Konteks sosial dan ideologi proletar tokoh utama dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer

(1)

KONTEKS SOSIAL DAN IDEOLOGI PROLETAR

TOKOH UTAMA DALAM NOVEL

BUKAN PASAR MALAM

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Vincentius Gitiyarko Priyatno NIM: 134114030

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Cinta lebih nyata dalam perbuatan daripada dalam perkataan. -Ignatius Loyola-

Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.

-Soerkarno-

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

-Pramoedya Ananta Toer-

Skripsi ini kupersembahkan untuk : Si Kecil yang akan segera datang dalam hidupku.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program Strata satu (S-1) Program studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Banyak pihak yang membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dengan demikian, sewajarnya penulis mengucapkan terima kasih terhadap seluruh pihak yang sudah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai pembimbing I, terima kasih atas segala pendampingan, masukan dan waktu yang disediakan kepada penulis. Terima kasih terutama atas rekomendasi buku-buku yang mencerahkan. 2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. sebagai pembimbing II, terima kasih atas

segala pendampingan, masukan dan waktu yang disediakan kepada penulis, terutama perhatian dan motivasi yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing Akademik Angkatan 2013, terima kasih atas motivasi dan ilmu yang diberikan sehingga skripsi ini selesai dalam masa studi yang disarankan. 4. Para dosen, Alm. Bapak Hery Antono, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo

Baryadi, M.Hum., Bapak Dr. Ari Subagyo, M.Hum. terima kasih telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama kuliah.


(7)

vii

5. Karyawan sekretariat Prodi Sastra Indonesia, Mbak Theresia Rusmiyati, yang selalu siap sedia ketika penulis membutuhkan bantuan administrasi. 6. Teman-teman angkatan Sastra Indonesia 2013, terima kasih atas

kebersamaan selama kuliah, dalam proses di dalam maupun luar kelas. 7. Anna Elfira, teman hidupku yang mau selalu bersabar ketika penulis

menyelesaikan skripsi.

8. Keluarga penulis, Bapak, Ibu, dan adik, terima kasih atas dukungan materi dan rohani.

9. Teman-teman kerja di Lembaga Bahasa Sanata Dharma, terima kasih atas dukungan dan motivasi.

10.Seluruh Karyawan Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas pelayanan dan hospitalitas selama masa studi penulis.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu, segala saran dan kritik dari segala pihak akan penulis terima dengan besar hati. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang. Isi skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Yogyakarta, 12 Juni 2017


(8)

(9)

ix

ABSTRAK

Priyatno, Vincentius Gitiyarko. 2017. Konteks Sosial dan Ideologi Proletar Tokoh Utama dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji konteks sosial dan ideologi proletar tokoh utama dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur intrinsik yang befokus pada tokoh, penokohan, dan latar, mendeskripsikan konteks sosial, dan menganalisis ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan teori Marxisme. Teori Marxisme dimulai dari munculnya Manifesto Partai Komunis yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Penelitian ini diawali dengan analisis unsur tokoh, penokohan dan latar, lalu deskripsi konteks sosial yang terdapat dalam novel dan situasi Indonesia pada masa itu, kemudian analisis ideologi proletar yang terdapat di dalam tokoh utama pada novel.

Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode studi pustaka. Novel ini dibaca secara mendalam kemudian data yang diperoleh dicatat. Metode dan teknik analisis data yaitu analisis isi. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan teori strukturalis dan teori Marxisme. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis akan dideskripsikan secara kualitatif, yaitu peneliti mendeskripsikan konteks sosial dan ideologi proletar yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Terdapat tiga gradasi tokoh dalam novel Bukan Pasar Malam, yaitu tokoh utama, tokoh utama tambahan dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah Aku, tokoh utama tambahan adalah Ayah, sementara tokoh tambahan adalah Istri Aku. Aku adalah seorang pemuda yang ikut dalam perjuangan revolusi, sementara Ayah adalah seorang pensiunan guru yang ikut berjuang dalam masa kemerdekaan. Istri Aku adalah orang Sunda yang dinikahi oleh Aku. (2) Konteks sosial novel Bukan Pasar Malam adalah situasi Indonesia ketika Revolusi. Ini bisa dilihat dari surat yang tertanggal 1949. Masa Revolusi berlangsung dari 1945-1950. Perjuagan Revolusi di satu sisi terasa begitu herois, tetapi di sisi lain juga muncul tindakan brutal yang dilakukan oleh pemuda. Novel ini ditulis tahun 1951 ketika Pramoedya belum aktif di Lekra dan masih apatis terhadap politik. (3) Ideologi proletar yang ada meliputi (a) Tidak ada perencanaan kebutuhan di luar kebutuhan primer, (b) Borjuisme adalah musuh, (c) Akses kesehatan adalah hal yang tidak mungkin, dan (d) Relasi dengan sesama adalah relasi ekonomi.


(10)

x

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ideologi proletar sudah nampak ada dalam novel Bukan Pasar Malam, meskipun Pramoedya belum terpengaruh oleh pemikiran kiri. Ditemukannya ideologi proletar dalam novel menunjukan bahwa Pramoedya sudah memiliki benih-benih pemikiran kiri meskipun dia belum bersinggungan dan terpengaruh oleh pemikiran tersebut secara formal.


(11)

xi

ABSTRACT

Priyatno, Vincentius Gitiyarko. 2017. Social Context and Proletarian Ideology of The Main Character in Bukan Pasar Malam a Novel by Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Programme, Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University

This study examines the social context and proletarian ideology of the main character in the novel Bukan Pasar Malam by Pramoedya Ananta Toer. The purpose of this research is to analyze and describe intrinsic elements that focus on character, characterization, and setting, to describe social context, and to analyze proletarian ideology in novel Bukan Pasar Malam. This research uses literature sociology approach with Marxism theory. Marxist theory begins with the emergence of the Communist Party Manifesto written by Karl Marx and Friedrich Engels.

This research begins with the analysis of elements of character, characterization and setting, then the description of the social context contained in the novel and the situation of Indonesia at that time, then analysis of proletarian ideology contained in the main character in the novel.

Methods and techniques of data collection used in this study is close reading method. This novel is read in depth then the data obtained is written. Method and technique of data analysis is content analysis. The data obtained then analyzed with structuralist theory and Marxism theory. Method and technique of presentation of result of data analysis is descriptive qualitative.

The results of the analysis will be described qualitatively, that is researchers describe the social context and proletarian ideology that exist in the Bukan Pasar Malam novel. The results of this study are as follows: (1) There are three gradations of characters in Bukan Pasar Malam, namely the main character, additional main character and additional characters. The main character is I, the main additional character is Dad, while the additional character is The Wife of I. I was a young man who took part in the revolutionary struggle, while Father was a retired teacher who fought for independence. The wife is a Sundanese whom I marry. (2) The social context of the novel is the situation of Indonesia Revolution. This can be seen from a letter dated 1949. The Revolution period lasted from 1945-1950. The Revolutionary battles on one side were so heroic, but on the other side also came the brutal actions acted by the youth. The novel was written in 1951 when Pramoedya was not active in Lekra yet and still apathetic towards politics. (3) The ideology of the proletariat includes (a) there is no need planning beyond the primary


(12)

xii

needs, (b) bourgeois is the enemy, (c) access to health facilities is impossible, and (d) relations with others is an economic deal.

From the results of the study, the conclusion is ideology of the proletariat already appears in the Bukan Pasar Malam novel, although Pramoedya has not been affected by leftist thinking. The discovery of proletarian ideology in the novel shows that Pramoedya already has the seeds of leftist thought even though he has not been intersected and influenced by the thought formally.


(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... viii

ABSTRAK... ix

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaaat Hasil Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ... 5

1.6 Landasan Teori ... 6

1.6.1 Unsur Intrinsik... 6

1.6.2 Sosiologi Sastra... 1.6.3 Ideologi... 12

1.6.4 Marxisme... 13

1.7 Metodologi Penelitian... 15

1.8 Sistematika Penyajian ... 17

BAB II TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM 2.1 Tokoh dan Penokohan ... 18

2.2 Latar ... 30

BAB III KONTEKS SOSIAL KEPENGARANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER 3.1 Konteks Sosial Indonesia... 36

3.2 Konteks Sosial dalam Novel... 41

3.3 Konteks Sosial Pramoedya Ananta Toer ... 43

BAB IV IDEOLOGI PROLETAR TOKOH UTAMA DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM 4.1 Tidak Ada Perencanaan Kebutuhan di Luar Kebutuhan Primer... 47

4.2 Borjuisme adalah Musuh... 50

4.3 Akses Kesehatan adalah Hal yang Tidak Mungkin... 52

4.4 Relasi dengan Sesama adalah Relasi Ekonomi... 54

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan... 58

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA... 62


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra dalam bentuk apapun tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang melingkupinya. Hal ini berlaku pula untuk salah satu bentuk karya sastra yaitu novel. Peristiwa-peristiwa yang menjadi penggerak alur sebuah novel merupakan refleksi dan representasi dari realita yang terjadi dalam bentuk masyarakat. Penyajian ini bisa dalam bentuk yang sangat konvensional sampai yang sangat eksperimental.

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu pengarang yang menganut aliran realisme sosial secara konsisten (Kurniawan, 2003:103). Realita sosial yang ada di dalam novelnya menghadirkan apa yang terjadi dalam masyarakat tempat ia hidup. Salah satu novelnya yang berbicara tentang masyarakat secara nyata adalah Bukan Pasar Malam. Novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa setelah kemerdekaan Indonesia.

Meskipun demikian, Pram bukanlah sosok penulis dengan ideologi yang matang begitu saja. Pemikiran dan ketertarikannya dalam bidang sastra, sejarah dan politik pun mengalami pasang surut (Farid, 2008:1). Dia dikenal sebagai sastrawan namun juga sebagai seorang yang tertarik dengan pencatatan sejarah. Di masa awal kemerdekaan dia mejadi orang yang cukup tegas mengkritisi revolusi. Maka dari itu, Bukan Pasar Malam adalah salah satu karya yang bermaksud untuk tujuan tersebut. Novel ini ditulis –diterbitkan pertama kali – pada tahun 1951 dan berbicara tentang situasi Indonesia pada sekitar revolusi.


(15)

2

Meskipun sudah memasuki masa kemerdekaan, masa transisi dirasakan berat oleh orang-orang pada masa itu. Kesenjangan sosial dan kemiskinan tetap menjadi permasalahan sehari-hari yang harus dihadapai oleh orang-orang Indonesia pada masa itu. Lebih lagi, orang-orang nasionalis pada masa itu merasa tidak cukup mendapatkan kebahagiaan seperti yang mereka dambakan semasa perjuangan kemerdekaan. Pramoedya memberikan konteks sosial tersebut untuk membungkus alur cerita dan peristiwa-peristiwa yang ia hadirkan dalam novel Bukan Pasar Malam.

Jika dibaca secara lebih mendalam, akan terlihat bagaimana Pramoedya sebagai penulis mencurahkan ideologinya mengenai kelas sosial, terutama proletariat dalam novel ini. Proletariat digambarkan secara detil tentang kehidupan dan dunianya. Adanya kesenjangan ekonomi menyentuh bagian terdalam dari sebuah kehidupan manusia, termasuk relasi antara dirinya dengan keluarganya. Pilihan-pilihan sebuah keluarga proletar nampak bukan karena karsa mereka, namun lebih karena memang situasi yang menjepit mereka.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa karya ini ditulis pada tahun 1951. Pada masa itu Pramoedya Ananta Toer masih mengakui diri tidak terlibat dalam partai dan ideologi apapun. Dia bahkan berusaha mengambil jarak dari politik (Farid, 2008). Meski demikian, benih-benih ideologi kiri sebenarnya sudah mulai tampak seperti yang nampak dalam novel Bukan Pasar Malam.

Novel-novel yang juga sezaman dengan novel Bukan Pasar Malam di antaranya Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Cerita dari Blora (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951). Novel-novel ini merupakan bagian dari perjalanan Pram sebagai penulis termasuk ideologi yang dia bawa dalam setiap


(16)

3

tulisan. Merujuk apa yang ditulis oleh Hilmar Farid maka novel-novel tersebut ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ketika dia belum terpengaruh oleh ideologi kiri.

Dengan menampilkan masyakarat dan membicarakan kehidupannya, sebuah novel mengantar pembacanya untuk berefleksi tentang masyarakatnya sendiri. Selain itu, representasi sosial yang terdapat dalam sebuah novel bisa memberi pemahaman lebih mendalam mengenai apa yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan konteks sosial dan waktu tertentu.

Dalam penelitian sastra, sosiologi sastra menjadi teori yang digunakan untuk meneliti hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Karl Marx, yang kemudian dikenal teorinya sebagai Marxisme, membagi masyarakat menjadi dua kelas sosial, yaitu kelas borjuis dengan proletar (Marx, 1948:2) Dengan teori ini maka dapat dilihat cara kelas sosial direpresentasikan dalam sebuah novel. Secara lebih spesifik bisa dilihat pengarang menampilkan ideologi borjuis dan proletar dalam novelnya.

Selain membagi masyarakat ke dalam kelas borjuis dan proletar, Marx (1848:2) juga menyebutkan dampak dari adanya kelas sosial tersebut. Dampak tersebut terutama memengaruhi cara orang saling berelasi dalam masyarakat. Adanya kapitalisme membuat relasi menjadi sekadar relasi ekonomi. Struktur masyarakat yang feodal dan relasi hormat menghormati bergeser menjadi relasi terbatas pada interaksi ekonomi atau kapital, sehingga kelas-kelas dalam masyarakat menjadi lebih sederhana namun tajam dan terbagi dalam dua kelas yaitu borjuis dan proletariat. Dalam relasi dan singgungan antara kedua kelas ini akan


(17)

4

membuat tiap-tiap kelas bereaksi. Baik kelas proletar maupun borjuis pada akhirnya akan memiliki cara pandang dan berpikir masing-masing.

Penelitian ini secara khusus akan melihat ideologi proletar dihadirkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam. Novel yang mengambil latar pasca kemerdekaan Indonesia ini secara dominan menggambarkan kehidupan kaum proletar setelah Indonesia merdeka, khususnya di akhir masa Revolusi yaitu akhir tahun 1949 menuju 1950 (Ricklefs, 2005:428). Dengan mengetahui kehidupan kaum proletar pada masa itu kita bisa lebih memahami keadaan Indonesia pada masa itu. Lebih lagi akan bisa dipahami cara kaum proletar berpikir, merasa, dan bertindak dalam kehidupannya dalam konteks sosial tersebut. Setelah itu, bisa direfleksikan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia pada masa ini.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah tokoh dan penokohan, serta latar novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer ?

2. Bagaimanakah konteks sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer ?

3. Bagaimanakah ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer ?

1.3 Tujuan Penelitian


(18)

5

1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan, serta latar novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.

2. Mendeskripsikan konteks sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.

3. Mendeskripsikan ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini :

1. Manfaat teoretis, penelitian ini menerapkan pendekatan sosiologi sastra untuk menjelaskan situasi sosial dan ideologi proletar yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam.

2. Manfaat praktis, penelitian ini juga memberikan sumbangan untuk memahami situasi masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan, terutama kaum proletas sebagai masyarakat kelas bawah. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk memberi pandangan sebuah novel menanggapi peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

1.5 Kajian Pustaka

Sudah menjadi hal yang umum bahwa karya-karya Pramoedya Ananta Toer selalu bertema sosial. Dalam buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis dipaparkan dengan sangat mendalam oleh Eka Kurniawan tentang karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang selalu memiliki gaya realisme sosial. Artinya kenyataan sosial hadir dalam karya-karya Pram. Namun, novel


(19)

6

Bukan Pasar Malam tidak dimasukkan sebagai data penelitian Eka Kurniawan tersebut (Kurniawan, 2013).

Secara khusus novel Bukan Pasar Malam pernah diteliti dengan pendekatan Marxisme. Misalnya “Marjinalisasi Kaum Proletar pada Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer karya Akun Baehaki tahun 2014. Yang diteliti di sini adalah marginalisasi yang dialami oleh kaum proletar. Namun, ideologi proletar itu sendiri belum dibicarakan secara lebih lanjut. Fokus dari penelitian tersebut ada pada situasi yang membuat kaum proletar menjadi kaum yang tertindas. Sementara cara kaum proletar memandang, merasa, dan memaknai peristiwa belum dibahas.

Selain itu, ada juga skripsi yang membahas novel Bukan Pasar Malam dengan meneliti nilai-nilai sosial yang terkandung dalam novel ini. Penelitian tersebut berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Prammedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Satra” karya Mega Feyani tahun 2011. Skripsi ini menunjukkan adanya bela rasa dan rasa saling menghargai di antara masyarakat kelas bawah. Pendekatan dan teori yang diambil lebih bersifat moralis, karena yang dilihat adalah relasi antara sesama kelas bawah yang saling berbela rasa satu sama lain.

Sejauh penulis melihat, belum ada penelitian yang secara khusus membahas secara spesifik tentang ideologi proletar dalam novel Bukan Pasar Malam. Proletar yang dimaksud adalah pembagian kelas sebagaimana termaktub dalam Manifesto Komunis karangan Karl Marx dan Engels. Dengan demikian, kebaruan dari penelitian ini adalah secara spesifik mendeskripsikan ideologi proletar dalam novel karya Pramoedya ini.


(20)

7

1.6 Landasan Teori

Ada beberapa landasan teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini. Landasan teori yang digunakan yaitu :

1.6.1 Struktur Intrinsik

Tokoh dan penokohan serta latar unsur intrinsik digunakan untuk mengetahui konteks sosial yang menjadi pembungkus cerita dalam novel yang diteliti.

Tokoh menunjuk pada tokoh atau siapa yang ada dalam sebuah cerita. Sementara penokohan atau karakterisasi adalah penempatan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita ke dalam watak-watak tertentu (Nurgiyantoro, 2010). Kemudian, latar atau setting adalah landaran tumpu. Secara konkret latar adalah tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial di mana cerita itu berlangsung (Nurgiyantoro, 2010).

Ada beberapa pembedaan tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel. Salah satu yang bisa digunakan untuk mengklafisikasi tokoh dalam novel adalah tokoh utama dan tokoh tambahan. Penjelasan dari pembagian tokoh tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tokoh

a.1 Tokoh Utama

Tokoh utama seperti namanya adalah karakter utama yang menjadi pusat cerita. Tokoh ini adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaan sebuah novel (Nurgiantoro, 2010:177). Dalam setiap novel, tokoh utama mendapat porsi paling banyak dalam alur cerita. Bahkan, setiap peristiwa yang terjadi pasti berkaitan dengan tokoh utama. Dalam beberapa novel, porsi tokoh utama sangat besar bahkan hadir dalam setiap kejadian.


(21)

8

Dalam beberapa novel, tokoh utama tidak hadir secara langsung atau tidak muncul dalam setiap kejadian. Namun, kejadian tersebut pada pokoknya tetap berkaitan dengan tokoh utama. Akibat dari porsi penceritaan yang sangat besar terhadap tokoh utama, maka tokoh ini akan selalu berkaitan dengan tokoh-tokoh lain. Tidak hanya itu, plot cerita pasti dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam diri tokoh utama (Nurgiyantoro, 2010:178).

a.2 Tokoh Tambahan

Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, Nurgiyantoro (2010) menjelaskan bahwa pembagian tokoh utama dan tokoh tambahan merupakan sebuah gradasi. Tokoh utama pun bisa saja tidak hanya satu tokoh melainkan beberapa tokoh. Hal ini tergantung sejauh mana dominasi penceritaan antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya.

Tokoh tambahan merupakan tokoh yang porsi penceritaannya tidak sebanyak tokoh utama. Namun, tidak berarti kehadiran tokoh tambahan tidak menjadi penting. Tokoh tambahan yang juga mendominasi cerita bisa disebut sebagai tokoh utama tambahan. Maka yang paling penting adalah melihat gradasi keutamaan penceritaan dalam novel, karena pembagian tokoh utama dan tambahan tidak dapat dipisahkan secara gamblang (Nurgiyantoro, 2010:178).

Pembagian tokoh dengan klasifikasi tokoh utama dan tokoh tambahan dipilih untuk mempemudah melihat ideologi yang ada dalam tokoh. Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus pada apa yang terjadi pada tokoh utama dan tokoh


(22)

9

utama tambahan. Reaksi tokoh utama dan tokoh utama tambahan dengan lingkungan dan tokoh-tokoh yang lain akan dilihat untuk memahami cara mereka berpikir dan bereaksi atas sebuah kejadian.

b. Penokohan

Penokohan adalah penggambaran tiap tokoh yang ada dalam novel (Nurgiyantoro,2010: 185). Penokohan ini meliputi penggambaran fisik dan non-fisik. Penggambaran fisik meliputi hal-hal fisik seperti tinggi badan, berat, usia, asal, dst. Pada dasarnya, hal-hal fisik yang menjadi karakteristik tokoh.

