Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jama’ dari kata Hukum dan Yahkum dalam Bahasa Arab berasal dari kata Hakama dan Ahkam. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 kata Hukum itu sendiri diartikan Undang-Undang peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Di dalam Kamus Munjid Penulis menemukan arti kata hukum dengan makna “putusan”. Kata hukum itu sendiri di dalam kamus Munjid mempunyai dua tataran. Masing-masing dari kedua tataran itu mempunyai makna yang berbeda. Makna pada kata hukum yang pertama diartikan “putusan”. Sedangkan makna kata hukum yang kedua bermakna “Pemimpin Negara”. Dari sini jelas bahwa perbedaan makna pada suatu kata di lihat dahulu pada konteksnya. Adapun kata yahkum di dalam kamus Munjid 2 bermakna “memerintah”. Dalam kamus Munjid kata yahkum mempunyai tiga tataran. Kata yahkum yang pertama bermakna “Pemerintah”. Sedangkan makna kata yahkum yang kedua bermakna “memerintah Negara”. Dan kata yahkum yang ketiga bermakna “memutuskan suatu hukum”. Adapun secara teologis kata yahkum di dalam tafsir fizilalil Qur’an karya Sayyid Qutb pada Qur’an surat al 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, cet. Ke-3, h. 463 2 Jasir Waty, Kamus Munjid Arab Terlengkap, Lebanon: Dar el-Machreq Sarl, 2002, h. xii 1 Maidah ayat 44,45,47 diartikan bukan dengan arti “memutuskan” tetapi “memerintah” bukan dengan hukum yang diwahyukan Allah sebagai tindakan kafir. 3 Akan tetapi, kafir di sini ditunjukan kepada kaum muslim yang tidak mempercayai adanya hukum Allah. Kafir di dalam tafsir fizilalil Qur’an karya Sayyid Qutb juga bisa ditujukan kepada seorang pemimpin yang tidak bisa menjalankan amanah untuk kesuksesan Negaranya. Pemimpin yang seperti ini dapat dikatakan orang kafir. 4 Selain itu juga orang yang tidak mempunyai agama pun juga dapat dikatakan orang kafir karena dapat memberikan sisi negatif kepada orang-orang muslim. Adapun ayat yang menjelaskan tentang kafir di dalam surat al Maidah terdapat pada ayat 44 yang berbunyi: ⌦ ☺ ☺ 3 Sukran Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam, dan Politik studi semiotik terhadap Novel Aulad Haratina, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007, cet. Ke-1, h. 184 Sayid Qutb Ibrahim Husain terlahir Tanggal 9 Oktober 1906 di kota Musyah, salah satu propinsi Asyut, di daerah dataran tinggi Mesir. Ayahnya bernama Qutb Ibrahim asy-Syazili. Sayyid Qutb memiliki empat saudara kandung yaitu: Nafisah, Aminah, Hamidah, Muhammad. Nuim Hidayat, M.Si., Sayyid Qutb, Biografi dan Kejernihan Pemikiraannya, Jakarta: Perspektif, 2005, cet. Ke-1, h.15 4 Basyir Ahmad Kasymiri, ‘Ab Qary al-Islam Sayyid Qutb, Mesir: Dar-al-Fadilah, t.t., h. 27 2 Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi, yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Dalam contoh di atas, dalam tafsir Adhwa’ul Bayan diriwayatkan dari Asy Sya’bi, ayat tersebut ditunjukkan kepada kaum muslimin, maksud 3 kekufuran di dalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran, dan bukan yang berarti keluar dari agama. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, mengenai ayat ini, dia berkata: bukan kekufuran seperti yang kalian katakan atau kira. Begitu juga Al Hakim mengatakan, shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak menukilnya. Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa siapapun- tanpa kecuali –jika melecehkan hukum-hukum Allah atau enggan menerapkannya karena tidak mengakuinya, maka dia adalah kafir, yakni telah keluar dari agama Islam. Mengawali kata hukum dan yahkum dalam skripsi ini, Penulis akan memberikan perbedaan makna pada kata yahkum pada al Qur’an H.B. Jassin Bacaan Mulia dalam surat al Maidah ayat 49 kata yahkum diartikan dengan menetapkan. Sedangkan di dalam al Qur’an Depag kata yahkum pada ayat yang sama diartikan dengan memutuskan. Dari kedua makna di atas jelas berbeda. Perbedaan itu terlihat pada diksiya. Adapun makna kata yahkum di dalam al Qur’an H.B.Jassin diterjemahkan secara harfiyah dengan bernuansa puitis. Sedangkan makna yahkum di dalam Qur’an Depag diterjemahkan secara bebas. Dari sini jelas bahwa perbedaan makna pada kata yahkum tergantung konteks dan penerjemahnya. Selain itu, dapat dilihat dari perbedaan karena lingkungan, latar belakang, pendidikan dan sebagainya. Di dalam al Qur’an Surat al Midah kata ﺣ ْﻜ ٌﻢ و ﻳ ْ܋ ﻜ ْﻢ mempunyai berbagai bentuk perbedaan makna. Perbedaan makna itu diungkapkan sebanyak 13 kali. Dari sekian banyak perbedaan bentuk kata ﺣ ْﻜ ٌﻢ و ﻳ ْ܋ ﻜ ْﻢ , 4 ﺣ ﻜ ﻢ - ﻳ ْ܋ ﻜ ﻢ - ﺣ ْﻜ ً݋ﺎ - ﺣ ﻜ ْﻮ ݊ ْﺔ Hakama-Yahkumu-Hukman-Hukumah ﺣ ْﻜ ٌﻢ - أ ْﺣ ﻜ ْمﺎ Hukmun-Ahkam ۾ ܋ ﱠﻜ ﻢ - إ ْﺣ ۿﻜ ﻢ Tahakkama- Ihtakama Selanjutnya, untuk lebih mengetahui makna hukum, Penulis mengambil surat al Maidah ayat 43 di dalam al Qur’an Depag dan H.B.Jassin. ayat ini berbunyi: ⌧ ☺ Terjemahan Depag: “Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu dari putusanmu? Dan mereka sungguh- sungguh bukan orang yang beriman”. 