Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi sejak pertama kali berkembang di Eropa memiliki transformasi makna sesuai ruang dan waktu di mana demokrasi diterapkan. Sesudah perang dunia II 1939-1945 demokrasi juga didukung oleh beberapa negara baru di Asia. India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan. 1 Jika dilacak secara historis demokrasi berasal dari dua kata bahasa Yunani, “Demos” dan “Kratos.” Demos berati rakyat, sedangkan “Kratos” artinya kekuasaan atau pemerintahan. Jika digabung dari dua kata tersebut maknanya menjadi pemerintahan rakyat. 2 Jadi, secara terminologi, demokrasi berarti kekuasaan pemerintahan yang di dalamnya rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan rakyat. 3 Dengan kata lain, demokrasi bisa dikatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya, kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, yang dalam pembagiannya demokrasi secara umum terbagi ke dalam empat model: demokrasi presidensial, demokrasi parlementer, demokrasi perwakilan, dan demokrasi langsung. 4 Demokrasi presidensial, presiden memiliki kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik. Demokrasi parlementer, parlemenlah merupakan satu-satunya lembaga perwakilan tertinggi 1 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 51 2 M. Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: LP3ES, 1986, h. ix 3 Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 174. 4 Thomas Meyer, Demokrasi: Sebuah Pengantar untuk Penerapan, Jakarta: Friedrich- Ebert-Stiftung, 2002, h. 13 xiv untuk mengambil keputusan. Demokrasi perwakilan, mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. Demokrasi langsung, akan mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada rakyat yang berdaulat. Bagi dunia Islam, kata “demokrasi” pada awalnya begitu asing. Ia masuk ke dunia muslim, baru diakhir abad ke-19, dan di gerbang abad ke-20, melalui serbuan kolonialisme Eropa, dan munculnya nasionalisme. Kondisi ini membawa transformasi yang cukup revolusioner terhadap keberadaan dan stabilitas dunia Islam. Pada gilirannya, hal ini juga merubah mental dan pandangan dunia kaum muslim pada umumnya. Serbuan kolonialisme Eropa di satu sisi, dan perubahan radikal dalam aras politik dan ekonomi di lokalitas dunia Islam di sisi yang lain, telah membawa ke arah pembentukan negara-bangsa natio-state baru yang tidak lagi berdasarkan pada identitas agama semata, tetapi juga identitas lokal dan warisan kolonial. Bahkan, ideologi warisan kolonial, semisal “demokrasi,” yang sebelumnya begitu asing, menjadi semacam identitas nasional baru di negara- bangsa muslim yang baru terbentuk. Konsekuensinya, umat Islam yang mendiami negara-negara baru tersebut mengalami ketegangan dalam proses pencarian identitas negaranya: apakah akan didasarkan pada Islam—seperti sebelumnya—atau pada ideologi peninggalan dan paksaan kolonial, seperti demokrasi. Mungkin, bagi pemikir-pemikir muslim yang menganggap demokrasi itu adalah produk kolonial yang ingin meminggirkan Islam, maka akan menjatuhkan pilihannya pada Islam sebagai identitas negaranya. Dalam konteks ini, pemikir Muslim sekaligus pemimpin Mesir di pertengahan tahun 70-an, Anwar Sadat, memilih opsi yang kedua. Karena, bagi xv dia, demokrasi adalah ideologi negara yang bisa membawa Mesir sejajar dengan negara-negara Eropa yang sebelumnya menjajah tanah kediamannya. 5 Aspek- aspek keterbukaan, multi partai, kebebasan pers, dan liberalisasi ekonomi 6 —Sadat menyebutnya kebijakan ekonomi “pintu terbuka” 7 —yang terkandung dalam nilai- nilai demokrasi bisa menjadikan bangsa Mesir lebih maju dalam kacamata Anwar Sadat. Implikasi dari kebijakan ekonomi “pintu terbuka” ini mendorong penetrasi budaya Barat, dari pakain dan perilaku hingga televisi, musik, dan video, yang menguntungkan kaum elit terbaratkan yang menikmati hak istimewa dalam ekonomi; dengan demikian mendorong tumbuhnya suatu masyarakat yang di dalamnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. 8 Di samping untuk membawa Mesir sejajar dengan negara-negara Eropa, Sadat juga memperkenalkan sosialisme demokratis sebagai ideologi tandingan bagi sosialisme ilmiah Nasser, dan telah menggantikan segara satu-partai di Mesir dengan sistem pemilihan multi-partai. 9 Langkah pertama sebagai presiden adalah keinginan memposisikan bangsa Mesir sejajar dengan bangsa Eropa. Ini dibuktikan dengan usahanya menyatukan seluruh organisasi Islam dengan tokoh-tokoh Islam untuk bersatu dalam membangun negara Mesir yang kuat, kedua dengan istilah “kebijakan pintu terbuka” dalam upaya menarik investor ke Mesir guna memperbaiki prekonomian 5 John L. Esposito dan John D. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek . Penerjemah Rahmani Astuti Bandung : Mizan, 1999, h. 238. 6 Riza Sihbudi, dkk., Profil Negara-Negara Timur Tengah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995, h. 157. 7 Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 238. 8 Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 238. 