Inkosistensi Anwar Sadat tentang demokrasi

(1)

vi

INKONSISTENSI ANWAR SADAT TENTANG DEMOKRASI

Oleh

ACHMAD BAEHAKI NIM: 101033221773

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H/2007 M


(2)

vii

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

dalam Pemikiran Politik Islam

Oleh:

ACHMAD BAEHAKI 101033221773

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Zainun Kamaluddin, M.A. Drs. Idris Thaha, M.Si

NIP: 150 228 884 NIP: 150 317 723

Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta 1428 H/2007 M


(3)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillâh al rahmân al rahîm

Dengan penuh rasa syukur atas terselesaikannya skripsi ini penulis memanjatkan puji kepada Allah Subhânah wa Ta‘âla. Dialah Dzat yang Maha Agung yang telah menciptakan manusia dan seluruh ciptaannya baik di bumi maupun di langit. Dialah yang selalu Ada ketika manusia fana. Shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi dan Rasul Allah, Muhammad shalla Allâh ‘alaih wa sallam yang telah meletakan pondasi yang kuat bagi peradaban manusia.

Perjalanan menempuh sarjana bagi penulis memang tidak semudah yang dibayangkan. Berbagai halangan yang mengganggu baik selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini selalu ada. Tetapi dengan kekuasaan-Nya Allah memperlihatkan kasih sayang-Nya dengan cara-Nya sendiri, sehingga penulis mampu menuntaskan skripsi ini sesuai ketentuan tradisi akademik yang membahas tentang “pemikiran Anwar Sadat tentang demokrasi”.

Skripsi ini juga ditulis untuk menambah pengayaan bagi wacana demokratisasi di Indonesia. Demokrasi selama ini belum mencapai cita-cita idealnya. Demokrasi Indonesia hanya sebatas prosedurnya saja, terutama ditandai dengan pemilihan yang diadakan secara langsung. Tetapi hakekatnya belum mencapai apa yang sebenarnya dituju oleh demokratisasi itu sendiri. Di sini pentingnya, berkaca apakah problem demokrasi antara Mesir dan Indonesia memiliki potensi persoalan yang sama, mengingat kedua negara merupakan bangsa dengan penduduk mayoritas Muslim.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan peran penting bagi terselesaikannya skripsi ini. Pihak-pihak tersebut antara lain: Perputakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Freedom Institute, CSIS, dan LIPI. Tak lupa pula kepada mereka, dengan rendah hati penulis haturkan banyak terima kasih atas kerjasama yang manis ini.


(4)

ix

Akhirnya penulis sadar betul berhutang budi kepada mereka yang telah memberikan kontribusi yang berharga selama penulis menempuh jenjang pendidikan sarjana dan penyelesaian skripsi ini. Mereka itu adalah:

1. Kedua orang tuaku, Maturidi dan Siti Hasanah, dengan tanpa terkecuali ini merupakan sebuah kado pertama yang bisa diberikan kepada orang tua tercinta. Tanpa mereka penulis mustahil bisa mengenyam pendidikan setinggi ini. Merekalah sesungguhnya yang telah berhasil melewati masa-masa sulit dengan segala kesabarannya. Keempat kakak-kakakku, mereka pula yang memberikan dukungan agar dapat terselesaikannya skripsi ini mereka adalah Mariam, Sutinah, Baedowi, dan Siti Rohmah. Adik-Adikku: Baesoni, Baenuri, dan Baedoni yang merupakan beban moral bagi saya apabila skripsi ini tidak dapat terselesaikan.

2. Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah berusaha menciptakan lingkungan intelektual yang kondusif sehingga memmungkinkan penulis khususnya dan mahasiwa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat umumnya bisa belajar dengan nyaman.

3. Drs. Agus Darmaji, M.Fils., Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan masukan dan saran yang berharga pada draf awal pengajuan skripsi ini.

4. Dra. Wiwi Siti Sjazarah, M.Ag., Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan pelayanan akademik sebaik-baiknya. 5. Drs. Idris Thaha, M.Si. dan Dr. Zainun Kamalluddin, M.A. selaku

pembimbing atas ide-idenya yang brilian dalam penulisan skripsi ini. 6. Semua Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan pelayanan

pengetahuan dengan profesional: memberikan ruang diskusi yang dialogis dan terbuka dan memberikan kebebasan berpikir pada setiap pokok bahasan yang disampaikan; telah memberikan sengatan intelektual dengan penuh rasa saling menghargai, terbuka, dan menjunjung tinggi kebebasan intelektual, dengan tetap bertumpu pada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Mereka juga telah memberikan apresiasi terhadap aneka ragam pikiran yang muncul sehingga memungkinkan terjadinya pendewasaan intelektual.


(5)

x

7. Teman-temanku seangkatan di program studi Pemikiran Politik Islam: Mohamad Nabil, Ahmad Munjin, Yusuf Hamdani dan istri (Salmah), Alimani yang berjasa memberi ide untuk mengangkat tema ini, dan Abdul Aziz Nurizun yang tanpanya kami tidak berlangganan Koran Tempo.

Penulis yakin masih banyak nama yang belum disebutkan yang memiliki andil besar dalam penulisan karya ilmiah ini, baik langsung maupun tidak langsung. Kepada mereka semua, penulis tetap menghaturkan rasa terima kasih yang teramat sangat. Semoga Allah membalasnya amal mereka sebagai tiket masuk surga. Amin.

Jakarta, 19 Mei 2007 Achmad Baehaki


(6)

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II BIOGRAFI DAN KARIR POLITIK ANWAR SADAT A.Riwayat Hidup Anwar Sadat ... 11

B.Karya-Karya Anwar Sadat ... 16

C. Perjalanan Karir Politik Anwar Sadat ...…. 18

BAB III SEJARAH DEMOKRASI DI MESIR A. Pengertian Demokrasi ... 28

B. Sejarah Masuknya Demokrasi di Mesir ... 33

C. Elemen-Elemen Demokrasi di Mesir ... 38


(7)

xii

BAB IV GAGASAN DEMOKRASI ANWAR SADAT

A. Multi Partai ... 44

B. Kebebasan Pers ... 49

C. Kebijakan Pintu Terbuka (Infitah) ... 54

1. Ekonomi ... 54

2. Reaksi Organisasi Kemahasiswaan... 58

3. Sektor Pertanian ... 59

4. Anwar Sadat Tidak Konsisten: Sebuah Analisis……… 60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Saran-Saran ... 66


(8)

xiii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi sejak pertama kali berkembang di Eropa memiliki transformasi makna sesuai ruang dan waktu di mana demokrasi diterapkan. Sesudah perang dunia II (1939-1945) demokrasi juga didukung oleh beberapa negara baru di Asia. India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional, sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan.1

Jika dilacak secara historis demokrasi berasal dari dua kata bahasa Yunani, “Demos” dan “Kratos.” Demos berati rakyat, sedangkan “Kratos” artinya kekuasaan atau pemerintahan. Jika digabung dari dua kata tersebut maknanya menjadi pemerintahan rakyat.2 Jadi, secara terminologi, demokrasi berarti kekuasaan pemerintahan yang di dalamnya rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan rakyat.3 Dengan kata lain, demokrasi bisa dikatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam perkembangannya, kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, yang dalam pembagiannya demokrasi secara umum terbagi ke dalam empat model: demokrasi presidensial, demokrasi parlementer, demokrasi perwakilan, dan demokrasi langsung.4 Demokrasi presidensial, presiden memiliki kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik. Demokrasi parlementer, parlemenlah merupakan satu-satunya lembaga perwakilan tertinggi

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 51

2

M. Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. ix

3

Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 174.

4

Thomas Meyer, Demokrasi: Sebuah Pengantar untuk Penerapan, (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002), h. 13


(9)

xiv

untuk mengambil keputusan. Demokrasi perwakilan, mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. Demokrasi langsung, akan mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada rakyat yang berdaulat.

Bagi dunia Islam, kata “demokrasi” pada awalnya begitu asing. Ia masuk ke dunia muslim, baru diakhir abad ke-19, dan di gerbang abad ke-20, melalui serbuan kolonialisme Eropa, dan munculnya nasionalisme. Kondisi ini membawa transformasi yang cukup revolusioner terhadap keberadaan dan stabilitas dunia Islam. Pada gilirannya, hal ini juga merubah mental dan pandangan dunia kaum muslim pada umumnya. Serbuan kolonialisme Eropa di satu sisi, dan perubahan radikal dalam aras politik dan ekonomi di lokalitas dunia Islam di sisi yang lain, telah membawa ke arah pembentukan negara-bangsa (natio-state) baru yang tidak lagi berdasarkan pada identitas agama semata, tetapi juga identitas lokal dan warisan kolonial. Bahkan, ideologi warisan kolonial, semisal “demokrasi,” yang sebelumnya begitu asing, menjadi semacam identitas (nasional) baru di negara-bangsa muslim yang baru terbentuk.

Konsekuensinya, umat Islam yang mendiami negara-negara baru tersebut mengalami ketegangan dalam proses pencarian identitas negaranya: apakah akan didasarkan pada Islam—seperti sebelumnya—atau pada ideologi peninggalan dan paksaan kolonial, seperti demokrasi. Mungkin, bagi pemikir-pemikir muslim yang menganggap demokrasi itu adalah produk kolonial yang ingin meminggirkan Islam, maka akan menjatuhkan pilihannya pada Islam sebagai identitas negaranya.

Dalam konteks ini, pemikir Muslim sekaligus pemimpin Mesir di pertengahan tahun 70-an, Anwar Sadat, memilih opsi yang kedua. Karena, bagi


(10)

xv

dia, demokrasi adalah ideologi negara yang bisa membawa Mesir sejajar dengan negara-negara Eropa yang sebelumnya menjajah tanah kediamannya.5 Aspek-aspek keterbukaan, multi partai, kebebasan pers, dan liberalisasi ekonomi6—Sadat menyebutnya kebijakan ekonomi “pintu terbuka”7—yang terkandung dalam nilai-nilai demokrasi bisa menjadikan bangsa Mesir lebih maju dalam kacamata Anwar Sadat.

Implikasi dari kebijakan ekonomi “pintu terbuka” ini mendorong penetrasi budaya Barat, dari pakain dan perilaku hingga televisi, musik, dan video, yang menguntungkan kaum elit terbaratkan yang menikmati hak istimewa dalam ekonomi; dengan demikian mendorong tumbuhnya suatu masyarakat yang di dalamnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.8

Di samping untuk membawa Mesir sejajar dengan negara-negara Eropa, Sadat juga memperkenalkan sosialisme demokratis sebagai ideologi tandingan bagi sosialisme ilmiah Nasser, dan telah menggantikan segara satu-partai di Mesir dengan sistem pemilihan multi-partai.9

Langkah pertama sebagai presiden adalah keinginan memposisikan bangsa Mesir sejajar dengan bangsa Eropa. Ini dibuktikan dengan usahanya menyatukan seluruh organisasi Islam dengan tokoh-tokoh Islam untuk bersatu dalam membangun negara Mesir yang kuat, kedua dengan istilah “kebijakan pintu terbuka” dalam upaya menarik investor ke Mesir guna memperbaiki prekonomian

5

John L. Esposito dan John D. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek. Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung : Mizan, 1999), h. 238.

6

Riza Sihbudi, dkk., Profil Negara-Negara Timur Tengah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 157.

7

Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 238.

8

Esposito dan Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 238.

9


(11)

xvi

yang terpuruk sepeninggal kepemimpinan Abdel Nasser, yaitu dengan memberikan kebijakan-kebijakan bagi para investor.

Kematian Abdel Nesser sebagai presiden, merupakan peristiwa yang secara otomatis menaikkan Anwar Sadat—yang sebelumnya menjabat wakil presiden—sebagai Presiden. Dalam kepemimpinannya, Sadat memerintah tahun 1971 hingga 1981—menggantikan presiden sebelumnya Abdul Naser—Ia mengubah model perpolitikan Mesir menjadi sistem demokrasi. Pada pidato pertama di hadapan rakyat Mesir, Sadat, sebagai presiden akhirnya menonjolkan demokrasi sebagai tema utama pidatonya, karena hal ini yang memang dikehendaki oleh masyarakat Mesir. Mendengar pidato tersebut, napas lega menyelimuti rakyat Mesir dan terdengar di seluruh negeri. Meski demikian, dalam pidato pertama ini nampak bahwa gagasannya mengenai demokrasi masih agak kabur.10 Ia juga mewarisi ekonomi yang bobrok, kemerosotan moral. Sadat dalam kepemimpinannya berusaha membentuk identitas dan legitimasi politiknya sendiri, memanfaatkan Islam untuk menyingkirkan kekuasaan kubu Nasseseris dan kelompok kiri (kelompok Islam radikal).11

Dalam analisa terhadap langkah dan kebijakan-kebijakan Anwar Sadat dapat kita awali dengan langkah-langkah politik yang ia lakukan melalui hegemoni agar mendapat dukungan sebanyak-banyaknya. Diawali dengan keinginannya untuk memposisikan bangsa Mesir sejajar dengan bangsa Barat, Sadat menyebutnya “Revolusi pembetulan”, yang menurutnya setelah Nasser meninggal susunan pemerintahannya bobrok. Karena itu, ia merangkul sebanyak-banyaknya organisasi Islam termasuk melepaskan tahanan politik semasa Nasser

10

Mohamed Heikal, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan. Penerjemah Arwan Setiawan (Jakarta: PT. Temprin, 1986), h.37

11


(12)

xvii

berkuasa khususnya anggota Ikhwan Muslimin guna mendapat dukungan dalam kepemimpinannya.

Dalam aras yang lain, kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya antara lain: Diambilnya kebijakan ”pintu terbuka” yaitu untuk menarik investor menanam saham di Mesir. Ia juga memasukan kekuatan pers berdasarkan perubahan kontitusi tahun 1980 dan UU No. 148 tahun 1981. Menurutnya pers adalah kekuatan rakyat yang independen.12 Kemudian ia merubah ideologi negara Mesir menjadi demokrasi, mereferendum kontitusi 11 September 1971, yang isinya: ”Mesir adalah negara republik dengan multi partai (pasal 5). Kekuasaan berada di tangan rakyat (pasal 3). Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber perundang-undangan dan bahasa Arab adalah bahasa resmi negara (pasal 2). Di samping itu, secara tegas dijelaskan, bahwa republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis yang berdasarkan pada aliansi kekuatan pekerja rakyat (pasal 1).”13

Namun langkah kebijakan Sadat tidak banyak membawa perubahan terhadap perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Mesir. Persoalan kemiskinan, pengangguran dan politik regional Mesir semakin terpuruk ditambah persoalan politik internal dengan tumbuhnya militan-militan Islam. Posisi politik Sadat semakin sulit dikendalikan walaupun dalam kekuasaannya mengusung demokrasi, dan dengan konstitusi ia mencoba meyakinkan lima hal yaitu lembaga pemerintahan yang lebih kukuh, demokrasi yang lebih luas, kemakmuran yang lebih besar, pamor internasional yang baru, dan perdamaian.

12

M. Riza Sihbudi, dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah (Jakarta: PT. Eresco, 1993), h. 200.

13


(13)

xviii

Atas dasar tersebut, Anwar Sadat dalam memimpin Mesir secara ideologis didasarkan pada sosialisme demokratis yang pada mulanya lebih cenderung menerapakan model “demokrasi parlementer”, mengalami perubahan ke arah “presidensial”. Ini tercermin pada masa kepemimpinannya yang cenderung mempertahankan diri sebagai presiden di mana ketika itu ia digerogoti oleh banyaknya gerakan-gerakan Islam radikal seperti Jamaat Muslimin, Jamaat Al-Jihad, Jund Allah (prajurit Allah) dan Ikhwanul Muslimin sehingga ia terbunuh oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Jamaat Al-Jihad.14 Demokrasi presidensial mengalami pengejawantahannya secara penuh pada kepemimpinan setelahnya yaitu Husni Mubarak di mana presiden memiliki kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik.

Dengan demikian, pada hemat penulis, tema ini menjadi penting dan menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk pengayaan demokratisasi di Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan Mesir sebagai negara dengan mayoritas Muslim. Demokrasi yang diusung Anwar Sadat harus dijadikan cermin bagi perpolitikan di Indonesia pada umumnya.

Secara khusus, kenapa tema ini menjadi penting, karena belum mendapat tempat yang proporsional terutama pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu, penulis sebagai mahasiswa yang memilih program studi tersebut sebagai pembidangan pengetahuan maka tema ini menjadi signifikan dan memiliki relevansi yang berharga bagi demokratisasi Indonesia.

14


(14)

xix

Atas dasar itulah, dalam penulisan skripsi ini penulis akan mempertahankan sebuah hipotesis: “bahwa model demokrasi yang diusung Anwar Sadat hanya demi kepentingan kekuasaannya.” Dengan hipotesis di atas maka sksripsi ini diberi judul: “Pemikiran Anwar Sadat tentang Demokrasi”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Untuk memperjelas permasalahan dan agar penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka penulis membuat batasan masalah yakni yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah pemikiran Anwar Sadat tentang sosialisme demokrasi khususnya kebebasan pers, politik “pintu terbuka”, dan pemilu multi-partai.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: Pertama, faktor-faktor apa saja yang membuat inkonsistensi demokrasi Anwar Sadat yang diusungnya semenjak ia berkuasa? Kedua, apa saja implikasi dari inkonsistensi tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada dua tujuan yang dianggap penting yaitu: Pertama, untuk memberikan penjelasan tentang inkonsistensi Anwar Sadat dalam mengusung sosialisme demokrasi di Mesir selama pemerintahannya.

Kedua, untuk memenuhi tugas akhir dalam menyelesaikan studi strata satu (S1) di Program Studi Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.


(15)

xx D. Metode Penelitian

Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research), dengan berusaha memperoleh data-data dan informasi melalui literatur-literatur kepustakaan, jurnal, dan data-data elektronik.

Pembahasan skripsi ini menggunakan tiga metode sekaligus: metode deskriptif, analitis, dan kritis. Dua metode pertama akan diterapkan serentak sebagai kesatuan. Metode deskriptif digunakan untuk memberi gambaran secara objektif materi yang akan dibahas. Metode analitis digunakan untuk mendapatkan implikasi dari ide hubungan demokrasi yang diusung Anwar dengan kepentingan politiknya untuk mempertahankan kekuasaannya.

Adapun teknik penulisan skripsi ini secara umum menggunakan buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 2005/2006.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan Skripsi ini sistematis dan rapih, maka skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, dari masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab, yang sistematikanya sebagai berikut.

Tulisan ini dimulai dengan bab pertama. Dalam bab pertama diawali dengan latar belakang masalah, yang mengupas tentang seputar demokrasi di Mesir yang diusung oleh Anwar Sadat. Pada awal kepemimpinanya terdapat indikasi-indikasi demokrasi dalam langkah dan kebijakan yang telah ia keluarkan hingga akhir kepemimpinannya. Rumusan dan pembatasan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam bab ini.


(16)

xxi

Selanjutnya dalam bab kedua berisi mengenai otobiografi dan perjalanan Anwar Sadat dalam meniti karir hingga memimpin Mesir. masa kecil yang dianggapnya pedih dengan latar keluarga yang dikucilkan, latar belakang sosial yang membuatnya menjadi kuat akan masa depan yang telah manunggu di depan mata, pendidikan, karier politik, yang mengiringi Anwar Sadat kepada kesuksesan dalam hidupnya diawali dari masuknya sadat menjadi seorang perwira, sampai keterlibatanya dalam revolusi 1952 dan masa bergulirnya kekuasaan ke tangan Anwar Sadat.

Bab ketiga, ingin menunjukkan beberapa aspek perkembangan demokrasi di Mesir. Konteks suasana di Mesir—yang telah melakukan perjalanan yang panjang dalam sejarah perpolitikannya—yang menjadi inspirasi bagi Sadat akan menjadi pembahasan selanjutnya. Demokrasi yang memperjauangkan kebebasan, di satu sisi, dan kepentingan politik Anwar Sadat di sisi lain yang menyusup, dan kemudian sulit diidentifikasi akan jadi penutup dalam bab ini.

Bab keempat, secara spesifik akan memasuki wilayah pemikiran Anwar Sadat tentang demokrasi. Liberalisasi ekonomi, kebebasan pers, dan pemilu dengan multi partai yang menjadi inti dari pemikiran Anwar Sadat untuk menopang demokrasi akan disuguhkan dalam bab ini. Hasrat kekuasaan Anwar Sadat yang kemudian mencederai demokrasi yang ia perjuangkan akan dianalisis secara mendetail dengan mengaitkannya pada konteks sosial Mesir yang begitu kompleks. Analisis tentang inkonsistensi sikap politiknya akan menjadi penghujung dalam bab ini.

Akhirnya, seluruh uraian dalam skripsi ini akan ditutup dengan bab V. Bab ini ingin menunjukkan temuan dan kesimpulan dari hasil telaah tema ini. Apakah


(17)

xxii

tesis awal skripsi ini yang menyatakan bahwa demokrasi yang diusung Anwar Sadat hanya demi kepentingan kekuasaannya bisa dibenarkan atau tidak akan dibuktikan di bab penutup ini. Beberapa rekomendasi dan saran-saran penting akan disertakan di akhir bab ini.


(18)

xxiii BAB II

BIOGRAFI DAN KARIR POLITIK ANWAR SADAT

Memahami gagasan salah seorang tokoh tidak mungkin didapatkan secara sempurna jika tidak mengetahui segala sisi kehidupannya secara komprehensif: baik perjalanan hidupnya, latar belakang pendidikannya, orang-orang yang mempengaruhinya, dan seluruh aspek lainnya yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Karena skripsi ini adalah ingin mengkaji pemikiran tokoh yang bernama Anwar Sadat, khususnya tentang gagasan demokrasinya, maka cukup tepat jika penulusuran riwayat hidup, karya-karyanya, dan orang-orang yang memengaruhi serta perjalanan karir politik yang ditempuh dilakukan.

Di samping hal itu melengkapi pengetahuan tentang karakter pribadinya secara utuh, juga untuk memudahkan memahami gagasan demokrasi Anwar Sadat sesuai konteksnya. Untuk itu, pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada tiga hal utama: pertama, tentang riwayat hidup Anwar Sadat mulai sejak kecil hingga menjadi Presiden Mesir; kedua, tentang karya-karya beliau dan tokoh-tokoh yang memengaruhinya; dan ketiga, perjalanan karir politik yang ditempuh Sadat.

A. Riwayat Hidup Anwar Sadat

Anwar Sadat, tokoh yang pernah memimpin Mesir (1970-1981) ini dilahirkan 25 Desember 1918, di desa Mit Abu el-Kom 40 km sebelah Utara kota Mesir, tepatnya di Distrik Tala provinsi Menufisia bagian pedalaman negara Mesir.15 Ia ditakdirkan lahir dari keluarga miskin: ayahnya berasal dari Mesir,

15

Arthur Goldschmidt, JR., Historical Dictionary of Egypt, (Lanham, MD., & London: The Scarecrie Oressm Unc, 1994), h. 248.


(19)

xxiv

sementara Ibunya dari Sudan keturunan keluarga yang perna menjadi budak. Ia anak laki-laki satu-satunya dari enam saudara perempuannya hasil dari pernikahan dengan Sitt el-Barrien ibu kandung Anwar Sadat. Ayahnya memiliki tiga orang istri lain, di antaranya Fatoum dan Aminah, dan memiliki 13 anak dari keseluruhannya.16

Ayah Sadat bernama Mohamed Mohamed el-Sadaty, sementara Ibunya Sitt el-Barrien anak dari seorang budak yang didatangkan dari Sudan, Afrika Utara, yang baru merdeka ketika penghapusan perbudakan dilakukan Inggris di masa penjajahannya. Sebelum menikahi Sitt el-Barrien, Mohamed telah lebih dulu menikah, tetapi tidak dikaruniai anak sehingga bercerai. Ayahnya bekerja sebagai penerjemah pada sebuah datasemen Korps kesehatan tentara Inggris di Shebin el-Kom yang melakukan riset tentang penyakit tropis.17

Di usia 12 tahun, tepatnya 1930, Mohamed Al Sadaty pindah ke Kairo bersama keluarganya, dan tinggal di sebuah rumah bertingkat di Kubbri el Kubba suatu daerah pinggir kota Kairo, yaitu di Sharia Mohamed Badr No.1. Pada saat yang sama, Mesir baru mendapat kemerdekaan dari penjajahan Inggris, dan bentuk pemerintahan pertama yang dipilih adalah monarki (kerajaan). Sejak duduk di sekolah dasar Anwar Sadat menyadari betapa kuatnya cengkraman Inggris Raya terhadap negaranya. Meskipun di bawah Raja Fuad Mesir mempunyai konstitusi dan parlemen, namun Mesir tak lebih dari pemerintahan “wayang atau boneka” yang didalangi Inggris Raya.

16

Anshari Thayib dan Anas Sadaruan, Anwar Sadat Antara Pahlawan dan Penghianat

(Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 1.

17

Mohamed Heikal, Anwar Sadat: Kemarau kemarahan. Penerjemah Arwah Setiawan (Jakarta: Temprin, 1986), h. 6.


(20)

xxv

Setelah raja Fuad mangkat, pada 28 April 1936, kepemimpinannya digantikan oleh anaknya, Farouk yang masih belia (17 tahun). Di bawah pimpinannya, Mesir malah kembali membuat perjanjian dengan Inggris yang membentuk pertahanan bersama yang menjadikan Inggris mengirim kembali tentaranya ke Mesir. Saat itu, Anwar Sadat sudah berumur lebih dari 17 tahun, sehingga cukup memahami akan kesepakatan-kesepakatan Mesir di bawah Raja Farouk dengan Inggris Raya. Ini pula yang mebentuk keinginan Anwar Sadat untuk bergerak ke dalam ranah politik, dan memulainya kemudian, dengan masuk akademi akademi militer.18

Semenjak keluarga Sadat pindah ke Kairo, Sitt el-Berrien, Ibu Anwar Sadat mengalami kondisi badan yang sakit-sakitan. Karena itu, Om-Mohammed, neneknya Anwar Sadat, menyuruh kepada Mohammed Mohammed el-Sadaty, ayahnya Anwar Sadat untuk menikah lagi. Atas perintah ibunya ini, ayah Anwar Sadat menikah dengan Fatoum, seorang gadis dari Mansoura. Sampai saat itu Sadat tinggal dengan neneknya Om-Mohammed di Mit Abu el-Kom. Selang waktu berjalan Om-Mohammed pun pindah ke Kairo, untuk menetap bersama Mohammed el-Sadaty. Bersatunya kembali Anwar Sadat dengan ayahnya di sebuah rumah di Kubri el-Kubba, Sharia Mohamed Badr No. 1.19

Sadat menjalani tahun-tahun yang dramatis (menyedihkan), dan kondisi ini membentuk karakter kehidupannya. Oleh karena itu, wataknya yang ekstrim (memegang prinsip secara teguh) dan kompleks tidak dapat dipahami tanpa mengetahui berbagai pengalaman yang ia alami. Selama itu, Anwar muda tidak harus menyesali hilangnya kebebasan serta gairah hidup desa, tetapi ia harus

18

Thayib, Pahlawan dan Penghianat, h. 3.

19


(21)

xxvi

menyaksikan ibunya diturunkan ke posisi perbudakan yang tidak kalah keras dari pada kedudukan kakeknya (Khairallah), yang seharusnya sudah bebas dari alam perbudakan. Suasana dramatis seperti ini yang sebagian besar membentuk karakter Sadat: memegang teguh prinsip, kompleks, dan pantang menyerah.

Sadat mengikuti kakaknya, Talaat ke sekolah negeri lanjutan pertama. Tetapi di sekolah lanjutan pertama in ia harus meninggalkan sekolah itu dan pindah ke salah-satu sekolah lain. Dalam autobiografinya ia menulis salah satu pengalaman yang menyedihkan yang dia alami ketika di sekolah lanjutan pertama:

“Hal itu merupakan titik balik dalam hidup saya. Saya sadar bahwa kegagalan saya merupakan pertanda bahwa Tuhan terhadap diri saya, mungkin karena kealpaan saya, mungkin karena ketakaburan saya. Begitulah dalam semangat yang demikian dan dalam perasaan yang kabur itu—kombinasi dalam rasa, dosa, dan ketetapan untuk bertobat—saya menyerahkan skripsi saya ke sekolah lain.”20

Pengalaman-pengalaman hidup semasa Sadat kecil ini, seperti yang ia tulis di atas, banyak yang jadikan kenangan dan semangat hidup sampai ia menjadi redaktur di sebuah koran bernama al-Ahram. Melalui koran ini, Anwar Sadat banyak menceritakan dan menuliskan kisah-kisah perjalanan hidupnya yang dramatis.

Di sisi lain, Anwar Sadat adalah seorang yang sangat menyukai aktor-aktor film, terutama ketika ia menjadi redaktur gomhouriyeh pasca revolusi 1952. Ia menulis sebagian artikel yang menceritakan sosok yang menjadi aktor tersebut. Lebih dari itu, ia juga pernah menyebut dirinya Haji Mohamed, meskipun sesungguhnya Sadat belum pernah naik Haji. Untuk mendukung perannya itu, ia menceritakan bahwa dirinya pernah memelihara jenggot. “Benar” katanya, bahwa saya menamakan diri saya Haji Mohamed sebagai bagian dari memainkan peran,

20


(22)

xxvii

tetapi tidak pernah ada orang menanyakan ini, maka saya teruskan saja. Saya hanya bisa merasa benar-benar kerasan diantara aktor-aktor saja.”21

Sejak kelulusan di akademi militer kemudian Anwar dijodohkan oleh ayahnya dengan seorang putri Omdah (kepala) desa Mit Abu el-Kom. Namanya Ekbel Mady dan dengan wanita ini Sadat mempunyai tiga putri, Rokaya, Rowiya, Camelia. Bersama Nasser dan 10 perwira lainnya membentuk Free Officers Committee, organisasi rahasia untuk menggulingkan pemerintahan monarki. Semasa perang dunia ke II Sadat dipenjarakan selama dua tahun karena bekerja sama dengan Jerman. Sebagai angota Free Ofisser Committee, ia turut berperan dalam mengulingkan pemerintahan (1952). Di bawah pemerintahan baru, ia menjadi anggota dewan komando revolusioner yang berkuasa, editor koran Al gomhuriya, dan menjabat menteri negara (1954-1956). Selanjutnya ia menjadi sekretaris jendral partai politik yang berkuasa, memimpin dewan nasional (1969-9168), menjadi salah satu dari empat wakil presiden (9164-1967). Pada 1969 ia menjadi wakil presiden tunggal dan terpilih menjadi presiden setelah kematian presiden Nasser (1970).22

Serangan Mesir tehadap Sinai yang diduduki Israel-pada Oktober 1973- mengawali perang Arab–Israel. Pada 1975, bekerja sama dengan menlu AS Henri Kissinger, ia mengupayakan suatu persetujuan untuk tidak saling menyerang antara Arab dan Israel serta membuka kembali terusan Suez. Dalam usaha menyelesikan konflik Arab –Israel , Sadat mengunjungi Israel (November 1977). Kunjungan ini merupakan yang pertama kali dilakukan kepala pemerintahan negara Arab. September 1978, dalam suatu pertemuan yang diprakarsai presiden

21

Heikal, Kemarau Kemarahan, h. 11.

22

Bambang Widiatmoko, “Sadat, Anwar Al-“ dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia,


(23)

xxviii

AS Jimmy Carter di Camp David, Sadat mencapai kesepakatan bersama PM Israel Menacem Begin tentang pengembalian kepada Mesir semenanjung Sinnai yang diduduki Israel pada 1967. Karena kunjungan ke Yerusalem dan usaha-usaha perdamaiannya Sadat dan Begin memperoleh hadiah Novel perdamaiann 1978.23

Pada September1981, Anwar Sadat mengenakan tindakan represif kepada organisasi pergerakan Islam yang diaggapnya fundamentalis, termasuk kumpulan pelajar, dan organisasi Koptik, yang dianggapnya dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir, dengan mengadakan tindakan penangkapan dan penahanan. Atas tindakan ini menyebabkan dia dikecam di seluruh dunia atas pelanggaran HAM dalam tindakan-tindakannya tersebut. Oleh karena itu, pada 6 Oktober 1981, ketika menghadiri parade militer, Sadat mengakhir hidupnya karena ditembak mati oleh kelompok muslim garis keras yang tidak senang dengan kebijakan-kebijakan politik Anwar Sadat.24

B. Karya-Karya Anwar Sadat

Ketika mendekam di penjara, Anwar Sadat mengalami masa-masa sulit: ia merasa sangat kesepian. Untuk mengusir rasa sepi yang diderita ini, ia banyak membaca buku. Meskipun di dalam penjara, ia senang belajar bahasa, sehingga di samping mampu berbicara dalam bahasa Arab dan Inggris, ia juga menguasai bahasa Jerman, Prancis, dan Persia. Perkenalannya dengan beberapa penulis Amerika Serikat, seperti Douglas dan Zane Grey, membuat ambisi Sadat untuk belajar politik kian meledak. Namun, jika ditanya siapa lagi yang amat

23

Widiatmoko, “Anwar Al-Sadati,” h. 313.

24


(24)

xxix

mempengaruhi kepribadiaannya, maka Sadat akan pasti menjawab: “yang mempengaruhi kepribadian saya adalah Khalifah Oemar Ibn Khattab.25

Meskipun demikian, ia tidak hanya an sich dipengaruhi oleh beberapa tokoh di atas. Beberapa orang besar lainnya yang ia kagumi juga berpengaruh kendati tidak sebesar pengaruh orang-orang di atas. Setidaknya ada beberapa tokoh lagi yang disebut-sebut sangat dikagumi oleh Anwar Sadat. Di antaranya adalah Zahran, figur sentral yang menjadi teman akrabnya sejak kecil di Mesir. Meskipun Zahran tidak sekaliber Douglas, namun ia cukup berpengaruh terhadap Sadat. Sementara yang lain, Musthofa Kemal Attaturk, Mohandas Gandhi, Adolf Hitler, Hasan al-Banna, dan Gamal Abdul Nasser adalah figur yang ia kagumi.

Dari berbagai pertemuannya dan petualanggannya dengan sejumlah tokoh-tokoh di atas, ditambah lagi minat bacanya yang tinggi ketika Sadat mendekam dipenjara, maka ia kemudian menghasilkan sejumlah karya. Karya-karya besarnya berikut ini hampir semua ditulis setelah ia keluar dari penjara. Karya-karyanya antara lain: The full Story of the Revolusion (1954), Unknown Pages of the Revolusion (1955), Revolusion on the Nile(1957). Buku yang terakhir ini mengisahkan tentang revolusi yang pecah pada 1952 di bawah pengaruh Nasser dan Anwar Sadat. Sementara karya yang lain adalah: Son, This is yaur UncleGamal–Memorirs of Anwar el-Sadat (1958), dalam buku ini dia menceritakan tentang Nasser; In Search of Identity: An Autobiography (1978), the story of his life and of his country after 1918, dan sebuah cerita Novel yang berjudul The Frince of The Island (1956).26

25

Thayib, Pahlawan dan Penghianat, h. 21.

26

Haman Basyar,”Bagaimana Militer Menguasai Mesir?” jurnal Ilmu politik Vol 3, no 4 (Juli 1988): h.85-88; “Anwar Sadat” artikel diakses pada 24 April 2007 dari http://www.wikipedia.com/.


(25)

xxx C. Perjalanan Karir Politik Anwar Sadat

Mohamed-Mohamed el-Sadaty ayahnya Anwar Sadat dengan koneksinya ia berusaha memasukan Anwar Sadat ke kedalam akademi militer. Sekembalinya tugas dari Sudan, ayahnya memperkenalkannya anak muda yang sudah ia disebut-sebutnya kepada Dr. Fitzpatrick (kepala unit kesehatan yang mana ayah Sadat bekerja tugas dari Sudan). Ia mengusulkan agar Anwar Sadat dikirim ke akademi militer. Yang sebelumnya ini tidak mungkin dilakukan tanpa ada persetujuan Inggris dan Mesir.

Pada 26 Agustus 1936 ditandatanganinya persetujuan penghapusan persyaratan untuk menjadi seorang perwira guna mengembangkan pasukan Mesir. Persyaratan-persyaratan seperti halnya harta untuk menjadi perwira dihapuskan, maka terbukalah peluang bagi pemuda-pemuda seperti Anwar Sadat, dan Gamal Abdel Nasser untuk menjadi perwira. Masa pendidikan yang diperpendek menjadi sembilan bulan. Sadat lulus dari Akademik militer kerajaan sebagai letnan dua infanteri pada bulan Februari 1938.27

Semenjak di akademi militer di Abasia, ia mulai berkenalan dengan kehidupan politik yang sebenarnya. Ia berkampaye untuk kemerdekaan Mesir dalam arti yang sebenarnya.28 Di akademi ini Anwar Sadat berkenalan dengan Gamal Abdul Nassser, beserta sepuluh perwira lainnya yang kemudian membentuk (Free Officers Commitee) atau komite perwira bebas, organisasi

27

Heikal. Anwar Sadat : Kemarau, h 14

28


(26)

xxxi

rahasia untuk mengulingkan pemerintah monarki.29 Mereka lalu menyusun gerakan bawah tanah yang berpusat di kota Mangkaba di Asyut. Gerakan itu semakain kokoh dengan bergabungnya beberapa opsir lain seperti Zakaria Mohi el-idan Ahmed Anwar.

Dalam karier politik Anwar Sadat, seperti yang dia tulis dalam autobiografinya, menyebutkan bahwa ketika ia tiba di Manqabad dalam tugas kemiliterannya, ia sebetulnya sudah seorang revolusioner, namun masih bergerak secara rahasia. Sadat yang jauh lebih matang dari pada rekan-rekan perwiranya— yang kebanyakan tidak punya pendidikan politik—membuat dia dijadikan pemimpin dalam memperjuangkan revolusi. Dikatakan bahwa ia berusaha keras dalam perbincangan-perbincangan yang panjang, untuk membuka mata rekan-rekannya saya terhadap realitas keadaan yang pada umumnya, dan posisi Inggris pada khususnya. Walaupun tidak ada bukti atas pengakuannya ini.30

Tahun 1940 Nasser bertugas di Sudan dan Sadat ditunjuk untuk bergabung dengan korps sandi di Maadi, beberapa mil di Selatan Kairo. Saat itu perang yang sudah lama diramalkan di Eropa telah pecah yaitu perang dunia ke II, dan meskipun Mesir negara yang dijajah Inggris sedang berusaha untuk terlepas dari Inggris, kehadiran pasukan Inggris yang besar di tanah Mesir memastikan bahwa negara itu tentu akan terlibat secara langsung dan seperti yang segera terbukti, akan menjadi salah satu medan perang yang utama.

Waktu itu Mesir tebagi ke dalam tiga kekuatan politik utama, urutan-urutannya dan kombinasinya akan menentukan nasibnya. Pertama Raja yang penghuninya sejak 1936 oleh raja Farouk, partai Wafd, dan Inggris yang

29

Widiatmoko, “Anwar Al-Sadat,” h. 313.

30


(27)

xxxii

perwakilannya di Kairo sejak 1934. Dalam perselisihannya pihak istana dan partai Wafd, Raja Farouk dan perdana menteri melihat Ikhwanul Muslimin dapat dipakai guna sebagai senjata menghadapi partai Wafd, dan Hasan Al-Banna diperbolehkan berkeliling barak-barak tentara untuk mengutarakan pikiran-pikiranya.31

Salah satu yang memberikan pengaruh lebih berarti terhadap karirnya adalah orang yang ia jumpai di Maadi, bernama Hassan Ezzat. Hassan Ezzat ini seorang perwira angkatan udara yang telah mempelajari sandi di Maadi, dan merupakan anggota suatu kelompok bawah tanah dalam angkatan udara yang juga mencakup Abdel Latief Bagdadi. Gerakan ini mempunyai hubungan dengan Jendral Aziz el-Masri, inspektur jendral angkatan darat grup ini melakukan negosiasi dan diplomasi dengan Jerman guna mengusir Inggris. Dalam keterlibatanya Sadat membuat perjanjian yang disusun oleh Ezzat dengan mata-mata Jerman, Hans Eppler dan yang dikenal sebagai Sandy. Sadat, dianggap orang yang dapat memprakarsai dua buah pemancar yang dibawa para mata-mata, salah satunya, pemancar Amerika yang kuat yang didapat melaui perwakilan Swiss di Kairo.32

Tidak berselang lama, gerakan Anwar Sadat ini tercium oleh kerajaan. Karena dia bekerja sebagai spionase, akhirnya ditangkap dan diadili oleh pengadilan militer Mesir. Lebih dari itu, ia dipecat dari dinas kemiliteran dan dipenjarakan dalam kam tahanan tahun 1941. Keadaan itu tentu mengguncangkan keluarganya, sebab saat itu, Sadat lah satu-satunya tenpat gantungan kehidupan

31

Heikal, Anwar Sadat : Kemarau, h. 13

32


(28)

xxxiii

mereka, untunglah teman-teman Sadat membantu memberikan sumbangan 100 dolar per bulan untuk membiayai keluarga Sadat.33

Di aras yang lain, Yussef Rashad merekrut Hassan Ezzat untuk menjadi anggota pasukan besi. Hassan Ezzat pun mengusulkan nama Sadat sebagai calon yang dapat dimanfaatkan, kemudian utusan dari istana mengunjunginya di penjara Makousah, dan setelah Sadat masuk pasukan pengawal besi ia dipindah ke asrama Zeitoun, dekat Kairo. Ketika ia pergi dari penjara beberapa waktu kemudian, seorang utusan dari istana mengatur suatu pertemuan Anwar Sadat dan Hussein Tewfiq, salah satu pengawal raja dan sekaligus pengusaha.34

Dalam pertemuan ini Sadat mengatakan kepada Tewfiq bahwa taktik yang dijalankannya keliru. Apa gunanya menyerang orang perorang tentara Inggris yang tidak ada habis-habisnya. Jauh lebih tepat menyerang orang-orang Mesir yang bersahabat dengan Inggris, dan dengan demikian mengancam mereka untuk menghentikan kerja sama dengan Inggris, karena inilah yang dilakukan Tewfiq dalam pergerakannya.

Setelah melakukan pertemuan dengan Tewfiq, Sadat ikut telibat dalam rencana pembunuhan terhadap Nahas Pasha dan Amin Osman, hingga pada Husein Tewfiq tertangkap basah dalam penyerangan tehadap Nahas. Sekali lagi Sadat kembali ke penjara aliens. Tapi akhirnya ia dibebaskan bersama sebelas orang tertuduh. Dan Husein Tewfik dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara, tetapi istana merencanakan pelariannya ke Syiria dan dianggap sebagai pahlawan masyarakat. Dalam percaturan politknya Anwar Sadat keluar masuk penjara membuat istrinya minta untuk diceraikan.

33

Thayib, Pahlawan dan Pengkhianat, h. 9.

34


(29)

xxxiv

Setelah Sadat dibebaskan ia menerbitkan ringkasan-ringkasan dari catatan hariannya di penjara. Pertama kali ia terbitkan dalam mingguan el-Muusawwar pada tahun1948, dan kemudian dalam bentuk buku. Buku yang diberi judul Thirty Montha in Prision itu, kemudian dilarang beredar, tetapi setelah Sadat menjadi presiden, orang-orang Arab menerbitkannya kembali. Yang diungkapkan dalam buku itu ialah mengenai berbagai peristiwa yang membentuk watak dan karakter Sadat. Pengalaman-pengalaman yang dituangkan dalam buku itu sangat attraktif, sehingga layak dikutip:

“Jum’at, 18 Januari 1945 lewat tengah malam kemarin saya dibawa ke penjaraa Alienas, Penjara aliens lagi! Di sinilah saya pernah bersama Eppler dan lainnya beberapa tahun lampau!

17 Februari Al Muqottam melaporkan bahwa Killearn akan di pindahkan dari kairo. Saya benci sekali pada mahluk itu ! ia sudah mengkotori martabat Mesir. Jadi, saya ingin merayakan peristiwa itu, dan memesan dari luar dua belas potong kue. Saya membagikanya kepada wanita India Leila itu dan yang lain-lainya, tiga potong untuk saya sendiri. Celakanya, tentu ada yang tidak beres dengan kue-kue itu, sebab pukul dua dini hari saya terbangun karena perut saya sakit. Saya menjadi tambah benci kepada Killearn. Sementara itu sadat mulai menggerakan rekan-rekannya di penjara.”35

Setelah tigapuluh satu bulan ia berada di penjara saya merasa dilahirkan kembali ke dalam satu dunia lain yang sama sekali tidak saya kenal.36 Setelah bebas tahun 1948 ia tidak mempunyai pekerjaan kemudian oleh Hassan Ezzat ia disediakan modal untuk menjadi pemborong.

Suatu hari pada tahun 1948, ketika ia masih bekerja pada usaha pemborong itu, ia dihubungi oleh Hasan Al-Banna yang menanyakan apakah Sadat dapat mempertemukan dengan Raja Farouk. Kejadian ini diungkap oleh

35

Heikal, Kemarau Kemaraha, h. 20.

36

Anwar Sadat, Mencari Identitas: Sebuah Autobiografi, (Jakarta: Tira Pustaka, 1983), h. 130.


(30)

xxxv

Sadat dalam autobiografi yang dilarang itu. Al-Banna mengatakan, ia tahu bahwa Ikhwanul Muslimin dicurigai oleh orang asing, dan bahwa kecurigaan itulah yang membuat raja berprasangka terhadap organisasi itu.

“Percayalah Anwar,” begitu menurut laporan mengenai pembicaraan mereka, “Saya ingin menghentikan kesalahpahaman seperti ini, saya yakin orang asing akan merasa aman terhadap kami. Jika saya bertemu dengan raja, saya yakin bisa mendapat kepercayaannya. Satu pertemuan saja sudah cukup. Saya tidak meminta raja untuk bekerja sama dengan kami, saya hanya ingin meyakinkan bahwa ia tidak perlu takut apa-apa dari Ikhwanul Muslimin. Anda kenal Yussef Rashad? Apa anda dapat menyampaikan i’tikad saya untuk raja? Bahwa saya tidak akan jadi bahaya baginya. Sadat menjawab, bahwa ia akan berusaha sedapat-dapatnya. Setahun kemudian, atas perintah istana, Hasan Al-Banna dibunuh.37

Masih sebagai pemborong Sadat menikahi Jihan Fatwa Raouf, untuk memulai hidup babak baru. Setelah berlibur di Helwan, Sadat mendapat pekerjaan sementara dipenerbit Del el-Hillal, tetapi apa yang diinginkan baik olehnya sendiri maupun Jihan dan keluarganya bukanlah pekerjaan kewartawanan, melainkan masuk tentara. Maka sadat mendatangi Russef Rashad (Seorang Dokter bedah kerajaan, yang semula merupakan Dokter angkatan laut Mesir), sambil menunjukan bahwa berhubung ia dibebaskan oleh pengadilan Amin Osman, maka tidak ada lagi halangan untuk kembali masuk dalam dinas ketentaraan. Rasyad

37

Suatu pengusutan yang di selenggarakan sesudah revolusi 1952 menunjukan bahwa pembunuha dilakukan atas perintah perdana mentri Ibrahim Abdel Hadi, oleh jendral Mohamed Wasf, direktur pasukan khusus yang bertanggung jawab atas perlindungan terhadap paramentri pemerintahan. Abdel Hadi diajukan ke pengadilan atas tuduha ini oleh suatu pengadilan revolusi, dengan Sadat sebagi salah satu hakim anggota, dan dijatuhi hukuman mati, yang kemudian di ubah menjadi hukuman seumur hidup. Heikal, Kemarau Kemarahan, h. 21.


(31)

xxxvi

menyarankannya untuk mencegat raja Farouk saat ia mau sembahyang Jumat di masjid Husein di Kairo.

Ia melakukan hal ini, mencium tangan raja, dan memohon maaf atas segala kesalahannya. Raja Farouk hanya menjawab dengan menganggukkan kepala. Hari berikutnya Russef Rashad menyuruhnya pergi menemui Mohamed Haidar Pasha, panglima tertinggi angkatan bersenjata. Ini dilakukanya, Haidar menyambut dengan marah, “kamu penjahat! Konduitemu jelek sekali.” Sadat pun mau protes. Haidar Pasha memotongnya, “jangan berbicara.” Dipijatnya tombol, masuklah seorang pengawal. “Hari ini juga anak ini harus jadi tentara kembali,” perintah Haidar Pasha seorang panglima tertinggi.38

Anwar Sadat pada tanggal 15 Januari 1950 menjadi kapten lagi dalam ketentaraan Mesir. Ia sudah kawin dengan Jihan, dan mereka bertempat tinggal di sebuah flat di lingkungan Manial di Kairo. Tetapi para penguasa militer berfikir bahwa orang yang kontroversial ini lebih baik ditempatkan di luar Kairo, dan demikianlah ia ditugasi di Rafah, Sinai Utara.

Gamal Abdel Nasser dan Abdel Hakim adalah yang pertama menemui Anwar Sadat untuk mengucapkan selamat. Dari Nasser ini, ia mendengar bahwa organisasi perwira bebas sudah berkembang menjadi besar sekali dan tumbuh semangkin kuat, dan ia pun menyarankan agar Sadat mengikuti pendidikan lebih lanjut mengejar ketertinggalannya dalam dunia militer.39

Pada akhir tahun 1951 Sadat dengan resmi diajak menjadi anggota gerakan Perwira Bebas. Hampir semua gerakan itu kecuali Nasser sangat menentang dimasukannya Sadat dalam organisasi Perwira Bebas. Dikarenakan apa yang telah

38

Sadat, Mencari Identitas, h. 137.

39


(32)

xxxvii

dilakukan Sadat, tetapi Nasser memandang itu berbeda, bahwa semua perwira yunior yang mempunyai pengalaman politik secara potensial berguna bagi gerakan itu, dan bahwa kaitan Sadat dengan Istana janganlah disia-siakan, Ia dapat menyampaikan Informasi mengenai apa yang sedang terjadi di Istana, dan barang kali menyampaikan kepada Istana informasi yang menyesatkan tentang Perwira Bebas. Yang dikhawatirkan oleh temen-teman Nasser ialah Sadat malah menjadi Agen ganda.

Sampai pada tanggal 18 Juli 952, Sadat dan Nasser terkejut ketika mengetahui bahwa raja telah membatalkan hasil pemilihan badan perkumpulan perwira, rupanya bahwa perwira Bebas memenangkan jumlah terbanyak dari kursi di dalam badan itu sehingga dengan demikian telah mengalahkan kaum “Kraton.”40 Oleh karena itu, raja berusaha menembus kekalahannya, bahkan telah mulai menyusun pertahanan, sementara itu seorang wartawan dari partai Wafd-Ahmed Abdul Fatah memberitahukan kepada Nasser (yang menjadi kawan dekatnya) bahwa raja akan mengganti pemerintahan dan bahwa menteri peperangan yang baru adalah Major Jendral Husein Sirri Amer. Ia mengetahui banyak tentang seluk-beluk organisasi Perwira Bebas, dan bila sudah berkuasa akan menyapu bersih semua anggotanya dan mengacaukan apa yang telah disusun dan kawan-kawan.

Ditambah ketegangan yang semangkin memuncak di seluruh negeri yang diakibatkan kemerosotan ekonomi yang sangat lemah hingga terjadi inflasi yang tidak dapat dihindari, sampai kemudian timbul huru-hara besar di Kairo, 26 Januari 1952. Kerusuhan ini dipicu oleh sekelompok perusuh—entah siapa yang

40

M. Hamdan Basyar, “Bagaimana Militer Menguasai Mesir?,” Jurnal Ilmu Politik, no. 3 10 Desember 1988, h. 87.


(33)

xxxviii

menggerakan—yang membakar kedai-kedai minum, toko-toko, senjata diobrak-abrik, penjarahan, ban-ban dibakar tragedi ini dikenal dengan “Sabtu Hitam.”41

Karena Mesir mengalami kerusuhan yang tak kunjung tiba, maka Nasser memutuskan bahwa revolusi akan dilancarkan sebelum menteri-menteri memangku jabatanya. Pada 21 Juli 952 Nasser pun mengirim surat yang berisi Revolusi akan dilakukan sekarang, padahal waktu surat tiba, Sadat tidak ada di rumah, dan dia pergi bersama istrinya menonton film di bioskop. Sekembalinya dari perjalanan pukul 12.45 dini hari 23 Juli, Sadat kaget.

Dikarenakan keterlambatan Sadat dalam tugas, revolusi sudah kadung bergulir. Ia pun langsung berangkat ke markas besar militer. Operasi telah berhasil, markas besar telah diambil alih, Sadat pun ditolak untuk masuk. Hingga akhirnya Abdel Hakim Amer memanggilnya untuk masuk, 3.00 Pagi berangkat ke studio untuk mebacakan teks Proklamasi, hingga pukul 7.00 dapat dibacakan oleh Anwar Sadat teks proklamasi revolusi.

Keesokan harinya ia mendapat tugas untuk memberitahukan kesediaan atas jabatan yang diberikan kepada Ali Maher termasuk memberitahukan atas turun tahtanya raja Farouk yang sedang berada di Iskandariayah. Sadat sendiri berkat pengalaman singkat menjadi editor Dar le-Hilla, maka pemerintah menunjuk Sadat memegang koran harian yang baru diterbitkan untuk mengutarakan suara Dewan Komando Revolusi.42

41

Basyar, “Bagaimana Militer Menguasai Mesir?,” h. 87.

42

Orang yang di tunjuk Nasser dan Sadat untuk membentuk pemerintahan baru.”Kami percayakan tugas kepada Ali Maher untuk membentuk pemerintahan baru, dan tidak melakukannya sendiri yakni tidak membentuk pemerintahan yang tersendiri dari para perwira militer, sebab kami tidak memprsiapkan diri mengambil alih kekuasaan. Tujuan kami adalah untuk mendapatkan kehidupan politik yang sehat di dalam negeri, menyingkirkan raja, sebagai golongan politik, dan orang Inggris. Sadat, Mencari Identitas, h. 153.


(34)

xxxix

Jabatan baru didapat ketika diangkat sekretaris jendral kongres Islam yang baru dibentuk dan bermasrkas besar di Kairo. Kedudukan ini benar-benar ia nikmati, berbagai judul ide ia ajukan untuk film dan berbagai bentuk publisitas lain yang menerangkan Islam. Hal ini memberi alasan kepadanya untuk bergaul dengan para aktor dan sutradara.

Kemudian pada tahun 1958 ia menjadi juru bicara parlemen bersama setelah dibentuk UNI Mesir dan Syiria (Republik Persatuan Arab). Kemudian ia diangkat sebagai menteri luar negeri yang membuatnya menjadi lebih banyak berhubungan dengan dunia luar. Pada 20 Februari 1961 menjadi pembicara dalam Dewan Nasional dan bertangung jawab dalam propaganda melawan Israel. Tahun 1966 sehari setelah presiden Nasser mengkritik habis-habisan kebijaksanaan Amerika Serikat di Timur Tengah, Sadat pergi ke Wasington dan dapat bersikap dingin dan sopan ketika bertemu dengan presiden AS Lindon B Jonson.

Tahun 1968 Sadat membuat tindakan gegabah ialah menentang kebijakan menteri luar negri AS Wiliam Rogers tentang perdamaian Timur Tengah sebagai kelanjutan dari perang Mesir Israel selama enam hari di tahu 1967.43 Dalam gerak-geriknya, Sadat mengikuti perpolitikan yang dijalankan Nasser, dan dalam pemerintahan, Sadat sesekali menggantikan Nasser. Hingga pada tahun 1969 Sadat disumpah menjadi Wakil presiden.

Setelah Nasser meninggal, karena serangan jantung 28 September 1970, maka diadakanya rapat bersama di antara kabinet dan Komite Eksekutif Tinggi Persatuan Sosialis untuk mengumumkan kepada dunia bahwa wakil presiden telah mengambil alih posisi Nasser. Dengan kata lain, sejak saat itu, Sadat resmi

43


(35)

xl

menjabat sebagai presiden Mesir, dan kepemimpinannya ini berakhir pada 1981 setelah ia ditembak mati oleh salah satu anggota gerakan Islam garis keras.

BAB III

SEJARAH DEMOKRASI DI MESIR

Ide demokrasi Anwar Sadat tidak bergerak dari ruang kosong. Ia selalu merupakan negosiasi-negosiasi tertentu dari konteks di mana dia ikut bergelut untuk membangun sebuah negara demokratis bernama Mesir. Di samping ide demokrasi Anwar Sadat tidak bisa dilepaskan dari gagasan para filsuf Yunani kuno sebagai pencetusnya, namun ia juga mengintrodusir langkah-langkah demokratis yang lebih maju dari sekedar gagasan para filsuf Yunani kuno, dan yang sesuai dengan konteks negaranya. Otoritarianisme yang dilakukan Nasser


(36)

xli

sebelum Sadat naik tahta, menjadikan ia mengambil langkah penting dalam kebijakan politiknya ketika ia berkuasa: yaitu “demokratisasi Mesir.”

Karena itu, bab ini akan berupaya melacak pengertian demokrasi sebagai sebuah pijakan pertama Anwar Sadat; sejarah masuknya demokrasi di Mesir sebagai konteks di mana Anwar Sadat memperkenalkan demokrasi akan menjadi pembahasan kedua; elemen-elemen demokrasi di Mesir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari konteks tersebut masuk pada bagian ketiga; dan bagian terakhir adalah konteks lahirnya gagasan Anwar Sadat itu sendiri.

A. Pengertian Demokrasi

Secara Etimologis Demokrasi berasal dari kata Yunani, yang asal katanya rakyat berkuasa dan terbagi dalam dua kata “demos” dan “kratos”. Demos yang berarti rakyat dan Kratos yang berarti kekuasaan.44

Sedangkan secara terminologis, menurut Kranenburg demokrasi adalah: demokrasi terbentuk dari dua pokok kata Yunani, yaitu : Demos (Rakyat) dan Kratein (Memerintah) yang maknanya adalah “cara memerintah oleh rakyat.” Menurut Koentjoro Poerbopranoto demokrasi adalah: suatu yang pemerintahanya dipegang oleh rakyat maksudnya : suatu sistem dimana rakyat di ikutsertakan dalam pemerintahan negara. Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah: pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (Democracy of Government of the People, By the people an for the people).45

44

Miriam Budiharjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.50

45

“Demokrasi.” Artikel diakses tanggal 27 April 2007 dari


(37)

xlii

Dari ketiga definisi yang dikemukakan, semuanya mengartikan rakyat mempunyai wewenang atau kekuatan dalam menentukan keputusan-keputusan dalam hal pemerintahan. Ini dapat dilihat dalam sejarahnya, demokrasi di Yunani mempunyai empat prinsip oprasional: Pertama, adalah para warganegara sendiri yang langsung membuat keputusan-keputusan politik dan mengawasinya. Kedua, terdapat ekualitas dan hukum bagi semua warganegaraan dalam hal yang memberikan suara pada berbagai isyu, dalam dialog terbuka dan dalam hak untuk menduduki jabatan pemerintahan. Ketiga, kebebasan politk dan kewarganegaraan (politik and civic fredom) dijamin sepenuhnya. Keempat, dalam proses penentuan kebijakan, bila semua argumen telah dipaparkan, voting dipandang sebagai sarana terbaik untuk mengetahui kemauan para warganegara mengenai masalah-masalah tertentu.46

Sejak dari dahulu dalam perkembangannya demokrasi telah menjungjung “Hak Azasi” yang mana di sana para individu dan kelompok dapat mengembangkan secara bebas dan mewujudkan kepentingan, keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya dalam proses politik. Dimana demokrasi dalam bentuk pengawasan bersama terhadap bentuk pelaksanaan kekuasaan politik oleh seluruh angota masyarakat dijamin. Disana telah terpenuhi persyaratan terpenting untuk penghormatan dan perlindungan hak azasi manusia. Karena itu hak azasi manusia dan demokrasi tidak boleh bertentangan. Kemerosotan demokrasi akan mengakibatkan kemerosotan perlindungan hak azasi manusia. Sebaliknya

46


(38)

xliii

kemerosotan dalam perlindungan hak azasi manusia akan mengakibatkan kemerosotan dalam pelaksanaan demokrasi.47

Dari empat prinsip oprasional yang dikemukakan diatas, sama halnya seperti yang tertuang dalam Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB tahun 1966, yang dibedakan dalam empat kelompok pula :

Hak liberal, sejak abad 18 hak liberal telah mendapat pengakuan, yang mencakup perlindungan individu terhadap kekuasaan negara dan tercakup di dalamnya praktek kekuasaan negara yang sewenang-wenang terhadap warganegaranya. Mencakup hak kebebasan beragama, kebebasan memilih tempat tinggal, hak protes hukum yang adil jika terjadi tuntutan, kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap perlakuan yang merendahkan martabat manusia.

Hak politik, ini mencakup hak hal warganegara untuk memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipai dalam proses pembentukan dan pengawasan kekuasaan politik. Seperti hak memilih, hak berkumpul dan berserikat, hak bebas berpendapat, hak bebas informasi, perlindungan perlindungna dari penindasan dari negara.

Hak sosial dan ekonomi, pada abad 20 hak sosial dimasukan dalam kontek umum hak azasi manusi sebagai suatu dimensi baru, yang bertujuan memberikan kebebasan kepada setiap individu melalui negara. Karena pada setiap negara hukumyang menerap kan hak azasi manusia secara utuh harus mengembangkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Hak budaya, deklarasi PBB 1966 menekankan pentingnya pelaksanaan hak budaya. Antara lain, mengunakan bahasa sendiri dan gaya hidup menurut

47

Thomas Meyer, Demokrasi: Sebuah Pengantar untuk Penerapan, (Jakarta : D’print Comunications, 2005), h.15


(39)

xliv

tradisi yang di anutnya. Dalam keterkaitan ini mengacu pada keterhubungan antara kebebasan “dalam,” “dari” dan “melalui” negara.48

Demokrasi dalam perjalanannya mengalami kritikan-kritikan maupun perubahan-perubahan dari asal mula yang lahir dari Yunani kuno. Dengan mengatasnamakan demokrasi dalam perjalanannya demokrasi melegitimasi dirinya sesuai dengan tempat dan konteks wilayah demokrasi itu tumbuh, seperti halnya : demokrasi pancasila, demokrasi Soviet, demokrasi Nasional dan banyak lainnya.

Akan tetapi demokrasi secara umum terbagi ke dalam empat model yang tidak terlepas dari dari konteks wilayah maupun jaman. Pertama, demokrasi presidensial memiliki kedudukan kuat dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik yang kuat pula, kekuasaan politik presiden sering kali disejajarkan dengan parlemen atau bahkan lebih kuat dari parlemen. Demokrasi presidensial kepala negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat merupakan pusat kekuasaan mandiri, yang juga pengaruh baik alam pembentukan pemerintah maupun dalam penyusunanan undang-undang.

Sesuai dengan pengalaman sebuah masyarakat, demokrasi presiensial secara lebih kuat dapat menciptakan unsur kesinambungan stabilitas dalam proses politik. Hal ini khususnya berlaku jika kelompok-kelompok perwakilan di parlemen jumlahnya banyak dan heterogen, sehingga kecil kemungkinan tercapai kesepakatan di antara mereka utnuk mengoyahkan kedudukan pemerintah. Kalaupun ada kesepakatan maka kesepakatan tersebut bersipat labil. Walaupun demikian demokrasi presidensial memerlukan pembatasan kekuasaan kepala

48


(40)

xlv

negara yang jelas, untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan yang hampir menyerupai kediktatoran. Jika lembaga-lembaga pengimbang seperti parlemen dan pemerintah, partai dan masyarakat sipil lemah maka mutu demokrasi presidensial dapat merosot secara tak terkendali berubah menjai kediktotaran.

Kedua, demokrasi parlementer ini merupakan kebalikan dari demokrasi presidensial. Parlemen merupakan satu-satunya lembaga perwakilan tertinggi untuk pengambilan keputusan. Peran presiden pada tipe ini terbatas pada tugas-tugas mewakili negar dan penengah dalam situasi konflik. Dalam demokrasi parlementer kekuasaan pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesui dengan pemilihan umum.

Ketiga, demokrasi perwakilan. Demokrasi ini mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. Untuk sebagian besar pengambilan keputusan pada tingkat regional dan nasional dapat dilakukan tidak pada demokrasi langsung. Tetapi demokrasi perwakilan murni sering menunjukan kecenderungan mengabaikan kehendak rakyat dan mempersulit identifikasi dan partisipasi politik rakyat.

Keempat, demokrasi langsung ini akan lebih mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada rakyat yang berdaulat, misalnya melalui plebisit, referendum, jajak pendapat rakyat, dan keputusan rakyat atau mengembalikan sebanyak mungkin keputusan ke tingkat komunitas lokal, pada suatu negara yang luas demokrasi ini sangat tebatas untuk diterapkan, seperti sidang paripurna tidak mungkin untuk dihadiri seluruh rakyat.


(41)

xlvi

Dari empat tipe demokrasi yang diulas di atas, Mesir di era Anwar Sadat, menganuti sistem demokrasi parlementer. Hal tersebut direkam dalam konstitusi Mesir 1971. Namun, dalam perjalananya, demokrasi parlementer yang diadopsi Anwar Sadat mengalami goncangan dan instabilitas politik, yang memaksa Anwar mengambil langkah-langkah politik yang bertentangan dengan demokrasi. Meski demikian, Anwar Sadat tetap mengklaim bahwa langkah-langkah yang ditempuhnya tidak menyimpang dari semangat demokrasi.

B.

Sejarah Masuknya Demokrasi di Mesir

Sejak mendaratnya Napoleon di Alexandria 2 Juni 1798, Mesir dengan mudah jatuh dalam jajahan Inggris. Napoleon tidak hanya menjajah, akan tetapi memberikan beberapa ide yang dibawa dalam ekspedisi Napoleon ke Mesir. Ide-ide yang pada waktu itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke sembilan belas ide-ide itu semangkin jelas dan kemudian diterima dan dipraktekkan dalam kancah peroplitikan di Mesir.

Menurutnya ada tiga ide-ide yang dibaca Napoleon pada waktu itu,Antara lain: Republik (Liberte) dimana republik adalah negara yang berdasarkan kepada sistem demokrasi yang di pimpin oleh presiden, ide persamaan (egalite) dimana dalam artinya kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan. Pada saat itu Napoleon telah mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dalam dagang dari Cairo dan daerah-daerah.Tugas badan ini adalah membuat undang-undang, memelihara ketertiban umum dan menjadi perantara antara penguasa-penguasa Perancis dan rakyat Mesir. Ketiga, Ide kebangsaan. Makna yang terkandung dalam maklumat


(42)

xlvii

Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tetapi berlainan bangsa dari orang Mesir. Juga maklumat itu mengandung kata-kata umat Mesir.49

Sampai pada awal abad-20 di Mesir timbul suatu usaha mengakhiri kekuasaan Inggris yang telah bercokol sejak tahun 1798. Usaha ini dimotori oleh organisasi politik yang bernama Al-Wafd al-Misr (utusan Mesir). Di bawah pimpinan Saad Zaghul, Al-Wafd menuntut kebebasan dan pemerintahan sendiri di Mesir. Februari 1922 Inggris memproklamirkan Mesir sebagi negara Monarki kontitusional.50

Sebuah negara yang semi independen yang tidak lepas dari kontrol oleh Inggris, yaitu negara Monarki negara yang dipimpin oleh seorang raja dan sebuah parlemen. Rezim ini dikenal dengan rezim liberal, sekalipun rezim ini telah memberikan konsep kebebasan poltik dimana tumbuhnya partai-partai politik ataupun gerakan-garakan yang skalanya kecil dan intelektual-intelektual Mesir menjadi terpecah dalam beberapa golongan ataupun aliran, rezim ini dianggap gagal dan dapat digulingkan di tahun 1952 oleh perwira bebas yang merupakan kumpulan kemiliteran Istana sendiri yang merencanakan turunya raja dan mengusir Inggris dan menginginkan Mesir menjadi negar republik.

Dengan maraknya gelombang demokratisasi, Mesir pun mencoba dapat merubah sebuah rezim pada suatu negara dari rezim otoriter menjadi rezim demokrasi. Seperti dalam sebuah studi demokrasi mengatakan: “Kegagalan

49

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h .32.

50

Haman Basyar, ”Bagaimana Militer Menguasai Mesir?” Jurnal Ilmu politik Vol 3, no. 4 (Juli 1988): h.85-88.


(43)

xlviii

ekonomi dari suatu rezim ototriter bisa jadi merupakan faktor kelemahan rezim tersebut, tetapi keberhasilan dari suatu rezim otoriter mungkin berpeluang lebih besar untuk menciptakan landasan bagi suatu rezim demokrasi.51 Mungkin ini yang terjadi di Mesir, rakyat yang selama berabad-abad tidak merasakan kebebasan dalam negrinya sendiri.

Semenjak kepemimpinan Ismail hingga Raja Farouk, telah menunjukan kondisi ekonomi yang lemah dan intervensi asing yang masuk ke negri Mesir, dengan bentuk negara monarki parlementer. Dilanjutkan dengan pemerintahan yang diperoleh lewat revolusi tahun 1952 yang diperoleh oleh kekuatan militer, dengan bentuk negara presidensial. Ini tidak jauh beda dari yang satu ke satu lainya. Tidak memperjuangkan hak-hak kebebasan yang telah diketahui oleh rakyat Mesir pada jamannya.

Kemudian Rezim Nasser pun berdiri (1952-1970). Ironisnya pada awal kepemimpina Nasser bukan demokrasi yang ia angkat untuk menjalankan pemerintahan Mesir. Boleh dikatakan massa ini masa matinya demokrasi di Mesir langkah pertama yang dilakukan Nasser ialah berusaha mengarahkan kekuasaan politik ke satu tangan, adanya partai politik tunggal, kekuasaan parlemen lebih rendah dari kekuasaan presiden, dan banyak hal yang ia larang guna untuk kokohnya dalam kepemimpinannya.

Sampai pada kepemimpinan Anwar Sadat, selepas wafatnya Gamal Abdul Nasser. Sadat membuat langkah politik yang berbeda dengan Abdul Nasser. Ia ingin mebentuk identitas dan legitimasi politik sendiri, yaitu dengan mengambil langkah dan kebijakn-kebijakan, diantaranya yaitu mengaplikasikan tuntutan

51


(44)

xlix

rakyat diera peralihan presiden yaitu menginginkan “pemulihan kebebasan demokrasi yang lebih besar.”52

Sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an, lebih dari 30 negara mengalami pergeseran dari sistem otoritarian menuju sistem demokrasi. Beberapa sebab disinyalir mengakibatkan kondisi transisi ini, pertama: Perkembangan ekonomi bisa jadi merupakan faktor utama terjadinya perubahan-perubahan politis tersebut. Kedua: kebijakan-kebijakan dan peran-peran yang dimainkan oleh Barat, dalam hal ini, Amerika Serikat, kekuatan-kekuatan Eropa dan lembaga-lembaga internasional membantu mempercepat proses demokratisasi di beberapa negara Eropa, Amerika Latin, negara-negara Asia53. dan tidak terkecuali Mesir yang mengalami hal-hal tersebut.