Penokohan tidak hanya penggambaran secara fisik, tetapi juga berkaitan dengan hal-hal non-fisik. Hal tersebut meliputi pikiran, perasaan, keyakinan, kepercayaan, dan bahkan ideologi yang dimiliki masing-masing tokoh (Nurgiyantoro, 2010:186). Kehadiran setiap tokoh dalam setiap perisitiwa dan cara dia bereaksi akan berkaitan erat dengan penokohannya.

c. Latar

Latar merupakan unsur pembangun sebuah karya bersama tokoh dan plot. Latar atau setting inilah yang kemudian akan membentuk fakta cerita dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya prosa menempatkan latar sebagai landasan cerita yang konkret dan jelas (Nurgiyantoro,2000:217). Dalam sebuah karya, latar tidak terbatas dalam sesuatu yang bersifat fisik, namun juga dapat berupa adat, kepercayaan dan nilai-nilai. Latar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu latar waktu, latar tempat dan latar sosial.


(23)

10

Latar waktu dikaitkan dengan soal kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah karya. Setiap latar waktu dalam sebuah karya sering dikaitkan dengan waktu faktual, yaitu waktu yang berhubungan dengan suatu peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2000:230).

Suatu peristiwa sejarah yang sudah banyak diketahui pembaca akan membatu pembaca memahami suasana dan keadaan yang ingin dibangun oleh pengarang. Latar waktu digunakan pengarang untuk membangun suasana dan situasi sebuah peristiwa. Dengan demikian, suasana dan situasi tidak diungkapkan secara eksplisit, namun melalu latar waktu yang digunakan.

c.2 Latar Tempat

Latar tempat adalah unsur latar yang menunjukkan lokasi terjadinya peristiwa. Dalam sebuah karya, latar tempat bisa berupa lokasi sungguh ada dalam kenyataan (Nurgiyantoro, 2000:227). Misalnya nama kota tempat terjadinya suatu peristiwa dapat dijumpai di dunia nyata; seperti Magelang, Bantul, Sleman,dst.

Selain dengan penyebutan nama yang jelas, latar juga bisa berupa suatu tempat dengan sifat-sifat yang umum dipahami oleh pembaca. Latar seperti ini biasanya di hutan, sungai, kebun atau di sebuah rumah. Dengan analogi pementasan suatu drama, latar tempat merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa.

c.3 Latar Sosial

Latar sosial merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam suatu karya. Tata kehidupan sosial ini mencakup hal-hal yang kompleks (Nurgiyantoro, 2000:233). Latar sosial dapat diihat dari tingkah laku antartokoh dalam sebuah cerita. Hal ini juga dapat dianalisa dari reaksi-reaksi tokoh dalam menanggapi suatu kejadian.


(24)

11

Latar sosial berkaitan erat dengan tempat kejadian suatu peristiwa. Latar yang mengambil daerah pedesaan akan menggambarkan pula situasi pergaulan dan adat istiadat di daerah tersebut. Selain itu penggunaan bahasa khas daerah dan penamaan tokoh juga berkaitan erat dengan latar sosial (Nurgiyantoro, 2000:235). 1.6.2 Sosiologi Sastra

Ada beberapa hal pokok yang bisa dipegang dalam teori sosiologi sastra. Sapardi Djoko Damono memaparkan bahwa sosiolosi sastra bisa mempermasalahkan ideologi pengarang tentang masyarakatnya, sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya itu sendiri, dan sosiologi sastra yang memasalahkan pengaruh sosial sebuah karya sastra (Damono, 1978:34).

Secara khusus penelitian ini akan berfokus pada teks sastra itu sendiri. Sastra adalah refleksi atau cerminan dari masyarakat (Faruk, 2014:5). Dalam konteks ini akan dilihat sejauh mana sebuah karya satra mencerminkan masyarakat dan juga sejauh mana sebuah karya digunakan pengarang untuk mewakili seluruh masyarakat.

Sosiologi sastra akan menjadi pendekatan utama dalam penilitian ini. Konteks sosial dan situasi masyarakat akan menjadi pokok pembahasan yang dominan. Pendekatan sosiologi sastra sekaligus akan menjadi pembatasan pembahasan penelitian. Maka konteks sosial yang menjadi setting dari novel Bukan Pasar Malam akan menjadi acuan dalam penentuan latar.

Sosiologi sastra tidak melepaskan sebuah karya dari konteks sosial tempat karya tersebut lahir. Dengan demikian, akan dilihat pula konteks sosial karya ini untuk mempertajam pembahasan dan memberikan konteks yang lebih luas untuk memahami karya ini.


(25)

12

1.6.3 Ideologi

Jika melihat KBBI (Depdiknas, 2008:538) ada tiga definisi tentang ideologi. Pertama, kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas. Kedua, cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Ketiga, paham atau teori, dan tujuan yang berpadu merupakan suatu program sosial politik. Istilah ideologi yang menjadi landasan teori penelitian ini adalah definisi yang kedua yaitu cara berpikir seseorang atau suatu golongan.

Secara lebih khusus lagi ideologi merupakan cara-cara merasa, menilai, memandang, dan memercayai yang berhubungan dengan kekuatan sosial (Eagleton, 2007:20) Dengan demikian ideologi cara berpikir, merasakan dan bertindak dari sebuah kelas sosial. Kelas sosial yang dimaksud di sini mengikuti pembagian kelas yang dimaksud oleh Karl Marx.

Ideologi ini dalam novel akan ditentukan oleh relasi yang terjadi di antara kelas-kelas. Apa yang terjadi dalam interaksi yang ada mencerminkan reaksi yang muncul dalam diri tokoh. Setiap tokoh mewakili kelas sosial tertentu. Dengan demikian, akan bisa diteliti bagaimana cara merasa, menilai, memandang dan memercayai sebuah kejadian. Sesuai dengan apa yang dikemukakan Eagleton(2007:20) sebelumnya, ideologi selalu berhubungan erat dengan kekuatan sosial dalam masyarakat.

Ideologi yang dimaksud di sini bukanlah paham yang telah terstruktur dan sudah menjadi pegangan yang mapan dalam suatu masyakarat. Ideologi yang dimaksud dalam penelitian ini lebih mengarah pada perasaan, pemikiran dan tindakan kaum proletar atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidup mereka.


(26)

13

Inilah yang akan menjadi pembatasan penyebutan istilah ideologi dalam penelitian ini.

1.6.4 Marxisme

Marxisme merupakan teori sosial yang diprakarsai oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Kedua orang ini sebenarnya menyebut apa yang mereka tulis sebagai komunisme adalah apa yang termaktub dalam Manifesto Komunis (Barry,2010:183). Karya Marx dan Engels ini kemudian menjadi pegangan kaum-kaum reaksinoner untuk melakukan perlawanan. Secara jelas ada dua tujuan mengapa Manifesto Komunis ini ditulis. Pertama, kehadiran Komunis sudah mulai diakui oleh golongan lain. Kedua, Manifesto Komunis digunakan untuk menyampaikan kepada dunia apa yang menjadi pandangan, cita-cita, tujuan dan aliran mereka, serta melawan cerita-cerita selama ini mengenai “hantu” komunisme yang mulai tersiar di Eropa. (Marx, 1848:1)

Berikut bunyi Manifesto Komunis berkaitan dengan tujuannya dituliskan: I. Komunis telah diakui oleh semua kekuasaan di Eropa

sebagai suatu kekuasaan pula.

II. Telah tiba waktunya bahwa kaum Komunis harus dengan terang-terangan terhadap seluruh dunia menyiarkan pandangan mereka, cita-cita mereka, tujuan mereka, aliran mereka, dan melawan dongengan kanak-kanak tentang Hantu Komunisme ini dengan sebuah manifesto dari partai sendiri. (Marx,1848:1)

Dalam penelitian sastra, kritik Marxis termasuk dalam ranah sosiologi sastra. Marxisme secara metodis meneliti kehadiran kelas sosial dalam sebuah karya sastra. Kelas sosial menurut Marx dibagi ke dalam dua kelas utama yaitu Borjuis dan Proletar. Borjuis adalah kelas yang mempunyai akses langsung


(27)

14

terhadap alat produksi, sementara proletar tidak memiliki akses kepada alat produksi.

Dalam Manifesto Partai Komunis (The Communist Manifesto) yang ditulis bersama Engels pada tahun 1848, Karl Marx mengatakan bahwa sejarah masyarakat selama ini adalah sejarah perjuangan kelas. Secara khusus Marx juga menyatakan relasi antara kaum borjuis dengan kaum proletar. Berikut tulisan Karl Marx dan Freiderich Engels :

Borjuasi, di dalam sejarah, telah memainkan peranan yang sangat Revolusioner. Borjuasi, di mana saja ia telah dapat memperoleh kekuasaan, telah mengakhiri semua hubungan feodal patriarkal pedesaan. Ia dengan tiada kenal kasihan telah merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka ragam yang mengikat manusia pada "atasannya yang wajar", dan tidak meninggalkan ikatan lain antarmanusia dengan manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata, selain daripada "pembayaran tunai" yang kejam. (Marx,1848:2)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa Marx melihat efek dari kapitalisme dan kehadiran kaum borjuis dalam masyarakat. Relasi tradisional dalam budaya

masyarakat telah berganti menjadi relasi “pembayaran tunai” yang melihat relasi

antarmanusia sebatas pada relasi ekonomi saja.

Hal yang lebih ekstrem akan muncul dalam dunia yang dipandang oleh Marx adalah hilangnya relasi budaya yang sudah terjalin dalam masyarakat selama ini. Rasa hormat seseorang terhadap yang lain akibat konstruksi sosial yang terjadi selama ini akan digantikan oleh relasi ekonomi. Relasi yang terjadi antara masyarakat semata-mata hanya karena kepentingan ekonomi belaka.

Teori kelas sosial inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk melihat ideologi yang dimiliki oleh kelas proletar terutama dalam bingkai pandangan mereka terhadap kelas sosial yang ada di atasnya, borjuis. Pembagian


(28)

15

kelas menurut Marx ini pula yang akan menjadi dasar penentuan kelas sosial setiap tokoh yang ada di dalam novel.

Dalam kajian Marxis tentang pembagian kelas terdapat dua diksi untuk menyebut kelas bawah yaitu proletar dan proletariat. Pembedaan istilah ini bisa ditemukan dalam KBBI (Depdiknas,2008:1134). Ada dua definisi untuk istilah proletariat. Defisini pertama, proletariat adalah lapisan sosial paling rendah. Sementara definisi kedua, proletariat adalah golongan buruh yang tidak memiliki alat produksi dan hidup dengan menjual tenaga.

Selanjutnya ada satu definisi untuk proletar. Dalam KBBI proletar merupakan orang dari golongan proletariat (Depdiknas,2008:1134). Dalam bahasa Indonesia dengan demikian jelas perbedaan istilah proletariat dan proletar. Dengan demikian, dalam skripsi ini istilah proletariat akan merujuk pada golongannya, sementara proletar merujuk pada orang dari golongan proletariat.

1.7 Metode Penelitian

Tiga metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

1.7.1 Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka dengan referensi utama adalah novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Novel tersebut dibaca secara mendalam dan dicatat hasilnya yang kemudian menjadi data utama dari penelitian. Teknik catat dipakai untuk mencatat data-data


(29)

16

yang akan mendukung dalam pemecahan perumusan masalah. Teknik catat merupakan kelanjutan dari teknik simak (Sudaryanto, 193:133)

1.7.2 Metode Analisis Data

Dalam analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Dasar dari metode analasis isi adalah analisis isi pesan (Ratna, 2010:49). Metode ini dilakukan dengan menganalisis secara lebih mendalam data-data yang telah didapat dalam proses pengumpulan data. Setelah itu data tersebut dilihat dengan kerangka berpikir Marxisme mengenai kelas sosial.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang telah terkumpul dengan metode pencatatan dideskripsikan dalam bentuk narasi. Isi dari deskripsi ini adalah data mengenai unsur intrinsik dan konteks sosial yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Data ini kemudian dilanjutkan dalam bagian selanjutnya untuk diteliti bagaimana ideologi kaum proletar terdapat dalam data-data tersebut.

1.7.4 Sumber Data

Karya sastra yang menjadi objek penelitian adalah novel dengan identitas sebagai berikut :

Judul Buku : Bukan Pasar Malam Pengarang : Pramoedya Ananta Toer


(30)

17

Tahun terbit : 1999 (terbitan ulang), cetakan kedua Penerbit : Bara Budaya Yogyakarta

Halaman : 100 halaman

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab dengan rincian sebagai berikut : Bab I berisi pendahuluan sebagai pengantar. Di dalam Bab I terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi deskripsi mengenai tokoh dan penokohan serta latar yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam.

Bab III berisi deskripsi tentang konteks sosial di Indonesia dan dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Deksripsi ini didapat dari kesimpulan setelah menganalisis unsur instrinsiknya yaitu tokoh dan penokohan serta latar.

Bab IV merupakan analisis mengenai ideologi kaum proletar yang terdapat dalam novel ini. Hasilnya didapat dari meneliti bagaimana kaum proletar merasa, berpikir dan bertindak dalam novel Bukan Pasar Malam.

Bab V berisi penutup yang merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.


(31)

18

BAB II

TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM

Sebelum meneliti ideologi kaum proletar dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, akan diteliti penokohan dan latar dalam novel ini. Hal ini penting karena dengan melihat penokohan dan latar dapat dilihat lebih jelas bagaimana tokoh tersebut merasa dan berpikir yang kemudian mencerminkan ideologi dirinya.

Teori yang digunakan dalam bagian ini adalah teori strukturalisme. Sebagaimana dalam landasan teori, Nurgiyantoro (2010:178) membagi tokoh menjadi beberapa klasifikasi. Yang akan dipakai dalam bagian ini untuk menganalisis tokoh adalah tokoh utama dan tokoh tambahan. Tidak berhenti pada identifikasi tokoh utama dan tokoh tambahan, analisis akan dilanjutkan sampai dengan penokohan untuk melihat karakteristik lebih dalam dari tokoh-tokoh tersebut.

2.1 Tokoh dan Penokohan

Dalam bagian ini akan dijelaskan tokoh dan penokohan dari tokoh-tokoh penting yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam. Dalam novel ini tokoh-tokoh yang hadir didominasi oleh kaum proletar. Dengan demikian, pemahaman mengenai penokohan dalam cerita ini dapat memberikan pemahaman lebih dalam mengenai ideologi kaum proletar pada tahap berikutnya.


(32)

19

Pembagian tokoh akan dilakukan berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh pusat yang ada dalam setiap peristiwa. Alur utama dalam novel berkaitan dengan tokoh utama. Selain tokoh utama yang akan dilihat dalam novel ini adalah tokoh utama tambahan dan tokoh tambahan. Pembagian ini mengikuti apa yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro seperti yang sudah dipaparkan dalam landasan teori.

Klasifikasi tokoh utama, tokoh utama tambahan, dan tokoh tambahan ini penting dilakukan di awal untuk memahami kelompok kelas sosial tokoh-tokoh tersebut. Dengan mengetahui gradasi tokoh utama dan tambahan, akan lebih mudah dipahami kejadian-kejadian apa saja yang berkaitan dengan tokoh-tokoh tersebut, dan reaksi tokoh-tokoh tersebut dalam setiap kejadian.

2.1.1 Tokoh Utama 2.1.1.1 Aku

Tokoh Aku dalam novel ini merupakan tokoh utama. Aku merupakan tokoh yang menjadi penggerak alur. Cerita novel ini diawali dengan cerita mengenai tokoh Aku dan diakhiri pula oleh tokoh aku. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama dalam seluruh novel, Pram tidak menyebutkan siapa nama tokoh Aku ini.

2.1.1.2 Penokohan Aku

Tokoh Aku menjadi tokoh utama karena memiliki porsi penceritaan paling banyak. Hampir dalam setiap peristiwa tokoh Aku menjadi pusat penceritaan. Hal itu berlaku baik dalam peristiwa yang menghadirkan tokoh Aku maupun tidak


(33)

20

Tidak dijelaskan dengan rinci berapa usia tokoh aku, namun dari cerita dalam novel ini usianya kira-kira menjelang 30 tahun. Di usia belasan tahun dia meninggalkan kampung halamannya, Blora dan cerita dimulai tepat ketika dia sekitar 20 tahun sudah meninggalkan kampung halamannya. Dia meninggalkan rumahnya ketika dia masih sangat muda.

Kala aku masuk ke dalam rumah, kepalaku tersenggol pada palang atap. Dan aku jadi berpikir, aku jadi tinggi sekarang. Waktu aku meninggalkan rumah ini palang itu masih tinggi di atas kepala. (Toer, 1999:18)

Dia adalah seorang pegawai kecil dan baru saja keluar dari penjara. Dia tinggal di Jakarta. Istrinya adalah seorang berdarah Sunda dari Jawa Barat. Kegelisahan tiba-tiba datang ketika ada surat dari Blora. Ayahnya meminta dia untuk menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya karena dia sedang sakit keras. Surat itu tertanggal 17 Desember 1949. Surat tersebut berbunyi :

Blora, 17 Desember 1949 Anakku yang kucintai!

Di dunia ini tak ada sutau kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali, anak yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak, anaknya yang dalam beberapa waktu terasking dari masyarakat ramai, terasing dari cara hidup manusia biasa.

Anakku, aku dapat menggambarkan kesulitan jiwamu; aku dapat menggambarkan penderitaanmu dalam ruang yang sangat terbatas, karena aku mengalami sendiri ketika pemberontakan P ....(red:Pesindo), selama dua minggu hidup dalam tiga penjara. Mulai saat itu hingga kini setiap malam aku bermohon kepada Tuhan seru sekalian alam akan keselamatan dan kebahagiaan keluarga, turun temurun. Dosa kita sekeluarga moga-moga diampuni-Nya. (Toer, 1999:1)


(34)

21

Ada dua poin utama yang disampaikan Bapak melalui surat ini. Pertama, dia sangat mengharapkan kehadiran anaknya untuk pulang. Penekanan bahwa Aku adalah anak tertua juga tertulis di sana. Anak pertama mendapat penekanan karena menurut ayahnya dia yang menjadi pembawa kebesaran dan kemegahan bapaknya. Kedua, Ayah menunjukkan simpati terhadap situasi yang terjadi pada Aku. Kesulitan ini lebih cenderung dalam tataran psikis karena secara eksplisit Ayah menulis kesulitan jiwa. Kesulitan jiwa ini merujuk pada keadaan Aku yang baru saja

keluar dari penjara. “Ya, begitulah permulaan suratnya setelah aku dua

minggu keluar dari penjara.” (Toer, 1999:2)

Surat ini penting dan oleh Pram ditempatkan di awal sebagai penggerak alur. Hal ini dikarenakan peristiwa-peristiwa yang terjadi berikutnya, termasuk kegelisahan tokoh Aku, bermula dari surat yang penting ini.

Surat yang juga penting dan selalu diingat oleh Aku adalah surat dari pamannya. Berbeda dengan surat dari Ayah, surat dari paman lebih eksplisit dengan nada sedikit mendesak agar Aku segera pulang ke Blora.

Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya ketahuan beliau ke tbc. Ayahmu ada di rumah sakit sekarang, dan telah empat kali memuntahkan darah. (Pram, 1999:2)

Dalam surat ini begitu jelas tekanan yang datang untuk tokoh Aku. Kondisi Ayah yang dikabarkan sangat buruk karena TBC menjadi perhatian utama sekaligus alasan utama tokoh Aku merasa gelisah. Gelisah karena dia


(35)

22

memikirkan kondisi Ayahnya. Lebih lagi dia tidak punya cukup uang untuk ongkos pulang ke Blora.

Kegelisahan pertamanya adalah relasi antara dirinya dengan ayahnya yang kurang baik. Kegelisahan kedua adalah mengenai kondisi ekonomi. Ia tahu bahwa ia butuh biaya perjalanan ketika harus pergi ke Blora. Selain itu, biaya hidup di sana juga harus ada. Yang dia lakukan kemudian adalah meminjam uang dari temannya.

Mula-mula aku terkejut mendengar berita itu. Sesak di dada. Kegugupan datang menyusul. Dalam kepalaku terbayang : ayah. Kemudian : uang dari mana aku dapat

uang untuk ongkos pergi?” Dan ini membuatku

mengedari Jakarta – mencari kawan-kawan – dan hutang (Toer,1999:2)

Sebagai seorang pegawai kecil dia juga harus berpikir tentang kelanjutan pekerjaannya jika harus ditinggalkan untuk pergi ke Blora. Ia kemudian melihat sekelilingnya. Dia berpikir tentang Jakarta yang begitu megah termasuk dengan istana negaranya. Akan tetapi, dia hanyalah seorang kecil yang tidak bisa menikmati kemegahan Jakarta meskipun dia tinggal di sana.

Dia akhirnya secara eksplisit mengungkapkan pandangannya tentang orang kaya atau yang dia sebut dengan orang yang punya. Hal ini dapat ditemukan dalam kutipan berikut :

Ya, sekiranya aku punya mobil- sekiranya, kataku – semua ini mungkin takkan terjadi. Di kala itu juga aku berpendapat: bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang tak punya. Dan mereka tak merasai ini.(Toer,1999:3)


(36)

23

Dalam pernyataan di atas nampak bagaimana tokoh Aku memiliki kebencian terhadap orang yang punya. Ini berkaitan dengan kondisi dan posisi sosialnya sebagai orang yang tak punya.

Mengenai masa lalu tokoh Aku, diceritakan bahwa dia sempat ditahan selama dua setengah tahun. Namun, tidak diberi penjelasan lebih lanjut mengapa dia sampai dipenjara. Yang bisa dilihat adalah semasa Revolusi kemungkinan besar dia adalah kelompok muda yang mengangkat senjata. Aku ikut dalam perang ini bisa dilihat dari kenangannya tentang beberapa tempat yang ia lewati dalam perjalanan menuju Blora.

Kemudian Klender pun nampaklah dari jendela kereta itu. Bangkai-bangkai pantserwagen1, brencarrier2, truk, bergelimpangan di ladang-ladang dan di pinggir jalan raya – senjata Inggris yang dilumpuhkan oleh baisan pemuda, dan juga dilumpuhkan oleh ketuaannya sendiri. Kemudian kereta pun sampailah di Cakung. Banyak sekali kenang-kenanganku yang terikat pada dusun kecil itu. Cakung – dalam lingkungan kebun karet, di mana berganti-ganti pasukan pemuda terkurung kemudia pasukan asing.

Dan aku meneruskan kenang-kenanganku kembali. Kranji. Tambun. Cikarang – Rangkaian pertahanan sebelum aksi militer pertama. (Toer,1999:7)

Dari kenangan Aku tentang masa lalunya semakin jelas bahwa dia terlibat dalam gerakan perjuangan yang dilakukan oleh pemuda. Ini menjadi alasan yang paling kuat mengapa dia sampai dipenjara.

1 Semacam tank yang digunakan untuk perang (dalam bahasa Belanda) 2 Kendaraan perang yang bisa mengangkut orang (dalam bahasa Belanda)


(37)

24

Bayangan tentang situasi Ayah tak pernah luput dari benak Aku. Apalagi dengan tanggapan yang muncul dari sekelilingnya. Seorang kawan pun mengingatkan Aku tentang situasi tersebut.

Seorang kawan bilang : sudah lama engkau ditahan – dua setengah tahun! Dan selama itu tentunya ayahmu merindukan kedatanganmu. Bukan itu saja. Pasti dia menguatirkan keadaanmu juga. (Toer, 1999:11)

Dengan uang pinjaman yang ia dapat dari rekannya, Aku akhirnya memutuskan untuk berangkat dari Jakarta ke Blora. Sesampainya di Blora kegelisahan tokoh aku terutama tentang keadaan ekonomi juga tak selesai. Pertama ia harus melihat kenyataan ayahnya yang sakit tidak bisa mendapat perawatan yang lebih baik di sanatorium karena biaya yang mahal.

Kedua, dia juga mendapat kritikan dari lingkungan rumahnya karena membiarkan rumahnya di Blora rusak di sana-sini dan tidak pernah diperbaiki. Kritikan itu datang dari tetangganya yang dulu- seorang tukang potong kambing.

Aku harap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu itu. Dan lagi – dan lagi- orang tua-tua bilang – engkau masih ingat, bukan ? Masih ingat apa yang kukatakan tadi? Apabila rumahnya rusak ... (...) Engkau anak sulung, Gus, aku harap – sekalipun aku bukan keluarga atau familimu – peliharalah rumahmu itu.” (Toer,1999:40).

Reaksi tokoh aku mendengar nasihat dari tetangganya ini adalah kesal. Dalam benaknya dia merasa perkataan tukang kambing itu semakin menambah masalah yang ada di benaknya.

Rumah dan sumur itu mengisi kepalaku sekarang. Rumah rusak, dan orangnya pun rusak. Dan di sore harinya waktu aku berangkat ke rumah sakit dan bertemu


(38)

25

dengan tukang kambing itu, dengan tak berpikir panjang keluar saja suaraku : Pak, rumah itu akan kuperbaiki.(Toer, 1999:40-41)

Tokoh Aku sebenarnya adalah tokoh yang punya karakter kuat, namun keterbatasan ekonomi membuatnya menjadi manusia peragu dan sulit untuk menghadapai dunia di sekelilingnya tanpa kegelisahan. Misalnya ketika ia memikirkan tentang kesehatan ayahnya. Tokoh Aku sampai datang ke dukun untuk mencari solusi. Akan tetapi tetap saja dia masih diliputi keraguan.

Tapi aku tak menjawab. Dalam dadaku timbul pegulatan-pergulatan yang biasa timbul bila menghadapi kekuasaan dukun. Betul-betul bisakah seorang dukun mengobati si sakit yang dokter sendiri tidak sanggup? Tapi harapan melenyapkan pergulatan itu : dukun itu bisa, mesti bisa. Dan harapan itu membuat aku percaya padanya. (Toer,1999:45).

Sebagai tokoh utama, Aku mendapat porsi perceritaan paling besar. Dia menjadi tokoh utama karena setiap peristiwa yang ada dalam cerita pasti berkaitan dengan dirinya. Bahkan ketika dia tidak ada dalam sebuah peristiwa, kejadian itu tetap akan memberi pengaruh padanya.

2.1.2 Tokoh Utama Tambahan 2.1.2.1 Ayah

Tokoh utama tambahan dalam novel Bukan Pasar Malam adalah Ayah. Tokoh ini secara sederhana bisa dimasukkan dalam tokoh utama, tetapi dia tidak mendapat porsi sebesar tokoh Aku. Namun demikian dia


(39)

26

tetap menjadi fokus penceritaan. Bahkan konflik utama yang harus dihadapi oleh Aku adalah sakit yang diderita oleh Ayah. Pada akhirnya cerita mulai menemui antiklimaks ketika Ayah meninggal.

2.1.2.2 Penokohan Ayah

Ayah adalah seorang nasionalis. Dia adalah orang yang begitu berjiwa besar untuk memberikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan. Dengan profesinya sebagai guru dan kemudian pengawas sekolah, dia ingin memberikan seluruh dirinya kepada pengabdian negara. Salah satunya adalah apa yang dikenang oleh mantan muridnya berikut ini :

Pada hari pembukaan pertama murid yang masuk tiga kali lipat banyaknya daripada di zaman Belanda dulu. Kami di sekolahan kurang tenaga. Dan tiga hari sesudah pembukaan itu rumahku didatangi pasukan dari batas kota. Kalau Bapak meneruskan pembukaan sekolahan itu, sekolahan itu akan kubakar. ... Sekalipun di masa perang sekolahan harus dibuka (Toer, 1999:47)

Ada hal berbeda yang bisa dirasakan dari karakter Aku dan Ayah. Aku dalam kepribadiannya nampak begitu radikal dengan pendiriannya terhadap penjajah. Namun, Ayah nampak lebih kompromis dengan lingkungan di sekitarnya. Ini nampak dari sikapnya yang tetap mau membuka sekolah dengan biaya dari pemerintah Belanda.

Pembukaan sekolahan ini, sekalipun atas ongkos pemerintah Belanda, akhirnya kita-kita juga yang mengecap hasilnya. Dan pasukan itu menerima alasan itu. Sekolah tak jadi di bakar. Ya, tak sampai dibakar sampai sekarang (Toer, 1999:47).

Pada masa Revolusi, Ayah adalah sosok yang disegani. Dia dihormati karena semangat nasionalisme yang tinggi. Mengenai masa


(40)

27

lalunya ketika menjadi guru dan pengawas sekolah, Ayah termasuk dalam pasukan gerilya. Penjelasan ini bisa diperoleh dari dukun yang dulu sempat bekerja sama dengan Ayah ketika berbicara dengan Aku.

Akhirnya kelak aku tahu juga, bahwa Ayah Tuan itu tidak lain daripada salah seorang pemimpin pemerintahan gerilya – sekalipun jadi pengawas sekolah angkatan Belanda (Toer,1999:47)

Dukun itu ternyata adalah juga guru. Dan sosok Ayah di matanya adalah tokoh yang sangat kuat. Begini dukun itu melanjutkan :

Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah yang mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru – untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid-muridnya telah jadi orang-orang besar. Tapi guru tetap jadi guru. Dalam dinasku itu pernah juga aku kena penyakit jantung. Kalau ayah Tuan kena penyakit paru-paru sesudah dinas tiga puluh tahun – itu suatu tanda kekuatan. Beliau sangat kuat (Toer, 1999:47).

Jadi meskipun kini mengidap sakit paru-paru, menurut duku itu, hal ini menunjukkan betapa kuatnya Ayah. Menjadi guru kala itu tidak mudah. Bahkan menurut dukun itu, dia sendiri yang 18 tahun sudah merasa berat. Sementara Ayah menjadi guru selama 30 tahun.

Status dan posisi ini bergeser setelah kemerdekaan didapat. Heroisme atau kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Ayah membuatnya menjadi orang yang disegani dalam masa perjuangan. Namun, ketika kemerdekaan sudah didapat, respek itu sudah tidak nampak lagi. Heroisme dan semangat nasionalisme itu tak membantu Ayah bisa menikmati masa tuanya.


(41)

28

Di masa tuanya, Ayah mengidap sakit paru-paru. Dia harus dirawat di rumah sakit sederhana yang tidak terlalu baik perawatannya. Ayah menghabiskan masa tuanya di tempat tidur. Kedatangan anak sulungnya dari Jakarta membuatnya cukup senang. Meskipun tetap saja kesehatannya tidak kunjung membaik. Setiap hari anak-anaknya, termasuk tokoh Aku, menjenguknya ke rumah sakit dan membawakan apa-apa yang diinginkan oleh Ayah.

Meskipun mengalami kemerdekaan, namun Ayah tidak mendapatkan kenikmatan hidup sebagaimana yang diimpikan oleh negara yang merdeka. Tokoh Ayah adalah tokoh yang berpendirian teguh. Menjelang kematiannya, Ayah tetap membanggakan dirinya sebagai seorang nasionalis. Ini terlihat dari percakapan terakhirnya dengan tokoh Aku.

Aku tak mau jadi ulama. Aku mau jadi nasionalis. Karena itu aku jadi guru. Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman patriotisme. (....) Karena itu aku jadi nasionalis. Sungguh berat menjadi nasionalis. Karena tiu aku memilih menjadi guru. Tapi aku rela jadi nasionalis. Aku rela jadi korban semua ini (Toer,1999:82)

Dalam perkataan Ayah terebut tersirat semangat dan kebanggaannya sebagai seorang nasionalis. Meskipun perjuangan sebagai seorang nasionalis tidak membuatnya mendapat penghargaan yang sepadan. Namun, bagaimana pun Ayah tetap merasa bangga sebagai seorang nasionalis yang berjuang untuk bangsanya.


(42)

29

2.1.3.1 Istri

Tokoh tambahan dalam novel ini adalah istri. Dia mendapat porsi penceritaan lebih sedikit dibandingkan dengan Aku atau Ayah. Namun, kehadirannya sebagai tokoh dalam novel ini memberi efek keterasingan bagi tokoh Aku.