9 Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 242. xvi yang terpuruk sepeninggal kepemimpinan Abdel Nasser, yaitu dengan memberikan kebijakan-kebijakan bagi para investor. Kematian Abdel Nesser sebagai presiden, merupakan peristiwa yang secara otomatis menaikkan Anwar Sadat—yang sebelumnya menjabat wakil presiden—sebagai Presiden. Dalam kepemimpinannya, Sadat memerintah tahun 1971 hingga 1981—menggantikan presiden sebelumnya Abdul Naser—Ia mengubah model perpolitikan Mesir menjadi sistem demokrasi. Pada pidato pertama di hadapan rakyat Mesir, Sadat, sebagai presiden akhirnya menonjolkan demokrasi sebagai tema utama pidatonya, karena hal ini yang memang dikehendaki oleh masyarakat Mesir. Mendengar pidato tersebut, napas lega menyelimuti rakyat Mesir dan terdengar di seluruh negeri. Meski demikian, dalam pidato pertama ini nampak bahwa gagasannya mengenai demokrasi masih agak kabur. 10 Ia juga mewarisi ekonomi yang bobrok, kemerosotan moral. Sadat dalam kepemimpinannya berusaha membentuk identitas dan legitimasi politiknya sendiri, memanfaatkan Islam untuk menyingkirkan kekuasaan kubu Nasseseris dan kelompok kiri kelompok Islam radikal. 11 Dalam analisa terhadap langkah dan kebijakan-kebijakan Anwar Sadat dapat kita awali dengan langkah-langkah politik yang ia lakukan melalui hegemoni agar mendapat dukungan sebanyak-banyaknya. Diawali dengan keinginannya untuk memposisikan bangsa Mesir sejajar dengan bangsa Barat, Sadat menyebutnya “Revolusi pembetulan”, yang menurutnya setelah Nasser meninggal susunan pemerintahannya bobrok. Karena itu, ia merangkul sebanyak- banyaknya organisasi Islam termasuk melepaskan tahanan politik semasa Nasser 10 Mohamed Heikal, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan. Penerjemah Arwan Setiawan Jakarta: PT. Temprin, 1986, h.37 11 Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 236. xvii berkuasa khususnya anggota Ikhwan Muslimin guna mendapat dukungan dalam kepemimpinannya. Dalam aras yang lain, kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya antara lain: Diambilnya kebijakan ”pintu terbuka” yaitu untuk menarik investor menanam saham di Mesir. Ia juga memasukan kekuatan pers berdasarkan perubahan kontitusi tahun 1980 dan UU No. 148 tahun 1981. Menurutnya pers adalah kekuatan rakyat yang independen. 12 Kemudian ia merubah ideologi negara Mesir menjadi demokrasi, mereferendum kontitusi 11 September 1971, yang isinya: ”Mesir adalah negara republik dengan multi partai pasal 5. Kekuasaan berada di tangan rakyat pasal 3. Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber perundang-undangan dan bahasa Arab adalah bahasa resmi negara pasal 2. Di samping itu, secara tegas dijelaskan, bahwa republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis yang berdasarkan pada aliansi kekuatan pekerja rakyat pasal 1.” 13 Namun langkah kebijakan Sadat tidak banyak membawa perubahan terhadap perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Mesir. Persoalan kemiskinan, pengangguran dan politik regional Mesir semakin terpuruk ditambah persoalan politik internal dengan tumbuhnya militan-militan Islam. Posisi politik Sadat semakin sulit dikendalikan walaupun dalam kekuasaannya mengusung demokrasi, dan dengan konstitusi ia mencoba meyakinkan lima hal yaitu lembaga pemerintahan yang lebih kukuh, demokrasi yang lebih luas, kemakmuran yang lebih besar, pamor internasional yang baru, dan perdamaian. 12 M. Riza Sihbudi, dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah Jakarta: PT. Eresco, 1993, h. 200. 13 Sihbudi, dkk., Konflik dan Diplomasi, h. 335 xviii Atas dasar tersebut, Anwar Sadat dalam memimpin Mesir secara ideologis didasarkan pada sosialisme demokratis yang pada mulanya lebih cenderung menerapakan model “demokrasi parlementer”, mengalami perubahan ke arah “presidensial”. Ini tercermin pada masa kepemimpinannya yang cenderung mempertahankan diri sebagai presiden di mana ketika itu ia digerogoti oleh banyaknya gerakan-gerakan Islam radikal seperti Jamaat Al-Muslimin, Jamaat Al- Jihad, Jund Allah prajurit Allah dan Ikhwanul Muslimin sehingga ia terbunuh oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Jamaat Al-Jihad. 14 Demokrasi presidensial mengalami pengejawantahannya secara penuh pada kepemimpinan setelahnya yaitu Husni Mubarak di mana presiden memiliki kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik. Dengan demikian, pada hemat penulis, tema ini menjadi penting dan menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk pengayaan demokratisasi di Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan Mesir sebagai negara dengan mayoritas Muslim. Demokrasi yang diusung Anwar Sadat harus dijadikan cermin bagi perpolitikan di Indonesia pada umumnya. Secara khusus, kenapa tema ini menjadi penting, karena belum mendapat tempat yang proporsional terutama pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu, penulis sebagai mahasiswa yang memilih program studi tersebut sebagai pembidangan pengetahuan maka tema ini menjadi signifikan dan memiliki relevansi yang berharga bagi demokratisasi Indonesia. 14 Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 237. xix Atas dasar itulah, dalam penulisan skripsi ini penulis akan mempertahankan sebuah hipotesis: “bahwa model demokrasi yang diusung Anwar Sadat hanya demi kepentingan kekuasaannya.” Dengan hipotesis di atas maka sksripsi ini diberi judul: “Pemikiran Anwar Sadat tentang Demokrasi”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah