Biografi Pengarang Nilai moral tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di SMA

memancar dari dalamnya, hasrat seorang tawanan pada kemerdekaan, pengalaman dalam angan-angan apa yang dilakukannya setelah merdeka. 10 Hampir separuh hidup Pramoedya dihabiskan di penjara: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di orde lama, dan 14 tahun di orde baru 13 Oktober 1965 – Juli 1969, pulau Nusa Kambangan Juli 1969 – 16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969 – 12 November 1979 banyumanik November – Desember 1979 tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30 PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat ini, diantaranya Tetralogi Buru Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. 11 Selama dalam penjara Pramoedya banyak menulis, kecuali roman Perburuan yang diselundupkan melalui Dr. G.J. Resink dan H.B Jassin untuk kemudian diikutkan pada sayembara mengarang Balai Pustaka, dalam sayembara itu Pramoedya juga menyelesaikan roman Keluarga Gerilja 1950 dan sejumlah cerpen. Cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama-sama dengan beberapa cerpen yang ditulis sebelumnya, kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pertjikan Revolusi 1950. Pramoedya Ananta Toer adalah seorang yang sangat produktif menulis, baik berupa cerpen, roman, esai maupun kritik. Buku-buku tak henti-hentinya mengalir dari padanya. Kecuali yang tadi sudah disebut, karyanya yang berjudul Mereka Jang Dilumpuhkan dua jilid, terbit 1951-1952 merupakan pengalaman- pengalamannya selama dipenjara, Tjerita dari Blora 1952, sekumpulan cerpen yang berpusat di Blora, mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk kumpulan cerpen Di tepi Kali Bekasi 1950 sebuah roman yang 10 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, Jakarta: Gunung Agung, 1967, h. 96. 11 Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2004, h. 1. melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Karawang Bekasi; Bukan Pasarmalam 1951, Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Tjerita dari Djakarta 1957. 12 Novel Bumi Manusia 1980, bagian pertama Tetralogi Buru. Dilarang 1981, Jaksa Agung. 13 Pramoedya mulai menerbitkan pandangannya tentang sastra dan hubungannya dengan politik yang dilakukan seniman pada awal 1960-an. Artikel- artikelnya dimuat dalam Lentera, suplemen budaya yang ia edit dari Koran sayap-kiri, Bintang Timur. Yang paling kontroversial dari artikel-artikel itu adalah satu sereal berjudul „Jang Harus Dibabat dan Jang Harus Dibangun‟. Secara terselubung ia mengacu kepada para penulis yang ia sebut gelandangan yang menentang ideologi dari rezim Soekarno, sebagai termasuk golongan “Jang harus dibabat”. Pramoedya juga membantu dilarangnya Manifesto Kebudayaan dan pembredelan buku-buku para pendukungnya. 14 Pramoedya dapat dikatakan sebagai penulis yang pintar, dan memberikan sebuah gagasan baru terhadap dunia sastra di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya yang mendunia membuatnya menjadi seseorang yang ahli dalam memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya dan dengan bakatnya menulis, ia dapat menciptakan karya-karya sastra yang bernilai sastra. Kedekatannya dengan bangsa Tionghoa bagaikan gusi dengan bibir, terasa sangat dekat. Namun karena pemikirannya yang agak bertentangan dengan para pemikir di masanya menjadikannya sebagai sastrawan yang seakan kurang dihargai dinegerinya sendiri. Pramoedya wafat pada usia 81 tahun, tanggal 30 april 2006 pukul 08.55 WIB. Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke 12 Ajip Rosidi, Ikhtisari Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: Binacipta, 1968, h. 109. 13 Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia Jakarta: Lentera Dipantara, 2005, h. 5. 14 Allen, Membaca dan Membaca Lagi, Magelang: Indonesia Tera, 2004, h. 28. TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat. 15

B. Sinopsis

Bukan Pasarmalam adalah sebuah novel yang menceritakan tentang seputaran kehidupan seorang pejuang muda revolusi. Seorang pejuang yang gagah pemberani namun pada akhirnya mengalah dengan keadaan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Ia dihadapi dengan permasalahan yang menimpa kehidupan keluarganya, keadaan ayahnya yang tergolek di rumah sakit karena terserang TBC, dan keadaan finansialnya yang tidak mencukupi, ditambah lagi dengan keadaan rumahnya yang tak kuat menahan arus waktu dan juga istri yang cerewet. Sepanjang cerita tokoh aku terus ditimpa masalah yang rumit. Dalam novel ini juga mengkritik bagaimana keadaan sosial yang terjadi pada masa itu, ketimpangan antara kemewahan dan kemiskinan terlihat jelas ketika tokoh aku yang merasa sebagai pejuang tetapi kurang mendapatkan kehidupan yang layak, tidak seimbang dengan perjuangannya membela tanah air di medan perang melawan penjajah, hal tersebut berbanding terbalik dengan para perwira tinggi yang hidup bermewah-mewahan dan terus memperkaya diri dengan segala cara licik. Perjuangan yang tak kenal lelah sang ayah menjadi cerminan pejuang Indonesia yang sesungguhnya dalam memperjuangkan dunia pendidikan dan kemerdekaan Indonesia pada masa itu. Namun sekeras-kerasnya perjuangan manusia pasti akan berakhir, entah dengan kepuasan harta atau dengan kematian. Cerita ini berawal ketika tokoh aku menerima surat dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya jatuh sakit. ini terlihat dalam kutipan berikut: 15 Mega Fiyani , “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra ”, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, h. 25. Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya ketahuan beliau kena TBC. Ayahmu ada di rumah sakit sekaranng, dan telah empat kali memuntahkan darah. 16 Mendengar kabar itu, tokoh aku terkejut dan segera meminta bantuan pinjaman uang ke sana ke mari untuk ongkos pulang ke Blora. Sepanjang perjalanan tokoh aku ke Blora bersama istrinya, ia terkenang akan banyak kenangan pada setiap tempat yang ia lewati. Kenangan itu terus melayang dalam pikiran tokoh aku. Sebelum meninggalkan Jakarta tokoh aku dan istri sempat mengirim telegram untuk mengabarkan bahwa mereka akan ke Blora. Sesampainya di Blora tokoh aku melihat-lihat ke sekitar stasiun, barangkali ada saudara yang datang menjemput, namun ia tak menemukannya. Kemudian tokoh aku dan istrinya melanjutkan perjalanan ke rumah dengan menaiki dokar. Sesampainya mereka di rumah, mereka disambut bahagia oleh keluarga tokoh aku. Tokoh aku dan keluarga mengobrol banyak tentang Jakarta, Semarang, dan mobil. Mereka asik mengobrol sampai akhirnya tokoh aku menanyakan keadaan ayahnya, semua terdiam, kemudian adik tokoh aku yang keempat menjawab dengan perlahan dan hati-hati. Dia mengatakan kiriman wesel dan pil sudah diterima, uang tersebut dibelikan telur, selimut, dan kemeja, namun ayah menyuruh untuk membawanya kembali ke rumah. Kemudian pembicaraan beralih, tokoh aku menyanyakan keadaan adiknya yang ketiga. Adiknya terkena sakit ketika ia ditahan oleh pasukan merah, di daerah malaria. Dan yang lebih menyedihkan anak dari adiknya yang ketiga meninggal dunia. Pada sore harinya tokoh aku dan istri bersama dengan adik- adiknya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk keadaan sang ayah. Kondisinya sangat menyedihkan, badannya yang dulu berisi, kini hanya bagaikan sebilah papan. Ketika ditanya apa yang diinginkan, beliau hanya menjawab tidak ingin apa-apa. 16 Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2004, h. 2. Pada saat tokoh aku berjalan-jalan mengelilingi kampung, ia bertemu dengan tetangganya yang seorang tukang potong kambing, ia berkata bahwa rumahnya sudah butuh perbaikan, rumah itu sudah berdiri puluhan tahun dan tidak pernah mendapat perbaikan. Tokoh aku langsung menjawab bahwa dirinya akan merenovasi rumah tersebut. Pada sore harinya ketika tokoh aku kembali menjenguk tokoh ayah, ia berkata bahwa ia akan merenovasi rumah yang mereka tinggali. Malam harinya tokoh aku bersama dengan pamannya pergi mencari dukun. Dukun yang dimaksud adalah seorang guru yang dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit. Dukun itu bermeditasi sebentar ke dalam rumahnya, tak lama kemudia dukun itu keluar dan berkata ia tidak dapat menyembuhkan penyakit ayah tokoh aku, namun ia memberikan syarat saja. Ia mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam sakunya. Kemudian dukun itu bercerita bahwa ia banyak berhutang budi pada ayah tokoh aku. Satu sore tokoh aku dan istrinya kembali menjenguk ayahnya di rumah sakit. tokoh aku mengatakan maksudnya bahwa ia akan pulang dulu ke Jakarta. Tokoh ayah mengatakan tunggu seminggu lagi, dan tokoh aku mengiyakannya karena tidak tega meninggalkan ayahnya yang sedang sakit parah tersebut. Pada malamnya tokoh aku dan adinya duduk berhadapan di depan lampu minyak. Perbincangan kedua kakak-adik itu terlihat serius, mereka membicarakan keadaan keluarga ketika tokoh aku sedang berada di Jakarta. Pada suatu sore ketika tokoh aku berjalan-jalan dengan sang istri banyak pembicaraan yang terjadi, sang istri mengajak tokoh aku pulang ke Jakarta karena keuangan mereka semakin menipis. Tokoh aku pun mengatakan kepada istrinya bahwa ia tak akan pulang sebelum semua beres. Dupa yang diberikan oleh dukun itu ternyata tidak berpengaruh terhadap kesehatan ayahnya. Dan pada dini hari adik tokoh aku yang keempat berlari-lari dan mengatakan bahwa ayahnya berbicara tentang jagung. Ayahnya meminta untuk dipegangi tangannya dengan erat, kemudian menunjuk ke arah timur dan mengatakan bahwa ada sembilan puluh sembilan butir jagung di timur. Namun seisi rumah tak mengerti maksud dari perkataan tersebut. Kemudia bapak berkata: “cukup anakku, sekian dulu. Pergilah engkau semua. Tinggalkan aku sendirian.” 17 Semua pergi meninggalkan beliau sendirian. Dan menjelang magrib adik tokoh aku yang keempat berlari-lari menghampiri dan mengatakan bahwa ayah sudak tidak ada. Malam itu ayah yang sudah tidak ada lagi dibaringkan di bale dalam kerumunan orang banyak. Di antara pelawat seorang pelawat Tionghoa menyeletuk sebagai berikut: Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Mengapa kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita. 18

C. Unsur Intrinsik 1. Tema

Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra, dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan- perbedaan. 19 Tema merupakan makna yang terdapat di dalam teks karya sastra. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya tidak secara sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang 17 Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2004, h. 89. 18 Ibid., h. 95. 19 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, h.68.