Manfaat Penelitian Nilai moral tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di SMA
Antara akhlak dengan moral dapat dibedakan, akhlak menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah budi pekerti, yang mengacu pada
kelakuan orang yang berpendidikan
7
, apabila akhlak seseorang baik, maka tingkah laku orang tersebut dapat dikatakan terpuji mahmudah, sedangkan akhlak yang
buruk, maka tingkah lakunya tidak baik atau tidak terpuji mazmumah. Berbeda halnya dengan moral, yaitu ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai
tingkah laku.
8
Nilai moral dalam masyarakat menjadi sesuatu yang penting. Apabila suatu bangsa memiliki moral yang baik maka kehormatan bangsa itu akan baik di
mata dunia, dan kesejahteraan pun akan terjadi di dalam bangsa yang memiliki moral yang baik. Maka dari itu untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang sejahtera dan terhormat, maka sangatlah perlu memperhatikan pendidikan moral bagi generasi penerus bangsa, agar menjadi
generasi yang mampu membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih besar di masa yang akan datang.
Moral dalam sastra merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Secara umum moral mengandung pengertian ajaran
tentang baik buruk yang diterima mengenai perbuatan sikap kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila.
9
Karya sastra yang memiliki moral baik adalah karya sastra yang berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia
sebagai mahkluk yang berbudaya, berpikir, dan berketuhanan. Memang karya sastra tidak saja gagasan, tema, dan pesan-pesan tertentu. Moral dalam karya
sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang
mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat martabat umat
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Ed. 3, h. 20.
8
Ibid., h. 754.
9
Ibid., h. 766.
manusia. dalam hal ini karya sastra tidak hanya tercipta dari kemahiran dan bakat yang dimiliki oleh seorang penulis karena ia juga memiliki visi, aspirasi, maksud
baik, dan perjuangan sehingga karya sastra yang dihasilkan dapat memiliki nilai tinggi. Karya sastra yang memiliki nilai tinggi adalah karya sastra yang memiliki
keseimbangan isi antara seni dan moral yang dikandungnya. Meski moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya
selalu menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis,
tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat ahli maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral adalah
ukuran yang digunakan untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya berdasarkan pandangan hidup masyarakat.
Nilai-nilai moral yang tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku yang sesuai dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga akhlak. Dalam
hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang sastra dalam
hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya. Pendidikan moral sebagai istilah muncul secara resmi dalam ketetapan
MPR No. IVMPR1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN dalam kalimat berikut:
“untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik
negeri maupun swasta harus berisikan pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945
kepada generasi muda” Atas dasar ketetapan tersebut dalam melaksanakan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dalam bidang pendidikan, maka dirasakan perlu menanamkan nilai moral Pancasila.
10
10
Burhanuddin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, h. 79.