebut dipergunakan dalam proses bersangkutan. 3. Komponen Budaya budaya hukum adalah keseluruhan sikap dan nilai- nilai serta tingkah laku yang menentukan bagaimana hukum tersebut berlaku pada masyarakat. 16 Menurut Koesnadi Hardjasoemantri penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat ikut berperan dalam penegakan hukum 17 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial, tidak dapat dipisahkan oleh : 1. Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu. 2. Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan manusianya secara pribadi. 3. Penegak hukum sebagai suatu lembaga. 18 Dalam hal penyidikan yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai penyidikan yang dilakukan oleh Perwira TNI Angkatan Laut selaku penyidik terhadap perkara-perkara atau kasus-kasus tindak pidana perikanan illegal fishing di perairan Lantamal I khususnya di laut ZEEI. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 16 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis dan Praktik Bandung : Penerbit PT. Alumni, 2008, hlm. 410. 17 Alvy Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta : Penerbit PT. Sofmedia, 2009 hlm. 7. 18 Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 135. 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI AL dan penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang Nomor 5 Tahun1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam pasal 14 ayat 1 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Perwira TNI AL sedang hukum acaranya mengatur beberapa tindakan penyidikan yang menyimpangi ketentuan yang diatur dalam KUHAP, misalnya pada pasal 13 ayat 1 bahwa batas waktu penangkapan di laut adalah 7 x 24 jam, selanjutnya pasal 14 ayat 3 mengenai kewenangan mengadili tindak pidana di ZEEI tidak mengenal adanya asas locus delicti, tetapi berdasarkan daerah pelabuhan kapal disandarkan. Sehingga Undang-undang ini merupakan pengkhususan dari KUHAP, atau dikenal dengan asas hukum ”Lex Specialis derogat lex Generalis”. 2. Kerangka Konsepsi Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” 19 artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” 20 artinya ikan atau daging ikan dan 19 Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Edisi Kedelapan Tahun 2002, Jakarta : Penerbit Modern English Press hlm. 925. 20 Ibid, hlm. 707. ”fishing” 21 artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan SIPI palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang dilarang 22 . Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain. 23 Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan 21 Ibid. 22 Lambok Silalahi, ”Tindak Pidana Pencurian Ikan Illegal Fishing di Perairan Pantai Timur Sumatera Utara”,Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan : USU 2006, hlm. 58. 23 Sekolah Staf dan Komando TNI AL, ”Wawasan Nusantara”, Paket Instruksi, Jakarta, 2002, hlm. 83. dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional. 24 Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah danatau mengawetkannya. 25 Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitianeksplorasi perikanan. 26 Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. 27 Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. 28 24 Adi Susanto, “Hubungan antara Penegakan Hukum di Laut dan Ketahanan Nasional, Forum Hukum, Volume 4, Nomor 4, 2007, hlm. 6. 25 Republik Indonesia,”Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ”, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 2009, Pasal 1 titik 5 26 Ibid,Pasal 1 titik 9. 27 Ibid,Pasal 1 titik 16. 28 Ibid,Pasal 1 titik 17. Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. 29 Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, danatau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. 30 Wilayah Perairan Indonesia adalah laut territorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. 31

G. Metode Penelitian