2.1.3.2 Penokohan Istri

Istri tokoh Aku adalah seorang perempuan berdarah Sunda. Di awal cerita dia nampak menunjukkan resistensi ketika harus ikut suaminya ke Blora untuk menjenguk ayahnya yang sakit. Ia juga mengatakan agar tidak terlalu lama berada di Blora. Ketika berdiskusi dengan suaminya dia menunjukkan minat yang kecil untuk tinggal di Blora lebih lama. Beginilah percakapan antara istri dengan Aku :

“Jangan terlalu lama di Blora,” kata isteriku.

Kupandang isteriku itu. Aku rasai keningku jadi tebal oleh kerut mirut. Dan aku menjawab pendek : “Kita

melihat keadaanya dulu”. Sebentar bayangan kenangan

pada ayah hilang. “Barangkali kalau terlalu lama, aku

terpaksa pulang dahulu.” (Toer, 1999:8)

Ketika sampai di Blora, beberapa kali Istri tokoh Aku menunjukkan ketidaknyamanannya tinggal di Blora. Bahkan dalam perjalanan menuju Blora ia menunjukkan rasa tidak antusias. Beberapa kali cerita atau pemandangan menarik yang ditunjukkan tokoh Aku tak membuatnya bergairah.

Lihatlah jurang itu. Alangkah dalam!’ Kupandang

istriku. Ia membuka tapuk matanya. Dan kemudian tapuk mata itu turun pula dan tertutup kembali. Aku mengeluh. Ingin aku memperkenalkan keindahan


(43)

30

daerahku dengan jurang dan hutannya, dengan kijang dan monyetnya. Ya, ingin sekali (Toer, 1999:15).

Tokoh Aku beberapa kali mencoba untuk mencairkan hati istrinya, namun beberapa usahanya tidak membuat situasi hati istrinya berubah. Sang istri tetap belum menunjukkan ketertarikannya akan perjalanan itu.

Kupandang isteriku. Berkata “Lihatlah, betapa cantiknya

hutan itu.” Diam-diam isteriku menjengukkan kepalanya ke luar jendela. Kemudian kepalanya ditariknya lagi dan ia bersandaran di pojok bangku kereta (Toer, 1999:15).

Sesampainya di Blora dia beberapa kali membicarakan topik untuk kembali ke Jakarta. Namun, ia akhirnya tetap tinggal di Blora sampai akhirnya Ayah meninggal.

2.2 Latar

2.2.1 Latar Waktu

Latar waktu yang ada dalam tokoh ini adalah Indonesia pada pasca kemerdekaan Indonesia. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika melihat surat di awal cerita tertanggal 17 Desember 1949, itu artinya cerita ini mengambil latar waktu sekitar empat tahun sesudah Indonesia merdeka. Dengan demikian cerita ini berlatar sekitar zaman Revolusi.

Secara lebih khusus Indonesia memasuki masa Revolusi pada tahun 1945-1950. Itu artinya tahun 1949 yang menjadi latar novel ini berada di tahun-tahun penghujung Revolusi. Jika lebih lanjut kita melihat perjalanan Aku ke Blora dan kenanganannya tentang perang maka bisa disimpulkan pula latar waktu novel ini adalah masa perjuangan Revolusi. Ricklefs (2010,428) menyebutkan bahwa ada kelompok yang mengangkat senjata untuk mempetahankan kemerdekaan.


(44)

31

Sekilas melela kenangan lama. Dulu – empat tahun yang lalu! Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh pucuk howitser. Jumlah itu bisa dihitung oleh berkas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlampau banyak, terlampau bingung (Toer,1999:8-9).

Kutipan di atas menunjukan kenangan Aku tentang masa perang. Perang ini adalah perang revolusi antara Belanda yang kembali setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Perang itu pun sampai menimbulkan trauma dalam diri Aku.

Peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman dan kepada ayah (Toer, 1999:9)

Kutipan di atas semakin menguatkan bahwa latar waktu Revolusi merupakan peristiwa yang melatari ceritera novel Bukan Pasar Malam. Situasinya lebih banyak berupa perang dan keadaan yang mencekam.

B. Latar Tempat

Dua latar tempat utama dalam novel Bukan Pasar Malam adalah kota Jakarta dan kota Blora. Dua kota ini sebenarnya merupakan sebuah kontras keadaan zaman pada masa Indonesia setelah merdeka. Jakarta menjadi simbol kemajuan dan kemegahan sebuah kota pasca-kemerdekaan. Sementara itu, Blora menjadi simbol kemiskinan dan belum meratanya kemakmuran Indonesia sesaat setelah Indonesia merdeka.


(45)

32

Dari sudut pandang tokoh Aku dia melihat Jakarta sebagai tempat yang sangat mewah. Terutama ketika dia menggambarkan Istana Negara dan mengkontraskannya dengan keadaannya yang melarat.

Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu – mandi cahaya lampu listrik. Entah beberapa puluh ratus waatt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan : listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan (Toer,1999:4).

Blora adalah kebalikan dari Jakarta. Orang-orang di sana masih sangat sederhana kalau tidak ingin mengatakan masih jauh dari kemapanan. Lebih lagi, listrik adalah hal yang masih sangat mewah di sana. Jika di Jakarta bisa dijumpai ribuan mobil, satu mobil saja di Blora adalah hal yang sangat langka. Latar tempat yang digunakan oleh Pram untuk membungkus cerita ini adalah situasi yang timpang antara kota dan desa, antara pusat dan daerah pinggiran. Situasi tempat tinggal yang tidak kunjung membaik berbanding seimbang dengan situasi ekonomi.

Aku mengangguk berat, diberati oleh perhitungan harga kayu, semen dan paku. Dan aku lihat orang tua itu mengerti juga beratnya anggukanku (Toer, 1999:40)

Blora merupakan latar tempat utama dalam novel Bukan Pasar Malam. Lebih dari separuh peristiwa terjadi di Blora. Sejak kedatangan tokoh Aku dan istrinya di Blora, seluruh peristiwa terjadi di sana. Latar sempit yang ada di Blora adalah rumah sakit dan rumah. Rumah sakit adalah tempat Ayah dirawat. Sementara rumah adalah rumah masa kecil tokoh Aku. Rumah menjadi tempat Ayah dibawa pulang menjelang kematiannya.


(46)

33

Latar tempat lain yang perlu dicatat meskipun tidak menghadirkan banyak peristiwa adalah Semarang. Tokoh Aku dan istrinya mengunjungi Semarang dalam perjalanan dari Jakarta ke Blora. Hal ini penting untuk mengetahui bahwa pada masa itu perjalanan naik kereta dari Jakarta ke Blora bukanlah perjalanan sekali sampai. Penumpang harus singgah di Semarang untuk menunggu kereta berikutnya ke Blora.

Untuk melanjutkan perjalanan, mereka berdua harus pergi ke stasiun dan mencegat kereta yang paling pagi. Setelah dari Semarang latar tempat berfokus di dalam kereta dengan pemandangan perjalanan mulai dari pemandangan pantai utara.

Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun. Antre beli karcis. Dan kereta kami berpacu dengan mobil, dan memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh mobil – debu yang bercapur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manuisa, reaknya, ludahnya – mengepul dan menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami dapati anak-anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya mengemis. (...) Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa makanan mereka berebutan (Toer,1999:14).

Perjalanan kereta itu kemudian sampai di Rembang. Tidak banyak yang diceritakan di tempat ini. Hanya saja, Aku ingat tentang kota kelahirannya. Dia teringat akan kota kelahirannya dengan jalan-jalan yang sempit dan penduduknya yang miskin.

Kereta berjalan terus dan berjalan terus. Sampai di Rembang, dia mulai membelok ke selatan dan melintasi hutan jati dan sawah. Kian dekat dengan kota kelahiran kian nyata terbayang-bayang jalan-jalan yang sempit, penduduknya yang miskin, dan ayah (Toer, 1999:14).

Latar tempat berikutnya sebelum Blora adalah batas kota Blora. Meski sedikit ada informasi yang penting dicatat di sini Blora juga merupakan kota yang


(47)

34

tidak lepas dari peperangan. Dalam ingatan Aku, daerah itu merupakan tempat berdirinya gedung-gedung. Namun, perang membuatnya tinggal tanah lapang saja.

Waktu kereta memasuki batas kota Blora, nampak olehku, tanah lapang – dan dulu gedung-gedung yang berdiri di tanah lapang itu. Sekaligus terpikir olehku: peperangan yang meruntuhkan bangunan-bangunan itu (Toer, 1999:15)

Melihat bermacam-macam latar tempat yang dipakai dalam novel ini, bisa diambil kesimpulan bahwa ada latar tempat yang merupakan tempat kejadian atau peristiwa. Sementara, ada pula latar yang merupakan tempat tokoh Aku mengenang kejadian lalu ketika dia di dalam kereta dalam perjalanan dari Jakarta menuju Blora.

C. Latar Sosial

Latar sosial novel Bukan Pasar Malam adalah situasi masyarakat ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Situasi sosial yang ditonjolkan dalam novel ini adalah kesenjangan sosial antara kaum borjuis dengan kaum proletar. Pemenuhan kebutuhan tidak merata di antara masyarakat. Hanya segelintir orang terutama yang punya jabatan yang bisa menikmati kemewahan.

Kalau engkau bukan residen, dan juga bukan menteri, dan engkau ingin mendapat tambahan listrik tiga puluh atau lima puluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tiga ratus rupiah. Ini sungguh tidak praktis (Toer, 1999:4)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan listrik belum merata di setiap daerah. Bahkan untuk mendapat akses listrik yang memadai orang harus punya jabatan dan posisi yang memungkinkan. Tanpa jabatan dan posisi yang memadai orang harus mengeluarkan uang yang cukup banyak.

Kondisi masyarakat Indonesia yang baru saja merasakan kemerdekaan masih menunjukan ketidakstabilan. Situasi yang mungkin wajar untuk sebuah


(48)

35

negara yang baru saja merdeka. Hal ini bisa dilihat dari kondisi rumah-rumah orang yang tidak membaik tetapi malah semakin buruk.

Blora ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah-rumah baru banyak didirikan. Dan rumah-rumah yang dulu sudah miring-miring. Aku menegok ke arah rumah. Meneruskan. Dan rumah kami pun sudah begitu rusak (Toer, 1999:38).

Peristiwa-peristiwa yang ada dalam novel karya Pram ini terjadi di Jakarta dan dalam perjalanan ke Blora, serta kota Blora. Oleh karena itu, adat dan kebiasaan tokoh-tokohnya berasal dari Jawa. Mereka menunjukkan stereotipe orang Jawa yang berbicara kepada orang lain dengan gaya memperhalus ucapan. Misalnya ketika tetangga Aku yang tukang potong kambing ingin menyuruh Aku memperbaiki rumah, dia menggunakan kata sehalus mungkin.

Kalau bisa Gus, kalau bisa – harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu : Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak (Toer, 1999:38).


(49)

36

BAB III KONTEKS SOSIAL

KEPENGARANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER

Dalam bagian ini akan dipaparkan situasi sosial Indonesia pada sekitar zaman Revolusi. M.C. Ricklefs (2010,428-470) mengkategorikan tahun 1945-1950 sebagai masa Revolusi. Penelitian ini melihat situasi pada masa ini karena latar waktu novel Bukan Pasar Malam berada di sekitar zaman Revolusi. Ini bisa dilihat dari surat dari Ayah yang ada di awal novel, yaitu tanggal 17 Desember 1949. Agaknya, Pramoedya tidak sembarangan dengan menjadikan tahun 1949 sebagai latar waktu. Tahun 1949 menuju 1950 adalah saat Revolusi mencapai titik akhir. Perjuangan melawan Belanda dan antek-anteknya untuk kembali merebut Indonesia telah usai. Kemudian, Indonesia memasuk masa yang disebut sebagai masa percobaan demokrasi (Ricklefs, 2005:471)

Ada dua konteks sosial yang akan dipaparkan dalam bagian ini. Pertama, konteks sosial di Indonesia yang berisi beberapa peristiwa penting dalam pejalanan Revolusi Indonesia. Kedua, konteks sosial yang ada dalam novel Bukan Pasar Malam. Untuk membantu pemahaman lebih dalam mengenai ideologi kaum proletar penting untuk melihat bagaimana situasi masyarakat dalam cerita yang ditulis oleh Pramoedya ini.

3. 1 Konteks Sosial Indonesia

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dengan memanfaatkan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, situasi kemerdekaan tidak secara instan membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik.


(50)

37

Bahkan, mendapat pengakuan kedaulatan pun butuh perjuangan lebih lanjut (Ricklefs, 2010:428).

Revolusi pascakemerdekaan Indonesia terjadi akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan niat kembalinya Belanda dibantu tentara Sekutu untuk menduduki Indonesia kembali. Akan tetapi, bukan berarti Jepang sudah pergi dari Indonesia. berita proklamasi belum menyebar ke seluruh daerah. Ini membuat tentara-tentara Jepang masih berkeliaran juga di beberapa daerah di Indonesia.

Maka keberanian bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan sebenarnya bukan tanpa risiko. Dengan kemenangan Sekutu atas Jepang, tentu Belanda merasa lebih punya kekuatan untuk kembali menduduki Indonesia. 3.1.1 Revolusi Indonesia

Ricklefs (2010:429) dalam buku berjudul Sejarah Indonesia Modern menyebutkan adanya kepentingan baik dari Indonesia dan Belanda dalam Revolusi dengan tujuan yang berbeda. Belanda bertujuan untuk menghancurkan negara yang dipimpin orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang dan memulihkan kembali daerah jajahan yang sudah mereka bangun lebih dari tiga abad (Ricklefs, 2010:429). Sementara itu Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan pergerakan kebangkitan nasional yang sudah dibangun sejak awal tahun 1900-an (Ricklefs, 2010:428). Revolusi pada masa itu sudah sampai menjadi semacam euforia. Hadirnya Belanda yang ingin menduduki kembali Indonesia malah menjadi penyulut persatuan, karena orang-orang Indonesia dengan semangat lebih tinggi lagi tidak rela menyerahkan tanah mereka kembali kepada Belanda. Usaha Belanda dalam mengambil alih menjadi hal yang sangat sulit dicapai.


(51)

38

Di dalam masyarakat Indonesia sendiri perjuangan Revolusi tidak hanya terpusat menjadi satu pandangan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat yang beragam di antara rakyat Indonesa sendiri. Rickefs (2010:429) menyebut bahwa pada dasarnya situasi di awal Revolusi adalah situasi yang kacau balau. Ada golongan yang menentang dan yang mendukung. Masyarakat pun terbagi menjadi generasi tua dan generasi tua, kelompok kiri dan kelompok kanan, juga kekuatan-kekuatan Islam dan kekuatan-kekuatan sekuler.

Perjuangan Revolusi terbagi menjadi dua arus utama. Yang pertama adalah kelompok yang mengangkat senjata. Yang kedua, adalah kelompok yang memperjuangkan Revolusi dengan jalan diplomatik. Akan tetapi, bagaimanapun Revolusi ini melahirkan euforia bagi bangsa Indonesia. Api perjuangan bangsa Indonesia benar-benar berkobar saat ini.

Situasi ini membuat Jepang akhirnya perlahan mundur dari pusat kota ke daerah pinggiran (Ricklefs, 2005:433). Kesempatan ini digunakan oleh para pemuda untuk menduduki tempat-tempat penting seperti stasiun kereta api, sistem trem listrtik, dan stasiun pemancar radio. Aksi ini dikhawatirkan oleh para generasi tua akan memicu konfrontasi.

Peristiwa penting saat ini adalah diadakannya Medan Merdeka, yaitu rapat besar yang dihadiri hampir 200.000 orang (Ricklefs,2005:433). Pertemuan ini hampir memicu konfrontasi dengan pihak Jepang. Namun, Soekarno berhasil membujuk orang-orang Indonesia untuk bubar dengan tertib tanpa menganggu Jepang.

Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid 2 mempunyai BAB khusus yang membahas tentang Revolusi Indonesia.


(52)

39

Penggambarannya tidak herois seperti yang dilakukan oleh Ricklefs. Bahkan judul

yang dia tulis adalah “Revolusi belum Selesai”. Situasi yang pelik pada masa

Revolusi disebut oleh Pram sebagai krisis revolusioner (Toer, 2000:175)

Krisis revolusioner ini menjadi titik puncak situasi sosial, ekonomi dan politik. Masyarakat Indonesia pada masa itu mengalami kekacauan, kemiskinan yang bahkan membuat orang mendekat ke kuburan. Yang dikritisi oleh Pram adalah Revolusi hadir karena situasi alam atas kekosongan kekuasaan kolonial (Toer, 2000:175).

3.1.2 Semangat Revolusi dalam Sastra

Revolusi yang terjadi di Indonesia memang mempunyai pengaruh yang cukup masif dalam kehidupan rakyat Indonesia pada waktu itu. Dalam bidang sastra, semangat Revolusi juga terlihat dalam seni dan sastra. Inilah yang membuat

suatu generasi sastra dinamakan Angkatan ’45. Daya kreatif sastrawan angakatan ini memuncak pada masa Revolusi. Tokoh-tokoh sastrawan yang terkenal pada masa ini di antaranya adalah Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Mochtar Lubis (Ricklefs: 2010:433).

Sastra sebagai salah satu bentuk seni dipercaya dapat ikut ambil bagian dalam perjuangan Revolusi. Pada masa ini pula akhirnya muncul majalah-majalah dan surat-surat kabar Republik. Media ini beredar terutama di wilayah Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta. Surat-surat kabar tersebut misalnya Asia Raya di Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari di Yogyakarta, dan Soeara Asia di Surabaya.


(53)

40

Seni yang juga bergairah pada masa Revolusi adalah seni rupa. Lukisan-lukisan modern karya Affandi dan Sudjojono juga semakin menemukan bentuknya(Ricklefs,2005:445). Dukungan mereka yang paling nampak tidak hanya menuangkan semangat Revolusi dalam lukisan, tetapi bahkan membuat poster-poster anti-Belanda.

3.1.3 Pemuda dan Revolusi

Dalam novel Bukan Pasar Malam diceritakan beberapa masa lalu tokoh Aku yang sempat dipenjara. Memang di dalam novel tidak dapat ditemukan secara eksplisit apa yang membuatnya dipenjara. Namun, ingatannya tentang perang tentu mengindikasikan dia adaah bagian dari kelompok pemuda yang ikut berperang pada zaman Revolusi.

Penjelasan Ricklefs (2010,428-430) mengenai kaitan erat antara perang Revolusi dan orang muda akan membantu untuk melihat apa yang terjadi. Pemuda-pemuda di daerah banyak yang diperbolehkan untuk memegang senjata. Ini membuat pemuda dapat mengambil alih beberapa tempat penting. Misalnya, pemuda Indonesia mengambill alih stasiun kereta api dan pemancar radio dari tangan Jepang.

Gairah dan euforia Revolusi pada masa itu menggerakkan semangat pemuda untuk melibatkan diri secara langsung dalam pemerintahan. Tan Malaka bahkan mengatakan Revolusi bagaimana pun juga harus dipegang oleh Pemuda. Pandangan yang cukup bertentangan dengan apa yang dipikirkan oleh Soekarno dan Hatta. Keduanya berpandangan bahwa sistem pemerintahan harus dipersiapkan dengan matang dan harus dilalui dengan proses diplomasi (Vicker, 2005:98).


(54)

41

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pemuda memilih untuk mengangkat senjata untuk berperang dan berkonfrontasi. Sementara itu generasi tua memilih jalan-jalan diplomatik. Jika dikaitkan dengan tokoh Aku dalam novel Bukan Pasar Malam, sebagai pemuda dia mengangkat senjata. Inilah penjelasan mengapa dia sampai dipenjara. Lebih lagi, memori tentang peperangan dengan bangsa penjajah dia kenang dalam perjalannya ke Blora.

Sampai di sini perjuangan pemuda nampak sangat heroik dengan semangat yang berkobar-kobar. Akan tetapi, kisah yang berbeda muncul dalam novel Soerabaja karya Idrus. Novel ini memberi gambaran yang kontradiktif dengan kisah brutal yang dilakukan oleh pemuda di Surabaya. Pemuda digambarkan dengan revolver terselip di pinggang dan berjalan dengan angkuh serta menembak ke segala arah tanpa tujuan yang jelas (Brotoseno, 2014:2)

Bahkan tindakan brutal itu sampai pada perbuatan kriminal dengan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang Tionghoa dan Indo yang dianggap sebagai mata-mata (Brotoseno, 2014:2). Ini berarti perjuangan revolusi dan peran pemuda yang begitu herois tidak mutlak menjadi satu kisah utama. Ada kekacauan yang juga diciptakan oleh pemuda dalam masa Revolusi ini.

3.2 Konteks Sosial dalam Novel

Konteks sosial merupakan situasi sosial atau masyarakat yang melingkupi dan membungkus sebuah karya. Setelah menganalisis tokoh dan penokohan serta latar yang menjadi unsur instrinsik dalam novel ini, menjadi lebih jelas bagaimana konteks sosial novel Bukan Pasar Malam.


