Latar Belakang Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum T

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara kepulauan Archipelagic State yang berada pada posisi silang dunia, diantara dua benua yaitu benua Asia-Australia dan diantara dua samudera yaitu samudera Indonesia-Pasifik. Demikian pula dengan perbandingan wilayah laut yang lebih luas dari pada wilayah daratannya. Wilayah darat dan laut keseluruhannya adalah 5.193.250 km² yang terdiri dari 2.027.170 km² daratan dan 3.166.080 km² perairan 1 . Pada tanggal 16 November 1994 Konvensi Hukum Laut 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea telah berlaku efektif enter into force. Setelah berlakunya Konvensi ini maka luas wilayah Indonesia bertambah menjadi 8.193.163 km², yang terdiri dari 2.027.087 km² daratan dan 6.166.163 km² lautan. Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km² laut teritorial, 2,8 juta km² perairan nusantara dan 2,7 km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 2 Laut yang secara alami telah menjadi lingkungan kehidupan memiliki empat makna yang sangat strategis, yaitu : 1 Sebagai gudang sumber daya alam dan media untuk mencari nafkah,2 Sebagai pemersatu bangsa,3 Sebagai media pertahanan dan 4 Sebagai media perhubungan. Kita ketahui bersama bahwa dua pertiga lalu 1 Suhaidi, Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari Kapal : Konsekwensi Penerapan Hak Pelayaran Internasional Melalui Perairan Indonesia, Jakarta : Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2004 hlm. 2. 2 Ibid lintas perdagangan melalui laut. Dengan demikian, betapa besar manfaat laut bagi kelangsungan perekonomian dunia. Apabila laut tidak aman, maka kelancaran perekonomian negara-negara pengguna laut akan terganggu. 3 Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan : 1 perikanan tangkap, 2 perikanan budi daya, 3 industri pengelolaan hasil perikanan, 4 industri bioteknologi kelautan, 5 pertambangan dan energi, 6 pariwisata bahari, 7 hutan mangrove, 8 perhubungan laut, 9 sumber daya pulau-pulau kecil, 10 industri dan jasa maritim, dan 11 SDA non konvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan diperkirakan mencapai USD 500 miliar 4.500 triliyun per tahun. 4 Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar USDtahun. Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di perairan Indonesia, penyelundupan kayu berkisar Rp.6,6 trilyun per tahun, belum lagi pencemaran laut yang sebenarnya mencapai jarak sepanjang 167.000 km. Isu utama yang menonjol di Asia Pasifik yaitu sea piracy, trafficking in person human trafficking, terorisme di laut dan juga berhubungan dengan penyelundupan. Di 3 Slamet Soebiyanto, ”Keamanan Nasional ditinjau dari Perspektif Tugas TNI Angkatan Laut”, Majalah Patriot, 2007, hlm. 10. 4 Rohmin Dahuri, Loc.Cit. kawasan Asia Tenggara diperkirakan mencapai ribuan pucuk senjata pertahun, 80 kegiatan penyelundupan tersebut dilakukan melalui laut. 5 TNI Angkatan Laut sebagai komponen utama pertahanan negara di laut berkewajiban untuk menjaga kedaulatan negara dan integritas wilayah NKRI, mempertahankan stabilitas keamanan di laut, melindungi sumber daya alam di laut dari berbagai bentuk gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Konsepsi dasar terhadap perwujudan keamanan di laut pada hakikatnya memiliki dua dimensi yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan keamanan yang saling berkaitan satu dengan lainnya. 6 Dalam pasal 73 ayat 1 UU Nomor 45 tahun 2009, disebutkan bahwa ada tiga instansi yang diberi wewenang sebagai penyidik Perwira TNI AL, Penyidik Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang berkaitan dengan proses perkara tindak pidana perikanan sampai dengan perkara dapat dilimpahkan ke Kejaksaan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerawanan adanya perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan dan perbedaan pola penegakan hukum diantara sesama aparat, bahkan timbul kekhawatiran akan adanya ketidak harmonisan atau gesekan antar aparat dalam pelaksanaan operasi penegakan hukum dilaut 7 . Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan 5 Joko Sumaryono, ”Forum Koordinasi dan Konsultasi Operasi Keamanan Laut dan Penegakan Hukum” , Majalah Patriot, 2007, hlm. 3. 6 Bernard Kent Sondakh, ”Pengamanan Wilayah Laut Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta : 2004, hlm. 12. 7 M. Dandha, ”Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan”, Forum Hukum, Volume 4, Nomor 2, 2007, hlm. 26. laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya- upaya koordinasi berbagai pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden. 8 Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusiinstansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor Kep.05MenkoPolkam22003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut Bakorkamla yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut. 9 Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KALPatkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah 10 . 8 Begi Hersutanto, Problematika Sinergi dalam Grand Design Nasional Kebijakan Keamanan Laut, Jakarta : penerbit CSIS, 2007 hal. 1. 9 Ibid, hal. 2. 10 Sops Lantamal I Belawan, ”Laporan Bulanan Bid. Operasi dan Latihan Bulan Nopember 2009”, hlm. 1. Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu : 1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; 2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; 3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; 4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut; 5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing 11 . Beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut. 11 Leonard Marpaung,”Target Baru Illegal Fishing”, Forum Hukum, Volume 2 Nomor 2, 2009, hlm. 17. Ketidakpastian hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar, persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup 12 . Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan. Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan lainnya adalah ganjaransanksi terhadap birokrasi perijinan dan pengawas serta aparat penegak hukum di laut yang dengan sengaja melakukan pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar dengan kongkalikong 13 . Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan 14 . Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu, menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK tidak disijil dan 12 Ibid 13 Ibid 14 Djoko Tribawono, ”Illegal Fishing Antara Dua Pilihan”, Dikutip dari http;www.p2sdkpkendari.comindex.php?pilih, Diakses tanggal 12 April 2010. pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak memiliki ijin kerja. Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan kabel laut serta perikanan tradisional negara tetangga. Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak mengatur pembagian kewenangan secara tegas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. Menurut Lufsiana, hal inilah yang disebut sebagai konflik kewenangan dalam penegakan hukum perikanan. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah menguntungkan dan mencerminkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan dipandang lemah dan tidak optimal, sehingga berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu kondisi yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut berpengaruh positif bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat 15 .

B. Perumusan Masalah