Analisis A'qdu al-Idz'an dalam perjanjian akad mudharabah di Bank Negara Indonesia

(1)

DITINJAU DARI FIKIH MUAMALAT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

FITRIA NIM: 106046101619

K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431 H/2010 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 27 Ramadhan 1431 6 September 2010

FITRIA


(5)

Mudharabah Di Bank Negara Indonesia Syari’ah Ditinjau Dari Fikih Muamalat. Program Studi Muamalah (Ekonomi Islam), Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1431 H / 2010 M.

Isi: ix+79 halaman+34 lampiran, 31 literatur (1945-2009)

Dalam kaitannya di perbankan syari’ah untuk mengikat suatu perjanjian di perlukan adanya kontrak,sehingga keberadaan kontrak sangat dibutuhkan. Kontrak yang biasanya digunakan adalah kontrak standart atau kontrak baku dimana nasabah diharuskan untuk tunduk dan patuh terhadap semua ketentuan kontrak, bahkan pihak nasabah perbankan sering merasa terdzalimi karena mereka kurang memahami atau bahkan tidak mengetahui substansi akad, mereka terpaksa untuk menyetujui karena mereka membutukan dana untuk modal usaha dan konsumsi. Penelitian ini menganalisis Aqdu Al-Idz’an (Kontrak Standart) Bank Negara Indonesia Syari’ah ditinjau dari Fikih Muamalat. Tujuannya agar Bank, nasabah dan pihak terkait mendasarkan semua tindakan mereka sesuai dengan ketetuan Syari’ah berdasarkan teori fikih muamalat.

Penelitian ini menggunakan pendekatan fikih muamalat dengan mencantumkan ayat-ayat al-qur’an maupun hadist nabi dan pendapat ulama dan pakar ekonom syari’ah terkait masalah kontrak standart. Disamping itu penelitian ini juga mencantumkan ayat alqur’an dan beberapa hadist nabi sebagai fondasi dalam pengambilan hokum Islam.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kontrak pembiayaan Mudharabah di Bank Negara Indonesia Syari’ah terdapat beberapa pasal yang mengandung idz’an, namun tidak menyebabkan kontrak ini batal, dan substansi akad pada dasarnya tidak bertentangan dengan kaidah fikih muamalat.

Kata kunci : Kontrak Standart (Aqdu Al-Idz’an), Kontrak Mudharabah, Fikih Muamalat

Pembimbing I : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA NIP. 196011071985051001

Pembimbing II : A. Chaerul Hadi, MA NIP. 150411184


(6)

KATA PENGANTAR

¯2Ù{´



­G¡‹+݉ƒo

¯2lµƒo

Puji Syukur Penulis tidak henti-henti hanturkan kepada Allah SWT, tiada Tuhan selain Allah yang telah mempermudahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini walaupun melalui proses yang tidak sebentar, Alhamdulilla, Salawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah mengajarkan kepada kita arti sebuah keimanan, kesabaran dan keikhlasan untuk berbuat dan beramal dengan hanya mengharapkan redha-Nya, Semoga Skripsi ini, bernilai ibadah dihadapan Allah SWT, Amiiiiiin ya Rabbal ‘Alamin.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis untuk merampungkan skripsi ini, kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag., MH, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Muamalat.

3. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA dan A. Chaerul Hadi, MA. Selaku dosen pembimbing atas segenap waktu, arahan, motivasi dan kesabarannya dalam membimbing penulis hingga akhir penulisan skripsi ini.


(7)

5. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya dalam melengkapi penelitian.

6. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanan dan bantuannya dalam mengumpulkan berbagai literatur yang dibutuhkan dalam penelitian.

7. Pihak Bank Negara Indonesia Syari’ah Cabang Jakarta Selatan, Perpustakaan Iman Jama’. Yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ayah dan Ibu serta semua anggota keluarga yang telah mendoakan dan memberi motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, Jasa Ayah dan Ibu serta semua anggota keluarga akan selalu penulis kenang hingga di ujung usia.

9. Bapak Agustianto Mingka sekeluarga yang sudah banyak membantu penulis baik waktu, tenaga, dan pikiran, akan dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda.

10. Bapak Gustian Djuanda, Bapak Hasanuddin AF, Bapak Nuzul Wibawa dan Ibu Erika Amelia yang telah memberikan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

11. Kepada semua adik kelas penulis di Pesantren Darus-Sunnah yang telah banyak meluangkan waktuny untuk menemani penulis dan memberi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman mahasiswa Perbankan Syariah Angkatan 2006, khususnya keluarga besar PS D yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, yang telah menemani penulis selama menimba ilmu di Fakultas tercinta ini, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

Semoga Skripsi ini berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Jakarta: 6 September 2010 M 15 Syawal 1431 H

Fitria


(9)

lembar Persetujuan Pembimbing ... ii

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... iii

Lembar Pernyataan... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Review studi terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Prinsip dan ketentuan kontrak dalam Islam... 16

B. Mudharabah dalam Perbankan Syari’ah... 32

C. ‘Aqdu Al-Idz’an dan ketentuannya ... 42

BAB III PROFIL PT BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH Tbk ... 49

A. Sejarah PT BNI Syari’ah Tbk ... 49

B. Visi dan Misi PT BNI Syari’ah Tbk... 52

C. Produk Pembiayaan PT BNI Syari’ah Tbk ... 53

BAB IV HASIL ANALISIS ... 64

A. Design Kontrak Mudharabah ... 64

B. Isi Kontrak Mudharabah... 66

C. Analisis Design Kontrak Mudharabah ... 72


(10)

x

D. Analisis Isi Kontrak Mudharabah... 73

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Industri perbankan memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pembangunan nasional serta perekonomian nasional. Pelaksanaan visi dan misi perbankan nasional sebagai sarana untuk pelaksanaan pembangunan nasional mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pancasila dan UUD 1945 (Agent of Development) sangat berkaitan erat dengan jaminan kepastian perlindungan hukum nasabah bank dalam sistem perbankan nasional.1

Bank adalah suatu lembaga kepercayaan yang merupakan lembaga perantara bidang keuangan (financial intermediary), yang memberikan jasa kepada mereka yang membutuhkannya, baik penyimpan maupun kepada peminjam uang. Dengan demikian dalam bisnis perbankan terdapat 3 pihak yang terkait, yaitu bank sebagai pemberi jasa perantara, nasabah penyimpan uang dan kreditur bank dan nasabah peminjam uang (debitur). Selain itu terdapat juga orang-orang yang menggunakan jasa bank secara insidental, seperti pengirim uang atau pemakai jasa melalui lalu lintas giro, dan lain-lain.

1

Djuhaendah Hasan, Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), h.2


(12)

2

Dalam Perbankan ditemukan adanya suatu perjanjian yaitu suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dari peristiwa itu, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.2

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga di namakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak (akad), lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Dalam dunia usaha, akad usaha itu menduduki posisi yang amat penting, karena perjanjian itulah yang membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam pengelolaan usaha, dan akan mengikat hubungan itu di masa sekarang dan dimasa yang akan datang, dan karena dasar hubungan itu adalah pelaksanaan apa yang menjadi orientasi kedua orang yang melakukan perjanjian, dijelaskan dalam perjanjian oleh keduanya, kecuali bila menghalalkan yang haram atau mengharamkan

2


(13)

yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah3 sebagaimana yang termaktub dalam kitab hadist Abu Daud ra4:

ﺎ ْ

ﺎ إ

ﺪ ْ أ

داز

ْ ْا

ْ

ﺰﺋﺎ

ْ ا

و

ْ

ا

ا

لﻮ ر

لﺎ

دواد

ْ

نﺎ ْ

دازو

ﺎ ﺎ

مﺮ

ْوأ

ﺎ اﺮ

أ

و

ْ

ا

ا

لﻮ ر

لﺎ و

ْ ﻬ وﺮ

نﻮ ْ ْا

Artinya: Bersabda Rasulullah SAW berdamai itu dibolehkan antara sesama muslim, (lalu Ahmad menambahkan) kecuali berdamai dengan cara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal (lalu Sulaiman bin Daud) menambahkan telah bersabda Rasulullah SAW orang Muslim itu berdasarkan perjanjian yang mereka buat.

Kontrak (akad) yang berlaku dalam perbankan syariah merupakan wujud nyata yang seharusnya dapat melahirkan prinsip-prinsip syari’ah. Dimana secara teoritis kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang dituangkan dalam klausa akad bersifat transparan sehingga nasabah dan bank sama-sama diuntungkan (simbiosis mutualisme), karena dalam syariah kontrak di buat atas kemauan dan kesadaran kedua pihak jadi kemungkinan terjadinya pihak yang dirugikan sangat kecil.

Dalam melakukan sebuah bisnis biasanya kontrak dibuat untuk menghindari hal-hal yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang melakukan bisnis. Di era transaksi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak atau akad dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan multiakad (hibryd contract), atau biasa disebut al-ukud al-murakkabah hal ini karena dimana

3

Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.25

4

Ibnu Al-Ash Abu Daud Ashsijistani al Azhdi, Sunan Abi Daud, Tahqiq: Shiddiq Muhammad Jamil (Beirut: Dar’ Al-Fikr, 2003 M, 1424 H), Juz 9, H. 491


(14)

4

bentuk dan nama kontrak yang dibuat oleh kedua pihak dalam syariah tidak ada bentuk bakunya akan tetapi kontrak yang dibuat harus mengikuti prinsip-prinsip kontrak dalam Islam5.

Prinsip dasar kontrak dalam Islam meliputi hak pihak kreditur dan debitur, dimana keadilan dapat ditegakkan, tidak ada yang terzhalimi, tidak ada paksaan, dilakukan dengan sukarela (voluntary) serta terpenuhinya syarat dan rukun kontrak.

Menurut Mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: Shighat (pernyataan ijab dan qabul), ‘Aqidain (Dua pihak yang melakukan akad), dan Ma’qud ‘alaih (obyek akad). Menurut Mazhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas Ijab dan Kabul (shighat). Sedangkan hal lain yang oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi Mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai lawazim al-‘aqd (hal-hal yang mesti ada dalam setiap pembentukan akad) dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al-‘aqad (pilar-pilar akad). Selain itu, ulama Mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada lawazim al-‘aqad, yaitu maudhu’ al-‘aqad (tujuan akad)6.

Para ulama fikih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Di samping itu dalam hukum Islam yang melandasi untuk terjadinya kontrak yang sah adalah terpenuhinya akad, tidak ada pihak yang dirugikan, dan objek kontrak yang dilakukan adalah halal dan sah menurut Syari’at Islam.

5

Wawancara pribadi dengan Agustianto Mingka di klinik Bank Muamalat Indonesia. Jakarta 14 Mei 2010.

6

Azharuddin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis, Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, cet.1, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.67


(15)

Kontrak standart atau perjanjian baku adalah kontrak-kontrak yang telah dibuat secara baku (form standart), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, jenis dan jumlah barang yang ditransaksikannya dan sebagainya. Sehingga dengan kontrak standart ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak.

Dalam praktek kontrak di bank, biasanya kontrak yang akan di sepakati sudah terkonsep dan bentuknya baku di mana pihak nasabah tinggal menerima dan menanda tangani kontrak yang ada sehingga di sana tidak ada tawar menawar tentang syarat akad, rusaknya akad, batalnya akad, denda akad dan akibat akad7.

Dalam perkembangannya para cendekiawan muslim yang tergabung dalam Majelis Ulama Fikih Islam Masa kini di Doha Qatar dalam seminar keempat belas yang diadakan di Doha Qatar pada 8 - 13 dzulqo’dah 1423 H, bertepatan dengan 11-16 Januari, tahun 2003 meneliti persoalan tentang kontrak standart atau yang mereka istilahkan dengan aqdu al-idz’an, lalu mereka mendefinisikannya dengan “Sebuah kontrak di mana bentuk yang akan di sepakati sudah terkonsep dan baku, pihak nasabah diminta untuk menyetujui draft yang telah di buat oleh bank8”.

7 Wawancara pribadi dengan Hasanuddin , di IIQ (institute ilmu Al-Qur’an) Jakarta

8

Hasan Al Jawahiri,“Aqdu al-Idz’an”,artikel di akses pada 13 Maret 2010 dari http://www.islamicfeqh.com/magazines/Feqh34a/arabi307.htm


(16)

6

Aqdu al-idz’an ini dinamakan oleh ulama fikih sehingga di kategorikan

kepada al-‘uqud ghair al-musammah, yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat.

Mengingat banyaknya permasalahan yang terjadi dalam hal kontrak standart ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan pemilihan judul “ANALISIS ‘AQDU AL-IDZ’AN DALAM PERJANJIAN KONTRAK MUDHARABAH DI BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH DITINJAU DARI FIKIH MUAMALAT”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari beberapa permasalahan yang ada, maka penulis membatasi penelitian ini pada Kajian Aqdu Al-Idz’an dalam kontrak mudharabah menurut fikih muamalat.

Untuk mempermudah pembahasan maka penulis membuat perumusan masalah, yakni:

1. Bagaimanakah konsep ‘aqdu al-idz’an dalam perspektif fikih muamalat? 2. Bagaimanakah implementasi ‘aqdu al-idz’an pada kontrak mudharabah di

perbankan syari’ah?

3. Apakah ‘aqdu al-idz’an tersebut sudah sesuai dengan fikih muamalat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian


(17)

a. Untuk mengetahui konsep ‘aqdu al-idz’an dalam perspektif fikih muamalat

b. Untuk mengetahui implementasi ‘aqdu al-idz’an pada kontrak mudharabah di perbankan syari’ah?

c. Untuk mengetahui apakah ‘aqdu al-idz’an tersebut sudah sesuai dengan fikih muamalat atau tidak?

2. Manfaat Penelitian: a. Bagi Penulis

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang konsep ‘aqdu

al-‘idz’an pada pembiayaan Mudharabah di BNI Syari’ah dan mengetahui

pandangan hukum Islam terhadap akad pembiayaan Mudharabah di BNI Syari’ah.

b. Bagi kalangan akademisi

Khususnya mahasiswa konsentrasi perbankan syariah, skripsi ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam peningkatan dan pengembangan pengetahuan mengenai ‘aqdu al-‘idz’an pada akad pembiayaan mudharabah di BNI Syari’ah.

c. Bagi pihak bank syari’ah


(18)

8

d. Bagi masyarakat umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan menambah wawasan masyarakat mengenai ‘aqdu al-‘idz’an pada kontrak mudharabah.

D.Review Studi Terdahulu

Dari beberapa literatur yang ada di perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang penulis kutip untuk dijadikan sebagai acuan mengenai judul skripsi penulis, yaitu,

1. Tesis, Penelitian yang dilakukan oleh Indira Estiyanti Nurjadin Mahasiswi Universitas Indonesia, Program Magister Kenotariatan, Tahun 2006. “Perjanjian-perjanjian Yang Melandasi Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Asset”. Tesis ini membahas mengenai Perjanjian-perjanjian yang melandasi kontrak Investasi Kolektif EBA, Metode Penelitian yang digunakan tidak disebutkan dalam penelitian.

Hasil penelitian dari Tesis ini adalah:

1. Perjanjian-perjanjian yang melandasi kontrak Investasi Kolektif EBA adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian pemberian fasilitas pinjaman atau perjanjian hutang piutang antara kreditur awal dengan debitur.


(19)

2. Aset keuangan yang telah dijual kepada kontrak Investasi kolektif EBA akan menjadi miliknya kontrak investasi kolektif EBA. Namun demikian, asset keuangan tetap didaftarkan atas nama bank custodian, bukan atas nama kontrak investasi kolektif EBA. Dengan demikian pemegang legal title dari asset keuangan adalah bank custodian, namun segala manfaat ekonomis dari asset keuangan adalah untuk kepentingan investor EBA.

3. Kontrak investasi kolektif EBA sudah melindungi investor pemegang EBA sehubungan dengan resiko-resiko di bawah ini:

a. Resiko pailitnya kreditur Awal dapat diminimalkan dengan perjanjian untuk memperoleh underlying asset yang mendasari kontrak investasi kolektif EBA yang harus berupa perjanjian jual putus atas asset keuangan kreditur awal.

b. Resiko gagal bayar dari pihak Debitur dapat dikurangi dengan adanya barang jaminan dan Sarana Peningkatan Kredit.

c. Resiko pailitnya manajer investasi dan bank kustodian serta penyelewengan oleh manajer investasi dan bank custodian yang menjalankan dan mewakili kontrak investasi kolektif EBA, dapat diminimalkan dengan pengawasan dari badan pengawas pasar modal dan bursa efek.