(55)

42

Pertama, adalah konteks Indonesia sekitar empat tahun pasca kemerdekaan. Kemerdekaan merupakan sesuatu yang diperjuangkan oleh negara yang terjajah. Perjuangan ini terus dilakukan untuk melepaskan diri dari penjajah. Tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebuah negara.

Namun, nyatanya dalam jangka waktu empat tahun setelah merdeka Indonesia belum bisa mencapai kesejahteraan secara menyeluruh di wilayah Indonesia. Penggambaran tentang situasi Blora pada saat Aku sampai bisa memberi penjelasan, kemerdekaan tak membawa perubahan ke arah kemajuan secara cepat.

Kami jinjing bawaan kami. Dan dokar yang membawa kami ke rumah yang sudah kutinggalkan selama ini berjalan ayem seperti dulu juga. Dan pak kusir tak henti-hentinya menghalau-halaukan kudanya dengan cambuk dan perkataan. Banyak gedung runtuh di sepanjang jalan. Dan gedung PTT yang jadi kebanggan penduduk kota Blora yang kecil itu kini tinggal beton-beton tiangnya yang bersusun-tindih seperti bantal dan guling. Aku menarik nafas panjang. Tugu peringatan empat puluh tahun pemerintahan Wilhelmina masih berdiri. Tapi keindahannya yang dahulu lenyap. Dan tugu itu kini dicat merah muda. Aku tak mengerti mengapa. Mungkin pasukan merah yang mengecatnya waktu menduduki kota kami (Toer,1999:17).

Jika melihat apa yang terjadi di dalam novel, situasi masyarakat saat itu cukup gamang. Terutama nasib para pejuang nasionalisme seperti Ayah tidaklah menyenangkan. Ayah dapat menjadi representasi para pejuang nasionalis yang nasibnya tidak membaik setelah kemerdekaan.

Konteks sosial berikutnya adalah keberadaan kaum proletar yang masih melihat kesejahteraan sebagai sesuatu yang jauh dari mereka. Bahkan, tokoh Aku malah menghujat kesejahteraan negaranya karena ia tidak bisa ikut menikmati kesejahteraan tersebut.


(56)

43

Penting untuk dicatat pula bagaimana kehidupan kaum nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan. Ayah, sebagai pejuang kemerdekaan, tidak bisa menikmati kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Sekalipun ia tetap bangga menjadi seorang nasionalis sampai akhir hidupnya, namun kenyataannya ia tetap mati dalam ketidaksejahteraan. Konteks sosial inilah yang menjadi bungkus cerita novel Bukan Pasar Malam.

3.3 Konteks Sosial Pramoedya Ananta Toer

Seperti yang telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, Pramoedya Ananta Toer bukanlah sosok stagnan yang berhenti pada suatu ideologi. Sebagai seorang penulis, ideologi dan pemikirannya pun bergerak, berubah serta berkembang. Ada pendapat yang mengelompokkan karya Pram menjadi dua bagian besar. Pertama karya Pram sebagai mahakarya dengan kritik sosial yang kental. Kedua, karya Pram yang cenderung seperti pamflet yang digunakan untuk menyerang lawannya (Farid, 2008:1).

Latar sosial Pram adalah seorang penulis yang tidak terlibat dalam organisasi atau partai tertentu. Hilmar Farid memberikan istilah unattached intelectual untuk sikap seperti ini. Itu artinya seorang intelektual yang tidak terkait dengan partai atau organisasi massa tertentu. Tidak hanya tidak terlibat, Pram bahkan bersikap sedikit menjauhi politik (Farid, 2008:1)

Pada tahun 1950 Pram pernah bekerja di penerbit Balai Pustaka. Dia juga membuka kantor agen sastra dan fitur bernama “Duta” yang bertahan sampai sekitar tahun 1954 (Farid, 2008:1). Dengan demikian, ideologi kiri yang selama ini begitu melekat pada Pram –hingga buku-bukunya dilarang – bukanlah sebuah produk yang


(1)

59 Latar tempat utama novel Bukan Pasar Malam adalah Jakarta dan Blora. Jakarta merupakan tempat tinggal Aku setelah keluar dari penjara. Jakarta adalah simbol kemajuan dan kemegahan kehidupan setelah kemerdekaan. Gambaran ini terutama terlihat dari gemerlapnya istana negara.

Blora merupakan kampung halaman tokoh ini. Kota ini adalah tujuan Aku dan istrinya untuk menjenguk Ayah yang sakit TBC. Blora menjadi simbol belum meratanya pembangunan. Di kota ini jalan-jalan masih sempit dan rumah-rumah sudah sangat tua dan hampir roboh. Hampir separuh lebih cerita ini berada di Blora, tepatnya di rumah sakit tempat Ayah dirawat.

Latar tempat yang juga menyertai cerita adalah di dalam kereta api dan kota-kota serta daerah-daerah yang dilalui oleh kereta itu dalam perjalanan dari Jakarta menuju Blora. Kota-kota itu antara lain Cakung, Lemah Abang, Semarang, Rembang dan batas Kota Blora. Di daerah-daerah itu Aku mengingat kembali perang yang dialaminya.

Konteks sosial novel Bukan Pasar Malam adalah Indonesia pada zaman pasca-kemerdekaan. Masyarakat pada masa itu sejatinya mengalami kegamangan akan masa depan terutama akan kebutuhan hidupnya. Pejuang nasionalis yang dalam novel ini ini diwakili oleh Ayah dan Aku mengalami nasib yang buruk. Ayah harus menghabiskan masa tua dengan sakit di rumah sakit yang tidak begitu bagus. Sementara Aku kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah keluar dari penjara. Euforia kemerdekaan belum menyentuh sendi kehidupan rakyat sehari-hari.

Situasi masyarakat pada masa itu juga sudah meninggalkan relasi feodalisme dan bergerak ke arah kapitalisme. Situasi seperti ini oleh Marx (1848)


(2)

60 disebut sebagai efek dari borjuasi yang menghilangkan segala relasi budaya yang sudah dibangun begitu lama dan digantikan dengan relasi ekonomis yang lebih bersifat jual beli.

Ideologi proletar dapat dirumuskan sebagai berikut : a) Kebutuhan di luar kebutuhan primer sangat menggelisahkan; b) Borjuis adalah musuh; c) Akses kesehatan mapan adalah hal yang mustahil; d) Relasi kehidupan adalah relasi ekonomi.

Ideologi proletar memang tidak sangat kuat ada dalam novel Bukan Pasar Malam. Hal ini disebabkan Pramoedya Ananta Toer belum terpengaruh secara kuat oleh ideologi kiri. Akan tetapi, temuan ideologi proletar dalam novel ini menunjukkan bahwa benih-benih ideologi kiri sudah mulai ditunjukkan oleh Pram.

Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer ingin mengambarkan secara lengkap bagaimana kehidupan orang Indonesia di masa Revolusi. Novel ini memberi penjelasan bahwa kehidupan waktu itu tidak mudah dan para pejuang nasionalis tidak dapat menikmati hidup dengan bahagia setelah kemerdekaan. Novel karya Pram ini juga memberikan bagaimana ideologi proletar tercermin – yaitu bagaimana kaum proletar berpikir, merasakan dan bertindak.

5.2Saran

Untuk penelitian lebih mendalam novel Bukan Pasar Malam bisa diteliti bersama dengan novel-novel sezamannya sebelum Pram terpengaruh oleh ideologi kiri, sepeti di antaranya Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Cerita dari Blora (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951). Dengan demikian bisa dilihat pola dan tema besar karya-karya Pram sebelum tahun 1958 ketika dia sudah aktif


(3)

61 di LEKRA. Hasil penelitian tersebut nantinya bisa menjadi bagian dari periodisasi karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer juga belum pernah diteliti dengan pendekatan psikologi sastra dan historis. Dengan psikologi sastra menarik untuk dilihat bagaimana pergulatan batin tokoh Aku dan Ayah dalam relasi kekeluargaan mereka. Sementara untuk pendekatan historis bisa diteliti keotentikan sejarah dan kesetiaan sejarah yang ada dalam novel ini. Alasannya, Pram menyebut beberapa kota dan peristiwa yang menjadi latar novel ini.


(4)

62 DAFTAR PUSTAKA

Baehaki, Akun. 2014. Marjinalisasi Kaum Proletar pada Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo.

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory; Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jala Sutra.

Brotoseno, Iman. 2014. Soerabaja. Stable URL: http://blog.imanbrotoseno.com/soerabaja/ Diakses 1/6/2017, 14.00

Bennet, Tony. 1979. New Accents: Formalism and Marxism. London: Methuen & Co Ltd.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Depdiknas. 2008. KamusBahasaIndonesia. Jakarta:Pusat Bahasa.

Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Eagleton, Terry. 2006. Marxism and Literary Criticsm.London: Taylor & Francis e-Library.

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Farid, Hilmar. 2008. Pramoedya dan Historiografi Indonesia. Stable URL: http://hilmarfarid.com/wp/342/ Diakses 1/6/2017, 13.00

Fiyani, Mega. 2011. Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Prammedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Satra. Skripsi. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidaytullah.

Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela.

Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 1964. The Communist Manifesto. New York: A Washington Square Press Publication.

Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 1848. Manifesto Partai Komunis. Stable URL: https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/ Diakses: 14/12/2016, 14:00.


(5)

63 Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustidaka Pelajar.

Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Ryan, Michael. 2011. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Praktis. Yogyakarta: Jalasutra.

Sirait, Hasudungan, dkk. 2011.Pram Melawan; Dari Perkara Sex, Lekra, PKI sampai Proses Kreatif. Jakarta: Penerbit Nalar.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.

Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Toer, Pramoedya Ananta. 1999. Bukan Pasar Malam. Yogyakarta: Bara Budaya Yogyakarta.

Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid 2. Jakarta: Hastra Mistra.

Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press.


(6)

64 BIODATA PENULIS

Penulis bernama Vincentius Gitiyarko Priyatno. Lahir di Karanganyar pada tanggal 5 Juni 1992 dari pasangan Ferdinandus Giyatno dan Maria Agnes Sri Hartanti. Istri penulis bernama Anna Elfira Prabandari Assa. Penulis menyelesaikan pendidikan SD di SD Kanisius Karangbangun. Pendidikan SMP ditempuh di SMP Negeri 1 Jumapolo. Laki-laki yang hobi membaca ini melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri Jumapolo dan lulus pada tahun 2009. Tahun 2013, penulis memasuki jenjang perguruan tinggi dan masuk di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma. Selama berkuliah, penulis aktif dalam kegiatan Bengkel Sastra, selain menjadi panitia kompetisi Wikipedia Jawa tahun 2015-2016. Penulis juga merupakan instruktur BIPA di Lembaga Bahasa Sanata Dharma sejak tahun 2015. Cita-citanya adalah selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa bahagia.