Langkah lainya mereferendum kontitusi 11 September 1971, antara lain yaitu: ”Mesir adalah negara republik dengan multi partai (pasal 5). Kekuasaan berada ditangan rakyat (pasal 3). Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber perundang-undangan dan bahasa Arab adalah bahasa resmi negara (pasal 2). Di samping itu, secara tegas dijelaskan, bahwa republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis yang berdasarkan pada aliansi kekuatan pekerja rakyat (pasal 1).”54 Pasal 4 Melanjutkan ” Dasar ekonomi dari republik Arab Mesir adalah sistem demokrasi sosialis yang didasarkan pada kecukupan dan keadilan dengan cara mencegah ekploitasi, yang mengakibatkan penghapusan perbedaan-perbedaan pendapatan melindungi pendapatan yang sah,

52

Mohamed Heikal, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan, Penerjemah Arwan Setiawan (Jakarta: PT Temprin, 1986), h. 37.

53

Samuel P.Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: Qolam, 2001) h. 351.

54

M.riza Sihbudi, M Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Jakarta: PT Eresco, 1993), h. 335.


(45)

l

dan menjamin persamaan distribusi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab masyarakat”55

Kontitusi 1971 telah menggambarkan kehidupan demokratisasi di Mesir. Dimulai dengan dibukanya politik multi partai yang tertera pada pasal 5, yang sebelumnya pada era Nasser dilakukan pemusatan yang bertumpu pada satu partai. Kemudian dalam pasal lain menerangkan tentang terpusatnya kekuasaan yang mutlak berada ditangan rakyat, tercantum pada pasal 3. Pada pasal 1 pun memperkuat argumen yang di keluarkan Sadat yaitu, republik Arab Mesir adalah sebuah negara demokrasi dan sosialis yang berdasar pada aliansi kekuatan pekerja rakyat. yang terpenting dari pasal ini ialah pelaksanaanya dalam menjalankan roda perpolitikan.

Seharusnya pemusatan kekuasaan yang menjadi ciri negara Mesir itu sudah berkurang pada era presiden Anwar Sadat. Tetapi ini malah sebaliknya dengan semangkin terpusatnya kekuasaan di tangan presiden. Khususnya setelah presiden menjadi ketua partai terkuat tahun 1978, Ditambah lemahnya partai oposisi pada saat itu, yang membuka peluang sang penguasa untuk berbuat diktator.

Tumbuhnya polarisasi antara tokoh Islam dan pejabat-pejabat pemerintahan, belakangan disesali, pada komitmen demokrasi, yang dijustifikasi dengan tuduhan bahwa kaum fundamentalis hendak membajak demokrasi, dan akhirnya meluasnya konfrontasi antara pasukan keamanan negara dan kaum

55

Shirreen T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001), h. 40.


(46)

li

extrimis muslim yang akhirnya menyulut refolusi moderat dan juga refolusi kekerasan56.

Presiden Anwar Sadat baru diganti oleh wakilnya Hosni Mubarak setelah tewas ditembak oleh kaum extremis yang radikal pada 6 oktober 1981. Dengan tampilnya Hosni Mubarok sebagai presiden, ia mencoba menjalankan apa-apa yang telah menjadi kebijakan-kebijakan atas pemerintahan. Mubarak dikenal wakil yang setia akan kebijakan-kebijakan yang diambil Anwar Sadat. Ia pun memulai program pemerintahanya dengan memperbaiki bidang ekonomi dan hubungan luar negri. Dalam perpolitikannya sebelum merubah pola politik yang di wariskan Sadat, atas nama demokrasi Mubarak berhasil memperkokoh kekuasaanya.

C. Elemen-Elemen Demokrasi di Mesir

Elemen-elemen demokrasi di mesir diperkirakan tumbuh sejak dibacakannya ultimatum Napoleon diabad-17, yang mana ide-ide republik, ide persamaan, ide kebangsaan telah membuka dan membentuk pikiran bangsa Mesir di kemudian hari.

Diawali dengan tumbuhnya rasa kebangsaan yang tampak mudah untuk tumbuh dan berkembang di Mesir. Homogenitas dan isolasi negri ini, yang sepanjang pemerintahan pusatnya, dan aspek kultural masa silamnya yang khas, melahirkan kesadaran akan identitas Mesir. Di akhir abad sembilan belas, semtimen patriotisme dipudarkan oleh gagasan reformasi modern.

56

John L. Elposito dan John D. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek. Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), h. 234.


(47)

lii

Para penulis nasionalis, seperti Mustafa Kail mengajukan gagasan tentang sebuah kesatuan bangsa, semangat patriotik, semangat kebenciannya terhadap pemerintah asing, dan juga pembentukan sebuah pemerintahan kontitusional dan pendidikan model Barat. Lutfi Al-Sayid menekankan sebuah masyarakat sekuler dan kontitusional. Ia berdali kebebasan merupakan basis (dasar) bagi masyarakat. Kebebasan dari penguasa asing, kebebasan dari kontrol negara, dan pengakuan dari hak-hak sipil dan politik warga yang asasi merupakan prinsip utama bagi pembentukan masyarakat. Menurutnya “Nasionalisme berarti kemrdekaan dan sekaligus merupakan sistem politik dan sosial yang baru bagi Inggris”.57

Ini merupakan suatu usaha untuk mengakhiri kekuasaan Inggris yang telah bercokol sejak tahun 1882. usaha ini dimotori oleh organisasi-organisasi politik yang tumbuh disaat itu salah satu cukup kuat ialah bernama Al-Wafd al-Misr (utusan Mesir). Dibawah pimpinan Saad Zaghlul, Al-Wafd menuntut kebebasan dan pemerintahan sendiri di Mesir. Semenjak (1919-1922) pergerakan untuk mendapat merdekaan semangkin kuat. Unntuk meredam tuntutan Wafd dan rakyat Mesir, Februari 1922 Inggris memprolamirkan Mesir sebagai Negara Monarki Kontitusional. Mesir dapat bebas dalam mengelola negara dengan ketentuan Inggris Masalah Sudan, keamanan Mesir dari interfensi asing, pengawasan terusan suez, dan penjamin kepentingan asing dan minoritas.58

Dalam perjalanannya demokrasi di Mesir, Inggris dalam sudah sedikit melihatkan adanya kebebasan dalam berdemokrasi kepada rakyat Mesir walaupun semua dengan aturan-aturan yang Inggris tentukan. Terlihat dengan sudah adanya

57

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Penerjemah Ghufron A. Mas‘adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 113.

58

Haman Basyar, ”Bagaimana Militer Menguasai Mesir?” jurnal Ilmu politik Vol 3, No. 4 (Juli 1988): h.85-88.


(48)

liii

partai-partai politik, Organisasi sosial, kelompok-kelompok intelektual, terbitnya surat-surat kabar, adanya pemberlakuan tipe peradilan Eropa-Mesir.

Masuk pada jaman kemerdekaan Mesir (1922), demokrasi sudah mulai tampak pada susuna negara monarki kontitusional dan memegang rezim liberal terlihat, partai politik semangkin berkembang, organisasi-organisasi bermunculan, gagasan dapat diutarakan.. Mesir telah dapat mengatur urusan dalam negri sendiri, walaupun Inggris masih mengintervensi negara Mesir. Elemen demokrasi semangkin tumbuh dalam masyarakat Mesir, walaupun dalam bentuk organisasi-organisasi yang formal maupun beraliran garis keras, banyaknya kelompok-kelompok intelegensia yang memegang rezim yang modernis.

Dalam priode pasca-revolusi 1952. Pada masa transisi, Nasser berusaha mengarahkan kekuasaan politik ke satu tangan, sehingga pata tanggal 16 Januari 1956, ketika masa transisi yang tiga tahun selesai pada awal ia menjabat sebagi presiden, kekuasaan sudah terpusat di tangan presiden, partai politik tunggal, angota parlemen sebagaiman alat pemerintahan lainnya sangat tergantung pada kontrol Nasser.59

Priode Nasser berkuasa berarti matinya demokrasi di mesir, dengan pemusatan kekuasaan kepada Presiden, pengerucutan partai politik menjadi tunggal, dijegalnya surat kabar yang memberitakan secara kritis dalam perpolitikan di Mesir, penangkapan lawan-lawan politik yang keras. Ini menjadikan demokrasi yang diusung pada revolusi 1952 menjadi semu. 60

D. Konteks Lahirnya Gagasan Demokrasi Anwar Sadat

59

M. Riza Sihbudi, Timur Tengah, h. 325

60

Riza Sihbudi, dkk, Profil Negara-Negara di Timur Tengah, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 148.


(49)

liv

Apabila kita telusuri, apa yang telah dipelajari oleh Anwar Sadat sehubungan dengan terlahirnya gagasan tentang demokrasi. Kita ketahui bahwa Anwar Sadat mengagumi tokoh-tokoh yang membuatnya menjadi tergar dan gigih akan cita-citanya sewaktu ia kecil hingga menjabat presiden dan menjalankan politiknya.

Tokoh pertama yang ia kenali ialah Zahran, seorang pahlawan yang diceritakan neneknya semasa ia kecil, dari Denshway desa tetanggga tanah kelahiran Anwar Sadat. Zahran hanya seorang pahlawan desa kecil yang melawan penjajah Inggris, dan berakhir di tiang gantungan. Nama ini lah yang membuatnya kuat untuk mengikuti jejak orang-oarang yang Sadat kagumi dalam mengusir Inggis di tanah Mesir, sampi ia besar dan tumbuh di barak akademi militer.

Kedua Mahatma Ghandi pad atahu 1932 singgah di Mesir dalam perjalananya menuju Inggris. Berita tentang perjuangannya yang gagah perkasa di masa lampau dan masa kini setiap hari memenuhi surat kabar dan majalah. “Wataknya meninggalkan kesan mendalam dalam diri saya dan saya jatuh cinta pada citranya.” Bahkan Sadat meniru Mahama Ghandi, dengan membuka pakaian, memakai sarung serta membuat alat pemintal sendiri. Aksi ini dilakukan dalam waktu beberapa hari yang menurutnya “perlawanan tampa kekerasan.”61

Kemungkinan tokoh yang paling cocok untuk disebut guru dalam pembelajaran demokrasi Anwar Sadat ialah Mahatma Ghandi, dimana Ghandi mengkampanyekan demokrasi kepada rakyatnya.

61

Anwar El-Sadaty, Mencari identitas: Sebuah Autobiografi, (Jakarta : Tira Pustaka, 1983), h.16


(50)

lv

Ketiga, Hitler. Sadat melihat ketika Hitler melakukan pawai jalan kaki dari Munshen ke Berlin untuk menghapus akibat kekalahan Jerman pada perang dunia ke I dan membangun kembali negaranya. Menurutnya apa yang dilakukan Hitler adalah politik yang baik, pada waktu itu Sadat masih berumur dua belas tahun.62Hitler walau pun seorang pemimpin yang ditator yang kejam tetapi yang ia lihat ialah semangatnya dalam membangun negaranya seuasi kekalahan itu yang Sadat tiru dan dijadikan pegangan baginya.

Keempat, Kemal Ataturk yang mana ia juga terkenal sebagai seorang pemimpin yang telah membebaskan negaranya dan berkeinginan untuk membangunnya kembali.