(20)

10

Perbedaan Penelitian Penulis dengan penelitian ini adalah:

1. Fokus penelitian Penulis adalah kesesuaian draft kontrak dengan standart kontrak yang berlaku, dan Fokus penelitian pada tesis ini adalah pada Kontrak Investasi Kolektif EBA (Efek Beragun Asset). 2. Metode Penelitian penulis adalah Metode Kualitatif yang

menghasilkan data Deskriptif Analisis. Sedangkan Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini tidak disebutkan dalam penulisan.

2. Skripsi, Penelitian yang dilakukan oleh Diah Pitaloka Mahasiswi Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005 yang berjudul “Tinjauan Kontrak Bagi Hasil Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam”. Skripsi ini membahas tentang kesesuaian kontrak mudharabah dilihat dari segi hukum positif dan hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah metode library research dan deskriptif analitis. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah:

a. Kontrak bagi hasil, baik ditinjau dari hukum positif maupun Islam pada umumnya berisi hal-hal yang mengatur tentang ketentuan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkontrak.


(21)

b. Bagi hasil menurut hukum positif hanya mengenal perhitungan aman dan untung dalam setiap transaksi yang dilakukan sedangkan dalam Islam mengandung unsur keadilan kedua belah pihak.

Perbedaan Penelitian penulis dengan penelitian ini adalah :

1. Fokus penelitian penulis adalah kesesuaian antara draft kontrak mudharabah di BNI Syari’ah dengan standart kontrak menurut fikih muamalat, dan Fokus Penelitian pada skripsi ini adalah Kontrak Bagi Hasil ditinjau dari hukum positif maupun Islam.

2. Metode penelitian penulis adalah Metode Penelitian Kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis, sedangkan metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah metode library research dan deskriptif analitis.

3. Tesis, Penelitian yang dilakukan oleh Rejeki Wijiastuti, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, “Azas kebebasan Berkontrak dalam kontrak karya PT Newmont Minahasa Raya dengan pemerintah Republik Indonesia” tahun 2006.

Tesis ini membahas mengenai Azas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan dalam menentukan bentuk


(22)

12

perjanjian. Adanya keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak karya dilihat dari perbuatan para pihak, isi kontrak dan pelaksanaan kontrak yang telah disepakati. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif.

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah:

1. Azas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian.

2. Adanya keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak karya dilihat dari perbuatan para pihak, isi kontrak dan pelaksanaan kontrak yang telah disepakati.

3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan No. 94/PDT.G/2005/PN. Jakarta Selatan dalam perkara antara Negara Republik Indonesia c.q. Menteri Negara Lingkungan Hidup (penggugat) melawan PT Newmont Minahasa Raya (Tergugat I) dan Richard Bruce Ness (tergugat II) berpendapat bahwa kontrak karya adalah perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan PT Newmont Minahasa Raya yang tidak dipermasalahkan keabsahannya.


(23)

1. Fokus penelitian Penulis adalah pada kesesuaian antara draft kontrak perjanjian di BNI Syari’ah dengan prosedur dalam standart kontrak yang berlaku. Sedangkan fokus penelitian pada tesis ini adalah Azas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian.

2. Metode Penelitian penulis adalah Metode Penelitian Kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis, sedangkan metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah metode yuridis normatif.

E. Metode dan teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan informasi dari pakar-pakar ekonomi Islam dan juga dari lembaga yang terlibat dalam objek penelitian. Jenis pelaporan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data yang ada lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil suatu kesimpulan. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari, dan menela’ah teori-teori yang didapat secara seksama, selanjutnya dari proses analisa


(24)

14

tersebut penulis mengambil kesimpulan dari masalah yang bersifat umum kepada masalah yang bersifat khusus.

2. Teknik pengumpulan data

a. Penelitian Kepustakaan (Library research), penulis mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini. Literatur itu berupa buku, majalah, surat kabar, artikel, internet, dan lain sebagainya. Langkah dalam melaksanakan study pustaka ini adalah dengan cara membaca, mengutip serta menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam memenuhi data penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), untuk mendapatkan data-data dan informasi, penulis langsung terjun ke objek penelitian, yaitu lembaga yang diteliti dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Interview, yaitu melakukan wawancara dengan pihak DSN, Pakar dan Lembaga yang menangani Draft Kontrak dalam Perbankan Syari’ah.

2. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data berdasarkan laporan yang didapat dari lembaga yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3. Teknik Penulisan.

Dalam Penyusunannya secara teknis penulisan, semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.


(25)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan menjadi beberapa bab:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review study terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori

Bab ini terdiri dari 3 bahasan, bahasan pertama, prinsip dan ketentuan kontrak dalam Islam. kedua, Mudharabah dalam perbankan syari’ah. ketiga, ‘Aqdu Al-idz’an dan ketentuannya.

Bab III: Profil PT Bank Negara Indonesia Syari’ah Tbk

Bab ini membahas mengenai sejarah Bank Negara Indonesia Syari’ah, Tujuan Pendirian , Visi dan Misi, Produk-produk Bank Negara Indonesia Syari’ah.

Bab IV: Hasil Analisis

Bab ini membahas mengenai Design Kontrak Mudharabah di BNI Syari’ah, Isi Kontrak Mudharabah BNI Syari’ah, Analisis Design Kontrak Mudharabah, Analisis Isi Kontrak Mudharabah BNI Syari’ah.

Bab V: Penutup


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Prinsip dan ketentuan kontrak dalam Islam. 1. Pengertian kontrak

Dalam kajian hukum Islam yang berkaitan dalam hal muamalah, masalah akad (‘aqad) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena akad merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.

Lafal akad berasal dari lafal Arab (ﺪ ا) yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Dalam fiqh didefinisikan dengan irtibathu

ijabin bi qabulin ‘ala wajhin masyruin’ yatsbutu atsaruhu fi mahallihi, yakni

pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan.9

Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus

(al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah “Segala sesuatu yang

dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya seperti jual beli,

9

Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syari’ah, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006), h.4


(27)

sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan10” Sedangkan arti khusus (al-ma’na al-khas) akad adalah:

لﻮ

بﺎ ا

را

عوﺮ

و

اﺮ ا

Artinya: Pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan persetujuan kedua belah pihak11.

Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh karena itu, ijab dan qabul menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak secara timbal balik. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya12.

Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ seorang pakar fiqih Yordania asal Siria, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan oleh manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu:

a. Tindakan berupa perbuatan

b. Tindakan berupa perkataan, dibagi lagi pada perkataan yang bersifat kontrak dan tidak bersifat kontrak13

2. Rukun dan Syarat kontrak (‘Aqad)

Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat akad. Rukun akad adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada menurut hukum Islam akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan

10

Azharuddin Lathif, Fiqh Mumalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.60

11

TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), h.26

12

Azharuddin Lathif, Fiqh Mumalat, h.60

13


(28)

18

syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi14.

a) Rukun Akad

Menurut Mazhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas ijab dan qabul (shigat). Sedangkan hal lain yang oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai pilar-pilar akad(lawazim al-‘aqd). Selain itu, ulama Mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada lawazim al-‘aqad, yaitu tujuan akad (maudhu’ al-‘aqad). Sedangkan menurut Jumhur Ulama Fiqh rukun aqad terdiri dari tiga, yaitu:

1) Pernyataan untuk mengikatkan diri (shigatul Aqdi)

Shigatul aqdi merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui

pernyataan ini dapat diketahui maksud dari masing-masing pihak yang mengadakan akad. Shigatul ‘aqdi diwujudkan dalam bentuk ijab dan kabul. Adapun yang melakukan ijab adalah pihak yang berkuasa dalam transaksi dan yang melakukan kabul adalah pihak yang membayar harga.

