12
Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sumitro et al. 2009 dalam Apsah 2012 yang menyatakan bahwa efikasi diri adalah penilaian
individu trhadap keyakinan diri akan kemampuannya dalam menjalankan tugas sehingga memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga dapat
dikatakan bagi auditor yang memiliki self-efficacy yang baik dalam dirinya dapat melakukan tanggung jawabnya sebagai auditor dengan baik, dan dapat
mengendalikan stres kerja yang dialaminya. Penelitian ini pada dasarnya merupakan replikasi dari penelitian Popova 2013
yang berjudul “Exploration of skepticism, client-specific experiences, and audit judgements”. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah sebagai berikut: 1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menambahkan variabel independen yang diduga juga berpengaruh terhadap audit judgement, yaitu self-efficacy yang merupakan
pengembangan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar dan Sanusi 2011 yang berjudul Assesing The Effect of Self-efficacy and Task Complexity on Internal
Control Audit judgement. 2. Populasi Penelitian
Objek penelitian yang akan digunakan adalah auditor yang bekerja pada KAP yang ada di Jakarta. Pada penelitian sebelumnya menggunakan mahasiswa
senior akuntansi pada mata pelajaran auditing yang berada di USA.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
13
1. Apakah skeptisme berpengaruh terhadap audit judgement? 2. Apakah pengalaman auditor berpengaruh terhadap audit judgement?
3. Apakah self-efficacy berpengaruh terhadap audit judgement? 4.
Apakah skeptisme, pengalaman auditor, dan self-efficacy berpengaruh terhadap audit judgement?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan secara empiris: 1. Pengaruh skeptisme terhadap audit judgement.
2. Pengaruh pengalaman auditor terhadap audit judgement. 3. Pengaruh self-efficacy terhadap audit judgement.
4. Pengaruh skeptisme, pengalaman auditor, dan self-efficacy terhadap audit judgement.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi dunia akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk mengembangkan penelitian dalam bidang auditing, khususnya mengenai
audit judgement. 2. Bagi praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk
meningkatkan keahliannya dalam melakukan proses audit laporan keuangan. 3. Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada para akuntan khususnya akuntan publik dalam melaksanakan proses audit laporan keuangan.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Skeptisme, Pengalaman Auditor, dan Self-Efficacy terhadap
Audit judgement”.
14
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan Literatur
1. Teori Kontinjensi
Hakikat teori kontinjensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam semua keadaan situasi lingkungan. Masuknya pengaruh
variabel lingkungan dalam analisis organisasi diawali dengan kemunculan pendekatan sistem system approach dalam analisis organisasi dimana
kemunculan pendekatan ini sebenarnya karena inspirasi dari ilmu biologi, khususnya yang dikemukakan oleh Bertalanffy. Pendekatan sistem dibangun
berdasarkan anggapan bahwa organisasi pada hakikatnya mirip dengan organisme makhluk hidup yang terbuka terhadap pengaruh lingkungan
sekitarnya. Menurut pendekatan ini organisasi adalah sebuah open system besar yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling terkait.
Organisme di dalam sistem semacam itu akan mengambil dan sekaligus memberikan sesuatu dari dan kepada lingkungannya. Dengan pola simbiose
take and give itulah organisasi mempertahankan hidupnya. Sama halnya dengan makhluk hidup, menurut teori kontinjensi tujuan
akhir sebuah organisasi dalam beroperasi adalah agar bisa bertahan survive dan bisa tumbuh growth atau disebut juga keberlangsungan viability. Ada
dua hal yang dilakukan organisasi untuk menjalankan penyesuaian hidup terhadap lingkungannya. Pertama, manajemen menata konfigurasi berbagai
sub-sistem di dalam organisasi agar kegiatan organisasi menjadi efisien.
15
Kedua, bentuk-bentuk spesies organisasi memiliki efektivitas yang berbeda-beda dalam menghadapi perubahan dalam lingkungan luar. Dengan
kata lain mekanisme sistem pengendalian bisa sangat bervariasi sesuai dengan variasi lingkungan yang dihadapi. Dalam rangka mencari cara yang efektif,
organisasi seharusnya menghubungkan permintaan lingkungan eksternal dengan fungsi-fungsi internalnya. Seorang manajer harus bisa mengatur
harmonisasi fungsi-fungsi organisasinya dengan kebutuhan manusia Yudhistira, 2012.
Menurut teori kontinjensi sistem pengendalian berbeda-beda tergantung pada setting bisnisnya. Pujiati 2002 dalam Susetyo 2009 menyatakan bahwa
desain dan penggunaan sistem pengendalian adalah kontinjensi dalam konteks setting organisasional. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka dilakukan
perbandingan antara sistem pengendalian dan konteks variabel kontinjensi dengan hipotesis peningkatan kinerja organisasional.
