ke proses pengalihan. Hal ini dikarenakan hasil analisis teks akan sangat membantu penerjemah pada tahap pengalihan. Dalam tahap pengalihan
inilah cerminan ‘mode’ dan ‘tenor dalam kalimat harus dilihat lagi dari segi norma bahasa sasaran.
Setelah tahap analisis dan tahap pengalihan dilalui, tahap terakhir yang harus dijalani adalah tahap penyerasian. Dalam hal ini tahap
penyerasian penerjemah dapat memilih apakah terjemahannya berorientasi ke bahasa sumber Bsu atau ke bahasa sasaran Bsa. Oleh karena itu,
yang wajib diingat oleh seorang penerjemah bahwa pada tahap penyerasian ini penerjemah sudah tidak lagi kembali ke tahap sebelumnya
analisis dan pengalihan.
3
3. Metode Penerjemahan
Problema ini ditanggulangi dengan membuat desain sasaran da analisis kebutuhan untuk menentukan metode penerjemahan mana yang
akan diambil. Dalam hal ini, penerjemah perlu mempelajari delapan metode yang diperkenalkan oleh Newmark, berdasarkan “tujuan” dan
pertimbangan “untuk siapa” penerjemahan dilakukan. Empat diantara delapan metode itu berorentasi pada BSU, sedangkan empat lainnya
berorientasi pada BSA. Oleh Newmark delapan metode itu digambarkan dalam diagram yang disebutnya diagram V. kedelapan metode
penerjemahan tersebut adalah 1 penerjemahan kata demi kata, 2 penerjemahan harfiah, 3 penerjemahan setia, 4 penerjemahan semantis,
3
Frans Sayogie. M. Pd, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Universitas Syarif Hidayatullah, 2008, h 10
19
5 saduran, 6 penerjemahan bebas, 7 penerjemahan idiomatis, 8 penerjemahan komunikatif.
4
Adapun pengertian serta contoh kedelapan penerjemahan di atas sebagai berikut:
a. Penerjemahan Kata Demi Kata
Dalam penerjemahan kata per kata ini sering disebut interlinear translation, yaitu susunan kata Bsu dipertahankan dan kata-kata
diterjemahkan satu persatu dengan makna yang paling umum, di luar konteks. Kata-kata kultural diterjemahkan secara harfiah. Contoh:
و ܲ
ْݏﺪ ْي
܂ ݣ
܂ ﺔ
آ ۿ
۷
Artinya: Dan di sisiku tiga buku-buku b.
Penerjemahan Harfiah Dengan menggunakan metode harfiah ini, kontruksi gramatikal
Tsu dicarikan padanannya yang terdekat dalam Tsa. Sebagai proses prapenerjemah, metode ini dapat membantu penerjemah melihat
masalah yang harus diatasi. Contoh;
܆ ءﺎ
ر ܆
ٌ݅ ݊
ْݍ ر
܆ ل ﺎ
ْ݆ا ۹
ڲﺮ و
ْا ﻹ
ْﺣ ܛ
نﺎ إ݆
ﻳ ﻰ ْﻮ
ْܶ ݛ
آﺎ ْﺮ
ﺎ۾ ݆
ܛ
ܲﺎ ﺪ
ة ܦ
܋ ﻳﺎ
ْ݆ا ﺎ ﺰ
ْ݆ ﺰ
لا
Artinya: Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korban-korban goncangan.
c. Penerjemahan Setia
Penerjemahan Setia ini berupaya mereproduksi menghasilkan makna kontekstual Bsu, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikal
4
Moch, Syarif Hidayatullah, Teori dan Permasalahan Penerjemahan, Diktat, Jakarta: 2007, h. 32
20
Bsa. Dalam menggunakan metode ini, penerjemah mentransfer kata- kata cultural dan mempertahankan tingkat ketidakwajaran gramatikal
dan leksikal penyimpangan dari norma-norma Bsu dalam penerjemahan. Penerjemah berupaya setia sepenuhnya terhadap tujuan
dan realisasi teks penulis Bsu. Contoh: ه
ﻮ آ
܃ْݛ ﺮ
ڲﺮ݆ا ݊
دﺎ
Artinya: Dia laki-laki dermawan karena banyak abunya. d.