Shigatul aqdi ini memerlukan tiga syarat, yaitu

a) Harus terang pengertiannya, artinya harus ada kejelasan maksud dari kedua belah pihak yang mengadakan kontrak, dan tidak ada hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Shigatul ‘aqdi harus diungkapkan secara jelas dan menunjukkan kehendak kedua pihak yang berakad. Isi lafadz haruslah menunjukkan kepada jenis kontrak yang dikehendaki oleh kedua belah pihak.

14


(29)

b) Harus ada kesesuaian antara ijab dan kabul, artinya kabul itu harus sesuai dengan ijab. Kabul harus mengikuti ketentuan ijab, sama pada setiap barang atau perkara yang diakadkan dan sama pada kadar pertukaran dalam perkara kontrak pertukaran dengan ijab.

c) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ijab dan kabul harus diucapkan dengan sungguh-sungguh tanpa ada keragu-raguan.

2) Pihak-pihak yang mengadakan ‘aqad (Al-Muta’aqidain)

Al-muta’aqidain adalah pihak-pihak yang mengadakan kontrak.

Al-Muta’aqidain ini bisa terdiri dari satu orang atau lebih dan telah dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum. Dalam Mazhab Maliki dan Hanafi, orang yang mengadakan akad harus seorang yang berakal, yaitu mumayyiz yang telah sempurna umurnya tujuh tahun.

Dalam rukun akad orang yang melakukan ‘aqad disyaratkan harus telah akil baliq, artinya ia memiliki kecakapan untuk melakukan akad, tidak dungu, idiot, atau gila.

3) Objek akad (Al-Ma’qud’Alaih)

Al-Ma’qud ‘alaih adalah benda yang menjadi obyek akad. Dalam rukun ini, barang yang dijanjikan wujudnya dapat berupa komoditi, dapat pula berupa manfaat atau jasa.

Ada 5 syarat yang akan dijadikan ma’qud ‘alaih, yaitu:

a) Barang yang dijanjikan harus sudah ada ketika dilakukan akad


(30)

20

Barang tersebut dapat diserahkan ketika dilaksanakan akad.

c) Barang yang akan dijanjikan harus jelas dan diketahui oleh pihak-pihak yang mengadakan akad agar tidak terjadi silang sengketa di kemudian hari.

d) Para ulama (kecuali Mazhab Hanafi) menetapkan bahwa barang yang dijanjikan harus barang yang suci, bukan barang yang najis atau terkena najis.

3. Azas- azas perjanjian dalam Islam Azas-azas perjanjian dalam Islam adalah: 1.) Kebebasan(Al-Hurriyah)

Azas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of making

contract). Bebas dalam menentukan obyek perjanjian dan bebas menentukan

dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi dikemudian hari.

Azas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syari’ah Islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan.

Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 256, sebagai berikut:

ﷲﺎ

ﺆ و

تﻮ ﺎ

ﺮ ﻜ

ا

ﺪ ﺮ ا

ﺪ ا

اﺮآإ

ﷲاو

ﺎﻬ

مﺎ

ا

ﻰ ﻮ ا

ةوﺮ ﺎ

ا

)

ةﺮ ا

:

256

(

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak


(31)

akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah: 256)

2.) Persamaan dan Kesetaraan (Al-Musawah)

Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak mempunyai kedudukan

(bargaining position) yang sama, sehingga dalam menentukan term and

condition dari suatu akad atau perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang.

Dasar hukum mengenai asas persamaan ini tertuang di dalam ketentuan Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13:

نإ

اﻮ رﺎ

ﺋﺎ و

ﺎ ﻮ

آﺎ

و

ﻰ أو

ﺮآذ

ﺎ إ

سﺎ ا

ﺎﻬ ﺄ

ﷲا

نإ

ﻜ أ

ﷲا

ﻜ اﺮآأ

)

تاﺮ ا

:

13

(

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara

kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal(Al-Hujurat:

13)

3.) Keadilan(Al-‘Adalah)

Pelaksanaan azas ini dalam suatu perjanjian atau akad menuntut para pihak untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang. Serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.


(32)

22

Azas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak, harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan, penipuan, dan mis statement.

Dasar hukum adanya asas kerelaan dalam pembuatan perjanjian dapat dibaca dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 29:

ضاﺮ

ةﺮ

نﻮﻜ

نأ

إ

ﺎ ﺎ

ﻜ اﻮ أ

اﻮ آﺄ

اﻮ اء

ﺬ ا

ﺎﻬ ﺄ

ﺎ ر

نﺎآ

ﷲا

نإ

ﻜ أ

اﻮ

و

)

ءﺎ ا

:

29

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu( An-Nisa’ :29)

Kata suka sama suka menunjukkan bahwa dalam hal membuat perjanjian, khususnya di lapangan perniagaan harus senantiasa didasarkan pada asas kerelaan atau kesepakatan para pihak secara bebas15.

5.) Kebenaran dan Kejujuran (Ash-Shidq)

Bahwa di dalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan penipuan, karena dengan adanya penipuan atau kebohongan sangat berpengaruh dalam keabsahan perjanjian atau akad. Perjanjian yang didalamnya mengandung unsur kebohongan atau penipuan, memberikan hak kepada pihak lain untuk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut.

15

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), cet 1, h.56


(33)

Dasar hukum mengenai Ash-Shidiq, dapat kita baca dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 70:

اﺪ ﺪ

اﻮ ﻮ و

ﷲا

اﻮ

اﻮ اء

ﺬ ا

ﺎﻬ ﺄ

)

بﺰ ﻷا

:

70

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (Al-Ahzab: 70)

6.) Tertulis (Al-Kitabah)

Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan demi kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282-283:

ﺎآ

ﻜ و

ﻮ آﺎ

أ

ﻰ إ

اﺪ

اذإ

اﻮ اء

ﺎﻬ ﺄ

ﷲا

ﺎ آ

نأ

ﺎآ

بﺄ

و

لﺪ ﺎ

ا

يﺬ ا

و

وأ

وأ

ﺎﻬ

ا

ىﺬ ا

نﺎآ

نﺈ

،ﺄ

و

ر

ﷲا

و

نﺈ

ﻜ ﺎ ر

ﺪ ﻬ

اوﺪﻬ و

لﺪ ﺎ

و

ﻮه

نأ

ءاﺪﻬ ا

نﻮ ﺮ

نﺎ أﺮ و

ر

ﺎ ﻮﻜ

...

)

ةﺮ ا

:

282

-283

(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai (Al-Baqarah:282-283)

Ayat ini mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak. Bahkan juga di dalam pembuatan perjanjian


(34)

24

hendaknya juga disertai dengan adanya saksi-saksi (syahadah), gadai (rahn, untuk kasus tertentu), dan prinsip tanggung jawab individu16.

7.) Asas Konsensualisme

Suatu Kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Azas konsensualisme ini merupakan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1320 KUPerdata. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi hukum. Kesepakatan maksudnya adalah seiya-sekata tentang apa yang diperjanjikan. Dan kesepakatan ini dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dan tekanan salah satu pihak.

8.) Asas Pacta Sunt Servanda (Azas Kepastian Hukum)

Secara harfiyah berarti janji itu mengikat. Yang dimaksudkan adalah bahwa jika suatu kontrak sudah dibuat secara sah oleh para pihak, maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak, bahkan mengikatnya kontrak yang dibuat oleh para pihak sama kekuatannya dengan mengikatnya sebuah undang-undang yang dibuat oleh parlemen dan pemerintah.

9.) Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari pasal 11338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus

16


(35)

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikadbaik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

10.)Asas Kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya kepentingan perorangan saja. 11.)Perjanjian Batal demi hukum

Yaitu, suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian akan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif.

12.)Keadaan memaksa (overmacht)

Yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan terjadi di luar kemampuannya sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti kerugian.

13.)Asas Canseling

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif dapat dimintakan pembatalan.


(36)

26

Asas obligatoir suatu kontrak maksudnya bahwa setelah sahnya suatu kontrak, Kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak.

15.)Azas Zakwaarneming

Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus mengurusnya sampai selesai17.