Preferensi di tahap awal diperkirakan akan mempengaruhi pertimbangan auditor. Namun, jika auditor mempelajari preferensi dari pihak klien pada tahap
akhir, proses pertimbangan dan evaluasi bukti yang ada akan dapat dilakukan tanpa mengetahui pereferensi atau keinginan dari pihak klien. Auditor
diperkirakan sudah membentuk sebuah opini terlebih dahulu berdasarkan bukti yang telah terkumpul dan diperkirakan tidak akan terpengaruh oleh preferensi
atau keinginan pihak klien. Menurutnya, preferensi pada tahap akhir diperkirakan tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
preferensi klien seperti yang diuraikan Jenkins dan Haynes 2003 dalam Rizkiyana 2013.
16
2. Audit
a. Pengertian Audit
Auditing menurut Agoes 2008 dalam Rusyanti 2010: “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan
sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan
bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat menganai kewajaran laporan keuangan tersebut”.
Dapat diartikan auditing merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang independen untuk memberikan opini terhadap laporan yang
dibuat oleh pihak manajemen. Menurut Boynton dan Johnson 2006:6, definisi audit yang berasal dari The Report of the Committee on Basic
Auditing Concepts of the American Accounting Association Accounting Reiew, Vol 47 adalah sebagai berikut:
“A Systematic process of objectively obtaining and evaluating regarding assertions about economic actions and events to ascertain the
degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the results to interested users”.
Artinya auditing merupakan suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang
berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah
ditetapkan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.
Sedangkan Abdul Halim dalam Nurkomalasari 2011 mendefinisikan auditing sebagai berikut:
17
“Auditing adalah suatu proses sistematika untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti audit secara objektif mengenai asersi-asersi
tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menemukan tingkat kesesuaian dengan kriteria yang telah ditetapkan dan menyampaikan hasil-
hasilnya kepada pihak yang berkepentingan”.
Selain itu, menurut ASOBAC A Statement of Basic Auditing Concept dalam Prihandono 2012 auditing didefinisikan sebagai suatu proses
sistematik untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi
untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai
yang berkepentingan. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa auditing
merupakan serangkaian proses pemeriksaan yang dilakukan secara sistematik oleh seseorang yang independen dan kompeten, untuk
memperoleh bukti yang cukup untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. Kriteria yang dijadikan sebagai pedoman untuk
menyatakan pendapat tersebut berupa peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan yang dikenal dengan Ikatan Akuntan Publik Indonesia IAPI, dan
tertuang dalam suatu kitab yaitu Standar Professional Akuntan Publik SPAP. Laporan audit ini merupakan media yang dipakai oleh auditor
dalam mengomunikasikan hasil pekerjaannya terhadap suatu laporan keuangan yang diaudit untuk selanjutnya diberikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
18
b. Standar Auditing yang Berlaku Umum
Standar auditing merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya. Standar-standar ini merupakan dan
meliputi pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka seperti keahlian dan independensi, persyaratan dan pelaporan serta bahan bukti
audit. Standar auditing terdiri atas sepuluh standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar Auditing PSA.
Di Amerika Serikat, standar auditing semacam ini disebut Generally Accepted Auditing Standards GAAS yang dikeluarkan oleh The American
Institute of Certified Public Accountants AICPA kemudian diadaptasi oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia IAPI sejak tahun 1973 hingga sekarang.
PSA merupakan penjabaran lebih lanjut dari masing-masing standar yang tercantum didalam standar auditing. PSA berisi ketentuan-ketentuan dan
pedoman utama yang harus diikuti oleh Akuntan Publik dalam melaksanakan penugasan audit.
Kepatuhan terhadap PSA yang diterbitkan oleh IAPI ini bersifat wajib bagi seluruh anggota IAPI. Termasuk didalam PSA adalah Interpretasi
Pernyataan Standar Auditng IPSA, yang merupakan interpretasi resmi yang dikeluarkan oleh IAPI terhadap ketentuan-ketentuan yang diterbitkan
oleh IAPI dalam PSA. Dengan demikian, IPSA memberikan jawaban atas pernyataan atau keraguan dalam penafsiran ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam PSA sehingga merupakan perluasan lebih lanjut berbagai ketentuan dalam PSA. Tafsiran resmi ini bersifat mengikat bagi seluruh
anggota IAPI, sehingga pelaksanaannya bersifat wajib.
19
1 Standar Umum: Standar umum bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya, dan berbeda dengan standar
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan lapangan dan pelaporan. Standar pribadi atau standar umum ini berlaku sama dalam bidang
pelaksanaan pekerjaan lapangan dan pelaporan. a Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang telah memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor istilahnya disebut technical skill.
b Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor Independensi.
c Standar umum yang terakhir yaitu professional due care sehingga dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalisnya dalam cermat dan seksama. 2 Standar Pekerjaan Lapangan: Standar pekerjaan lapangan berkaitan
dengan pelaksanaan pemeriksaan akuntan di lapangan audit field work, mulai dari perencanaan audit dan supervise, pemahaman dan evaluasi,
pengendalian intern, pengumpulan bukti-bukti melalui compliance test, substantive test, analytical review, sampai selesainya audit field work.
a Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika menggunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya dalam istilah lain
supervision and planning. b Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus
diperoleh untk merencanakan audit dan menentukan sifat, dan lingkup pengujian yang harus dilakukan internal control.
20
c Bukti audit evidence yang cukup kompeten harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai
dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
3 Standar Pelaporan: standar pelaporan yang terdiri dari empat standar merupakan pedoman bagi auditor independen dalam menyusun laporan
auditnya. a Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah
disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau according to GAAP.
b Laporan auditor harus menunjukkan dan menyatakan, jika ada ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan
laporan keuangaan pada periode berjalan dibandingkan dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya Consistency.
c Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit Whole
Disclosure. d Laporan audit harus memuat suatu pendapat mengenai laporan
keuangan secara menyeluruh atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diterima, maka alasannya harus dinyatakan. In
Opinion.
21
B. Variabel Penelitian
1. Audit judgement
Dalam penetapan opini, audit judgement berperan sangat penting. Audit judgement merupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang auditor
dalam menanggapi informasi yang mempengaruhi dokumentasi bukti serta pembuatan keputusan pendapat auditor atas laporan keuangan suatu entitas.
Dimana audit judgement diperlukan pada saat berhadapan dengan ketidakpastian dan keterbatasan informasi maupun data yang didapat, dimana
pemeriksa dituntut untuk bisa membuat asumsi yang bisa digunakan untuk membuat judgement dan mengevaluasi judgement. Dalam hal ini, sebagaimana
judgement dalam audit digunakan untuk menentukan risiko audit, penentuan jumlah bukti dan pemilihan bukti. Cara pandang pemeriksa dalam menanggapi
informasi berhubungan dengan tanggung jawab dan risiko audit yang akan dihadapi oleh auditor sehubungan dengan judgement yang dibuatnya Jamilah
dkk dalam Margaret, 2014. Standar Profesi Akuntan Publik SPAP pada seksi 341 juga menyebutkan
bahwa audit judgement atas kemampuan kesatuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya harus berdasarkan pada ada tidaknya
kesangsian dalam diri auditor itu sendiri terhadap kemampuan suatu kesatuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode satu
tahun sejak tanggal laporan keuangan auditan. Pertimbangan utama dalam keputusan adalah etika, walaupun seringkali
melibatkan berbagai macam konflik kepentingan. Judgement akuntan profesional dapat dirusak oleh konflik kepentingan. Terdapat dua konflik
22
kepentingan, yaitu real conflict dan latent conflict. Real conflict adalah konflik yang mempunyai pengaruh pada masalah judgement yang ada, sedangkan
latent conflict adalah konflik yang bisa mempengaruhi judgement di masa mendatang. Contoh konflik yang kedua bisa terjadi pada auditor yang
penghasilannya didominasi oleh satu klien yang besar. Meskipun pada saat itu kondisi tersebut tidak menyulitkan, tetapi suatu waktu bisa terjadi diperlukan
adanya penyesuaian negatif terhadap laba. Klien dalam kondisi tersebut dapat menolak penyesuaian ini dengan mengancam akan pindah ke auditor lain
Muawanah 2001, dalam Sabaruddinsah 2007. Sedangkan menurut ISA 200 profesional judgement adalah penerapan
pengetahuan dan pengalaman yang relevan, dalam konteks auditing accounting dan standard etika, untuk mencapai keputusan yang tepat dalam situasi atau
keadaan selama berlangsungnya penugasan audit, dan kualitas pribadi, yang berarti bahwa judgement berbeda di antara auditor yang berpengalaman tetapi
pelatihan dan pengalaman dimaksudkan untuk mendorong konsistensi dalam judgement.
Puspitasari 2010 dalam Rizkiyana 2013 menjelaskan judgement sebagai perilaku paling berpengaruh dalam mempersiapkan situasi, di mana
faktor utama yang mempengaruhinya adalah materialitas dan apa yang diyakini sebagai kebenaran, sebagaimana paparan berikut:
1 Materialitas Dalam auditing materialitas sangat penting sigifikan dan esensial tapi
dalam konsepnya tidak terdapat aturan pengukurannya sehingga
23
tergantung pada pertimbangan auditor Mutmainah, 2006 dalam Rizkiyana 2013.