Penerjemahan Semantis Berbeda dengan penerjemahan harfiah penerjemahan semantis
lebih luwes karena penerjemahan semantis
lebih bisa
berkompromi dengan kaidah Tsa. Penerjemahan semantis juga mempertimbangkan unsur-unsur estetika teks Bsu dengan
mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya bisa
diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Contoh:
رأ ْﻳ
۽ ذ
ْا ا ﻮ݆
ْ܆ ﻬ
ْݛ ݍ
أ݊ مﺎ
ْا ܻ݆
ْܣ ݅
Artinya: Aku lihat si muka dua di depan kelas. Adapun metode kedua, yaitu yang lebih menekankan kepada bahasa
sasaran Bsa, terbagi kepada empat metode, yaitu: e.
Penerjemahan Adaptasi Metode ini merupakan bentuk penerjemahan yang paling bebas
dan paling dekat dengan Bsa. Pada umumnya, jenis ini dipakai dalam
21
penerjemahan drama atau puisi yang di mana tema, karakter dan plot dipertahankan. Tetapi dalam penerjemahannya terjadi peralihan
budaya Bsu ke budaya Bsa, dan teks aslinya ditulis kembali serta diadaptasi ke dalam Bsa. Contoh:
ܲ ܞﺎ
ْ۽ ۸
ﻌْݛ ﺪ
ًة ﺣ
ْݛ ܁
ﻻ ۾
ْﺨ ﻄ
ْﻮ ﻗ
ﺪ م
ܲ ْݏﺪ
ْ݆ا ݛݏ
۸ﺎ ْݛ
ܱ ۸
ﺄ ْܲ
݇ ﱠݏ݆ا ݙ
ﻬ ﺮ
Artinya: Dia hidup jauh dari jangkauan Di atas gemericik air sungai yang terdengar jernih
f. Penerjemahan Bebas
Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks Bsu. Biasanya metode ini berbentuk
suatu parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media massa. Contoh. berikut ini
menunjukkan judul berita secara “ bebas”.
ْا ﻮ݆
ْ܆ ﻪ
ْا ܇݆
ﺪْﻳ ﺪ
ܲ ܢﺎ
ﺔ
ْا ݆
ݎﺎ ݛﺎ
Artinya: ‘Wajah baru Ibu Kota Baru’ g.
Penerjemahan Idiomatik Metode ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks Bsu,
tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian,
banyak terjadi distorasi nuansa makna. Beberapa pakar penerjemahan caliber dunia seperti Selekovitch, misalnya, menyukai metode
22
terjemahan ini, yang dianggapnya “hidup” dan “alami” dalam arti akrab. Contoh:
ْا ݆
لﺎ ْا
܋݆ ﺮ
ما ﻻ
ﻳﺪ ْو
م
Artinya: Harta haram tak akan bertahan lama h.
Penerjemahan Komunikasi Metode ini adalah yang banyak dipergunakan dalam
penerjemahan. Dalam metode ini yang dipentingkan adalah penyampaian pesannya, sedangkan terjemahannya sendiri lebih
diarahkan pada bentuk yang berterima dan wajar dalam Bsa.
5
Contohnya penerjemahan ungkapan it’s raining cats and dogs. Metode penerjemahan komunikatif akan menghasilkan terjemahan Hujan lebat
sekali. Contoh:
ݎۿ ﻄ
ﱠﻮ ر
݊ ْݍ
ݎ ْﻄ
ܻ ﺔ
܂ ﱠﻢ
݊ ْݍ
ܲ ݇ܿ
ﺔ ܂
ﱠﻢ ݊
ْݍ ݊
ْܧ ﻐ
ﺔ
Artinya: Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging awam.
6
Apa yang penting dari urian tentang metode di atas ialah bahwa cara menerjemahkan tak hanya satu jenis, tergantung untuk siapa dan
untuk tujuan apa kita menerjemahkan. Ini merupakan hasil desain sasaran dan analisis kebutuhan.
7
5
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 2006, h. 63
6
Moh. Mansyur dan Kustiawan, Pedoman bagi Penerjemah Arab- Indonesia, Indonesia- Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002, h. 47
7
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 2006, h. 65
23
4. Model Penerjemahan Al Qur’an