Satu sisi yang berbeda Kemal menjadi contoh yang patut ditiru dengan kesamaan posisi negara yang sedang dijajah. Kemungkinan inilah yang patut Sadat tiru untuk diterapkan di Mesir. Terlepas dari tokoh-tokoh yang ia kenal sejak kecil, untuk mengaguminya ini merupakan reaksi alami yang telah membentuk jati diri seorang Anwar Sadat dewasa. Dalam pendidikannya di akademi militer, Sadat sudah merasa dirinya mempunyai misi untuk mengusir Inggris dari Mesir. Ia banyak bertemu orang–orang yang satu visi dam misi seperti Gamal Abdul Nasser, Kamaliddien Hussein, Abdul Hakiem Amir, Hassan Ibrahim,Abdul Muniem, Abdul Rauf, Salah Salim, Jamal Salim Abdul Latief Bagdadi, Khalid Mohiedin. Kumpulan ini terikat dalam sebuah nama perwira bebas sebuah gerakan bawah tanah yang tersusun dalam kemiliteran kerajaan. Gerakan ini banyak melakukan diskusi-diskusi tentang tercapainya pemerintah yang demokrasi dan lepas dari cengkraman Inggris.

62


(51)

lvi

Dari semua yang terjabarkan di atas kemungkinan membentuk pola fikir Anwar Sadat tentang demokrasi, tetapi kemungkinan terdekat ialah karena Anwar Sadat ingin menandingi kekuatan lawan politinya semenjak ia menjadi presiden yaitu kekuatan sepeninggal Nasser yang beraliran nasionalis, bagi tercapainya kepentingan pribadi sebagai presiden, dan yang lebih jelas yaitu desakan rakyat yang menuntut akan demokrasi yang didambakan oleh masyarakat Mesir sejak puluhan tahun mungkin ratusan tahun.


(52)

lvii BAB VI

GAGASAN DEMOKRASI ANWAR SADAT

Gagasan demokrasi Anwar Sadat memang tidak sekomprehensif konsep demokrasi mutakhir yang mendekati “sempurna.” Praktik demokrasinya pun berdiri di atas tiga prinsip utama: multi partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka. Namun, hal itu bisa dinilai sebagai sebuah prestasi luar biasa, bagi negara semisal Mesir yang baru beranjak dari rezim otoritarianisme Nasser. Langkah Sadat untuk menerapkan demokrasi dengan mengamandemen konstitusi Mesir 1971 setelah kepergian Nasser adalah awal pendasaran bagi masa depan demokrasi di Mesir. Atas dasar itu, pragraf berikut akan mengurai tiga gagasan utama demokrasi Sadat.

A. Multi Partai

Meskipun sebelum Prisiden Nasser meninggal, Sadat menjabat sebagai wakilnya, bukan berarti ia sepaham dengan Nasser. Uni Sosialis Arab (Arabic Socialist Uni—ASU) yang memonopoli perpolitikan Mesir menyisakan trauma tersendiri bagi Sadat. Akibatnya, aspirasi politik dari rakyat yang menjadi inti dari demokrasi tidak menemukan ruang untuk mengambil peran. Partai politik (parpol) yang biasanya dapat memainkan peranan besar dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi suatu negara tidak terjadi di Mesir pada masa Nasser. Untuk itu, pada kepemerintahannya, Sadat mencoba mengintrodusir sistem multi partai yang dianggap bisa memainkan peran secara leluasa. Partai, perannya sering tampak setelah memenangkan pemilihan umum (pemilu) baik di parlemen maupun di eksekutif. Dalam konteks legislatif, partai politik, pada dasarnya berlomba-lomba


(53)

lviii

memperoleh kursi sebanyak mungkin; semakin banyak kursi yang diperoleh semakin luas pula peranan yang dapat mereka lakukan.63

Cara perebutan kursi dalam pemilu untuk meningkatkan peran suatu parpol tidak selalu sama. Dilihat dari tujuan berdirinya parpol, ada parpol yang sudah berperan tanpa perlu memenangkan sesuatu pemilu; ini biasanya didirikan oleh penguasa suatu negara dengan melanggengkan kekuasaanya atau maksud lain yang serupa (Sosialis Arab) di Mesir, misalnya didirikan oleh presiden Nasser dengan menciptakan identitas Arab Nasser dapat menyetir keinginan rakyat. Dalam kehidupan selanjutnya, tanpa harus memenangkan pemilu, Nasser dengan partai tunggalnya ASU sudah berperan di kehidupan politik Mesir. ASU merupakan satu-satunya parpol pada masa Nasser yang di harapkan menjembatani komunikasi antara rakyat dan penguasa.64

Masa awal pemerintahan Sadat ditandai dengan kebijakannya untuk merangkul sebanyak mungkin kelompok-kelompok Islam. Hal ini lakukan untuk membendung kuatnya pengaruh gerakan Nasserisme yang berpijak pada ideologi nasionalisme Arab. Gerakan Nasserisme pada masa itu tidak hanya kuat di Mesir, tetapi juga di Suriah dan Irak, dengan berhasilnya Partai Baath mengambil alih kekuasaan di dua negara tersebut. Di Libya, sosok Moammar Khadafi yang sangat kagum pada figur Abdul Nasser juga berhasil mengambil alih kekuasaan. Di Ajazair juga terjadi hal yang sama, ketika Kolonel Houari Boumedienne berhasil mengudeta pemerintah sebelumnya. Ia juga termasuk pengagum Gamal Abdul

63

M. Riza Sihbudi, dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah (Jakarta: PT. Eresco, 1993), h. 190.

64

Sihbudi, Konflik dan Diplomas, h. 191.


(54)

lix

Nasser. Jadi, gerakan nasionalisme Arab yang berbasiskan ideologi sosialisme sangat mendominasi.65

Dengan pengalaman-pengalaman ini, Anwar Sadat langsung mengambil langkah-langkah politik untuk mengantisipasi perebutan kekuasaan yang saat itu sudah ada di hadapannya. Di awal peralihan kepresidenan ketika Nasser wafat, rakyat Mesir sudah banyak mengkampanyekan ide demokrasi. Setahun setelah Sadat berkuasa, kontitusi baru diundangkan. Kontitusi ini kemudian direferendum pada tanggal 11 September 1971, dan pada tanggal 22 Mei 1980. Kontitusi yang sama diperbaiki dengan referendum. Menurut kontitusi 1971, (pasal 5) “Mesir adalah negara republik dengan sistem multi partai.”66

Sepeninggal Nasser, ASU merupakan partai yang sebelumnya mendominasi seluruh kehidupan politik Mesir. Pada masa Anwar Sadat memimpin Mesir, partai politik dipecah menjadi tiga partai. Ketiga parpol tersebut adalah Partai Uni Nasional Progresif (Hizb Tajammu Wathani al-Thaqaddumi al-Wahdawi yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi: the Uni Progresive Party), partai ini mewakili aliran “kiri” Mesir; Partai Sosialis Liberal (Hizb al-Ahrar al-Isytirakiyyin, bahasa Inggrisnya: the Liberal Sosialist Party), mewakili ideologi “kanan” Mesir; dan Partai Sosialis (Hizb al-Misr) yang mewakili paham “tengah” Mesir.

Salah satu antisipasi yang terus berlanjut dalam perpolitikan yang dijalankan Sadat ialah menyusulnya partai baru yang dibentuk guna memperkuat kepemimpinannya. Pada tahun 1978, Sadat membuat parpol baru, yaitu Partai

65

“Model Demoktasi di Mesir” Artikel di aksese pada tanggal 18 Januari 2007 dari http://Islamlib.co/id/index.php?

66

Alfian dan Nazarudin Syamsudin, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 321.


(1)

Dengan faktor-faktor di atas Anwar Sadat melakukan langkah politik yang ekstrim di mana ia memenjarakan lebih dari tiga ribu orang terhadap orang-orang yang menurutnya membangkang pemerintah. Orang-orang yang dipenjara merupakan representasi aktivis partai, pers, dan organisasi-organisasi keagamaan. Tindakan Sadat tersebut memiliki implikasi yaitu membuat para aktivis tersebut “dongkol”, sehingga pada 6 Oktober 1981 Sadat menuai jerih payahnya itu dengan lebih kurang tujuh puluh peluru bersarang di tubuhnya, Sadat pun tewas.

Dengan demikian hipotesis skripsi ini bahwa “model demokrasi yang diusung Anwar Sadat hanya demi kepentingan kekuasaanya” benar adanya dengan inkonsistensi demokrasi yang ia cetuskan sendiri.

B. Saran-Saran

Jika Mesir menginginkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik maka disarankan dua hal: pertama, bagi pemerintah yang sedang duduk di tampuk kekuasaan disarankan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara konsisten. Demokrasi harus ditransformasikan secara luas kepada masyarakat Mesir.

Kedua, bagi rakyat Mesir disarankan agar demokrasi tidak dijadikan untuk mencapai tujuan yang tidak demokratis (undemocratic procedure) mengingat bahwa Mesir memiliki banyak organisasi-organisasi kemasyarakatan yang cenderung anti-demokrasi. Dengan demokrasi ini diharapkan semua persoalan bangsa bisa diselesaikan dengan cara-cara damai dan rasional, sehingga pembunuhan sebagaimana terjadi pada Sadat tidak terulang kembali.


(2)

BIBLIOGRAFI

Alfian dan Nazarudin Syamsudin, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1988.

“Anwar Sadat” artikel diakses pada 24 April 2007 dari http://www.wikipedia. com/.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Basyar, Haman, ”Bagaimana Militer Menguasai Mesir?” jurnal Ilmu politik Vol. 3, No. 4 (Juli 1988): h.85-88.

“Demokrasi.” Artikel diakses tanggal 27 April 2007 dari

http://www.demokrasiindonesia.com/5mklno/pengertiandemokrasimkljder/t/ /5%^321bagi56.


(3)

Esposito, John L. dan John D. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek. Penerjemah Rahmani Astuti Bandung : Mizan, 1999. Goldschmidt, Arthur JR., Historical Dictionary of Egypt, Lanham, MD., &

London: The Scarecrie Oressm Unc, 1994

Heikal, Mohamed, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan. Penerjemah Arwan Setiawan Jakarta: PT. Temprin, 1986

“Hizbulahrar,” artikel diakses tanggal 15 Januari 2007 dari

http://www.supraptoe.Wordpress.com/2007/04/09/mesir-negeri-gudangilmu -danper adaban-2/ - 60k

Hunter, Shireen T., Politik Kebangkitan Islam, penerjemah Ajat S.U. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogni, 2001.

Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qolam, 2001.

“Infitah,” arikel diakses tanggal 9 Mei 2007 dari www.answers.com/topic/infitah Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Penerjemah Ghufron A. Mas‘adi.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Meyer, Thomas, Demokrasi: Sebuah Pengantar untuk Penerapan, Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002.

“Model Demoktasi di Mesir” Artikel di aksese pada tanggal 18 Januari 2007 dari

http://Islamlib.co/id/index.php?

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

“Pengertian Infitah,” artikel diakses tanggal 9 Mei 2007 dari

http://wwww.en.wikipedia.or g/wiki /I nfitah.

Rais, M. Amien, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: LP3ES, 1986

El-Sadaty, Anwar, Mencari identitas: Sebuah Autobiografi, Jakarta : Tira Pustaka, 1983.

Sihbudi, Riza, dkk., Profil Negara-Negara Timur Tengah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995

---, dkk, Profil Negara-Negara di Timur Tengah, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995


(4)

---, dan M Hamdan Basyar, Happy Bone Zulkarnain, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Jakarta: PT Eresco, 1993

Thayib, Anshari dan Anas Sadaruan, Anwar Sadat Antara Pahlawan dan Penghianat Surabaya: Bina Ilmu, 1982.

Widiatmoko, Bambang, “Anwar Sadat” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.

Zakaria, Fareed, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 1st ed., New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2003

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Konsonan

ا

ب b

ت t

ث ts

ج j

ح h

خ kh

د d

ر r

ز z

س s

ش sy

ص s

ض d

ط t

ظ z

ع ‘

غ g

ف f

ق q

ك k

ل l

م m

ن n

و w

ـه h

ء ’


(5)

Arab Indonesia Vokal

ـــ a

ـــ i

ـــ u

Vokal Panjang

ﺎــ â

ﻮــ û

ﻲــ î

ى â

ﺁ ’â

Difthong

ـــ

ﻮ aw/au ـــ

ﻲ ay

Kata Sandang ـﻟا

... al- ــﺸﻟا al-sy

ـﻟاو

... wa’l-

Lainnya

تﺎــ ât


(6)