4. Hal-hal yang dapat merusak akad

Akad dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat dibatalkan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:

a. Keterpaksaan atau Dures (al-Ikrah)

Salah satu asas akad menurut hukum Islam adalah kerelaan (al-ridha) dari para pihak yang melakukan akad. Implementasi asas ini diwujudkan dalam bentuk ijab-kabul yang merupakan unsur terpenting dalam akad. Jika sebuah akad dilakukan tanpa adanya kerelaan, berarti akad tersebut dibuat dengan secara terpaksa.

Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, para ulama membagi ikrah menjadi dua macam, yaitu:

17

Azharuddin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam ( Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet 1, h.44


(37)

1. Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada hilangnya jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa mengakibatkan cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya.

2. Pemaksaan tidak sempuna (ikhrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa sakit yang ringan atau berupa pukulan yang ringan.

Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh pada akad adalah pemaksaan yang tidak disyari’atkan (tidak dibenarkan secara hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum, maka pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim terhadap seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya (dari kebutuhan) untuk membayar utang.

b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath)

Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad dalam menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan zat (jenis) maupun dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang membeli perhiasaan yang diduganya adalah emas, namun ternyata tembaga. Akad seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal, karena obyek akad yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada.


(38)

28

Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat obyek akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut.

d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (taghrir)

Pengertian Ghaban dikalangan fuqaha adalah tidak terwujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, Seperti harganya lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang sesungguhnya. Sedangkan taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada barang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

5. Macam-macam Akad

Dilihat dari aspek sifat dan hukumnya akad dibagi menjadi akad sah (shahih) dan akad yang tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum akad (baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum) yang ditimbulkan oleh akad itu, Saat itu juga, dan mengikat bagi para pihak yang melakukannya. Sebagai contoh, jual beli yang sah dalam arti telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya, setelah terjadi ijab dan kabul, Barang yang dijual menjadi milik pembeli dan harga penjualan barang menjadi milik penjual, kecuali apabila ada syarat khiyar. Perpindahan kepemilikan itu dipandang sudah terjadi walaupun belum dilakukan serah terima.


(39)

Menurut ulama Islam akad berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad (tahqiq gharadh al-‘aqd), Fasakh, infisakh, kematian, dan ketidak-izinan (‘adal al-ijazah) dari pihak yang memilki kewenangan dalam akad mauquf.

a. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai (rahn) dan jaminan (kafalah) akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar. Demikian juga, akad berakhir disebabkan berakhirnya masa akad (intiha’ muddah al-‘aqad). Jika masa kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah habis dan akad menjadi berakhir atau selesai dengan sendirinya.

b. Faskah. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan akad dapat atau bahkan harus di fasakh:

1. Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjadi sesuatu yang tidak jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasad, dan karenanya harus (wajib) di fasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang dibelinya.


(40)

30

2. Disebabkan adanya khiyar. Pihak yang memiliki hak khiyar, baik khiyar

syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk

melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya.

3. Disebabkan iqalah. Iqalah adalah fasakh terhadap akad berdasarkan kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya.

4. Disebabkan ‘adam al-tanfidz, yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh akad tidak dipenuhi oleh para piihak atau salah satu pihak bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh. Misalnya dalam akad yang mengandung khiyar naqd (khiyar pembayaran).

c. Infisakh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi

hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila isi akad tidak mungkin dapat dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan afat samawiyah (force majeure). dalam akad jual-beli misalnya barang yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan kepada pembeli. Dengan demikian, akad jual beli misalnya barang yang dijual rusak ditangan penjual sebelum diserahkan kepada pembeli. Dengan demikian, akad jual beli dinyatakan putus dengan sendirinya (infisakh), karena pelaksanaan akad yang dalam hal ini menyerahkan barang mustahil dapat dilakukan.

d. Kematian

Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. berikut contoh-contoh akad dimaksud:


(41)

1) Akad sewa menyewa (ijarah). Menurut Hanafiyah, akad ijarah berakhir disebabkan kematian salah satu pihak, namun tidak berakhir menurut mazhab yang lain.

2) Akad rahn dan kafalah. Kedua akad ini adalah bentuk akad yang hanya mengikat satu pihak yaitu pihak kreditur (da’in, pemegang gadai) dan makful lah (penerima manfaat kafalah).

3) Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang gadaian dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar utangnya apabila ahli waris masih di bawah umur. Akan tetapi, jika ahli warisnya orang dewasa, mereka bisa membayarkan utang pewaris pemberi gadai guna menyelamatkan barang gadaian.

4) Dalam akad kafalah ( kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir disebabkan kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan pembayaran utang kepada kreditur (dain) atau pembebasan utang (ibra’). Jika kafil (pemberi garansi) meninggal dunia, utang yang digaransinya dibayar dari harta peninggalannya.

B.Mudharabah dalam Perbankan Syari’ah 1. Pengertian

Mudharabah berasal dari kata Dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan


(42)

32

kakinya dalam menjalankan usahanya.18 Mudharabah disebut juga Muqorodoh, asal kata qiradh yang berarti memotong, karena pemilik harta memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh keuntungan19.

Sedangkan pengertian Mudharabah sangat banyak diungkapkan oleh para pemikir ekonomi Islam maupun ulama fiqh. Diantaranya Drs Rasyad Hasan, memberikan pengertian Mudharabah dengan cukup representative. Mudharabah yaitu suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya tertentu dalam jumlah jenis dan karakter (sifat) dari orang yang diperbolehkan dewasa dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk berdagang dengan pembagiannya dalam kesepakatan20.

Pengertian lain diungkapkan yaitu Mudharabah adalah suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dengan pengusaha, dimana pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan usaha atas hasil usaha, bersama ini dibagi sesuai dengan kesepakatan pada waktu pembiayaan ditandatangani yang dituangkan dalam bentuk nisbah misalnya 60:40 atau 65:3521.

Menurut Afzalurrahman, Mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan

(Patnership) yang berlandaskan bagi hasil usaha dengan cara seseorang

18

M.Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.95

19

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Al Ma’rif, 1997), h.31

20

Hertanto Widodo, dkk., PAS (Panduan Akutansi Syari’ah) Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wa Tamwil, (Bandung : Mizan, 1999), h.51

21

Drs. H. Karnaen Perwataatmadja, MPA, dan H. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Syari’ah,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), h. 22


(43)

memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan dan memiliki kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama. Pihak pertama sebagai supplier harta atau pemilik modal dan pihak kedua, pengelola atau mudhorib22.

Dengan demikian, apabila ada kerja sama dalam menggerakkan roda perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan modal dan skill (keterampilan) dipadukan menjadi satu. Kerja sama dalam bentuk ini disebut mudharabah (ﺔ رﺎ ا) oleh ulama Irak, dan disebut Qiradh (القراض) oleh ulama Hijaz. Sedangkan Ulama fikih mendefinisikan Mudharabah atau

Qiradh dengan: “Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja

(pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama”. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian itu sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal. Hal ini hendaknya dapat dipahami, bahwa yang rugi tidak hanya pemilik modal saja, tetapi juga pekerja (pelaksana), yaitu rugi pikiran dan tenaga23.

2. Hukum dan Dasar Hukum Mudharabah

Akad Mudharabah dibenarkan dalam Islam, karena bertujuan selain membantu antara pemilik modal dan orang yang memutarkan uang. Sebagian landasannya adalah Firman Allah:

22

Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1996), Jilid-4, h.380

23

Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), cet 2, h.169


(44)

34

....

ﷲا

نﻮ

ضرﻷا

نﻮ ﺮ

نوﺮ أو

) ...

ﺰ ا

:

20

(

Artinya:….. dan orang-orang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah (Al-Muzammil: 20)

Firman Allah:

ﻜ ر

اﻮ

نأ

حﺎ

) ...

ةﺮ ا

:

198

(

Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…. (Al-Baqarah:198)

Kedua ayat tersebut di atas secara umum memperbolehkan Mudharabah24. Disamping itu ada alasan lain yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu kasus Mudharabah yang dilakukan oleh Abbas bin Abd.Muthalib dan Rasulullah SAW pun mengakui akad tersebut. Dasar hukum lainnya yang bersumber dari al-Qur’an , Hadist, Ijma’ dan Qiyas sebagai pendukung kebolehan Mudharabah, yaitu25:

Firman Allah QS. al-Nisa’: 29:

ﺎ ﺎ

ﻜ اﻮ أ

اﻮ آﺄ

اﻮ ا

ﺬ ا

ﺎﻬ ﺄ

ضاﺮ

ةرﺎ

نﻮﻜ

نا

إ

)

ءﺎ ا

:

29

(

Artinya:“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu….(An-Nisa’: 29)

Firman Allah QS. al-Maidah: 1

دﻮ ﺎ

اﻮ وأ

اﻮ ا

ﺬ ا

ﺎﻬ أ

)...

ةﺪﺋﺎ ا

:

1

(

Artinya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….

(Al-Maidah)”

24

Ibid, h.170

25

DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006, (Jakarta: Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2006), cet 3, h.42


(45)

Firman Allah QS. al-Baqarah 283

...

أ

نﺈ

ر

ﷲا

و

، ﺎ أ

ؤا

يﺬ ا

دﺆ ﺎ

)....

ةﺮ ا

:

283

(

Artinya: ….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…(Al-Baqarah:283).

Hadist Nabi riwayat Thabrani:

لﺎ

سﺎ

ا

ﺔ رﺎ

لﺎ ا

د

اذإ

ا

سﺎ ا

ﺎ ﺪ

نﺎآ

ﺔ اد

يﺮ

و

،ﺎ داو

لﺰ

و

،اﺮ

نأ

طﺮ ا

او

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

،

ﻚ اذ

نﺈ

،ﺔ ر

ﺪ آ

تاذ

زﺎ ﺄ

و

)

ﺮ ا

اور

سﺎ

ا

وﻷا

ا

.(

Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata Abbas bin Abdul Mutahlib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)26.

Hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:

ﺎ ا

ﺎ ﺪ

راﺰ ا

ﺎ ﺪ

ل

ا

ا

ﺎ ﺪ

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

أ

دواد

ﺮ ا

ﺔآﺮ ا

ث

و

:

ﺮ ا

و

،ﺔ رﺎ او

، أ

ﻰ إ

ا

)

ا

اور

(

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan bin ali al khilal lalu menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Bazzari lalu telah menceritakan kepada kami Nasr bin Qashim dari Abdurrahaman bin Daud dari Shalih bin Shuhaib dari bapaknya Rasulullah Saw bersabda ada tiga perkara yang terdapat keberkahan didalamnya: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah

26


(46)

36

(Mudharabah), dan mencampurkan gandum dengan jejawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib)27.

Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amar bin ‘Auf:

يﺪ ا

ﺮ ﺎ

ﻮ أ

ﺎ ﺪ

ل

ا

ا

ﺎ ﺪ

ﷲا

ﺮ آ

ﺎ ﺪ

لﺎ

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

نأ

أ

ﺰ ا

فﻮ

وﺮ

مﺮ

إ

ا

ﺰﺋﺎ

ا

نﻮ

او

ﺎ اﺮ

أ

وأ

أ

مﺮ

طﺮ

إ

ﻬ وﺮ

ﺎ اﺮ

أ

و

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Khilal lalu telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Aqdi lalu telah menceritakan kepada kami katsir bin Abdullah bin Umar bin Auf Al-Mazni dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw bersabda: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Tirmidzi dari ‘Amar bin ‘Auf)28”

Hadist Nabi:

ا

ﺮ ﺎ

ﺎ ﺄ أ

قازﺮ ا

ﺎ ﺪ

ﺎ ﺪ

و

رﺮ

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

لﺎ

سﺎ

ا

ﺔ ﺮﻜ

راﺮ

)

يرﺪ ا

أ

ﺎﻬهﺮ و

رﺪ او

ا

اور

(

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya lalu telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq lalu telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Jabir al Ja’fi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata bersabda Rasulullah Saw: Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)29.

Ijma’: Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang,

mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun

mengingkari mereka . karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ Qiyas: Transaksi Mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah. Kaidah fikih:

27

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr), Juz 7, Hal.68

28

Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr), Juz 5, hal.199

29


(47)

ﺎﻬ ﺮ

د

لﺪ

نأ

إ

ﺔ ﺎ ﻹا

ت ﺎ ا

ﻷا

Artinya: “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.30”

3. Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama Mazhab Hanafi rukun Mudharabah hanya ijab (dari pemilik modal) dan kabul (dari pedagang/pelaksana). Jumhur ulama berpendapat lain, bahwa rukun mudharabah adalah: orang yang berakal, modal, keuntungan, kerja dan akad31.

Sedangkan menurut Adiwarman Karim bahwa faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah32:

1. Pelaku (Mudharib maupun Shahibul Maal) 2. Objek Mudharabah (Modal dan kerja) 3. Persetujuan kedua belah pihak (Ijab-Qabul) 4. Nisbah Keuntungan.

Pelaku: Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad Mudharabah tidak ada.

Objek: Objek Mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek Mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai

30DSN-MUI, HimpunanFatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006

31

Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), cet 2, h.170

32

Adiwarman A.Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), edisi, 3, h.206


(48)

38

objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad Mudharabah pun tidak akan ada.

Persetujuan: Yakni persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara di pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

Nisbah Keuntungan: Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

4. Nisbah Keuntungan33 1. Prosentase

Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungan itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi

33


(49)

setoran modal, tentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal Rp tertentu, misalnya shahib al-maal mendapat Rp 50 ribu, mudharib mendapat Rp 50 ribu.

2. Bagi Untung dan Bagi Rugi.

Ketentuan di atas merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang lebih pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian yang kecil juga. Filosofi ini dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal Rp tertentu. 3. Jaminan.

Ketentuan pembagian kerugian hanya berlaku bila kerugian yang terjadi murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena risiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka shahib al-maal tidak perlu menanggung kerugian. Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business risk.


(50)

40

Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahibul maal dalam mengelola dana dengan seizin shahibul maal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya.

Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zhalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul maal sehingga shahibul maal dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalah character risk.

4. Menentukan Besarnya Nisbah. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-maal dengan

mudharib. Dengan demikian, angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50,

60:40,70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan.


(51)

a. Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah:

b. Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal.

c. Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil pokok modal. 5. Penerapan Mudharabah dalam Perbankan Syari’ah

Skema Mudharabah yang berlaku antara dua pihak secara langsung, yakni shahibul al-maal berhubungan langsung dengan mudharib. Skema ini adalah skema yang standart yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik fiqih Islam. Dan ini sesungguhnya praktek mudharabah yang dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal (sebagai surplus unit) dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing seperti ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada.

Mudharabah klasik seperti ini tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal:

1. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.

2. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahib al-maal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.


(52)

42

3. Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya34.

C.‘Aqdu Al- idz’an dan ketentuannya

1. Definisi Idz’an

Idz’an(نﺎ ذإatauدﺎ إ) berasal dari bahasa Arab yang berarti ketundukan dan kepatuhan.35Istilah idz’an adalah sebuah istilah yang ditujukan kepada undang-undang yang dibuat oleh orang barat (dalam artian draft baku). Sifat dari kontrak ini bahwa tidak adanya kebebasan dalam melakukan kontrak dimana perusahaan sudah menyediakan standar baku dalam kontrak, nasabah hanya diharuskan untuk melampirkan tanda tangan pada kolom yang telah disediakan.

Definisi yang diberikan dalam kitab Nazhariyatul ‘Aqdi, mengenai ‘Aqdu Al- Idz’an yaitu Suatu kontrak yang berlangsung antara 2 pihak, dimana nasabah menerima kontrak yang diajukan kepadanya tanpa adanya negosiasi dan tawar-menawar, sehingga posisi nasabah tunduk dan patuh idz’an menerima segala ketentuan yang tercantum di dalam klausul-klausul kontrak. Padahal kondisi seperti ini belumlah dianggap sebagai redha, karena tidak terdapat negosiasi dan tawar-menawar syarat, nisbah bagi-hasil, atau segala sesuatu yang berkenaan

34

Ibid, h.210

35

Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi 2, (Surabaya:Pustaka Progressif, 2002), h.447


(53)

dengan kebutuhan dari kedua belah pihak. Pilihan terbatas pada menerima atau menolak kontrak dengan segala resikonya take it or leave it36.

Kerelaan atau keredhaan yang melandasi perikatan antara kedua belahpihak dalam kontrak ini secara zhahir (nyata) dapat ditemukan, tetapi apabila di pelajari secara mendalam ternyata disadari atau tidak, dirasakan adanya kesan ikrah (keterpaksaan) oleh nasabah yang menjadi penyebab tidak ditemukannya azas kebebasan dalam berkontrak.37

2. Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al- Idz’an

Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al-Idz’an tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan kemajuan kontrak standart (kontrak baku) di ranah perekonomian. Model kontrak baku telah mempunyai sejarah ribuan tahun yang lalu di Mesir dan Negara Dua Sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, Hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama kali. Sesudah itu di banyak perdaban ada gejala untuk melepaskan formalisme dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh para rohaniwan. Sebaliknya kita melihat bahwa penggunaan syarat-syarat baku saat ini justru akan bertambah lagi. Kebutuhan akan syarat-syarat kontrak baku di Eropa Barat, terutama dalam abad ke-19 menjadi besar.

36

Abdurrazak Ahmad Ahsahwi, Nazariyatul Aqdi, hal.279

37

Syekh Hasan Al-Jawahiri, “Uqudul Idz’an” artikel di akses pada 13 Mei 2010 dari Http://www.IslamicFeqh.Com/Magazines/Feqh24a/Arabi307.htm


(54)

44

Kongsi-kongsi (gilden) dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka ditiadakan. Revolusi industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi-transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang semakin besar menjadikan pemakaian formulir-formulir perlu, karena pembuatan transaksi-transaksi penting, Sekarang harus diserahkan kepada pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa perumusan isi kontrak tidak dapat diserahkan. Dalam abad ke-20 pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas38.

Perkembangan kontrak baku ini membawa pengaruh terhadap pemberian istilah-istilah yang digunakan di berbagai Negara bagian Eropa maupun Asia. Di dalam pustaka hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk perjanjian baku tersebut yaitu” standardized agreement”,“standardized contract”, “pad contract”, “standart contract”, dan “contract of adhesion”39.

Istilah “contract of adhesion” diimpor ke Amerika Serikat oleh Patterson melalui karangannya The Delivery of Life-Insurance Policy yang diterbitkan tahun 1919. Istilah tersebut aslinya ditemukan oleh Saleiles dengan istilah “contract d’adhesion” dalam karangannya De la Declaration de Volonte 229 yang diterbitkan tahun 1901. Istilah tersebut lebih lanjut dipopulerkan di Amerika Serikat oleh para ilmuwan yang belajar di Eropa dan kemudian mengajar di negara tersebut antara lain oleh Kessler melalui tulisannya yang

38

Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), ed 1, hal.148

39

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indoesia, 1993), hal.66


(55)

berjudul Contracts of Adhesion Some Thoughts about Freedom of contact yang diterbitkan tahun 1943. Di dalam tulisan Kessler tersebut, sebagaimana halnya juga di dalam buku Contracts yang ditulis oleh Calamari dan Perillo, istilah “contract of adhesion” dan “standardized contract” dipakai sebagai istilah yang saling mengganti. Kessler juga memakai istilah “standardized contract” dan “standart contract” dalam tulisannya tersebut40.

Menanggapi hal diatas Prof Dr Sanhuri seorang ilmuan Arab mengistilahkan kontrak baku dengan istilah ‘Aqdu Al-Izd’an (kontrak kepatuhan), dengan alasan bahwa kontrak ini memberi kesan keterpaksaan si qabil untuk menerima segala ketentuan yang diajukan oleh si mujib dalam kontrak perjanjian, qabil hanya bisa tunduk dan patuh terhadap persyaratan yang ada.

Selain itu, Majelis Ulama Fikih Islam kontemporer di Doha Qatar dalam seminar keempat belas yang diadakan di Doha Qatar pada tanggal 8 - 13 dzulqo’dah 1423 H, bertepatan dengan tanggal 11-16 Januari tahun 2003 meneliti persoalan tentang kontrak standart atau yang mereka istilahkan dengan (‘aqdu al-idz’an)41.

Majelis Ulama Fikih Islam Kontemporer ini akhirnya mengeluarkan beberapa ketetapan terkait mengenai masalah ‘aqdu al-idz’an sebagai berikut42:

1. ‘Aqdu Al-Idz’an adalah Istilah yang ditujukan untuk kontrak standart yang memiliki ciri-ciri dan ketentuan khusus, diantaranya:

40

Ibid

41

Abdurrazak Ahmad Ahsahwi, Nazariyatul Aqdi, hal.279


(1)

d. Bertanggung jawab terhadap segala akibat hokum dari hubungan bisnis dengan Pihak lainnya.

e. Menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang sehat, jujur, hati-hati, beriktikad baik, bertanggungjawab dan professional untuk mencapai keuntungan usaha yang maksimal.

f. Membayar nisbah bagi hasil sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. g. Mengembalikan seluruh jumlah dana pembiayaan, kepada Bank sesuai dengan

yang diisyaratkan dalam Akad Pembiayaan ini.

h. Menyerahkan Laporan Keuangan tiap-tiap bulan, atas usaha yang dibiayai dengan akad pembiayaan ini selambat-lambatnya hari ke-10 (kesepuluh) bulan berikutnya.

i. Membayar denda apabila terlambat melakukan pembayaran kembali dana pembiayaan dan Nisbah bagi hasil pada Bank.

j. Menanggung seluruh kerugian yang timbul apabila melakukan kecurangan, lalai, tidak jujur dan atau wanprestasi dalam menjalankan usahanya.

k. Jika pada akhir jangka waktu akad pembiayaan ini, Penerima Pembiayaan belum melunasi dana pembiayaan, Penerima Pembiayaan wajib tetap membayar nisbah bagi hasil keuntungan sebagaimana diatur pada ayat 1 Pasal 7 sampai dengan dilunasinya dana pembiayaan tersebut oleh Penerima Pembiayaan.

l. Memenuhi permintaan Bank, apabila pada saat Akad Pembiayaan ini berakhir, sedangkan sebagian dana pembiayaan masih dalam bentuk barang dan/atau dalam bentuk hutang Pihak Ketiga, dan Bank meminta barang tersebut dijual untuk melunasi dana pembiayaan yang telah diserahkannya atau meminta pihak ketiga untuk segera melunasi hutangnya.

m. Mengelola dan menyelenggarakan administrasi pembukuan secara jujur dan benar dengan iktikad baik dalam pembukuan tersendiri.

n. Segera memberitahukan kepada Bank tentang:

i. Adanya perkara yang terjadi antara Penerima Pembiayaan dengan pihak lain.

ii. Adanya kerusakan, kerugian atau kemusnahan atas harta kekayaan Penerima Pembiayaan serta barang agunan.

o. Menyampaikan dalam bentuk dan dengan perincian yang dapat diterima oleh Bank:

i.Neraca dan perhitungan rugi laba periodik berikut penjelasannya yang telah disahkan oleh direksi perusahaan secepat mungkin tetapi tidak lebih lambat dari 30 (tiga puluh) hari sejak akhir masanya.


(2)

ii. Neraca dan perhitungan rugi laba dari perusahaan penerima pembiayaan secepat mungkin, akan tetapi tidak lebih lama dari 30 (tiga pulu) hari sejak penutupan tahun buku.

iii. Laporan aktivitas usaha dalam bentuk Laporan Rugi-Laba bulanan guna penentuan pembayaran nisbah bagi hasil sesuai Akad Pembiayaan ini.

p. Memenuhi kewajiban membayar seluruh pajaknya.

q. Mengirimkan setiap keterangan atau dokumen-dokumen yang diminta oleh Bank.

r. Mengijinkan Bank atau wakilnya pada setiap waktu apabila dianggap perlu untuk memeriksa seluruh fasilitas-fasilitas, kegiatan-kegiatan, pembukuan dan catatan-catatan Penerima Pembiayaan dan semua biaya yang timbul menjadi beban Penerima Pembiayaan.

Pasal 18

PERNYATAAN DAN JAMINAN PENERIMA PEMBIAYAAN

Penerima Pembiayaan dengan ini menyatakan dan menjamin mengenai kebenaran hal-hal sebagai berikut:

a. Semua dokumen, data dan keterangan yang telah diberikan oleh Penerima Pembiayaan adalah lengkap dan benar.

b. Penerima Pembiayaan pada waktu ini tidak tersangkut dalam perkara dan sengketa berupa apapun juga yang dapat mengancam harta kekayaan Penerima Pembiayaan.

Pasal 19

PEMBATASAN TERHADAP PENERIMA PEMBIAYAAN

Tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, Penerima Pembiayaan tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

(1)Menjual, menyewakan, mengalihkan semua atau bagian terbesar hartanya, kecuali untuk kegiatan bisnis yang lazim.

(2)Menjual, Mengalihkan, menjaminkan atau membebankan saham-saham dari pemegang saham kepada pihak manapun.

(3)Melakukan investasi/pernyataan pada dan dengan Pihak lain. (4)Memasukkan modal dalam usaha yang berjalan.

(5)Menggunakan dana pembiayaan dan keuntungan usaha untuk kepentingan diluar perusahaan.


(3)

(6)Memindahtangankan usaha/barang modal/menyewakan perusahaan atau usaha yang dibiayai dengan dana pembiayaan ini kepada Pihak Ketiga.

(7)Menerima pinjaman dan/atau pembiayaan dari pihak lain, kecuali pinjaman dan/atau pembiayaan tersebut diterima dalam rangka transaksi dagang yang berkaitan langsung dengan usahanya.

(8)Mengambil lease dari perusahaan leasing.

(9)Mengikatkan diri sebagai Penjamin (Borg), menjaminkan harta kekayaan dalam bentuk dan maksud apapun kepada pihak lain.

(10) Mengalihkan tagihan-tagihan yang telah diikat Fidusia.

(11) Lain-lain yang ditetapkan dalam Pasal tambahan akad pembiayaan ini.

Pasal 20

PERISTIWA CIDERA JANJI (WANPRESTASI)

(1) Penerima Pembiayaan dianggap telah cidera janji (wanprestasi) jika melanggar dan atau menyimpangi salah satu peristiwa berdasarkan Akad Pembiayaan ini jika:

a. Penerima Pembiayaan menggunakan pembiayaan diluar tujuan sebagaimana Pasal 3 Akad Pembiayaan ini.

b. Penerima Pembiayaan tidak membayar jumlah kewajiban pembiayaan sesuai dengan ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini atau jumlah-jumlah lain yang harus dibayar berdasarkan Akad Pembiayaan ini dan atau dokumen lainnya yang dibuat berdasarkan Akad Pembiayaan ini.

c. Laporan Keuangan yang disampaikan kepada Bank tidak benar.

d. Penerima Pembiayaan lalai memenuhi atau tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Akad Pembiayaan ini (dan atau suatu penambahan, perubahan, Pembaharuan atau penggantinya) dan atau terjadinya pelanggaran terhadap atau kealpaan menurut syarat-syarat yang tertera dalam perjanjian agunan yang dibuat berkenaan dengan Akad Pembiayaan ini.

e. Penerima Pembiayaan melakukan pengalihan usahanya dengan cara apapun termasuk pengagbungan, konsolodasi ataupun akuisisi dengan pihak lain.

f. Seluruh kekayaan penerima Pembiayaan disita oleh pemerintah atau pengadilan.

g. Ijin atau persetujuan yang diberikan atau dikeluarkan oleh instansi yang berwenang terhadap penerima pembiayaan dicabut atau dinyatakan tidak berlaku, sehingga penerima pembiayaan tidak berhak untuk membangun atau menyelesaikan pembangunan atau melaksanakan proyek.


(4)

h. Penerima Pembiayaan tidak memenuhi salah satu ketentuan dalam akad pembiayaan ini atau Penerima Pembiayaan lalai melaksanakan atau mematuhi syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban lain dalam Akad Pembiayaan ini atau dokumen transaksi lainnya.

(2) Apabila terjadi salah satu peristiwa Cidera janji oleh Penerima Pembiayaan, sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini makan Bank berhak untuk:

a. Menarik kembali dana pembiayaan dan semua jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan Akad Pembiayaan ini secara seketika dan sekaligus karena Akad Pembiayaan ini menjadi jatuh tempo, tanpa Pemberitahuan lebih lanjut dan tanpa diperlukan adanya putusan dari Basyarnas atau pengadilan.

b. Melakukan upaya hokum untuk melaksanakan hak Bank dalam Akad Pembiayaan ini, tidak terbatas pada mengambil pelunasan, melakukan eksekusi agunan serta upaya-upaya hokum lainnya untuk kepentingan pelunasan pembiayaan.

Pasal 21 KORESPODENSI

(1) Setiap pemberitahuan/korespodensi mengenai Akad Pembiayaan in idari salah satu pihak kepada pihak lainnya harus disampaikan secara tertulis dan dapat melalui (a) kurir (b) surat tercatat, dan (c) faksimili, kepada alamat sebagai berikut:

Bank

PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO)Tbk Kantor Cabang Syari’ah………..

Telepon……….. Faksimili………

Penerima Pembiayaan

……….. ………..


(5)

Telepon :………... Faksimili :……….

(2) Kecuali jika ditentukan lain dalam Akad Pembiayaan ini, maka segala pemberitahuan dan korespodensi sehubungan dengan Akad Pembiayaan ini dianggap telah disampaikan :

a. Pada tanggal penerimaan surat tersebut apabila dikirim melalui kurir atau diantar sendiri.

b. Apabila melalui surat tercatat, 5 (lima) hari kerja setelah pengiriman surat tersebut.

c. Apabila melalui faksimili, pada saat berita tersebut diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan.

Apabila dilakukan lebih dari satu cara tersebut diatas, maka pemberitahuan tersebut dianggap telah disampaikan melalui cara yang paling efektif, segala pemberitahuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Akad Pembiayaan ini dilaksanakan dalam Bahasa Indonesia.

(3) Setiap pemberitahuan alamat yang tercantum/diatur dalam ayat (1) Pasal ini wajib diberitahukan secara tertulis oleh Pihak yang besangkutan kepada pihak lainnya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelumnya. Apabila tidak ada pemberitahuan secara tertulis, maka alamat yang tercantum/diatur dalam Akad Pembiayaan ini alamat terakhir yang tercatat pada masing-masing pihak.

Pasal 22

PENYELESAIAN SENGKETA

(1) Para Pihak sepakat apabila dalam memahami atau melaksanakan Akad Pembiayaan ini terjadi sengketa maka para pihak akan menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.

(2) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak cara musyawarah untuk mufakat telah diupayakan tetapi tidak menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi maka para pihak sepakat untuk bersama-sama menunjuk dan member kuasa kepada Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) untuk memberikan keputusannya berdasarkan keadilan dan kepatutan menurut hokum Islam yang dilakukan menurut prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh BASYARNAS.

(3) Putusan BASYARNAS tersebut bersifat final dan mengikat Para Pihak (final and biding)


(6)

(4) Para Pihak bersepakat memilih tempat pelaksanaan arbitrase dikota tempat cabang Bank berada atau BASYARNAS yang berdomisili paling dekat dengan Kantor Bank atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan Penerima Pembiayaan.

(5) Pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Para Pihak sepakat bahwa Bank dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Negeri diwilayah hokum Republik Indonesia.

Pasal 23 ADDENDUM

Hal-hal yang belum diatur dan/atau belum cukup diatur dan/atau diperlukan perubahan syarat-syarat dalam Akad Pembiayaan ini, para pihak sepakat untuk menuangkan dalam suatu addendum yang ditandatangani oleh Para Pihak yang merupakan satu kesatuan serta bagian yang tidak terpisahkan dari Akad ini.

Pasal 24

PASAL TAMBAHAN

……… ……… ……… 53

Pasal 25 PASAL PENUTUP

Demikian Akad Pembiayaan ini ditandatangani di…………pada tanggal………, dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sama bagi para pihak.

BANK PENERIMA PEMBIAYAAN

53

Yang diisikan pada Pasal Tambahan adalah ketentuan-ketentuan yang bermaksud menyimpangi ketentuan-ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini dan atau ketentuan tambahan yang belum diatur dalam Pasal-pasal Akad Pembiayaan. Dalam hal terdapat pasal yang disimpangi maka dalam redaksi Pasal Tambahan harus secara tegas menyatakan bahwa pasal tersebut tidak diberlakukan.