sewa menyewa, perwakilan, dan gadaijaminan
10
” Sedangkan arti khusus al-ma’na al-khas
akad adalah:
لﻮ بﺎ ا را عوﺮ و ﻰ
اﺮ ا
Artinya: Pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah Allah dan Rasulnya yang menimbulkan persetujuan kedua belah pihak
11
. Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan
kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh karena itu, ijab dan qabul menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak secara
timbal balik. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya
12
. Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ seorang pakar fiqih Yordania asal Siria,
menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan oleh manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu:
a. Tindakan berupa perbuatan
b. Tindakan berupa perkataan, dibagi lagi pada perkataan yang bersifat
kontrak dan tidak bersifat kontrak
13
2. Rukun dan Syarat kontrak ‘Aqad
Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat akad. Rukun akad adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu
rukun tidak ada menurut hukum Islam akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan
10
Azharuddin Lathif, Fiqh Mumalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, h.60
11
TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999, h.26
12
Azharuddin Lathif, Fiqh Mumalat, h.60
13
Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet, ke-1, h.97.
syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi
14
. a
Rukun Akad Menurut Mazhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas ijab dan qabul
shigat. Sedangkan hal lain yang oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai pilar-pilar akad lawazim al-‘aqd. Selain itu, ulama
Mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada lawazim al-‘aqad, yaitu tujuan akad maudhu’ al-‘aqad. Sedangkan menurut Jumhur Ulama Fiqh rukun aqad terdiri dari
tiga, yaitu: 1
Pernyataan untuk mengikatkan diri shigatul Aqdi Shigatul aqdi
merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui pernyataan ini dapat diketahui maksud dari masing-masing pihak yang mengadakan
akad. Shigatul ‘aqdi diwujudkan dalam bentuk ijab dan kabul. Adapun yang melakukan ijab adalah pihak yang berkuasa dalam transaksi dan yang melakukan
kabul adalah pihak yang membayar harga. Shigatul aqdi
ini memerlukan tiga syarat, yaitu a
Harus terang pengertiannya, artinya harus ada kejelasan maksud dari kedua belah pihak yang mengadakan kontrak, dan tidak ada hal yang dapat menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak. Shigatul ‘aqdi harus diungkapkan secara jelas dan menunjukkan kehendak kedua pihak yang berakad. Isi lafadz haruslah
menunjukkan kepada jenis kontrak yang dikehendaki oleh kedua belah pihak.
14
Ibid., h.64
b Harus ada kesesuaian antara ijab dan kabul, artinya kabul itu harus sesuai dengan
ijab. Kabul harus mengikuti ketentuan ijab, sama pada setiap barang atau perkara yang diakadkan dan sama pada kadar pertukaran dalam perkara kontrak
pertukaran dengan ijab. c
Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ijab dan kabul harus diucapkan dengan sungguh-sungguh tanpa ada keragu-raguan.
2 Pihak-pihak yang mengadakan ‘aqad Al-Muta’aqidain
Al-muta’aqidain adalah pihak-pihak yang mengadakan kontrak. Al-
Muta’aqidain ini bisa terdiri dari satu orang atau lebih dan telah dianggap cakap
untuk melakukan tindakan hukum. Dalam Mazhab Maliki dan Hanafi, orang yang mengadakan akad harus seorang yang berakal, yaitu mumayyiz yang telah sempurna
umurnya tujuh tahun. Dalam rukun akad orang yang melakukan ‘aqad disyaratkan harus telah akil
baliq, artinya ia memiliki kecakapan untuk melakukan akad, tidak dungu, idiot, atau gila.
3 Objek akad Al-Ma’qud’Alaih
Al-Ma’qud ‘alaih adalah benda yang menjadi obyek akad. Dalam rukun ini,
barang yang dijanjikan wujudnya dapat berupa komoditi, dapat pula berupa manfaat atau jasa.
Ada 5 syarat yang akan dijadikan ma’qud ‘alaih, yaitu: a
Barang yang dijanjikan harus sudah ada ketika dilakukan akad b
Barang yang akan dijadikan haruslah dibenarkan oleh syari’at hukum.
Barang tersebut dapat diserahkan ketika dilaksanakan akad. c
Barang yang akan dijanjikan harus jelas dan diketahui oleh pihak-pihak yang mengadakan akad agar tidak terjadi silang sengketa di kemudian hari.
d Para ulama kecuali Mazhab Hanafi menetapkan bahwa barang yang dijanjikan
harus barang yang suci, bukan barang yang najis atau terkena najis.
3. Azas- azas perjanjian dalam Islam