Identifikasi dan Karakterisasi Ayam Tiren

(1)

SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN

Oleh :

Ajeng Rucitra Nareswari F24102044

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Ajeng Rucitra Nareswari F24102044

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

Ajeng Rucitra Nareswari F24102044 Identifikasi dan Karakterisasi Ayam Tiren Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto

ABSTRAK

Daging ayam telah menjadi sumber protein hewani terpenting dari subsektor peternakan. Peran daging ayam selain sebagai substitusi daging sapi yang lebih mahal harganya juga untuk meningkatkan gizi rakyat dengan meningkatkan konsumsi protein hewani. Kasus penjualan ayam tiren (mati kemaren) beberapa tahun terakhir marak terjadi di beberapa daerah. Informasi yang terbatas menyebabkan kasus ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat terutama konsumen daging ayam. Ayam tiren pada dasarnya adalah ayam bangkai yaitu ayam yang mati bukan karena disembelih pada saat masih hidup melainkan ayam yang sebelumnya telah mati disebabkan daya tahan yang kurang baik selama perjalanan atau terkena penyakit kemudian sengaja disembelih untuk dijual di pasar.

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengamatan dan wawancara secara langsung di lapangan kemudian dilanjutkan dengan tahap penelusuran berdasarkan informasi yang telah didapat mengenai kasus peredaran ayam tiren di kota Bogor. Pada penelitian utama, pengamatan daging ayam normal dan daging ayam tiren diamati beberapa parameter, yaitu nilai pH, kekenyalan objektif, warna, dan total mikroba (Total Plate Count). Daging ayam normal dan ayam tiren diamati dalam beberapa perlakuan, yakni ayam mentah, ayam goreng, dan ayam bumbu. Pada penelitian ini dilakukan uji organoleptik dengan cara mendeskripsikan beberapa sampel yang disajikan. Sampel yang disajikan yaitu ayam normal dan ayam tiren dengan masing-masing perlakuan. Parameter yang diukur adalah kesan warna, aroma, dan tekstur masing-masing sampel.

Dari percobaan didapat hasil bahwa nilai pH daging ayam tiren selalu lebih tinggi dibandingkan daging ayam normal pada seluruh perlakuan yang digunakan. Nilai pH daging ayam tiren pada masing-masing perlakuan adalah 6.16 (mentah), 6.12 (goreng), dan 6.07 (bumbu). Nilai pH pada daging ayam normal yaitu 5.36 (mentah), 5.43 (goreng), dan 5.74 (bumbu). Berdasarkan analisis sidik ragam, nilai pH daging ayam normal dan ayam tiren berbeda nyata (P<0.05) pada seluruh perlakuan. Nilai pH mempengaruhi warna dan kecerahan pada daging. Nilai pH yang tinggi menyebabkan warna daging menjadi gelap dan pada keadaan pH rendah warna daging menjadi pucat. Daging ayam normal memiliki tingkat kecerahan lebih tinggi dibandingkan daging ayam tiren. Hal ini berlaku untuk perlakuan pada daging mentah dan ayam goreng dengan nilai masing-masing 57.8 (daging ayam normal mentah), 72.5 (daging ayam normal goreng), 48.5 (daging ayam tiren mentah), dan 65.2 (daging ayam tiren goreng). Perlakuan pemasakan dengan bumbu menyebabkan daging ayam tiren memiliki tingkat kecerahan yang tidak berbeda nyata dengan daging ayam normal (P>0.05). Nilai pH juga mempengaruhi kekenyalan daging. Semakin rendah nilai pH maka semakin tinggi tingkat kekenyalan daging ayam. Pada berbagai perlakuan, daging ayam normal menghasilkan tingkat kekenyalan lebih tinggi dibandingkan daging ayam tiren. Kekenyalan objektif daging ayam normal yaitu 22.4 (mentah) ,42.8 (goreng), dan 39.5 (ayam bumbu). Kekenyalan daging ayam normal berbeda


(4)

nyata (P<0.05) dengan kekenyalan daging ayam tiren yang memiliki tingkat kekenyalan 19.1 (mentah) , 39.5 (goreng), dan 37.6 (ayam bumbu).

Total mikroba pada daging ayam tiren lebih tinggi dibandingkan ayam normal pada ketiga perlakuan. Pada metode penghancuran total mikroba ayam tiren masing-masing perlakuan adalah 3.8×108 cfu/gram (mentah), 4.8×107 cfu/gram (goreng), dan 1.5×104 cfu/gram (pemasakan dengan bumbu). Sedangkan pada ayam normal jumlahnya adalah 5.1×104 cfu/gram (mentah), 2.6×105 cfu/gram (goreng), dan 5.0 ×103 cfu/gram (pemasakan dengan bumbu).

Ayam tiren memiliki ciri-ciri yang sangat jelas berbeda dengan ayam normal. Ciri-ciri tersebut antara lain kulitnya yang licin agak berlendir, terdapat beberapa bercak darah di bagian tubuh tertentu, baunya yang lebih menyengat dibandingkan dengan ayam normal, serta beberapa ciri fisik lainnya. Ayam tiren termasuk bangkai yang sangat jelas haram hukumnya untuk dikonsumsi.


(5)

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AJENG RUCITRA NARESWARI F24102044

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006


(6)

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

AJENG RUCITRA NARESWARI F24102044

Dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1984 Di Jakarta

Tanggal lulus : Menyetujui, Bogor, Agustus2006

Dr.Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.sc Ketua Departemen ITP


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Karunia, Hidayah dan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitiannya.. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam penyelesaian karya ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu dan mendoakan penulis dalam menyalesaikan penelitian dan penyusunan skripsinya. Amin yaa rabbal alamin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan ucapan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua, kakakku Dita, dan adikku Dimas tersayang atas kasih sayang, do’a, dukungan dan kesabaran yang tanpa batas kepada penulis sejak penulis lahir hingga sekarang.

2. Dr.Ir.Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan nasehat membangun kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian skripsi.

3. Dr. Ir. M. Arpah, M.Si dan Antung Sima, STP atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan saran yang diberikan pada saat sidang skripsi penulis. 4. Rekan-rekan sebimbingan, Risky Yandi, Wahyu HP, Bangun, Andri ST,

Teddi, Imam, Dodi, Cici dan Indri. Terima kasih atas kebersamaan terutama saat bimbingan selama ini.

5. Rekan-rekan TPG’39, ’38, ’40, dan ’41. Terima kasih untuk semua kenangan dan keceriaan yang diberikan kepada penulis

6. Teman-teman Puri Sembilan, asrama TPB dan alumni SMU Negeri 70 Jakarta

7. Seluruh staf dan laboran di departemen TPG

8. Dinas Agribisnis Kota Bogor, pihak pemotong ayam, dan pedagang ayam di pasar tradisional kota Bogor atas informasi yang telah diberikan.

9. Seluruh pihak yang tidak dpaat disebutkan satu per satu Semoga penelitian ini berguna bagi seluruh pihak.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ..viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... ..1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

C. MANFAAT PENELITIAN ... 3

D. DASAR PEMIKIRAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. AYAM PENGHASIL DAGING ... 4

B. PROSES PEMOTONGAN AYAM ... 4

C. KARKAS AYAM ... 7

D. MUTU KARKAS ... 9

E. KERUSAKAN AYAM ... 11

F. AYAM TIREN ... 13

G. LEGALITAS AYAM TIREN ... 14

III. METODOLOGI ... 16

A. Bahan dan Alat ... 16

1. Bahan ... 16

2. Alat ... 16

B. Prosedur Penelitian ... 16

1. Studi Pustaka ... 16

2. Teknik Pengumpulan Data ... 17

2.1. Pengamatan Langsung dan Wawancara ... 17

2.2. Penelusuran ... 17


(9)

3.1.1. Warna ... 17

3.1.2. pH ... 18

3.1.3. Kekenyalan Objektif ... 19

3.2. Analisis Total Mikroba... 19

3.2.1. Metode Penghancuran ... 19

3.2.2. Metode Swab (Oles) ... 20

3.3. Uji Organoleptik ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. Penelitian Pendahuluan ... 23

B. Analisis Fisik ... 26

1. pH ... 26

2. Kekenyalan Objektif ... 28

3. Warna ... 29

4. Analisis Mikrobiologis ... 34

C. Uji Organoleptik ... 38

a. Aroma ... 38

b. Warna ... 41

c. Tekstur ... 44

D. Status Ayam Tiren ... 47

V. KESIMPULAN dan SARAN ... 50

A. KESIMPULAN ... 50

B. SARAN ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 54


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.Kasus penjualan ayam tiren di Indonesia ... 2

Tabel 2.Persentase karkas dan bagian tubuh ayam pedaging ... 9

Tabel 3.Persyaratan tingkatan mutu karkas daging ayam ... 11

Tabel 4.Perbandingan karakteristik karkas ayam normal dan ayam tiren ... 23


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tahap Pemotongan Ayam...5

Gambar 2. Perbedaan Karkas Ayam Normal dan Ayam Tiren... 24

Gambar 3. Grafik nilai pH Daging Ayam ... 27

Gambar 4. Grafik Persentase Kekenyalan Daging Ayam ... 29

Gambar 5. Perbedaan warna daging ayam normal dan ayam tiren pada perlakuan pemasakan dengan bumbu………...31

Gambar 6. Grafik Tingkat Kecerahan Daging Ayam ... 32

Gambar 7. Perbedaan warna daging ayam normal dan ayam tiren mentah .... 33

Gambar 8. Perbedaan warna daging ayam normal dan ayam tiren goreng ... 33

Gambar 9. Grafik Total Plate Count Daging Ayam dengan Metode Swab ... 35

Gambar 10.Grafik Total Plate Count Daging Ayam dengan Metode Penghancuran ... 36

Gambar 11.Grafik uji skalar garis terhadap aroma daging ayam mentah ... 39

Gambar 12.Grafik uji skalar garis terhadap aroma daging ayam goreng ... 40

Gambar 13.Grafik uji skalar garis terhadap aroma daging ayam bumbu ... 41

Gambar 14.Grafik uji skalar garis terhadap warna daging ayam mentah ... 42

Gambar 15.Grafik uji skalar garis terhadap warna daging ayam goreng ... 43

Gambar 16.Grafik uji skalar garis terhadap warna daging ayam bumbu ... 44

Gambar 17.Grafik uji skalar garis terhadap tekstur daging ayam mentah ... 45

Gambar 18. Grafik uji skalar garis terhadap tekstur daging ayam goreng ... 46

Gambar 19. Grafik uji skalar garis terhadap tekstur daging ayam bumbu ... 47


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Analisis Pengukuran Nilai pH pada sampel ... 54

Lampiran 2. Hasil Analisis Mikrobiologis Daging Ayam pada Berbagai Perlakuan...55

Lampiran 3. Hasil Pengukuran Persentase Kekenyalan Daging Ayam ... 56

Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam (pH) Sampel ... 57

Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Tingkat Kecerahan Sampel ... 58

Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Kekenyalan Sampel ... 59

Lampiran 7. Deskripsi Kesan Aroma Ayam Normal Mentah ... 60

Lampiran 7. Deskripsi Kesan Aroma Ayam Tiren Mentah ... 60

Lampiran 8. Deskripsi Kesan Aroma Ayam Normal Goreng ... 61

Lampiran 9. Deskripsi Kesan Aroma Ayam Tiren Goreng ... 62

Lampiran 10.Deskripsi Kesan Aroma Ayam Normal Bumbu ... 63

Lampiran 10.Deskripsi Kesan Aroma Ayam Tiren Bumbu ... 63

Lampiran 11.Deskripsi Kesan Warna Ayam Normal Mentah ... 64

Lampiran 11.Deskripsi Kesan Warna Ayam Tiren Mentah ... 64

Lampiran 12.Deskripsi Kesan Warna Ayam Normal Goreng ... 65

Lampiran 12.Deskripsi Kesan Warna Ayam Tiren Goreng ... 65

Lampiran 12.Deskripsi Kesan Warna Ayam Normal Bumbu ... 65

Lampiran 12.Deskripsi Kesan Warna Ayam Tiren Bumbu ... 65

Lampiran 13.Deskripsi Kesan Tekstur Ayam Normal Mentah ... 66

Lampiran 13.Deskripsi Kesan Tekstur Ayam Tiren Mentah ... 66

Lampiran 13.Deskripsi Kesan Tekstur Ayam NormalGoreng... 66

Lampiran 13.Deskripsi Kesan Tekstur Ayam Tiren Goreng ... 66

Lampiran 14.Deskripsi Kesan Tekstur Ayam Normal Bumbu ... 67

Lampiran 14.Deskripsi Kesan Tekstur AyamTiren Bumbu ... 67


(13)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Produk pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pangan harus memenuhi beberapa prasyarat yaitu aman, bermutu, bergizi dan tersedia cukup, terutama untuk melindungi kesehatan dan keyakinan masyarakat.

Gizi yang baik harus berimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Kecukupan gizi seseorang diukur dari tingkat konsumsi kalori dan protein. Salah satu protein yang bernilai tinggi yaitu protein hewani, mengandung asam-asam amino essensial.

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dan pendapatan per kapita penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan makanan. Daging ayam memberi sumbangan yang sangat berarti dalam memenuhi kebutuhan protein hewani. Berdasarkan data Susenas (BPS, 2002) konsumsi daging ayam mengalami peningkatan dari sebesar 2.55 (kg/kapita/th) pada tahun 1999 menjadi 3.27 (kg/kapita/th) pada 2002.

Konsumsi daging ayam meningkat paling pesat dibandingkan dengan daging sapi, kambing, atau babi. Beberapa alasan yang menyebabkan kebutuhan daging ayam mengalami peningkatan yang cukup pesat adalah sebagai berikut.

1. Daging ayam relatif murah dibandingkan dengan daging lainnya.

2. Daging ayam lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein bila dibandingkan daging sapi, kambing, dan babi. 3. Mayoritas agama tidak ada yang melarang umatnya untuk menonsumsi

daging ayam.

4. Daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima semua golongan masyarakat dan semua umur.

5. Daging ayam cukup mudah diolah menjadi produk olahan yang bernilai tinggi, mudah disimpan, dan mudah dikonsumsi.

Beberapa tahun terakhir terjadi penurunan daya beli daging ayam di masyarakat. Kondisi ini jelas sangat merugikan para pedagang ayam, tetapi


(14)

sisi lain permintaan dan konsumsi daging ayam semakin meningkat. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak tertentu untuk menjual daging ayam dengan harga sangat murah sehingga mampu dijangkau oleh lapisan masyarakat yang kurang mampu. Cara-cara yang digunakan sangat tidak etis dan tidak layak, yakni dengan menjual daging ayam bangkai di pasar tradisional. Tindakan ini dilandasi motif ekonomi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kasus penjualan ayam bangkai atau yang lebih dikenal dengan istilah ayam tiren (mati kemaren) terjadi di beberapa kota, misalnya Jakarta, Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Kasus penjualan ayam tiren yang pernah terjadi di Indonesia disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Kasus Penjualan Ayam Tiren di Indonesia

No. Daerah Tahun Keterangan

1 Subang 2001 -

2 Palembang 2002 -

3 Semarang 2002 50 Kg ayam tiren

Harga: Rp.5000-6000/Kg 4 Yogyakarta 2002 Menggunakan kunyit sebagai

pengawet

5 Bogor 2002 dan

2003

200 ekor ayam tiren Harga: Rp.6000-7000/ekor 6 DKI Jakarta 2003 16 ekor ayam tiren

Harga: Rp.7000-10000/ekor Sumber: Anonim, 2003

Peristiwa ini jelas sangat memprihatinkan karena sangat merugikan dan mengesampingkan keamanan dan kehalalan pangan bagi konsumen.


(15)

B. TUJUAN PENELITIAN A. Umum

Tujuan umum dari kegiatan penelitian ini adalah untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan yang diperoleh dalam perkuliahan, terutama yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitar.

B. Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengungkap peredaran ayam tiren (ayam bangkai) di Kota Bogor. 2. Mengetahui perbedaan antara ayam normal dan ayam tiren dilihat dari

beberapa parameter dan perlakuan. C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan berguna bagi semua pihak terkait diantaranya pedagang ayam potong di pasar tradisional dan konsumen. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut, dan sangat diharapkan dapat menjadi sarana bagi penulis untuk melatih diri dalam mengamati dan menganalisis fenomena yang terjadi di masyarakat

D. DASAR PEMIKIRAN

Dalam sejarah yang berkaitan dengan kondisi halal di Indonesia sudah tercatat beberapa kasus yang melibatkan daging haram, misalnya daging bangkai ayam atau tiren di beberapa daerah dan ayam yang tidak disembelih secara Islami. Kasus-kasus tersebut justru lebih banyak terjadi di pasar tradisional yang menjadi salah satu pusat perbelanjaan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah. Kecemasan akan status halal daging ayam yang beredar di pasaran saat ini cukup beralasan. Hal ini di dasarkan pada keberadaan beberapa pihak yang berlaku curang dengan menjual daging ayam bangkai. Konsumen muslim diharapkan lebih peduli dengan bahan pangan yang akan dikonsumsi karena masih ada bahan pangan termasuk daging segar yang haram beredar di pasaran.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam Penghasil Daging

Ayam ras pedaging adalah anak ayam yang digemukkan dan dipasarkan pada umur 8.5-12 minggu dengan bobot hidup 1.4-1.8 kg (Morrison, 1961). Definisi lain oleh Bundy et al. (1975), ayam ras pedaging adalah ayam muda yang berumur 8-10 minggu dan dipelihara dengan tujuan dipanen dengan bobot berkisar 1.33 kg. North (1984) mendefinisikan ayam ras pedaging sebagai ayam yang dipasarkan pada umur 8 - 9 minggu dengan bobot hidup sekitar 1.8 kg.

Secara umum ayam broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhannya cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi makanan irit, dan siap dipotong pada usia yang relatif muda. Pada umumnya ayam pedaging (broiler) ini siap dipanen pada usia 35-45 hari dengan berat badan antara 1.2-1.9 kg/ekor.

Ayam jenis ini adalah ayam yang paling banyak diternakkan oleh masyarakat dan dipotong, baik secara tradisional maupun pada rumah pemotongan ayam modern. Ayam broiler banyak dipelihara di daerah sekitar Jabotabek, Sukabumi, Cianjur, dan daerah lain di Indonesia.

Umumnya tempat pemotongan ayam dengan kapasitas kecil (kurang dari 500 ekor per hari) membeli ayam hidup tidak langsung dari peternakan (farm), tetapi membeli dari pangkalan-pangkalan ayam (pasar ayam). Sebagai contoh, wilayah Bogor memiliki pangkalan ayam yang terdapat di daerah Pondok Rumput. Harga setiap kilogram ayam hidup yang dibeli dari pangkalan ayam relatif lebih mahal dibandingkan harga ayam hidup yang dibeli dari peternak langsung. Selisih harga ini sekitar Rp.100,00/kg.

Rumah pemotongan ayam modern dengan kapasitas besar (>500 ekor) biasanya memperoleh ayam dengan cara membeli langsung kepada para peternak. Perlu diperhatikan bahwa lokasi peternakan ayam yang dipilih sebagai pemasok ayam hidup sebaiknya tidak terlalu jauh dari


(17)

tempat pemotongan ayam. Jarak antara tempat pemasok dengan tempat pemotongan ayam sebaiknya tidak lebih dari 100 km atau tidak lebih dari tiga jam perjalanan. Hal ini untuk mengurangi kemungkinan penyusutan dengan kematian ayam selama pengangkutan. Sebagai contoh, tempat pemotongan ayam yang berada di Bogor biasanya membeli ayam dari peternak di wilayah Sukabumi atau Cianjur.

B. PROSES PEMOTONGAN AYAM

Pemotongan ayam adalah suatu proses mengubah ayam hidup menjadi karkas ayam. Kegiatan pemotongan dilakukan dalam ruangan yang sama mulai dari penyembelihan sampai ayam dikemas dan siap dibawa ke pasar. Proses pemotongan ayam dilakukan melalui tahapan berikut :

Penerimaan ayam

Penyembelihan

Pencelupan ke Air Panas

Pencabutan Bulu

Pengeluaran Isi Perut

Pencucian

Pengemasan

Gambar 1. Tahap Pemotongan Ayam Penerimaan Ayam

Pengambilan ayam hidup dilakukan dengan sistem loco. Pemilik UPA (Usaha Pemotongan Ayam) mengambil sendiri ayam hidup dari poultry shop dan peternak mandiri yang berlokasi antara lain di daerah Sukabumi, Ciapus, dan beberapa daerah di sekitar Bogor. Pengambilan


(18)

ayam dengan menggunakan kendaraan, keranjang, dan tenaga kerja sendiri oleh karena itu resiko penyusutan akibat kematian menjadi tanggung jawab pemilik UPA. Hal ini sesuai dengan Priyatno (2003), yang menyatakan bahwa sistem pembelian secara loco merupakan sistem pembelian dimana pihak pembeli mengambil sendiri ayam ke peternakan. Kendaraan, keranjang ayam dan awak kendaraan disediakan oleh pihak pemotong ayam sehingga resiko kematian dan penyusutan ditanggung pembeli.

Penyembelihan

Prinsip penyembelihan ayam adalah pembunuhan dan pengeluaran darah sebanyak-banyaknya. Penyembelihan pada pemotongan tradisional dilakukan satu per satu oleh pekerja bagian pemotongan. Ayam langsung diambil dari keranjang plastik dan dilakukan pemotongan sebagaimana lazimnya memotong secara halal yang didahului dengan membaca doa. Penyembelihan dilakuka dengan memotong pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otak dan pembuluh darah balik. Pemutusan darah pada leher merupakan langkah yang terpenting menurut cara Islam karena erat kaitannya dengan tahap penuntasan darah. Setelah itu ayam ditampung di bak agar darah keluar sebelum dimasukkan ke dalam air panas. Lama penyembelihan sekitar 5 detik/ekor.

Pencelupan ke Air Panas

Ayam yang telah disembelih kemudian dimasukkan ke drum berisi air panas dengan suhu kurang lebih 85oC sambil diaduk. Tujuan pencelupan ke dalam air panas adalah agar mempermudah dalam proses pencabutan bulu. Jumlah ayam yang dimasukkan sebanyak 5-7 ekor selama 2-3 menit per ekor, karena jika terlalu lama akan menyebabkan kulit ayam menjadi kering.


(19)

Proses pencabutan bulu dilakukan dengan memasukkan ayam sebanyak 5-7 ekor ke dalam mesin pencabut bulu sesudah ayam diangkat dari drum air panas. Waktu yang diperlukan untuk mencabut bulu menghasilkan sisa berupa bulu ayam yang selama ini dilakukan penanganan dengan dikumpulkan dalam karung kemudian dibuang ke penampungan sampah.

Pengeluaran Isi Perut

Setelah pencabutan bulu selesai, ayam diambil dari dalam mesin pencabut bulu lalu ditumpuk di lantai untuk selanjutnya dilakukan pengeluaran isi perut. Pengeluaran isi perut dilakukan dengan menusuk bagian tembolok ayam dengan menggunakan pisau kemudian ditarik dan disobek. Proses pengeluaran dilakukan menggunakan tangan yang dimasukkan melalui sobekan tersebut untuk mengeluarkan jeroan. Masing-masing bagian dari isi perut dikelompokkan sesuai jenisnya, yaitu bagian hati dan ampela, usus, serta usus buntu. Setelah dikeluarkan bagian jeroannya, selanjutnya karkas ayam dimasukkan ke dalam tong plastik berisi air bersih. Proses pengeluaran isi perut memakan waktu satu menit per ekor.

Pencucian

Proses pencucian terhadap karkas ayam hanya dengan cara direndam sebentar di dalam air bersih, sedangkan untuk jeroan dilakukan penanganan berbeda. Hati dan ampela dibersihkan dengan membuang sisa lendir yang ada dan mengeluarkan isi dari ampela kemudian dicuci dengan air. Pengeluaran kotoran dan usus dilakukan dengan menyobek usus menggunakan lidi yang bagian depannya dilengkapi dengan benda tajam, biasanya menggunakan silet agar mudah disobek, sedangkan untuk usus buntu, biasanya hanya dikumpulkan untuk selanjutnya diambil secara cuma-cuma untuk digunakan sebagai pakan ikan. Selama proses pencucian dihasilkan limbah berupa air pencucian yang langsung dialirkan ke sungai.


(20)

Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air sungai sehingga menimbulkan bau tidak sedap dan perubahan warna air.

Pengemasan

Proses pengemasan terhadap karkas ayam dan jeroan dilakukan secara sederhana yaitu dengan memasukkan ke dalam karung atau kantong plastik besar yang selanjutnya dibawa ke pasar.

C. KARKAS AYAM

Karkas ayam merupakan bentuk komoditi ayam potong yang paling banyak dan umum diperdagangkan. Karkas memiliki pengertian bermacam-macam, untuk lebih jelasnya akan diuraikan tentang pengertian karkas ayam dan rendemen karkas beserta bagian-bagiannya.

1. Pengertian karkas ayam

Karkas ayam diperoleh dari tubuh ayam setelah mengalami serangkaian proses pemotongan ayam, yaitu penyembelihan, pencabutan bulu, dan pengeluaran jeroan. Pengertian karkas ada dua macam, yaitu ”New York Dressed” adalah karkas dengan kaki, kepala, dan jeroan. Sedangkan ”Ready to cook” yaitu karkas tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa jeroan (Bundy et al. 1975).

Menurut Mountney (1976) di dalam Sunarlim (1983) karkas yang diperdagangkan ada beberapa macam seperti ”dressed” yaitu bagian tubuh ayam tanpa darah dan bulu, dan ”evicerasted” yaitu tubuh ayam tanpa darah, bulu, dan seluruh isi rongga perut yang disebut juga karkas kosong.

Jenis-jenis karkas ayam yang ada di pasaran Indonesia umumnya adalah karkas ayam pedaging dengan berat sekitar satu kilogram, ayam petelur jantan (kareman) berat 600 gram, ayam kampung dengan berat 600 gram, dan ayam petelur afkir dengan berat di atas 1500 gram (Setiarto, 1987).

2. Rendemen karkas

Rendemen karkas dapat diartikan sebagai bagian atau porsi bobot karkas ayam dibandingkan dengan bobot ayam hidup, yang biasa


(21)

dinyatakan sebagai persen berat. Rendemen karkas ayam bervariasi besarnya, tergantung pada jenis, umur, dan jenis kelamin ayam, serta kriteria yang digunakan (Junaedi, 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah bangsa, jenis kelamin, dan usia. Usia yang muda menunjukkan persentase berat karkas yang lebih kecil dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Pengaruh umur terhadap perkembangan berat karkas seekor unggas disebabkan adanya perubahan organ tubuh terutama dalam penambahan daging dan lemak.

Tabel 2. Persentase karkas dan bagian-bagian tubuh ayam pedaging

Sumber: Siregar et al (1982)

Umumnya penyusutan karena penuntasan darah sebesar 3.3-4.8% dan karena pencabutan bulu ayam sebesar 4.8-8.5% dari bobot hidup. 3. Bagian-bagian karkas ayam

Karkas ayam terdiri dari beberapa bagian, diantaranya iga, punggung, dada, sayap, punggung bagian ekor (tunggir). Menurut Snyder dan Orr (1964) dalam Ertiningsih (1993), pengkelasan karkas selama pemotongan ayam dipengaruhi oleh jenis, ukuran, jenis kelamin, dan ras. Persentase potongan karkas ditentukan oleh jenis kelamin. Ayam pedaging betina memiliki persentase dada dan punggung lebih besar, sedangkan ayam pedaging jantan mempunyai persentase paha atas dan bawah lebih besar

D. MUTU KARKAS

Mutu karkas adalah derajat penerimaan konsumen terhadap karkas ayam. Faktor-faktor yang menentukan mutu karkas ayam meliputi

Bagian Persentase (%/bobot hidup) Karkas

Bulu Jeroan Darah

Leher dan Kepala Kaki

65-75 6.41 9-10 9-10 7.8 4.4


(22)

kenormalan (wholesomeness), keempukan, warna kulit, dan kondisi karkas.

1. Kenormalan

Kenormalan karkas adalah kondisi karkas yang sehat, bersih serta bebas dari cemaran kuman yang berbahaya bagi manusia. Karkas yang tidak layak dimakan meliputi karkas yang kotor, rusak karena busuk serta terdekomposisi walaupun hanya sebagian, ayam yang mati sebelum disembelih, dan tercemar dengan bahan beracun atau makanan busuk lain serta berbahaya bagi manusia. (Stewart dan Abbot, 1977).

2. Keempukan

Faktor kedua yang banyak diperhatikan adalah faktor keempukan. Faktor keempukan daging dipengaruhi oleh umur ayam, semakin muda ayam, maka daging yang dihasilkan semakin empuk.

3. Warna kulit

Faktor ketiga adalah warna kulit yang umumnya sangat subyektif tergantung kesenangan serta budaya tiap-tiap negara. Di Perancis orang tidak menyukai kulit ayam yang berwarna kuning dan warna kuning dianggap cacat, keadaan yang sama berlaku di Inggris.). Sedangkan di Indonesia umumnya warna kuning lebih disukai.

4. Kondisi karkas

Faktor keempat adalah faktor kondisi bagian-bagian karkas yang meliputi konformasi karkas, perdagingan, perlemakan, pertulangan, serta cacat-cacat yang lain. Menurut SNI 01-3924-1995 tentang karkas ayam pedaging, tingkatan mutu karkas ayam pedaging baik yang normal, dingin normal dan beku dapat dibagi dalam tiga tingkatan mutu (Tabel 3).


(23)

Tabel 3.Persyaratan tingkatan mutu karkas daging ayam.

No Faktor Mutu

Tingkatan Mutu

1 2 3 1. 2. 3. 4. 5. 6. Konformasi Perdagingan Perlemakan Keutuhan Perubahan warna Kebersihan Sempurna Tebal Cukup Sempurna Bebas dari memar dan ”Frozen Burn”. Bebas dari jarum Boleh ada cacat sedikit tetapi tidak ada

pada bagian dada dan paha.

Sedang Cukup Tulang sempurna, kulit boleh sobek sedikit, tetapi tidak pada bagian dada. Boleh ada memar sedikit tetapi tidak pada bagian dada dan tidak ”Frozen Burn” Boleh ada bulu jarum sedikit menyebar, tetapi tidak pada bagian dada. Boleh cacat sedikit Tipis Tipis Tulang boleh ada yang patah, ujung sayap boleh terlepas. Boleh

ada kulit yang sobek, tetapi tidak terlalu lebar. Boleh ada memar sedikit tetapi tidak pada bagian dada dan tidak ”Frozen Burn” Boleh ada bulu jarum sedikit


(24)

E. KERUSAKAN AYAM

Pada saat setelah penyembelihan, pemanenan atau pengolahan, pangan mempunyai mutu yang terbaik, tapi hal ini hanya berlangsung sementara. Pada umumnya waktu yang lebih lama akan menyebabkan kerusakan bahan yang lebih besar dan dikenal sebagai kebusukan.

Proses pembusukan dalam arti sempit adalah perubahan aroma, rasa, serta tekstur dari daging, sedangkan dalam arti luas adalah penguraian struktur dan komposisi dasar daging. Perubahan fisik daging yang terlihat pada pembusukan daging adalah berubahnya warna menjadi merah coklat agak kehijauan (mioglobin dan oksimioglobin berubah menjadi metmioglobin), aspek suram serta daging menjadi tidak kenyal disebabkan karena hilangnya elastisitas serat-serat daging akibat aktifitas mikroorganisme yang mengeluarkan eksoenzim yang bersifat hidrolitik. Menurut Ressang (1982) dalam Sunarlim (1983) akibat proses enzimatik yang berlangsung terus menerus pada daging (post mortem) akan mengundang mikroorganisme yang mengakibatkan pembusukan pada daging. Pembusukan kemudian dibedakan menjadi pembusukan yang diakibatkan oleh kuman pada permukaan luar (pembusukan luar) dan pembusukan yang dimulai dari dalam daging tanpa menampakkan perubahan pembusukan di bagian luar (pembusukan dalam).

Menurut Adnan (1982) dalam Yuanisa (2005) menyatakan bahwa pembusukan merupakan proses mikrobiologis, kimiawi atau enzimatik, atau kombinasi dari ketiganya. Menurut Winarno (1980) pembusukan bahan pangan atau daging dapat disebabkan oleh pertumbuhan atau aktivitas mikroba (bakteri, khamir, kapang), aktifitas enzim dalam bahan pangan, serangga parasit atau tikus, suhu pemanasan dan pendinginan, kelembaban udara, sinar serta jangka waktu penyimpanan. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa kelemahan karkas ayam adalah merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri.

Kelemahan dari daging dingin normal adalah perubahan pada permukaan. Selama pendinginan konsistensi jaringan ikat berubah. Permukaan otot akan kehilangan air dengan sangat cepat dan hal ini akan


(25)

menaikkan konsentrasi dari garam-garam yang menyebabkan oksidasi dari pigmen otot yang menjadikan warna dari metmioglobin keabuan atau coklat (Lawrie, 2003).

Pembusukan daging oleh bakteri dapat digolongkan berdasarkan ada tidaknya udara. Pembusukan pada keadaan aerobik ditandai oleh adanya lendir, perubahan warna pigmen daging, perubahan lemak, rasa, dan bau. Pembusukan pada keadaan anaerobik ditandai oleh campuran bau dan rasa asam yang disebabkan oleh asam format, asam formiat, asam asetat, asam butirat, asam propionat, dan asam lemak bebas dalam jumlah banyak serta dekomposisi protein yang menyebabkan bau busuk (Frazier dan Westhoff, 1978).

Dilaporkan oleh Ayres et al (1980) bahwa pada jumlah bakteri penyebab pembusukan sudah mencapai lebih dari 10 juta/cm2 maka mulai tercium bau busuk. Tanda-tanda ini diikuti oleh permukaan yang berair pada daging ayam. Cairan tersebut akan menjadi putih atau krem dan terakhir menjadi lendir. Miller (1963) dalam Ertiningsih (1993) menyatakan bahwa telah ditemukan lebih dari 300 jenis mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari daging yang mengalami pembusukan, lebih dari 100 adalah bakteri asam laktat, kurang dari 100 mikrobakteria, 70 biakan jamur dan 40 biakan mikrokoki.

Menurut Lawrie (2003) bahwa lebih dari 46 mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari daging yang mengalami pembusukan, 18 diantaranya dihambat perkembangannya pada pH 5.7 dan 14 biakan dihambat pada pH dibawah 5.4. sebagian besar bakteri akan berkembang optimal pada pH 7 dan akan dihambat perkembangannya pada lingkungan dengan pH dibawah 4 dan diatas 9.

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa genus yang mendominasi pembusukan daging adalah Pseudomonas, Flavobacterium, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Lactobacillus (Jay, 1978). Ditambahkan oleh Jensen (1987) bahwa daging ayam normal disimpan pada suhu kamar dengan penanganan kurang baik ditemukan mikroorganisme kelompok psikotrofik dan mesofilik. Menurut Frazier dan


(26)

Westhoff (1978) kapang yang sering ditemukan pada permukaan daging adalah Cladosporium, Sporotrichum, Penicillium, dan Monilia. Khamir yang ditemukan adalah Debaryomyces dan Trichospora.

F. AYAM TIREN

Daging ayam merupakan daging yang relatif murah untuk dikonsumsi manusia dibandingkan dengan daging-daging yang lain (daging sapi, kerbau, kambing) sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Konsumsi daging ayam di DKI Jakarta sebanyak 500.000 ekor / hari dan kebanyakan didatangkan dari luar DKI Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Kematian ayam sebagai resiko transportasi diperkirakan sebanyak 1% dari jumlah ayam yang masuk. Ayam-ayam yang mati akibat transportasi dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan disinyalir diperjualbelikan sebagai daging ayam.

Ayam bangkai yang sistem pertahanan tubuhnya sudah tidak bekerja lagi tetapi pembuluh darahnya masih ada, merupakan media pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme karena darah di dalam tubuh ayam bangkai tidak keluar. Pada waktu suhu di dalam daging (bangkai) mencapai 38-40oC, laju pertumbuhan mikroba mendekati maksimal (Anonim, 2002). Tanda-tanda daging ayam yang mati sebelum dipotong (bangkai) :

1. Warna kulit bercak-bercak merah (flek), berdarah pada bagian kepala, leher, punggung, dada dan sayap dan semakin lama bercak tersebut akan berubah warna menjadi kebiruan.

2. Bagian dalam karkas berwarna kemerah-merahan. 3. Bau agak anyir.

4. Otot paha dan dada agak lembek. 5. Serabut otot berwarna kemerah-merahan. 6. Pembuluh darah di leher dan sayap penuh darah. 7. Hati berwarna merah kehitam-hitaman.


(27)

G. HUKUM TENTANG AYAM TIREN 1.Syariat Agama Islam

Kehalalan produk hewani telah memiliki pedoman yang baku, terutama bagi umat Islam. Beberapa ayat Al-Qur’an menerangkan tentang hukum mengkonsumsi daging bangkai, diantaranya Surat Al Baqarah : 173, Al Maidah : 6, Al Anam : 145, dan surat An Nahl : 115. Sesuai penjelasan dalam surat tersebut, produk hewan menjadi haram karena empat sebab, yaitu haram karena jenis binatangnya (daging babi), haram karena tidak disembelih (bangkai), haram karena niat atau haram secara aqidah, dan haram karena matinya.

Beberapa prinsip Islam tentang Halal dan Haram pernah diungkapkan oleh Qardhawi (2002). Prinsip tersebut meliputi:

1. Segala sesuatu pada asalnya mubah.

2. Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah semata.

3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik.

4. Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya keburukan dan bahaya.

5. Pada yang halal terdapat hikmah yang bisa menghindarkan yang haram.

6. Apa saja yang membawa kepada yang haram adalah haram. 7. Bersiasat atas yang haram adalah haram.

8. Niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram.

9. Menjauhkan diri dari yang syubhat karena takut terjatuh ke dalam yang haram.

10.Tidak ada pilih kasih dan pemilah-milahan terhadap segala sesuatu yang haram.

11.Apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram. 12.Keadaan terpaksa membolehkan yang haram.

Penjualan ayam tiren dengan alasan apapun haram hukumnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan ayam bangkai haram untuk dikonsumsi umat Islam. Sementara dari sisi kesehatan,


(28)

tingkat bahaya akibat mengonsumsi ayam bangkai ditentukan oleh penyebab, lama kematian, dan kondisi sanitasi lingkungan saat hewan ternak tersebut mati.

2. Perundang-undangan

a) Undang-undang No 7 tahun 1996 Pasal 21 tentang Pangan. Setiap orang dilarang mengedarkan :

a. Pangan yang beracun, berbahaya bagi kesehatan jiwa manusia. b. Pangan yang terdeteksi cemarannya melampaui ambang batas. c. Pangan yang mengandung bahan yang terlarang.

d. Pangan yang kotor, busuk, tengik, berpenyakit, dan berasal dari bangkai.

e. Pangan yang sudah kadaluarsa.

Apabila terjadi pelanggaran dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

b) Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam Bab IV pasal 8 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang

memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

c) Peraturan Pemerintah No 22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Di dalam Bab II pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.

d) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306 / Kpts / TN.330 / 4 / 1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya.

Di dalam Bab II pasal 5 disebutkan bahwa unggas ditolak untuk disembelih apabila dalam pemeriksaan ante-mortem ternyata unggas tersebut dalam keadaan sudah mati, dan terhadap hewan tersebut harus dimusnahkan.


(29)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karkas daging ayam. Bahan tambahan (bumbu) untuk perlakuan adalah bawang merah, bawang putih, kecap, garam, lada, bumbu penyedap, dan minyak goreng. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah media Plate Count Agar (PCA), NaCl, plastik High Density Polyethylene (HDPE), alkohol 70%, spiritus, aquades

2. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah pisau, talenan, timbangan, wadah plastik, sendok, plastik polipropilen, lidi dengan kapas (cotton bud), bunsen, botol jar selai, botol semprot dan blender. Peralatan laboratorium yang digunakan adalah Texture Analyzer, pHmeter, Chromameter (Minolta CR 200), stomacher, erlenmeyer 500 ml, erlenmeyer 100 ml, gelas ukur 50 ml, cawan petri, tabung reaksi bertutup, corong gelas, gelas piala, ballep, pipet Mohr, bunsen, vortex, dan sudip.

B. PROSEDUR PENELITIAN

1. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui secara umum kondisi usaha pemotongan ayam di Indonesia pada umumnya dan di Kotamadya Bogor pada khususnya, terutama yang berkaitan dengan produksi, jalur distribusi dan konsumsi masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan membaca literatur yang terdapat di perpustakaan, internet, maupun sumber informasi lainnya yang menjelaskan materi tentang ayam potong seperti skripsi, buku, majalah, serta makalah seminar.


(30)

2. Teknik Pengumpulan Data

2.1 Pengamatan Langsung dan Wawancara

Pada kegiatan penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan narasumber di Usaha Pemotongan Ayam (UPA), dinas terkait seperti Dinas Agribisnis Kota Bogor dan Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Rumah Potong Hewan, penjual dan konsumen ayam tiren yang terdapat di Kota Bogor.

2.2 Penelusuran

Kegiatan penelusuran dilakukan berdasarkan informasi-informasi yang telah didapat sebelumnya mengenai penjualan ayam tiren di pasar tradisional kota Bogor. Beberapa pasar seperti Pasar Anyar, Pasar Bogor, Pasar Sukasari, dan Pasar Warung Jambu didatangi untuk dilakukan pengamatan secara langsung tentang masih ada tidaknya perdagangan ayam tiren di sana. Selain ke beberapa pasar di kota Bogor, penelusuran juga dilakukan ke daerah yang dianggap sebagai pemasok utama ayam tiren yang biasa dijual di pasar. Penelusuran yang dilakukan diharapkan dapat mengungkap mata rantai perdagangan ayam tiren di kota Bogor .

3. PENELITIAN DI LABORATORIUM 3.1 Persiapan Sampel

Tahap persiapan dimulai dengan mengambil ayam tiren dan ayam normal di tempat pemotongan ayam yang telah ditentukan. Karkas ayam diambil pada saat proses pemotongan ayam sedang berlangsung, yakni sekitar pukul tiga dinihari. Bagian karkas ayam yang digunakan adalah dada ayam.

3.1. Analisis Fisik

3.1.1. Warna

Pengukuran intensitas warna dilakukan dengan menggunakan kromameter CR-310. Sebelum dilakukan pengukuran nilai L, a, dan b perlu dilakukan kalibrasi terlebih dahulu terhadap


(31)

a=5.35; b-3.37). Setelah proses kalibrasi, dilanjutkan dengan pengukuran warna sampel. Sistem warna yang digunakan adalah sistem warna Lab.

Sampel dada ayam diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a dan b dari sampel dengan kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai + a (positif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung ºHue dengan rumus :

ºHue = tan-1 a b

Jika hasil yang diperoleh :

18º - 54º maka produk berwarna red (R)

54º - 90º maka produk berwarna yellow red (YR) 90º - 126º maka produk berwarna yellow (Y)

126º-162º maka produk berwarna yellow green (YG) 162º-198º maka produk berwarna green (G)

198º-234º maka produk berwarna blue green (BG) 234º-270º maka produk berwarna blue (B)

270º-306º maka produk berwarna blue purple (BP) 306º-342º maka produk berwarna purple (P) 342º-18º maka produk berwarna red purple (RP)

3.1.2. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan alat pHmeter. Alat pH meter mula-mula dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7. Elektroda dibilas menggunakan aquades kemudian dikeringkan. Sampel daging bagian dada ayam ditimbang sebanyak 10 gram, dihaluskan menggunakan blender dengan menambahkan


(32)

air sebanyak 100 ml sampai homogen selama satu menit. Setelah itu elektroda dicelupkan ke dalam sampel dan nilai pH dapat terbaca pada layar pHmeter.

3.1.3. Kekenyalan Objektif

Uji kekenyalan objektif dilakukan dengan Texture Analyzer XT2Tri. Sampel daging dada ayam yang digunakan bervolume 1.5×1.5×1.5cm3. Sampel ditekan dengan sebuah probe berkode Sms p/35 yang merupakan alat penekan khusus kekenyalan. Sebelum proses penekanan, dilakukan pengaturan alat agar sesuai dengan kriteria pengukuran sampel. Hold until time yang digunakan sebesar 60 detik. Penekanan dilakukan hanya sekali. Proses penekanan dilakukan secara otomatis dan grafik hasil proses penekanan dapat terbaca di layar komputer. Data yang diperoleh terdiri dari dua macam, yaitu pada saat Max Force dan Specific Time. Nilainya berupa besar gaya yang diberikan dan waktunya (s). Pada saat Max Force, daging ayam masih dapat memberikan gaya reaksi untuk menahan gaya penekanan yang diberikan alat atau sampai daging ayam tepat akan pecah. Proses ini ditunjukkan dengan grafik yang semakin meningkat sampai pada titik puncak tertentu. Alat tetap melakukanpenekanan selama hold until time dan kemudian secara otomatis kembali ke posisi semula. Proses ini merupakan persentase dari perbandingan gaya pada saat specific time dengan max force.

3.2 Analisis Total Mikroba (Total Plate Count) (Fardiaz, 1989) 3.2.1 Metode Penghancuran

Sebanyak 10 gram sampel daging dada ayam dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah disterilisasi dan ditambahkan 90 ml larutan pengencer steril secara aseptis. Sampel tersebut kemudian dihancurkan ke dalam alat stomacher selama 120 detik, sehingga dihasilkan sampel dengan pengenceran 10-1. Larutan sampel diambil secara aseptis sebanyak 1 ml dengan pipet, kemudian


(33)

dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga dihasilkan pengenceran 10-2, pengenceran 10-3, 10-4, dan seterusnya dilakukan dengan cara yang sama.

Tiap-tiap pengenceran yang dipilih, dipipet secara aseptis sebanyak 1 ml sampel untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dan ditambahkan media agar PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 5-10 ml. setelah media agar membeku, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37ºC selama 2 hari. Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan menggunakan Standard Plate Count (SPC). Rumus yang digunakan sebagai berikut.

Jumlah Mikroba (cfu/gram) =

d koloni

× + + +

×(1 0

.1 0.01 ...) 2

Keterangan : d = pengenceran terendah 3.2.2 Metode Oles (Swab)

Dengan menggunakan batang pengoles (swab) steril, yaitu batang lidi yang pada bagian ujungnya dibungkus kapas, oleskan permukaan contoh seluas 2 cm x 2 cm dengan cara mengoles ke kiri dan kanan masing-masing sebanyak tiga kali. Kemudian batang pengoles direndam di dalam 5 ml larutan pengencer, diputar-putar dan diperas pada dinding tabung untuk melepaskan mikroba yang melekat padakapas pengoles tersebut. Larutan sampel diambil secara aseptis dan dibuat pengenceran hingga 10-8. Tiap-tiap pengenceran yang dipilih, dipipet secara aseptis sebanyak 1 ml sampel untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dan ditambahkan media agar PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 5-10 ml. setelah media agar membeku, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada incubator suhu 37ºC selama 2 hari. Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan menggunakan Standard Plate Count (SPC). Rumus yang digunakan sebagai berikut.

Jumlah koloni (cfu/cm2) = 4 1

×5 ml×

n pengencera

koloni


(34)

3.3 Uji Organoleptik

Sampel yang akan diuji deskripsi adalah sampel ayam normal mentah, ayam normal goreng, ayam normal bumbu, ayam tiren mentah, ayam tiren goreng, dan ayam tiren bumbu. Pengujian ini dilakukan melibatkan 30 orang panelis tidak terlatih. Panelis diminta untuk mendeskripsikan aroma, warna, dan tekstur dari setiap sampel yang disajikan dan menuliskannya pada form isian dengan kata-kata sendiri. Pada atribut aroma, warna, dan tekstur, ditentukan pula intensitasnya pada skalar garis dengan skala 1-10 (pada selang tersebut angka 1 menunjukkan nilai terendah dan angka 10 adalah nilai tertinggi). Data-data yang diperoleh tersebut ditabulasikan berdasarkan frekuensi relative (jumlah panelis yang menyatakan kesan sama dibagi 30 orang panelis dikali 100%) tiap atribut dan besarnya intensitas rata-rata semua panelis. Uji ini dilakukan untuk mendeskripsikan secara jelas perbedaan antara daging ayam normal dan ayam tiren menurut panelis.


(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

Istilah ayam tiren (mati kemaren) menimbulkan kerancuan. Dalam kasus ini, ayam tiren yang dimaksud bukanlah ayam yang telah dipotong di hari kemarin kemudian dijual pada keesokan harinya. Definisi ayam tiren yang dimaksud adalah ayam yang telah mati bukan karena disembelih melainkan karena hal lain, diantaranya transportasi yang buruk, penyakit dan stress pada ayam. Ayam tiren dapat diartikan sebagai ayam bangkai.

Ayam tiren memiliki ciri-ciri fisik yang sangat jelas berbeda dengan ayam normal yang dipotong saat masih hidup. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain kulitnya yang licin agak berlendir, terdapat beberapa bercak darah di bagian tubuh tertentu, bau amis yang lebih menyengat dibandingkan dengan ayam normal, serta beberapa ciri fisik lainnya. Hasil pengamatan perbedaan fisik antara karkas ayam normal dan ayam tiren dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 4. Perbandingan karakteristik karkas ayam normal dan karkas ayam tiren (bangkai).

No. Karkas Ayam Normal Karkas Ayam Tiren 1. Darah berwarna merah normal Darah kehitaman

2. Daging kenyal Daging lebih lunak

3. Daging berwarna putih kekuningan

Daging berwarna kemerahan 4. Tekstur daging lembut Tekstur daging licin 5. Kulit berwarna putih cerah Kulit kemerahan 6. Tidak ada bercak darah Banyak bercak darah membeku

7. Kulit elastis Kulit mudah mengelupas

8. Bau ayam normal Bau bangkai

Hasil pengamatan fisik karkas ayam normal dan ayam tiren dapat dilihat pada Gambar 2.


(36)

Gambar 2. Perbedaan karkas ayam normal dan ayam tiren

Penjualan ayam tiren sangat marak terjadi di pasar tradisional beberapa daerah. Kepala Bagian Kesmavet Dinas Agribisnis Kota Bogor menjelaskan bahwa di wilayah kota Bogor telah terjadi beberapa kasus penjualan ayam tiren sejak sebelum tahun 2000. Kasus yang terjadi tidak terlalu mencuat ke permukaan dan diketahui publik. Pada tahun 2003, penjual ayam tiren ditemukan beroperasi di Pasar Anyar dan Pasar Bogor, sebanyak tiga orang penjual tertangkap. Pada tahun 2004 kasus yang sama terulang kembali, hanya saja penjual ayam tiren ditemukan di satu lokasi yakni Pasar Bogor.

Pedagang ayam tiren biasa beroperasi di tengah malam hingga menjelang dini hari, yakni sekitar pukul 00.00-03.00 pagi. Pedagang menjual ayam tiren secara sembunyi-sembunyi, bahkan tidak menggunakan meja untuk meletakkan ayam tiren yang dijual. Biasanya digunakan ember-ember besar dipenuhi dengan air untuk menyimpan ayam tiren yang akan dijual. Air ini berfungsi agar daging ayam tiren tetap terlihat normal saat dijual. Penjualan pada malam hari ini dimaksudkan agar konsumen ayam potong dapat terkecoh saat akan membeli sehingga sulit membedakan antara ayam tiren dengan ayam normal potong. Selain itu pedagang ayam tiren menggunakan tempat-tempat dengan penerangan yang sangat minim untuk menjual ayam tiren tersebut.

Penjualan ayam tiren di pasar tradisional umumnya dilandasi karena faktor ekonomi. Ayam tiren dari peternakan atau tempat pemotongan ayam biasanya langsung dibuang, dimusnahkan atau digunakan sebagai pakan ikan. Ayam yang telah mati tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh pihak pemotong


(37)

ayam atau peternakan. Kematian ayam dapat mencapai 10% dari kuantitas ayam yang siap dipotong tiap harinya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab dengan menjual kembali ayam mati tersebut. Harga ayam tiren berkisar Rp.2000-Rp.5000/ekor. Harga ini sangat murah dibandingkan dengan harga ayam normal di pasaran yakni sekitar Rp.15000/kg. Perbedaan harga yang sangat mencolok ini jelas sangat menarik minat para konsumen untuk membeli. Seiring berjalannya waktu, tidak sedikit pembeli ayam potong telah mengetahui bahwa ayam yang dijual dengan harga sangat murah tersebut adalah ayam tiren. Namun mengingat keuntungan yang diperoleh cukup besar, mereka tidak mempersoalkan keamanan dan kehalalan ayam tiren. Bahkan tidak sedikit pula pembeli ayam tiren sengaja membelinya tidak untuk dikonsumsi secara langsung melainkan untuk dijual kembali dengan atau tanpa diolah lebih lanjut. Menurut informasi yang diperoleh, kebanyakan pembeli ayam tiren adalah para pedagang mie ayam. Sangat disesalkan, kondisi perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk diikuti naiknya harga-harga kebutuhan pokok serta menurunnya daya beli masyarakat pada umumnya saat ini menyebabkan banyak pihak yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan sendiri untuk tetap bertahan hidup tanpa mempedulikan kemaslahatan umat.

Berdasarkan informasi yang telah diperoleh sebelumnya, penelusuran dilanjutkan dengan melakukan pengamatan langsung ke beberapa pasar tradisional di kota Bogor diantaranya pasar Anyar, pasar Bogor, pasar Sukasari, dan pasar warung jambu. Investigasi dilakukan sekitar pukul 23.00 hingga pukul 02.00 pagi dimana penjualan ayam tiren biasa dilakukan pada rentang waktu tersebut.

Penelusuran tidak hanya dilakukan dengan pengamatan secara langsung di pasar tradisional tetapi juga dengan mendatangi daerah penyalur ayam tiren yaitu daerah Petir, Kabupaten Bogor. Hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh dari beberapa penjual ayam tiren yang berhasil ditangkap oleh pihak Dinas Agribisnis kota Bogor pada operasi pasar yang dilakukan pada tahun 2001. Penjual ayam tiren tidak berhasil ditemukan pada penelusuran yang sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Hal ini menyebabkan informasi terkini


(38)

tentang masih ada tidaknya penjualan ayam tiren di kota Bogor sulit untuk dibuktikan. Pada pengamatan di pasar juga tidak berhasil ditemukan penjual ayam tiren.

B. ANALISIS LABORATORIUM

1. pH

Nilai pH daging ayam sangat bervariasi seperti halnya pada daging ternak lain. Kisaran pH daging ayam setelah rigormortis adalah 5.5. sampai 6.4 (Banwart, 1983). Laju dan lamanya penurunan pH daging dipengaruhi oleh faktor intrinsik (spesies, tipe otot, variasi diantara hewan) dan faktor ekstrinsik (pemberian obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme dan lingkungan sebelum penyembelihan). Nilai pH mempengaruhi beberapa parameter mutu pada daging seperti warna, kemampuan mengikat air, tekstur, serta umur simpan.

Nilai pH akhir tinggi disebabkan hewan mengalami stress akibat suhu panas, perjalanan, sakit, kurang oksigen, pemberian ransum yang kurang (Lawrie, 2003). Nilai pH akhir daging yang tinggi berkisar antara 6.2-7.2 menyebabkan keadaan yang memungkinkan bagi perkembangan mikroorganisme.

Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan nilai pH antara sampel daging ayam normal dan ayam tiren, baik yang masih mentah maupun yang telah diberi perlakuan dengan penggorengan dan pemberian bumbu. Pengukuran pH dilakukan sekitar 8 jam setelah kematian ayam. Pada kondisi tersebut daging telah melewati kondisi rigor mortis Hasil pengukuran pH pada sampel disajikan pada Gambar 3.


(39)

pH

5.36 5.43

5.74 6.16 6.12

6.07

4.8 5 5.2 5.4 5.6 5.8 6 6.2 6.4

Mentah Ayam Goreng Penambahan Bumbu Perlakuan

N

ila

i p

H Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 3. Grafik nilai pH Daging Ayam

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa daging ayam mentah memiliki nilai pH sebesar 5.21 dan nilai pH daging ayam tiren mentah sebesar 6.16. Nilai pH daging ayam normal masih termasuk dalam kisaran pH daging ayam yang baik pada kondisi rigor mortis, yakni sekitar 5.0 sampai 5.6. Nilai pH akhir daging sangat berperan dalam menghambat pembusukan. Pada daging yang mengalami stres kemudian disembelih, nilai pH berkisar 6.5-6.8. Nilai pH yang tinggi menyebabkan kemampuan mengikat air (water holding capacity) meningkat sehingga daging menjadi lebih cepat rusak. Permukaan daging menjadi lebih kering karena air di permukaan ditarik. Daging dengan ciri-ciri tersebut dikenal dengan istilah DFD (Dark, Firm, and Dry). Daging jenis ini masih layak untuk dimakan, sedangkan daging bangkai tidak layak dikonsumsi meskipun nilai pH akhirnya msih rendah dibandingkan daging DFD.

Nilai pH daging ayam tiren mentah yang cukup tinggi dipengaruhi oleh keadaan hewan saat masih hidup. Daging ayam tiren berasal dari ayam yang telah mengalami kematian sebelum disembelih. Kematian ini dapat disebabkan stres, kurang istirahat atau sakit. Hal ini mengakibatkan kadar glikogen rendah sehingga asam laktat yang terbentuk menjadi berkurang. Setelah enzim tidak aktif lagi dan persediaan glikogen habis, bakteri tetap tumbuh terus. Dengan adanya bakteri pembusuk mengakibatkan terbentuknya amoniak (NH3) yang merupakan salah satu


(40)

hasil metabolisme bakteri, dengan demikian pH naik karena amoniak bersifat basa. Semakin tinggi nilai pH mengakibatkan kebusukan daging semakin cepat terjadi. Beberapa bakteri penyebab kebusukan pada daging yaitu B.subtilis, Pseudomonas, Streptococcus, dan Leuconostoc (Jensen, 1987)

Daging ayam normal yang digoreng memiliki nilai pH sebesar 5.43 dan ayam tiren goreng tetap memiliki nilai pH yang lebih tinggi, yaitu 6.12. Perlakuan dengan penambahan bumbu pada daging ayam normal dan ayam tiren tetap menghasilkan nilai pH yang berbeda, yakni sebesar 5.74 untuk ayam normal dan 6.07 untuk ayam tiren.

Berdasarkan analisis sidik ragam seperti ditunjukkan pada lampiran 4,dengan selang kepercayaan 0.05, nilai pH daging ayam normal berbeda nyata dengan daging ayam tiren pada berbagai perlakuan, yakni mentah, penggorengan, dan penambahan bumbu. Nilai Signifikansi yang dihasilkan berturut-turut adalah 0.000 (ayam mentah), 0.008 (ayam goreng) dan 0.006 (ayam bumbu).

2. Kekenyalan Objektif

Tekstur merupakan salah satu faktor penting dalam memberikan gambaran tentang kualitas suatu makanan. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian tekstur daging ayam dengan Texture Analyzer. Parameter yang diuji adalah kekenyalan. Kekenyalan pada daging ayam menunjukkan konsistensi daging dalam kondisi normal atau tidak. Daging ayam yang sehat akan memiliki tingkat kekenyalan yang tinggi. Daging ayam yang mempunyai kekenyalan rendah, apalagi diikuti dengan perubahan warna yang tidak normal menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Hasil pengukuran kekenyalan sampel daging ayam disajikan pada Gambar 3.


(41)

Kekenyalan

22.4

42.8

39.5

19.1

39.5 37.6

0 10 20 30 40 50

Mentah Ayam Goreng Penambahan

Bumbu

Perlakuan

%

K

e

ke

n

y

a

lan

Ayam Normal Ayam Tiren

Gambar 4. Grafik Persentase Kekenyalan Daging Ayam

Dari Gambar 4. terlihat daging ayam normal memiliki tingkat kekenyalan lebih tinggi dibandingkan daging ayam tiren dengan beberapa perlakuan.. Kekenyalan objektif akan meningkat seiring dengan meningkatnya daya mengikat air (WHC) dan pH. Semakin tinggi daya mengikat air, maka kekenyalan objektif akan semakin tinggi pula (Ockerman, 1983). Nilai pH akhir yang tinggi pada daging ayam tiren tidak menyebabkan kekenyalan daging meningkat, karena kematian ayam sebelum disembelih mengakibatkan kondisi post rigor cepat tercapai. Kondisi ini mempercepat terjadinya proses pembusukan daging. Daging yang tidak kenyal disebabkan karena hilangnya elastisitas serat-serat daging akibat aktifitas mikroorganisme yang mengeluarkan eksoenzim yang bersifat hidrolitik.

Hasil analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan antara daging ayam normal dan ayam tiren berbeda nyata, baik itu pada daging mentah ataupun yang telah diberi perlakuan dengan penggorengan dan penambahan bumbu (Lampiran 6).

3. Warna

Warna merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan kualitas daging ayam. Daging ayam dengan warna tidak


(42)

normal memang tidak selalu membahayakan kesehatan konsumen, namun akan mengurangi selera konsumen. Warna daging ayam yang tidak normal dapat terjadi karena proses fisiologis, seperti stres saat sebelum disembelih. Daging ayam yang berasal dari ayam yang sudah mati sebelum dipotong pada umumnya terlihat memar, karena darah ayam tidak keluar secara tuntas. Hasil pengukuran nilai oHue, a, b, dan C pada tiap sampel disajikan pada tabel berikut.

Tabel 5. Hasil analisis warna daging ayam pada beberapa perlakuan Sampel oHue Nilai a Nilai b Nilai C

Ayam normal mentah 82.45 5.85 45.12 45.5

Ayam tiren mentah 81.01 5.99 38.07 38.54 Ayam normal goreng 85.86 4.02 55.53 55.68 Ayam tiren goreng 87.14 2.5 50.07 50.13 Ayam normal bumbu 79.46 7.03 37.71 38.36 Ayam tiren bumbu 82.86 4.85 38.87 39.17

Kisaran warna sampel daging ayam terukur dalam derajat Hue (oHue) pada seluruh perlakuan terletak pada kisaran 54º - 90º atau pada kisaran warna kuning kemerahan. Nilai oHue didefinisikan sebagai warna-warna yang terlihat seperti merah, hijau, kuning biru dan lain-lain baik terdiri dari satu warna maupun campuran warna. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai 100 untuk wana merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai a pada seluruh sampel menunjukkan nilai positif. Pada sampel daging mentah, ayam normal memiliki nilai a lebih rendah dibandingkan ayam tiren. Nilai a ayam tiren lebih tinggi dibandingkan ayam normal pada sampel yang diberi perlakuan penggorengan dan pemasakan dengan bumbu. Hal ini disebabkan karena mioglobin dalam daging mengalami denaturasi karena pengaruh pemanasan pada perlakuan penggorengan dan pemasakan dengan bumbu (Lawrie, 2003).

Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari nol sampai 70 untuk warna kuning dan nilai –b


(43)

(negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Nilai b seluruh sampel menunjukkan nilai positif. Daging ayam normal mentah dan goreng memiliki nilai b lebih tinggi dibandingkan dengan ayam tiren. Pada daging ayam bumbu, nilai b ayam tiren lebih tinggi dibandingkan ayam normal. Meskipun demikian nilai b daging ayam bumbu untuk kedua sampel memiliki selisih nilai cukup kecil. Hal ini menunjukkan pada perlakuan pemasakan dengan bumbu, daging ayam normal dan tiren memiliki penampakan warna kuning hampir sama. Nilai C menyatakan ketajaman warna serta merupakan gabungan oHue dan L. Daging ayam normal dan tiren pada perlakuan penggorengan, intensitas warna merah meningkat dibandingkan daging ayam mentah. Pemasakan dengan bumbu menurunkan intensitas warna merah daging ayam normal dan tiren dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Perbedaan warna daging ayam normal dan ayam tiren pada perlakuan pemasakan dengan bumbu.

Daging ayam yang layak dikonsumsi umumnya berwarna putih dan memiliki kecerahan tinggi. Warna yang terang disebabkan oleh pH akhir yang rendah berkisar 5.1 sampai 6.0 (Buckle, et al., 1966). Hasil pengukuran kecerahan pada sampel daging ayam disajikan pada Gambar 6.


(44)

Kecerahan

57.8

72.5

35 48.5

65.2

37

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Mentah Ayam Goreng Penambahan

Bumbu

Perlakuan

N

ila

i L Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 6. Grafik Tingkat Kecerahan Daging Ayam

Berdasarkan gambar di atas diperoleh nilai L yang menunjukkan tingkat kecerahan pada sampel daging ayam normal lebih tinggi dibandingkan daging ayam tiren untuk perlakuan dengan penggorengan dan daging mentah. Dalam daging normal, sebelum dimasak, bentuk kimia yang paling penting adalah oksimioglobin. Pigmen ini sangat penting karena menggambarkan warna cerah yang dikehendaki. Nilai pH akhir yang tinggi pada daging ayam, menyebabkan aktivitas enzim-enzim sitokrom akan lebih besar. Selanjutnya proses difusi menjadi terhalang karena banyak air dalam daging masih berasosiasi dengan protein-protein daging dan serat-serat. Hal ini mengakibatkan lapisan mioglobin yang cerah secara perlahan menjadi sedikit tidak menyenangkan dan berubah menjadi lebih gelap (Lawrie, 2003). Kemampuan mengikat air pada daging meningkat karena nilai pH yang tinggi, sehingga air di permukaan ikut diserap dan memberi efek daging menjadi gelap. Perbedaan warna antara daging ayam normal dan ayam tiren dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.


(45)

Gambar 7. Perbedaan warna daging ayam normal dan ayam tiren mentah

Gambar 8. Perbedaan warna daging ayam normal dan ayam tiren goreng Daging ayam normal dan ayam tiren goreng menunjukkan perbedaan kecerahan. Pada daging ayam tiren, bercak darah masih terlihat. Proses penggorengan menyebabkan warna daging ayam tiren menjadi lebih gelap dibandingkan ayam normal.

Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan pada sampel mentah dan perlakuan penggorengan, daging ayam normal dan daging ayam tiren memiliki tingkat kecerahan yang berbeda nyata. Berbeda dengan dua perlakuan lainnya, pemasakan dengan penambahan bumbu menghasilkan


(46)

tingkat kecerahan lebih tinggi pada ayam tiren dibandingkan pada ayam normal. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh pemasakan terutama penambahan bumbu. Baik daging ayam normal maupun daging ayam tiren memiliki kemampuan yang hampir sama dalam proses penyerapan bumbu. Penyebab lainnya adalah pengolahan dengan suhu tinggi sekitar 80-100oC menyebabkan denaturasi metmioglobin sehingga warna daging menjadi coklat tua. Hal ini diperkuat dengan analisis sidik ragam antara daging ayam normal dan daging ayam tiren yang mengalami perlakuan penambahan bumbu. Hasil analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan kedua sampel tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai Signifikansi sebesar 0.098 (p>0.05). Kedua sampel dengan penambahan bumbu tersebut memang sangat sulit dibedakan jika dilihat dari penampakan luar. Hal ini menjadi perhatian serius karena konsumen akan mudah tertipu jika daging ayam tiren dijual dalam bentuk yang siap untuk dikonsumsi seperti makanan siap saji mie ayam.

B. Analisis Mikrobiologis

Daging ayam adalah salah satu sumber makanan yang kaya protein. Hal ini menyebabkan karkas ayam merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri. Aktivitas dan pertumbuhan bakteri menjadi salah satu faktor terjadinya pembusukan pada daging (Brown, 1982).

Pembusukan kemudian dibedakan menjadi dua, yakni pembusukan yang diakibatkan oleh kuman pada permukaan luar (pembusukan luar) dan pembusukan yang dimulai dari dalam daging tanpa menampakkan perubahan pembusukan di bagian luar (pembusukan dalam). Pembusukan daging yang disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme akan terhambat perkembangannya oleh pH 6.0 atau lebih rendah (Lawrie,2003).

Analisis mikrobiologis yang dilakukan meliputi analisis Total Plate Count (TPC) dengan dua metode, yaitu metode swab (ulas) dan metode penghancuran. Hasil analisis TPC dengan metode swab dapat dilihat pada Gambar 9.


(47)

Total Mikroba (swab) 8.0414 3.756 3 3.3424 3.1461 3.591 0 2 4 6 8 10

Mentah Ayam Goreng Penambahan

Bumbu Perlakuan TP C ( L o g c fu /c m 2 ) Normal Tiren

Gambar 9. Grafik Total Plate Count (TPC) Daging Ayam dengan Metode Swab

Dari Gambar 9. di atas, dapat dilihat bahwa total mikroba pada daging ayam normal mentah adalah sebesar 5.7×103 cfu/cm2 (3.756 log cfu/cm2)dan daging ayam tiren mentah sebesar 1.1 × 108 cfu/cm2 (8.0414 log cfu/cm2). Perubahan bau sudah mulai terdeteksi ketika jumlah total mikroba mencapai 6.5 log cfu/cm2 (Jensen, 1987). Hal tersebut menunjukkan bahwa daging ayam tiren menjadi sumber makanan yang baik bagi pertumbuhan miroorganisme. Selain kondisi pH akhir daging, kandungan darah yang masih terdapat pada daging menyebabkan peningkatan jumlah mikroba. Darah mengandung pigmen hemoglobin yang tersusun atas protein yang disebut globin. Protein menjadi sumber makanan yang baik bagi mikroba. Total mikroba pada daging ayam normal goreng sebesar 2.2 ×103 cfu/cm2 dan ayam tiren goreng sebesar 3.9×103 cfu/cm2 . Proses penggorengan dan pemasakan dengan bumbu dapat mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada permukaan daging ayam normal dan ayam tiren. Hal ini ditunjukkan pada jumlah total mikroba daging ayam normal bumbu sebesar 1.0 ×103 cfu/cm2 dan daging ayam tiren bumbu sebesar 1.4×103 cfu/cm2 . Penggunaan bumbu dan beberapa jenis rempah-rempah yang bersifat antimikroba mampu mereduksi jumlah mikroba pada daging.


(48)

Rempah-rempah adalah tanaman atau bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Sebagian besar rempah-rempah mempunyai daya guna untuk meningkatkan aroma dan cita rasa produk yang dihasilkan. Efek penghambatan pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas. Setiap jenis senyawa antimikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas untuk satu jenis mikroba tertentu. Aktivitas antimikroba rempah-rempah tergantung pada satu atau beberapa senyawa yang merupakan komponen minyak atsirinya. Minyak atsiri lebih bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan rempah-rempahnya sendiri (Frazier dan Westhoff, 1988 di dalam Siregar, 1998).

Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah, bawang putih , cabe merah, jahe, kunyit dan lengkuas (Rahayu, 2000). Sifat antimikroba bumbu segar masakan tradisional dan sifat antioksidan bumbu masakan tradisional hasil olahan industri telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Rahayu, 2000).

Pada pemasakan dengan bumbu menggunakan beberapa jenis rempah-rempah diantaranya bawang putih, lada, dan bawang merah. Selain itu juga digunakan beberapa bahan tambahan seperti gula, garam, dan kecap. Hasil analisis TPC dengan metode penghancuran dapat dilihat pada Gambar 10.


(49)

Total Mikroba (Penghancuran) 4.7076 5.4149 3.6989 8.5798 7.6812 5.1761 0 2 4 6 8 10

Mentah Ayam Goreng Penambahan

Bumbu Perlakuan T P C ( L og c fu /gr a m ) Normal Tiren

Gambar 10. Grafik Total Plate Count (TPC) Daging Ayam dengan Metode Penghancuran

Pada ayam yang mati oleh penyakit maka jaringan-jaringan tersebut biasanya mengalami kelainan karena diserang oleh mikroorganisme penyebab penyakit tersebut (baik oleh virus, bakteri, cacing, dsb). Dari organ-organ dalam tersebut mikroorganisme dapat menyebar dan menguraikan pula jaringan daging. Mikroorganisme yang terdapat pada usus dapat mencemari daging jika tidak segera dibersihkan. Hal ini terjadi pada ayam tiren, dimana ayam telah mengalami kematian sebelum disembelih. Dengan metode penghancuran, total mikroba yang terdapat pada daging dapat diketahui jumlahnya. Dari Gambar 10. total mikroba pada daging ayam tiren lebih tinggi dibandingkan ayam normal pada ketiga perlakuan. Total mikroba masing-masing adalah 3.8×108 cfu/gram (mentah), 4.8×107 cfu/gram (goreng), dan 1.5×104 cfu/gram (pemasakan dengan bumbu). Sedangkan pada ayam normal jumlahnya adalah 5.1×104 cfu/gram (mentah), 2.6×105 cfu/gram (goreng), dan 5.0

×103 cfu/gram (pemasakan dengan bumbu).

Pembusukan dapat terjadi jika jumlah bakteri sudah mencapai lebih dari 10 juta/gram (Brown, 1982). Tanda-tanda pembusukan antara lain tercium bau busuk yang diikuti oleh permukaan berair pada daging ayam. Cairan tersebut menjadi putih atau krem dan terakhir menjadi lendir. Pembusukan daging yang disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme akan


(50)

terhambat perkembangannya oleh pH 6.0 atau lebih rendah (Lawrie, 2003). Penguraian pada beberapa jaringan dalam seperti usus, hati, dan sebagainya terjadi sangat cepat sekali terutama pada usus karena merupakan tempat hidup atau sumber mikroba pembusuk.

Tingginya jumlah mikroba pada daging ayam tiren menyebabkan terjadinya pembusukan dan dekomposisi komponen penyusun daging. Beberapa komponen terbentuk akibat terjadinya pembusukan sehingga mempengaruhi kualitas daging ayam, seperti tekstur, warna, dan aroma. Hal ini membuat daging ayam tiren tidak layak untuk dikonsumsi karena seperti halnya makanan apa pun, makanan yang mulai mengalami penguraian atau pembusukan membahayakan kesehatan.

C. UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik adalah cara menilai mutu suatu produk dengan menggunakan kepekaan alat indera manusia, yaitu penglihatan dengan mata, penciuman dengan hidung, pencicipan dengan rongga mulut, perabaan dengan ujung jari, dan pendengaran dengan telinga.

Pada penelitian ini dilakukan metode Free Choice Profiling dengan melibatkan 30 orang panelis tidak terlatih. Seperti yang diungkapkan oleh Williams dan Langron (1984) pada prinsipnya metode ini dapat dilakukan dengan panelis tidak terlatih. Pada pengujian ini, para panelis mendeskripsikan kesan yang diperoleh dari beberapa parameter. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah adalah aroma, tekstur, dan warna. Kesan yang dirasakan pada masing-masing atribut bisa lebih dari satu. Selain itu dilakukan uji skalar untuk mengetahui intensitas dari masing-masing kesan yang diberikan sampel pada parameter tersebut. Sampel tersebut adalah daging ayam normal dan ayam tiren dengan tiga jenis perlakuan, yaitu mentah, ayam goreng, dan ayam masak dengan bumbu.

a. Aroma

Pengujian terhadap aroma daging ayam dilakukan sebagai indikator terjadinya proses pembusukan. Proses ini mengakibatkan


(51)

terurainya struktur dan komponen dasar daging., seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi komponen baru yang lebih sederhana. Bau yang timbul disebabkan oleh H2S, merkaptan, indol, skatol, putrescine, dan cadaverine yang merupakan hasil akhir dari pemecahan protein (Weiser, 1971).

Respon panelis terhadap beberapa kesan aroma yang terdapat pada sampel daging ayam normal dan ayam tiren mentah yang diuji, disajikan pada Gambar 11.

Aroma Ayam Mentah

5.2 4.9

2.9

4.9

5.7 5.9

4.9

6.3

0 1 2 3 4 5 6 7

Busuk Amis Darah Bau Daging

(Meaty)

Kesan Aroma

Sk

o

r Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 11. Grafik uji skalar garis terhadap aroma daging ayam mentah

Dari gambar di atas, kedua sampel memiliki kesan aroma yang sama, diantaranya aroma busuk, amis, darah, dan bau daging. Meskipun memiliki kesan aroma yang sama, intensitas dari tiap aroma berbeda pada kedua sampel. Pada sampel daging ayam tiren, seluruh kesan aroma memiliki intensitas yang lebih tingggi dibandingkan dengan daging ayam normal. Hal ini disebabkan karena proses pembusukan pada daging ayam tiren berlangsung lebih cepat, sehingga proses pembentukan komponen-komponen penyebab bau tadi menjadi lebih cepat dan menghasilkan aroma yang lebih menyengat. Respon


(52)

terhadap aroma pada daging ayam normal goreng dan ayam tiren goreng disajikan pada Gambar 12.

Aroma Ayam Goreng

7 6.6 6.6

4.9 3.3 1.4 3.5 2.8 6.4 4 5.6 6.4 8.7 5.8 7.5

4.5 4.3 4.2

0 2 4 6 8 10 Guri h Miny

ak Oily

Fatty Busuk Tengik Ami

s

Dara

h

Bau Dag

ing

Kesan Aroma

Sk

o

r Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 12. Grafik Uji Skalar Garis terhadap Aroma Daging Ayam Goreng

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa secara umum ayam normal goreng dan ayam tiren goreng memiliki kesan aroma yang sama. Beberapa kesan aroma seperti bau busuk dan tengik pada sampel ayam tiren goreng memiliki intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan ayam normal goreng. Perbedaan ini cukup signifikan. Bau tengik yang teridentifikasi berasal dari penguraian lemak pada sampel ayam tiren yang berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan ayam normal.

Meskipun telah mengalami penggorengan, bau busuk pada ayam tiren masih dapat dirasakan dengan intensitas cukup tinggi. Selain itu bau darah juga masih tercium karena pada daging ayam tiren, darah tidak keluar secara tuntas.

Berdasarkan uji skalar yang dilakukan, respon panelis terhadap aroma sampel ayam normal dan ayam tiren dengan perlakuan pemasakan dengan bumbu ditampilkan pada Gambar 13.


(53)

Aroma Ayam Bumbu

6.1 6.9

7.7

4.3

8.6

3

7.2 6.8

5.1

3.9

8.5

3.2

0 2 4 6 8 10

Bumbu Semur

Kecap Fatty Amis Bau

Daging Busuk

Kesan Aroma

Sko

r Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 13. Grafik uji skalar garis terhadap aroma daging ayam bumbu

Dari Gambar 13. di atas, kedua sampel memberikan kesan aroma yang sama dengan intensitas yang hampir tidak berbeda. Proses pemasakan dengan penambahan bumbu dan rempah-rempah menjadikan kedua sampel sulit untuk dibedakan. Bumbu yang digunakan telah bercampur dan meresap ke dalam daging, sehingga kesan aroma yang dihasilkan juga sama. Beberapa panelis menemukan adanya bau busuk pada daging ayam tiren dengan intensitas yang cukup rendah. Bumbu dan rempah-rempah dapat digunakan untuk menutupi mutu daging yang telah rusak. (Anonim, 2002).

b. Warna

Warna merupakan salah satu parameter mutu daging ayam. Perubahan warna pada daging ayam menjadi salah satu indikator terjadinya pembusukan. Pada pembusukan daging terlihat warna yang berubah menjadi merah coklat agak kehijauan (mioglobin dan oksimioglobin berubah menjadi metmioglobin). Hasil uji skalar terhadap warna pada sampel daging ayam normal dan ayam tiren mentah disajikan pada Gambar 14.


(54)

Warna Ayam Mentah 4.6 7.5 4 3.2 6.4 4.5 5 2.8 2 6.4 5.9 3.8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Putih keme

rahan Cerah

Merah

mud

a

Merah

darah Puca

t Putih keku ninga n Kesan Warna Sko

r Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 14. Grafik uji skalar terhadap warna daging ayam mentah

Berdasarkan gambar di atas, panelis menyatakan daging ayam normal lebih cerah dibandingkan daging ayam tiren. Secara umum warna antara daging ayam normal dan ayam tiren mentah terlihat sangat berbeda. Perbedaan warna yang diberikan cukup signifikan. Hal ini menunjukkan, pada dasarnya perbedaan ayam normal dan ayam tiren sangat mudah dikenali jika daging belum mengalami pengolahan. Salah satu proses pengolahan daging ayam adalah penggorengan. Respon panelis terhadap beberapa kesan warna pada daging ayam normal dan ayam tiren goreng disajikan pada Gambar 15.

Warna Ayam Goreng 7.5

6.9 6.5

4.8 4.8 5.4 5.5

6.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Putih Kuning Pucat Coklat (Kulit)

Kesan Warna

Sk

o

r Ayam Normal Ayam Tiren


(55)

Dari gambar di atas, warna daging ayam normal goreng lebih putih dibandingkan dengan daging ayam tiren. Bercak-bercak darah yang terdapat pada daging ayam tiren menyebabkan warna daging memiliki tingkat kecerahan yang lebih rendah dibanding ayam normal setelah melalui proses penggorengan.

Intensitas warna coklat pada daging ayam tiren goreng lebih tinggi dibandingkan ayam normal. Kondisi ini disebabkan karena proses pemanasan pada saat sampel digoreng memicu terjadinya denaturasi protein, tepatnya pemecahan inti hemoglobin pada darah (Lawrie, 2003). Daging ayam tiren masih mengandung banyak darah, sehingga mempercepat terjadinya kondisi tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya wana lebih coklat pada daging ayam tiren goreng.

Respon panelis terhadap kesan warna pada sampel daging ayam normal dan ayam tiren yang diolah dengan penambahan bumbu disajikan pada Gambar 16.

Warna Ayam Bumbu

6.5 6.1 2.2 3.8 4.9 6.7 1.8 4.3 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Putih (Daging) Coklat (Kecap) Kuning Hitam/Gelap Kesan Warna Sk o

r Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 16. Grafik uji skalar terhadapwarna daging ayam bumbu

Berdasarkan gambar di atas, panelis menyatakan beberapa kesan warna pada sampel. Daging ayam normal tetap memiliki tingkat kecerahan lebih tinggi dibandingkan daging ayam tiren meskipun telah melalui proses pemasakan dengan bumbu. Penambahan kecap


(56)

menyebabkan kedua sampel memiliki warna coklat di bagian luar daging dengan intensitas yang tidak berbeda jauh. Hal ini menjadi sesuatu yang harus diperhatikan karena banyak penjual ayam tiren yang menggunakan bumbu dan rempah-rempah untuk mengecoh pembeli. Penambahan bumbu membuat daging ayam normal dan aym tiren cukup sulit dibedakan, apalagi jika tidak diperhatikan secara baik-baik (Anonim, 2005).

c. Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter yang juga digunakan untuk mengukur kualitas daging ayam. Tekstur yang diinginkan oleh konsumen adalah tekstur yang empuk sehingga mudah digigit dan dinikmati setelah dimasak (Anonim, 2002). Pertumbuhan bakteri pada daging ayam dapat menyebabkan perubahan tekstur daging tersebut. Bakteri tersebut dapat menggunakan protein, karbohidrat, lemak dan komponen makanan lainnya untuk pertumbuhannya (Fardiaz, 1992). Respon panelis terhadap tekstur daging ayam normal dan ayam tiren mentah yang diuji disajikan pada Gambar 17.

Tekstur Ayam Mentah

5.5 3 6.5 5.9 5.1 6.4 3.7 4.4 5.4 5.4 0 1 2 3 4 5 6 7 Alot/L iat Berse rat Keny al Keras Lemb ek/Lu nak/E mpuk Kesan Tekstur Sko

r Ayam Normal

Ayam Tiren

Gambar 17. Grafik Uji Skalar Terhadap Tekstur Daging Ayam Mentah


(57)

Dari Gambar 17. dapat dilihat beberapa kesan tekstur pada sampel yang berhasil dideskripsikan oleh panelis. Daging ayam normal memiliki intensitas kekenyalan lebih tinggi dibandingkan daging ayam tiren. Perbedaan yang ditunjukkan cukup signifikan.

Ketika ayam telah mati maka aliran darahnya berhenti sehingga tidak ada lagi suplai oksigen dan zat-zat gizi bagi otot (sebelum ayam mati dalam istilah biologi daging disebut otot). Meskipun ayam telah mati atau tidak bergerak lagi namun jauh di dalam jaringan-jaringan ototnya sel-sel penyusunnya masih beraktifitas. Aktifitas ini meneruskan apa yang biasanya dilakukan oleh sel-sel otot hidup yaitu berkontraksi (mengkerut dan meregang). Namun karena tidak ada lagi sumber energi dari luar, otot yang melakukan kontraksi (pengkerutan/pemendekan) akan menyebabkan ''kekakuan'' otot atau rigor mortis (Anonim, 2002).

Pada otot hidup kekakuan/pemendekan otot ini dapat kembali meregang bila tersedia energi baru dalam bentuk ATP (adenosine trifosfat). Namun karena tidak ada lagi suplai oksigen dan zat-zat gizi maka aktifitas meregang tersebut tidak dapat dilakukan. Ayam yang meronta sebelum atau selama disembelih menyebabkan otot-ototnya kehabisan energi lebih cepat sehingga proses rigor mortis terjadi lebih cepat. Tekstur ayam ini akan lebih alot karena energi dalam otot telah berkurang selama ayam masih hidup.

Pada tingkat biologis, hewan yang mati karena bukan disembelih telah mengalami rigor mortis dan sampai pada tahap seluruh sel-sel penyusun tubuh termasuk komponen-komponen penyusun sel telah berhenti beraktifitas sehingga telah memasuki tahap kritis yaitu dekomposisi/penguraian. Hal ini menyebabkan daging ayam tiren memiliki tekstur lebih lunak dan tidak kenyal. Respon panelis terhadap tekstur ayam normal goreng dan ayam tiren goreng ditunjukkan pada Gambar 18.


(1)

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AJENG RUCITRA NARESWARI F24102044

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

AJENG RUCITRA NARESWARI F24102044

Dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1984 Di Jakarta

Tanggal lulus : Menyetujui, Bogor, Agustus 2006

Dr.Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.sc Ketua Departemen ITP


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Karunia, Hidayah dan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitiannya.. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam penyelesaian karya ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik pihak-pihak yang senantiasa membimbing, membantu dan mendoakan penulis dalam menyalesaikan penelitian dan penyusunan skripsinya. Amin yaa rabbal alamin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan ucapan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua, kakakku Dita, dan adikku Dimas tersayang atas kasih sayang, do’a, dukungan dan kesabaran yang tanpa batas kepada penulis sejak penulis lahir hingga sekarang.

2. Dr.Ir.Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan nasehat membangun kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian skripsi.

3. Dr. Ir. M. Arpah, M.Si dan Antung Sima, STP atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan saran yang diberikan pada saat sidang skripsi penulis. 4. Rekan-rekan sebimbingan, Risky Yandi, Wahyu HP, Bangun, Andri ST,

Teddi, Imam, Dodi, Cici dan Indri. Terima kasih atas kebersamaan terutama saat bimbingan selama ini.

5. Rekan-rekan TPG’39, ’38, ’40, dan ’41. Terima kasih untuk semua kenangan dan keceriaan yang diberikan kepada penulis

6. Teman-teman Puri Sembilan, asrama TPB dan alumni SMU Negeri 70 Jakarta

7. Seluruh staf dan laboran di departemen TPG

8. Dinas Agribisnis Kota Bogor, pihak pemotong ayam, dan pedagang ayam di pasar tradisional kota Bogor atas informasi yang telah diberikan.

9. Seluruh pihak yang tidak dpaat disebutkan satu per satu Semoga penelitian ini berguna bagi seluruh pihak.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ..viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... ..1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

C. MANFAAT PENELITIAN ... 3

D. DASAR PEMIKIRAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. AYAM PENGHASIL DAGING ... 4

B. PROSES PEMOTONGAN AYAM ... 4

C. KARKAS AYAM ... 7

D. MUTU KARKAS ... 9

E. KERUSAKAN AYAM ... 11

F. AYAM TIREN ... 13

G. LEGALITAS AYAM TIREN ... 14

III. METODOLOGI ... 16

A. Bahan dan Alat ... 16

1. Bahan ... 16

2. Alat ... 16

B. Prosedur Penelitian ... 16

1. Studi Pustaka ... 16

2. Teknik Pengumpulan Data ... 17

2.1. Pengamatan Langsung dan Wawancara ... 17

2.2. Penelusuran ... 17

3. Prosedur Analisis ... 17


(5)

3.1.1. Warna ... 17

3.1.2. pH ... 18

3.1.3. Kekenyalan Objektif ... 19

3.2. Analisis Total Mikroba... 19

3.2.1. Metode Penghancuran ... 19

3.2.2. Metode Swab (Oles) ... 20

3.3. Uji Organoleptik ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. Penelitian Pendahuluan ... 23

B. Analisis Fisik ... 26

1. pH ... 26

2. Kekenyalan Objektif ... 28

3. Warna ... 29

4. Analisis Mikrobiologis ... 34

C. Uji Organoleptik ... 38

a. Aroma ... 38

b. Warna ... 41

c. Tekstur ... 44

D. Status Ayam Tiren ... 47

V. KESIMPULAN dan SARAN ... 50

A. KESIMPULAN ... 50

B. SARAN ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 54


(6)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.Kasus penjualan ayam tiren di Indonesia ... 2

Tabel 2.Persentase karkas dan bagian tubuh ayam pedaging ... 9

Tabel 3.Persyaratan tingkatan mutu karkas daging ayam ... 11

Tabel 4.Perbandingan karakteristik karkas ayam normal dan ayam tiren ... 23