2 The Faith Syndrome Satu persepsi kondisi yang dapat mengarah pada berubahnya perilaku
auditor yaitu halo effect, Efek yang positif tapi terkadang merupakan persepsi yang keliru tentang orang lain Mutmainah, 2006 dalam
Rizkiyana, 2013. Simpulan audit biasanya didasarkan pada siapa yang telah melakukan pekeerjaan audit sebelumnya. Jika auditor memiliki
keyakinan tentang orang tersebut halo effect diterapkan pada auditor lama dan pekerjaan mereka. Judgement audit cenderung dipengaruhi
oleh persepsi aktivitas sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa audit judgement merupakan suatu pertimbangan yang dilakukan oleh para akuntan
publik ketika akan menerima perikatan, membuat perencanaan audit, serta sebelum mengeluarkan suatu opini terhadap laporan keuangan perusahaan,
dimana judgement dari akuntan publik ini dipengaruhi oleh berbagai faktor baik secara teknis seperti teknis seperti pembatasan lingkup dan waktu audit,
maupun faktor non-teknis seperti gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas, pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya.
2. Skeptisme
Menurut Jannah 2011 kata “skeptik” berasal dari kata Yunani skeptoi yang artinya: orang-orang yang mencari atau orang-orang yang mencari
24
informasi. Seorang skeptik disebut sebagai orang yang bersikap negatif terhadap banyak hal karena tidak mempercayai banyak hal atau meragukan
setiap hal. Dengan demikian, masyarakat menganggap “skeptisme” suatu hal yang negatif karena sifatnya yang selalu menegasi banyak hal. Mereka mencari
berbagai keterangan mengenai hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Para skeptik adalah orang-orang yang tiada henti mencari tahu dan bertanya mengenai
berbagai hal di sekitarnya. Skeptisme profesional auditor merupakan sikap attitude auditor dalam
melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.
Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti dan
konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan Noviyanti 2008, dalam Rusyanti 2010.
Shaub dan Lawrence 1996 dalam Suraida 2005 memberikan kontribusi tentang skeptisme profesional auditor sebagai berikut “Professional skepticism
is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce the harmful consequences or another person’s behavior”. Secara spesifik berarti
adanya suatu sikap kritis terhadap bukti audit dalam bentuk keraguan, pertanyaan atau ketidaksetujuan dengan pernyataan klien atau kesimpulan yang
dapat diterima umum. Auditor menunjukkan skeptisme profesionalnya dengan berfikir skeptis atau menunjukkan perilaku meragukan. Audit tambahan dan
menanyakan langsung
merupakan bentuk
perilaku auditor dalam
menindaklanjuti keraguan auditor terhadap klien.
25
Skeptisme tidak berarti bersikap sinis, terlalu banyak mengritik, atau melakukan penghinaan. Tanpa menerapkan skeptisme profesional, audit hanya
akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena
kecurangan biasanya akan disembuyikan oleh pelakunya. Jadi, rendahnya tingkat skeptisme professional auditor akan menyebabkan kegagalan dalam
mendeteksi kecurangan. Secara ekonomis juga dapat merugikan Kantor Akuntan Publik dan juga hilangnya reputasi akuntan publik dimata masyarakat
serta hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal Kriswandari 2006, dalam Jannah 2011.
Sikap skeptisme profesional perlu dimiliki oleh auditor terutama pada saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit. Auditor tidak dapat
mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi auditor juga tidak dapat mengasumsikan bahwa manajemen adalah jujur. Auditor harus
merencanakan dan melaksanakan audit dengan sikap skeptisme profesional, dengan mengakui bahwa ada kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan
audit Magisterina, 2013. Jadi secara umum para ahli berpendapat bahwa skeptisme merupakan
sikap kritis seseorang dalam menghadapi situasi dan sikap ini berbeda-beda tingkatannya atau variatif menurut kepribadian diri seseorang. Sehubungan
dengan hal tersebut auditor juga harus bisa mempertahankan dan meningkatkan kualitas auditnya dengan independensi dan due professional care Putri dan
Nur, 2013 dalam Prasetya dan Sari, 2014
26
Salah satu penyebab dari suatu kegagalan audit adalah rendahnya skeptisme profesional, sehingga akan menumpulkan kepekaan auditor terhadap
kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda- tanda bahaya yang akan mengindikasikan adanya kesalahan dan kecurangan.
Skeptisme profesional akan membantu auditor dalam menilai dengan kritis risiko yang dihadapi dan memperhitungkan risiko tersebut dalam bermacam-
macam keputusan untuk menerima atau menolak klien, memilih metode dan teknik audit yang tepat, menilai bukti-bukti audit yang dikumpulkan dan
seterusnya Prihandono, 2012. Dalam hal ini, auditor yang memiliki skeptisme profesional akan
menerapkan sikap skeptisnya hanya sebatas melaksanakan tugas profesinya saja, tanpa sepenuhnya menjadi skeptis. Oleh karena itu, dengan adanya
skeptisme profesional dalam diri auditor akan mengakibatkan beberapa hal, sebagai contoh, auditor memberikan pertanyaan lebih dari yang biasa yang
bersifat investigatif, menganalisa jawaban-jawaban dengan kritis dan secara hati-hati membandingkan hasil jawaban dengan kenyataan yang terlihat di
lapangan. Dapat disimpulkan bahwa skeptisme ini berarti suatu sikap auditor yang
selalu mencurigai suatu hal dan tidak mudah percaya terhadap informasi yang ada. Namun perlu diingat juga bahwa sikap skeptis ini jangan berlebihan
melainkan hanya sebatas profesionalisme kerja saja, dan apabila suatu informasi yang diberikan telah disertai dengan bukti-bukti yang lengkap
sebaiknya tingkat skeptisme ini dapat dikurangi.
27
3. Pengalaman Auditor
Salah satu kunci keberhasilan auditor dalam melakukan audit adalah bergantung kepada seorang auditor yang memiliki keahlian yang meliputi
dua unsur yaitu pengetahuan dan pengalaman Nugraha, 2013. Kusumastuti 2008 dalam Aulia 2013 menyatakan bahwa pengalaman adalah
keseluruhan perjalanan yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dialami dalam perjalanan hidupnya. Pengalaman berdasarkan lama
bekerja merupakan pengalaman auditor yang dihitung berdasarkan suatu waktu atau tahun. Sehingga auditor yang telah lama bekerja dapat dikatakan
berpengalaman. Karena semakin lama bekerja menjadi auditor, maka akan dapat menambah dan memperluas pengetahuan auditor dibidang akuntansi
dan di bidang auditing. Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan
perkembangan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non-formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa
seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Suatu pembelajaran juga mencakup perubahan yang relatif tepat dari perilaku yang
diakibatkan pengalaman, pemahaman dan praktek Asih 2006, dalam Purwanti dan Khairani 2013.
Kemudian ditambahkan oleh Nugraha 2013 bahwa pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja
auditor, dalam hal ini adalah kualitas auditnya. Dalam hal ini auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun
pendidikan umum. Auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman
28
yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan
keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari.
Selanjutnya menurut Susetyo 2009 dalam Praditaningrum 2011 menyatakan bahwa pengalaman akan mengurangi pengaruh informasi yang
tidak relevan dalam judgement auditor. Auditor yang berpengalaman dalam membuat suatu judgement tidak mudah dipengaruhi oleh kehadiran
informasi yang tidak relevan. Oleh karena itu pengalaman diharapkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan ataupun tingkat kecurigaan auditor
terhadap kliennya, yaitu lamanya auditor berpengalaman dalam memberikan jasa kepada kliennya Kriswandari 2006 dalam Jannah 2011.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman merupakan sesuatu yang diperoleh seseorang dari aktivitas
yang dialami dalam perjalanan hidupnya. Pengalaman audit merupakan pengalaman auditor dalam melakukan audit atas laporan keuangan baik dari
segi lamanya waktu maupun banyaknya klien yang pernah ditangani. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan yang sama, semakin
terampil dan juga semakin cepat dia dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin banyak macam pekerjaan yang telah dilakukan, maka
pengalaman kerjanya pun semakin kaya dan luas.
29
4. Self-efficacy
Bandura 1993 dalam Nadhiroh 2010 menyatakan bahwa self-efficacy adalah kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada
sebuah tingkat tertentu, yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tujuan. Self-efficacy dapat dikatakan sebagai faktor personal yang
membedakan setiap individu dan perubahan dan juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku terutama dalam penyelesian tugas dan tujuan
Philip dan Gully, 1997 dalam Bintang, 2008. Sementara itu, Baron dan Byne dalam Pratama 2013 mendefinisikan
efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi
hambatan. Efikasi diri ini dapat berasal dari beberapa sumber, diantaranya pengalaman diri sendiri, pengalaman orang lain, persuasi verbal, kemudian
keadaan fisiologis dan psikologis Yayan, 2013. Teori ini memandang pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan
melalui proses kognitif informasi yang diterima. Dimana sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia berawal dari apa yang
dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif terhadap motivasi, sikap,
dan perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan
secara terus menerus mengalami proses berfikir kritis terhadap informasi yang diterima. Hal tersebut mempengaruhi motivasi, sikap, dan perilaku individu.
30
Sedang proses kognitif setiap individu berbeda tergantung keunikan karakteristik personalnya Nugraheni, 2012.
Bandura 1997 dalam Apsah 2012 menyatakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy yaitu:
1 Pengalaman Keberhasilan Mastery Experiences Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan self-efficacy
yang dimiliki seseorang sedangkan kegagalan akan menurunkan self- efficacynya. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang auditor dalam
menjalankan tugasnya lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-
efficacy. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangan auditor
sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan self- efficacynya.
2 Pengalaman Orang Lain Vicarious Experiences
Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan
self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self- efficacy tersebut didapat melalui sosial model yang biasanya terjadi pada
diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan modelling. Namun
self-efficacy yang didapat tidak akan terlalu berpengaruh bila model yang diamati tidak meiliki kemiripan atau berbeda dengan model.
31
3 Persuasi Sosial Social Persuation Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh
seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa dia cukup mampu melakukan suatu tugas.
4 Keadaan Fisiologis dan Emosional Physiological and Emotional States Kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika
melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam
kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan lainnya. Self-efficacy yang tinggi
biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan, sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stres dan
kecemasan yang tinggi pula. Perilaku self-efficacy ini sangat berpengaruh bagi auditor dalam
menyelesaikan tanggung jawabnya, tingkat efikasi diri yang mereka miliki tentu saja berdampak terhadap judgement yang mereka buat. Sebagai
contoh, seseorang yang memiliki efikasi tinggi secara umum menganggap dirinya sanggup melakukan banyak hal di berbagai situasi, namun seseorang
yang memiliki efikasi diri yang rendah berkeyakinan bahwa tidak ada hal- hal yang dapat mereka kuasai. Sebagaimana sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Iskandar dan Sanusi 2011 yang mengatakan bahwa auditor dengan efikasi diri yang tinggi melakukan audit judgement yang lebih baik
dibandingkan dengan efikasi diri yang rendah.
32
C. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis
1. Pengaruh Skeptisme terhadap Audit judgement
Popova 2013 melakukan penelitian terhadap 79 kuisioner di USA yang memberikan hasil bahwa keputusan audit dipengaruhi oleh dua tingkat
skeptisme tinggi dan rendah dan juga dipengaruhi oleh hipotesis sebelumnya mengenai pengalaman spesifik klien positif, negatif, dan netral.
Penelitian tersebut didukung oleh Gusti dan Ali 2008 dalam Prihandono 2012 yang memberikan bukti empiris bahwa skeptisme profesional auditor
berpengaruh positif terhadap kualitas audit yang dihasilkan. Skeptisme profesional auditor dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain situasi audit yang dihadapi, etika, pengalaman, pengetahuan, dan keahlian.
Hasil penelitian ini konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang diungkapkan oleh Sabrina K dan Januarti 2011 yang penelitiannya dilakukan
menggunakan 200 kuesioner yang disebar kepada Kantor Akuntan Publik Big 4, yang memberi hasil bahwa gender berpengaruh secara langsung terhadap
ketaatan pemberian opini, dan situasi audit berpengaruh positif dengan ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisme profesional auditor.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Popova 2013, Gusti dan Ali 2008, Sabrina dan Januarti 2011 maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Skeptisme berpengaruh terhadap audit judgement.
2. Pengaruh Pengalaman Auditor terhadap Audit judgement
Elisabeth 2012 dalam Raiyani dan Saputra 2014 menyatakan bahwa selain pengetahuan, pengalaman juga dapat mempengaruhi kemampuan
33
seorang auditor dalam memberikan judgement dengan memprediksi kecurangan yang terjadi dalam perusahaan. Dari pengalaman tersebut auditor
dapat belajar bagaimana cara melakukan suatu judgement. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Sularso dan Na’im 1999 dalam
Sabaruddinsah 2007 yang memperlihatkan bahwa seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang
tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa.
Tanda positif menunjukkan bahwa semakin tinggi pengalaman audit yang dimiliki oleh seorang auditor maka judgement yang diambil auditor juga akan
semakin baik dan tepat. Banyaknya pengalaman dalam bidang audit dapat membantu auditor dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang
cenderung mempunyai pola yang sama. Seperti yang dijelaskan dalam teori kognitif Piaget, auditor dapat belajar dari pengalamannya sendiri. Setiap kali
auditor melakukan audit maka auditor akan belajar dari pengalaman audit sebelumnya dan meningkatkan kecermatan dalam pelaksanaan audit. Sehingga
audit judgement yang diambil oleh auditor tersebut akan semakin berkualitas Praditaningrum dan Januarti, 2011. Suraida 2005 dalam penelitiannya juga
mengatakan bahwa etika, kompetensi, pengalaman audit, risiko audit dan skeptisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap ketepatan
pemberian opini akuntan publik. Kemudian kembali didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Herliansyah dan Meifida 2006 yang memberikan hasil bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih
34
baik dalam tugas-tugas profesional dibanding dengan akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman.
Penelitian tersebut konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Azwar 1988 dalam Sabrina dan Januarti 2011 yang menyatakan bahwa di antara
faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, pembentukan sikap penting karena akan berpengaruh pada prosedur audit yang
dijalani auditor tersebut sehingga opini yang diberikan akan tepat. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Raiyani dan Saputra 2014,
Sabaruddinsah 2007, Praditaningrum dan Januarti 2011, Herliansyah dan Meifida 2006, serta Sabrina dan Januarti 2011 maka hipotesis yang diajukan
adalah: H2: Pengalaman auditor berpengaruh terhadap audit judgement.
3. Pengaruh Self-efficacy terhadap Audit judgement
Self-efficacy berpengaruh postif signifikan terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judgement, karena ketika seseorang memiliki self-efficacy
yang tinggi, maka individu akan mudah menentukan tindakan dan dapat mengatasi hambatan kerja dengan baik, berpikir kreatif serta cenderung untuk
berhasil dalam tugasnya sehingga meningkatkan kepuasan atas apa yang dikerjakannya Apsah, 2012.
Kemudian menurut penelitian yang dilakukan oleh Iskandar dan Sanusi 2011 menemukan hasil bahwa, seseorang yang memiliki tingkat self-efficacy
yang tinggi akan memberikan hasil yang lebih baik pada audit judgement dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat self-efficacy yang
35
rendah pada tugas yang sederhana. Namun, self-efficacy terhadap audit judgement tidak terlalu berpengaruh ketika tugas yang dihadapi cukup
kompleks. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadhiroh 2010
memperoleh simpulan bahwa kompleksitas tugas, orientasi tujuan pembelajaran dan self-efficacy tidak berpengaruh secara signifikan, namun
orientasi tujuan penghindaran-kinerja berpengaruh secara negatif dan signifikan dalam pembuatan audit judgement.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Apsah 2012, Iskandar dan Sanusi 2011, dan Nadhiroh 2010 maka hipotesis yang diajukan adalah:
H3: Self-efficacy berpengaruh terhadap audit judgement.
4. Pengaruh Skeptisme, Pengalaman Auditor, dan Self-Efficacy terhadap
Audit Judgement
Berdasarkan keterkaitan antar masing-masing variabel serta hasil penelitian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa auditor yang memiliki
sifat skeptisme, pengalaman auditor, dan self-efficacy yang rendah akan berakibat pada kurang baiknya penilaian audit yang dihasilkan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa skeptisme, pengalaman auditor dan self- efficacy berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap audit judgement.
Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: H4: Skeptisme, pengalaman auditor, dan self-efficacy berpengaruh terhadap
audit judgement.
36
D. Penelitian Terdahulu
Adapun perbedaan dan persamaan penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya serta hasil-hasil dari penelitian terdahulu mengenai topik yang berkaitan dengan
penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Nama
Peneliti Judul
Variabel Hasil
Penelitian Persamaan
Perbedaan 1.
Velina Popova
2013 Exploration
of Skepticism,
Client- Specific
Experiences, and
Audit judgements.
Variabel skeptisme,
pengalaman , dan audit
judgement.
Jenis penelitaian
kuantitatif. Sumber
data kuesioner.
Variabel pengalaman
spesifik klien. Populasi.
penelitian di negara USA.
Keputusan audit
dipengaruhi oleh
dua tingkat
skeptisme tinggi
dan rendah dan
juga dipengaruhi
oleh hipotesis sebelumnya
mengenai pengalaman
spesifik klien positif,
negatif, netral.
2. Carmen
B. Rios- Figueroa
and Rogelio
J. Cardona
2013 Does
Experience Affect
Auditors’ Professional
Judgement? Evidence
From Puerto Rico.
Variabel pengalaman
dan audit
judgement. Jenis
penelitaian kuantitatif.
Sumber data
kuesioner. Tahun
data 2011.
Populasi penelitian
di wilayah
Amerika Selatan.
Pengalaman tidak
berpengaruh terhadap
keputusan yang mereka
ambil ketika keputusan
tersebut didasarkan
pada pertimbangan
profesional.
Bersambung pada halaman selanjutnya
37
No. Nama
Peneliti Judul
Variabel Hasil
Penelitian Persamaan
Perbedaan 3.
Della Eka
Rizkiyan a
2013 Pengaruh
Pengalaman Audit
dan Preferensi
Klien terhadap
Audit judgement
dengan Kredibilitas
Klien sebagai Variabel
Moderating. Variabel
pengalaman audit
dan audit
judgement. Populasi
penelitian auditor pada
KAP di
Jakarta. Teknik
pengambila n
sampel menggunak
an Purposive
Sampling.
Jenis penelitian
kuantitatif Sumber data
kuesioner Variabel
preferensi klien
dan kredibilitas
klien. Tahun
data 2013
Pengalaman audit
tidak memiliki
pengaruh terhadap
audit judgement.
Preferensi klien
berpengaruh terhadap
audit judgement.
Pengalaman audit,
preferensi klien,
kredibilitas klien
dan moderat
berpengaruh terhadap
audit judgement.
Pengalaman audit
dan preferensi
kletn berpengaruh
secara simultan dan
signifikan terhadap
audit judgement.
4. Rini
Purwanti dan Siti
Khairani 2013
Pengaruh Pengalaman,
Kemampuan dan
Pengetahuan terhadap
Audit judgement
yang Diambil oleh Auditor.
Variabel pengalaman
dan audit
judgement. Jenis
penelitian kuantitatif.
Sumber data kuesioner.
Variabel kemampuan
dan pengetahuan.
Populasi penelitian
di kota
Palembang. Pengalaman,
kemampuan, dan
pengetahuan memiliki
pengaruh positif
pada audit
judgement.
Bersambung pada halaman selanjutnya
Tabel 2.1 Lanjutan
38
No. Nama
Peneliti Judul
Variabel Hasil
Penelitian Persamaan
Perbedaan 5.
Siti Apsah
2012 Pengaruh
Kompleksita s Tugas, Job
Stress,
dan Self-efficacy
terhadap Kinerja
Auditor dalam
Pembuatan Audit
judgement. Variabel
self-efficacy dan
audit judgement
Populasi penelitian
KAP yang ada di
Jakarta
Sumber data
menggunak an
kuesioner Variabel
Kompleksitas tugas,
job stress
Penentuan sampel dengan
metode convenience
sampling
Tahun data 2011
Kompleksitas tugas
tidak berpengaruh
signifikan, sedangkan
job stress dan self-efficacy
berpengaruh positif
signifikan terhadap
kinerja auditor dalam
pembuatan audit
judgement.
6. Takiah
Mohd Iskandar
and Zuraidah
Mohd Sanusi
2011 Assessing
The Effect of Self-efficacy
and
Task Complexity
on Internal
Control Audit judgement.
Variabel self-efficacy
dan audit.
judgement Jenis
penelitaian kuantitatif.
Variabel kompleksitas
tugas. Populasi.
penelitian di negara
Malaysia.
Sumber data brosur buku
kecil. Auditor yang
memiliki efikasi
diri yang
tinggi lebih
baik dalam
membuat audit
judgement dibandingkan
dengan auditor yang
memiliki efikasi
diri yang rendah.
Para auditor menunjukkan
keahlian yang lebih baik
dalam audit judgement
ketika kompleksitas
nya rendah.
Bersambung pada halaman selanjutnya
Tabel 2.1 lanjutan
39
No. Nama
Peneliti Judul
Variabel Hasil
Penelitian Persamaan
Perbedaan 7.
Rr. Sabrina
K. dan
Indira Januarti
2011 Pengaruh
Pengalaman, Keahlian,
Situasi Audi, Etika
dan Gender
tergadap Ketepatan
Pemberian Opini
Auditor melalui
Skeptisme Profesional
Auditor Variabel
pengalaman dan
skeptisme. Populasi
penelitian auditor
yang bekerja
pada KAP di Jakarta.
Pengambila n sampel
menggunak an metode
purposive sampling.
Sumber data
kuesioner. Varibel
keahlian, situasi
audit, etika
dan gender.
Tahun data 2011
Gender berpengaruh
secara langsung
terhadap ketepatan
pemberian opini auditor
dan
situasi audit
berpengaruh positif dengan
ketepatan pemberian
opini auditor melalui
skeptisme profesional
audit. Sedangkan
faktor lainnya tidak
berpengaruh langsung.
8. Siti Asih
Nadhiroh 2010
Pengaruh Kompleksita
s Tugas,
Orientasi Tujuan, dan
Self-efficacy terhadap
Kinerja Auditor
Dalam Pembuatan
Audit judgement.
Variabel Self-
efficacy. Sumber data
kuesioner. Jenis
penelitian kuantitatif.
Variabel Kompleksitas
Tugas dan
Orientasi Tujuan.
Populasi penelitian
di Semarang.
Metode pengambilan
sampel menggunakan
non probability
sampling.
Tahun data
2010. Kompleksitas
tugas, orientasi
tujuan pembelajaran
dan
self- efficacy tdak
berpengaruh secara
signifikan, sedangkan
orientasi tujuan
penghindaran -kinerja
berpengaruh secara negatif
dan signifikan.
Sumber: Diolah dari berbagai referensi
Tabel 2.1 lanjutan
40
E. Kerangka Pemikiran