Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al- Idz’an

dengan kebutuhan dari kedua belah pihak. Pilihan terbatas pada menerima atau menolak kontrak dengan segala resikonya take it or leave it 36 . Kerelaan atau keredhaan yang melandasi perikatan antara kedua belahpihak dalam kontrak ini secara zhahir nyata dapat ditemukan, tetapi apabila di pelajari secara mendalam ternyata disadari atau tidak, dirasakan adanya kesan ikrah keterpaksaan oleh nasabah yang menjadi penyebab tidak ditemukannya azas kebebasan dalam berkontrak. 37

2. Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al- Idz’an

Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al-Idz’an tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan kemajuan kontrak standart kontrak baku di ranah perekonomian. Model kontrak baku telah mempunyai sejarah ribuan tahun yang lalu di Mesir dan Negara Dua Sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, Hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama kali. Sesudah itu di banyak perdaban ada gejala untuk melepaskan formalisme dari model-model kontrak yang ditetapkan oleh para rohaniwan. Sebaliknya kita melihat bahwa penggunaan syarat-syarat baku saat ini justru akan bertambah lagi. Kebutuhan akan syarat-syarat kontrak baku di Eropa Barat, terutama dalam abad ke-19 menjadi besar. 36 Abdurrazak Ahmad Ahsahwi, Nazariyatul Aqdi, hal.279 37 Syekh Hasan Al-Jawahiri, “Uqudul Idz’an” artikel di akses pada 13 Mei 2010 dari Http:www.IslamicFeqh.ComMagazinesFeqh24aArabi307.htm Kongsi-kongsi gilden dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka ditiadakan. Revolusi industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi- transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang semakin besar menjadikan pemakaian formulir-formulir perlu, karena pembuatan transaksi-transaksi penting, Sekarang harus diserahkan kepada pejabat-pejabat rendahan, kepada siapa perumusan isi kontrak tidak dapat diserahkan. Dalam abad ke-20 pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas 38 . Perkembangan kontrak baku ini membawa pengaruh terhadap pemberian istilah-istilah yang digunakan di berbagai Negara bagian Eropa maupun Asia. Di dalam pustaka hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk perjanjian baku tersebut yaitu” standardized agreement”,“standardized contract ”, “pad contract”, “standart contract”, dan “contract of adhesion” 39 . Istilah “contract of adhesion” diimpor ke Amerika Serikat oleh Patterson melalui karangannya The Delivery of Life-Insurance Policy yang diterbitkan tahun 1919. Istilah tersebut aslinya ditemukan oleh Saleiles dengan istilah “contract d’adhesion” dalam karangannya De la Declaration de Volonte 229 yang diterbitkan tahun 1901. Istilah tersebut lebih lanjut dipopulerkan di Amerika Serikat oleh para ilmuwan yang belajar di Eropa dan kemudian mengajar di negara tersebut antara lain oleh Kessler melalui tulisannya yang 38 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, ed 1, hal.148 39 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia , Jakarta: Institut Bankir Indoesia, 1993, hal.66 berjudul Contracts of Adhesion Some Thoughts about Freedom of contact yang diterbitkan tahun 1943. Di dalam tulisan Kessler tersebut, sebagaimana halnya juga di dalam buku Contracts yang ditulis oleh Calamari dan Perillo, istilah “contract of adhesion” dan “standardized contract” dipakai sebagai istilah yang saling mengganti. Kessler juga memakai istilah “standardized contract” dan “standart contract” dalam tulisannya tersebut 40 . Menanggapi hal diatas Prof Dr Sanhuri seorang ilmuan Arab mengistilahkan kontrak baku dengan istilah ‘Aqdu Al-Izd’an kontrak kepatuhan, dengan alasan bahwa kontrak ini memberi kesan keterpaksaan si qabil untuk menerima segala ketentuan yang diajukan oleh si mujib dalam kontrak perjanjian, qabil hanya bisa tunduk dan patuh terhadap persyaratan yang ada. Selain itu, Majelis Ulama Fikih Islam kontemporer di Doha Qatar dalam seminar keempat belas yang diadakan di Doha Qatar pada tanggal 8 - 13 dzulqo’dah 1423 H, bertepatan dengan tanggal 11-16 Januari tahun 2003 meneliti persoalan tentang kontrak standart atau yang mereka istilahkan dengan ‘aqdu al- idz’an 41 . Majelis Ulama Fikih Islam Kontemporer ini akhirnya mengeluarkan beberapa ketetapan terkait mengenai masalah ‘aqdu al-idz’an sebagai berikut 42 : 1. ‘Aqdu Al-Idz’an adalah Istilah yang ditujukan untuk kontrak standart yang memiliki ciri-ciri dan ketentuan khusus, diantaranya: 40 Ibid 41 Abdurrazak Ahmad Ahsahwi, Nazariyatul Aqdi, hal.279 42 Ib id h. 279 a. Objek kontrak ini adalah barang atau manfaat yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, seperti polis asuransi, konosemen perkapalan bill of lading, perjanjian jual-beli mobil, perjanjian credit card, transaksi- transaksi perbankan seperti perjanjian rekening Koran dan perjanjian kredit bank, perjanjian jual beli rumah dari perusahaan real estate, perjanjian sewa, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. b. Adanya Monopoli terhadap objek Akad oleh salah satu pihak, yang mana hal ini akan menutup kemungkinan untuk diterimanya tawar-menawar harga. c. Adanya salah satu pihak yang menetapkan syarat baku untuk kemudian harus dipatuhi oleh pihak yang lainnya. 2. ‘Aqdu Al-Idz’an berdasarkan pandangan fikih dibagi menjadi 2 bagian 43 : a. ‘Aqdu Al-Idz’an dengan harga yang Adil, dimana pasal-pasal yang tercantum dalam klausul akad tidak terdapat unsur kezhaliman terhadap salah satu pihak. Dalam hal ini, tidak boleh ada intervensi pemerintah serta penguasa, bahkan apabila ada harga yang ditawarkan memiliki Ghaban Yasir Ketidak seimbangan antara objek akad dengan harga yang tidak sampai kepada Ghabab Fahisy serta sekalipun tidak ada tawar-menawar harga. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa dalam akad ini terdapat unsur kedzaliman karena harga yang ditawarkan seimbang dengan manfaat yang diterima. 43 Ib id h.279 b. ‘Aqdu Al-Idz’an dengan harga yang tidak adil, atau memiliki Ghaban Fahisy yaitu ketidak seimbangan antara objek akad dengan harga yang memberatkan salah satu pihak. Dalam keadaan ini diperlukan intervensi atau ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan harga agar tidak terjadi tindakan monopoli oleh salah satu pihak kepada pihak yang lemah.

3. Keabsahan Aqdu Al-Idz’an kontrak kepatuhan