5 5 Depag, RI., Al-Quran dan Terjemahannya Al Jumanatul ‘Ali, Bandung: J-ART, 2005, h. 115 5 Terjemahan H.B.Jassin: “Tapi bagaimana mereka meminta keputusan kepadamu, sedang mereka mempunyai Taurat, yang di dalamnya ada hukum Allah? Kemudian mereka akan berpaling juga sesudah itu, karena mereka bukan orang beriman?”. 6 Dari kedua contoh makna dia atas pada al Qur’an yang berbeda Depag-H.B.Jassin. makna kata hukum diterjemahkan secara harfiah dan tidak ada perbedaan. Lalu apa makna hukum itu sendiri? Secara garis Besar, kata Hukum menurut Ahmad Ali yaitu seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis peraturan maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar atuaran tersebut. 7 Hukum Islam sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai. Namun bukan merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam al Qur’an, juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan artinya secara definitif. Untuk memahami pengetian Hukum Islam atau yang dalam bahasa Melayu disebut Undang-Undang Islam, perlu lebih dahulu diketahui kata 6 H.B., Jassin, Bacaan Mulia, Jakarta: 1982, h.53 7 Alexa, Pengertian Hukum, Artikel diakses pada tanggal 29 April 2010 dari http:id.shovoong.comsocial -science pengertian hukum. 6 “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”, berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti sederhana, yaitu: “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Definisi tersebut tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah dipahami. Kata “hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa sebagian ayat didalam al Qur’an juga menjelaskan tentang hukum. Hal ini berarti bahwa bila yang dibicarakannya bukan hal yang menyangkut hukum, seperti tentang zat, sifat dan kejadian, ia bukanlah dalam pengertian ini. Bentuk jama dari hukum adalah “ahkam” أ ْﺣ ﻜ ْمﺎ . Kata hukum disebut dalam definisi ini dalam bentuk jamak adalah untuk menjelaskan bahwa suatu kehidupan tidak jauh dari permasalahan hukum. 8 Dalam hal ini, sebuah analisis tidak akan terlaksana jika tidak didampingi dengan teori. Oleh karena itu, dalam penulisan ini, Penulis menggunakan teori semantik gramatikal yang terkait juga dengan teori semantik leksikal. Menurut Penulis, semantik gramatikal tidak jauh kaitannya dengan semantik leksikal. Semantik leksikal didalam kata ﺣ ْﻜ ٌﻢ و ﻳ ْ܋ ﻜ ْﻢ bermakna 8 Ahmad, Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, Bogor: Kencana, 2003, h. 125 7 Secara singkat, semantik gramatikal adalah penyelidikan makna bahasa dengan menekankan hubungan-hubungan dalam pelbagai tataran gramatikal. 9 Makna gramatikal sangatlah erat kaitannya dengan tata bahasa, salah satunya pada taraf sintaksis dan morfologi dalam tataran gramatikal suatu kata dapat di cari maknanya apabila dirangkai dengan kata lain dalam suatu kalimat. Makna gramatikal itu bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna- makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Untuk menyatakan makna ‘jamak’ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi pengulangan. 10 Makna gramatikal juga sebagai makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Oleh karena itu makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi. Maka makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu biasa juga disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. 11 Dari kesemua permasalahan di atas dengan kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam terjemahan Depag dengan H.B.Jassin serta adanya 9 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta: Pustaka Umum, 2008, h.75 10 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. Ke-2. h. 62 11 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. Ke-2. h. 62 8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah