Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Industri perbankan memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pembangunan nasional serta perekonomian nasional. Pelaksanaan visi dan misi perbankan nasional sebagai sarana untuk pelaksanaan pembangunan nasional mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pancasila dan UUD 1945 Agent of Development sangat berkaitan erat dengan jaminan kepastian perlindungan hukum nasabah bank dalam sistem perbankan nasional. 1 Bank adalah suatu lembaga kepercayaan yang merupakan lembaga perantara bidang keuangan financial intermediary, yang memberikan jasa kepada mereka yang membutuhkannya, baik penyimpan maupun kepada peminjam uang. Dengan demikian dalam bisnis perbankan terdapat 3 pihak yang terkait, yaitu bank sebagai pemberi jasa perantara, nasabah penyimpan uang dan kreditur bank dan nasabah peminjam uang debitur. Selain itu terdapat juga orang-orang yang menggunakan jasa bank secara insidental, seperti pengirim uang atau pemakai jasa melalui lalu lintas giro, dan lain-lain. 1 Djuhaendah Hasan, Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004, h.2 1 Dalam Perbankan ditemukan adanya suatu perjanjian yaitu suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dari peristiwa itu, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 2 Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga di namakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak akad, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Dalam dunia usaha, akad usaha itu menduduki posisi yang amat penting, karena perjanjian itulah yang membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam pengelolaan usaha, dan akan mengikat hubungan itu di masa sekarang dan dimasa yang akan datang, dan karena dasar hubungan itu adalah pelaksanaan apa yang menjadi orientasi kedua orang yang melakukan perjanjian, dijelaskan dalam perjanjian oleh keduanya, kecuali bila menghalalkan yang haram atau mengharamkan 2 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermas, 2005, h.1. yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah 3 sebagaimana yang termaktub dalam kitab hadist Abu Daud ra 4 : ﺎ ْ ﺎ إ ﺪ ْ أ داز ْ ْا ْ ﺰﺋﺎ ْ ا و ْ ا ﻰ ا لﻮ ر لﺎ دواد ْ نﺎ ْ دازو ﺎ ﺎ مﺮ ْوأ ﺎ اﺮ أ و ْ ا ﻰ ا لﻮ ر لﺎ و ْ ﻬ وﺮ ﻰ نﻮ ْ ْا Artinya: Bersabda Rasulullah SAW berdamai itu dibolehkan antara sesama muslim, lalu Ahmad menambahkan kecuali berdamai dengan cara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal lalu Sulaiman bin Daud menambahkan telah bersabda Rasulullah SAW orang Muslim itu berdasarkan perjanjian yang mereka buat. Kontrak akad yang berlaku dalam perbankan syariah merupakan wujud nyata yang seharusnya dapat melahirkan prinsip-prinsip syari’ah. Dimana secara teoritis kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang dituangkan dalam klausa akad bersifat transparan sehingga nasabah dan bank sama-sama diuntungkan simbiosis mutualisme, karena dalam syariah kontrak di buat atas kemauan dan kesadaran kedua pihak jadi kemungkinan terjadinya pihak yang dirugikan sangat kecil. Dalam melakukan sebuah bisnis biasanya kontrak dibuat untuk menghindari hal-hal yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang melakukan bisnis. Di era transaksi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak atau akad dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan multiakad hibryd contract, atau biasa disebut al-ukud al-murakkabah hal ini karena dimana 3 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004, h.25 4 Ibnu Al-Ash Abu Daud Ashsijistani al Azhdi, Sunan Abi Daud, Tahqiq: Shiddiq Muhammad Jamil Beirut: Dar’ Al-Fikr, 2003 M, 1424 H, Juz 9, H. 491 bentuk dan nama kontrak yang dibuat oleh kedua pihak dalam syariah tidak ada bentuk bakunya akan tetapi kontrak yang dibuat harus mengikuti prinsip-prinsip kontrak dalam Islam 5 . Prinsip dasar kontrak dalam Islam meliputi hak pihak kreditur dan debitur, dimana keadilan dapat ditegakkan, tidak ada yang terzhalimi, tidak ada paksaan, dilakukan dengan sukarela voluntary serta terpenuhinya syarat dan rukun kontrak. Menurut Mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: Shighat pernyataan ijab dan qabul, ‘Aqidain Dua pihak yang melakukan akad, dan Ma’qud ‘alaih obyek akad. Menurut Mazhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas Ijab dan Kabul shighat. Sedangkan hal lain yang oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi Mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai lawazim al-‘aqd hal-hal yang mesti ada dalam setiap pembentukan akad dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al- ‘aqad pilar-pilar akad. Selain itu, ulama Mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada lawazim al-‘aqad, yaitu maudhu’ al-‘aqad tujuan akad 6 . Para ulama fikih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Di samping itu dalam hukum Islam yang melandasi untuk terjadinya kontrak yang sah adalah terpenuhinya akad, tidak ada pihak yang dirugikan, dan objek kontrak yang dilakukan adalah halal dan sah menurut Syari’at Islam. 5 Wawancara pribadi dengan Agustianto Mingka di klinik Bank Muamalat Indonesia. Jakarta 14 Mei 2010. 6 Azharuddin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis, Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, cet.1, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h.67 Kontrak standart atau perjanjian baku adalah kontrak-kontrak yang telah dibuat secara baku form standart, atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, jenis dan jumlah barang yang ditransaksikannya dan sebagainya. Sehingga dengan kontrak standart ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak. Dalam praktek kontrak di bank, biasanya kontrak yang akan di sepakati sudah terkonsep dan bentuknya baku di mana pihak nasabah tinggal menerima dan menanda tangani kontrak yang ada sehingga di sana tidak ada tawar menawar tentang syarat akad, rusaknya akad, batalnya akad, denda akad dan akibat akad 7 . Dalam perkembangannya para cendekiawan muslim yang tergabung dalam Majelis Ulama Fikih Islam Masa kini di Doha Qatar dalam seminar keempat belas yang diadakan di Doha Qatar pada 8 - 13 dzulqo’dah 1423 H, bertepatan dengan 11- 16 Januari, tahun 2003 meneliti persoalan tentang kontrak standart atau yang mereka istilahkan dengan aqdu al-idz’an, lalu mereka mendefinisikannya dengan “Sebuah kontrak di mana bentuk yang akan di sepakati sudah terkonsep dan baku, pihak nasabah diminta untuk menyetujui draft yang telah di buat oleh bank 8 ”. 7 Wawancara pribadi dengan Hasanuddin , di IIQ institute ilmu Al-Qur’an Jakarta 8 Hasan Al Jawahiri,“Aqdu al-Idz’an”,artikel di akses pada 13 Maret 2010 dari http:www.islamicfeqh.commagazinesFeqh34aarabi307.htm Aqdu al-idz’an ini dinamakan oleh ulama fikih sehingga di kategorikan kepada al-‘uqud ghair al-musammah, yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat. Mengingat banyaknya permasalahan yang terjadi dalam hal kontrak standart ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan pemilihan judul “ANALISIS ‘AQDU AL-IDZ’AN DALAM PERJANJIAN KONTRAK MUDHARABAH DI BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH DITINJAU DARI FIKIH MUAMALAT ”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah