Ringkasan Cerita ANALISA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA

BAB III ANALISA NOVEL “CATATAN ICHIYO” KARYA REI KIMURA

DILIHAT DARI PENDEKATAN SOSIOLOGIS

3.1 Ringkasan Cerita

Novel “Catatan Ichiyo” menceritakan tentang tokoh Ichiyo Higuchi yang merupakan seorang novelis Jepang dari zaman Meiji. Ichiyo terlahir dengan nama Natsuko Higuchi sampai dia memutuskan untuk mengambil nama Ichiyo yang mempunyai arti “sehelai daun” untuk menunjukkan identitasnya sebagai penulis dan penyair masa depan. Sejak kecil, Ichiyo telah menunjukkan bakat menjanjikan dalam pembacaan sajak dan sastra dengan didukung secara aktif oleh ayahnya dalam pengembangan bakat luar biasa tersebut. Walaupun memiliki bakat seperti itu, ibu Ichiyo merasa sangat khawatir karena tidak ingin melihat anaknya bercita-cita terlalu tinggi lalu harus menelan kekecewaan pada akhirnya, disebabkan anaknya adalah seorang perempuan yang dalam aturan status sosial zaman Meiji di Jepang, dianggap kurang penting dan masyarakat didominasi oleh laki-laki. Pada tanggal 20 Agustus 1886, Ichiyo diterima belajar di sekolah sang penyair, Nakajima Utako, yaitu Haginoya. Ichiyo terus berkembang pesat di Haginoya sampai ayahnya meningggal pada tanggal 12 Juli 1889 dan mengubah hidup Ichiyo dengan beban untuk menghidupi seluruh keluarga jatuh ke pundaknya pada usianya yang baru 17 tahun. Meskipun Ichiyo melanjutkan pendidikannya di Haginoya, ia kehilangan cahaya dan antusiasmenya yang penuh semangat karena pertarungan dengan kekhawatiran finansial juga tekanan dalam menghadapi sikap kakaknya yang Universitas Sumatera Utara malas dan asal-asalan. Melihat kondisi ekonomi keluarga Ichiyo yang menyedihkan, gurunya, Nyonya Nakajima memberikan tawaran untuk menjadi asistennya dan membantu mengelola sekolah. Ichiyo pun pindah ke Haginoya pada bulan Mei, 1890 tetapi keadaan bertambah buruk karena diperlakukan seperti pembantu dapur. Seiring hari berganti minggu dan kemudian bulan, Ichiyo dipaksa untuk menyadari bahwa Nyonya Nakajima, secara perlahan namun pasti, merampas segala peluangnya di bidang sastra dan lebih memilih menjadikannya pembantu. Ia masih mengharapkan rekomendasi Nyonya Nakajima untuk menjadikannya guru tetap di salah satu sekolahnya yang sepertinya merupakan satu-satunya cara membalikkan kondisi keuangan keluarganya yang sekarat dengan cara terhormat. Namun harapan tersebut tak kunjung terkabul dan keluarga Higuchi akhirnya terpaksa berhenti berusaha mempertahankan gaya hidup “terhormat” ala keluarga samurai dan mulai melakukan pekerjaan menjahit dan bahkan mencuci pakaian untuk menghidupi diri mereka. Sampai Ichiyo bertemu dengan seorang novelis muda energik bernama Nakarai Tosui, ketika Ichiyo berkunjung ke rumahnya untuk mencuci pakaian dan menjahit untuk keluarganya dan hanya dalam beberapa kali kunjungan, Ichiyo ingin berbincang dengan Nakarai sebagai seorang novelis ambisius dengan energi penuh dari bakatnya yang tak terbendung, dan bukan sebagai penjahit atau tukang cuci pakaian. Tosui mendorong Ichiyo untuk membahas tulisannya sendiri dan masa depan yang ingin ia capai sebagai seorang penulis, memberinya perhatian penuh seakan- akan hanya Ichiyolah wanita yang penting baginya di dunia ini. Ichiyo semakin Universitas Sumatera Utara tenggelam ke dalam mantra sihir Nakari dan tidak pernah dapat melepaskan diri, apa pun yang terjadi di antara mereka di masa depan. Meskipun tergila-gila pada Tosui, Ichiyo tetaplah seorang penulis cerdas dan produktif dan ia tidak memerlukan waktu lama untuk menyadari bahwa semua rumor tentang gaya menulis Nakarai yang umum mengikuti selera masyarakat sebagian besar benar adanya, bahwa karyanya tidak ditulis berdasarkan nilai kemuliaan, keindahan, dan kenyataan, namun berdasarkan apa yang populer dan laris dijual. Perasaan apa pun yang bergejolak dalam diri Ichiyo membuatnya berkembang pesat karenanya, ia menulis jauh lebih giat dengan alur cerita rumit dan cerdas yang sudah pasti terinspirasi oleh kekuatan perasaannya terhadap Tosui, sampai Ichiyo memutuskan untuk menjauh dari Nakarai Tosui karena tidak dapat menerima penghinaannya terhadap karya Ichiyo dan ia pun mulai mengganti kunjungan mingguannya ke rumah Nakarai dengan kunjungan ke perpustakaan Ueno. Di saat musim dingin semakin menjadi, Ichiyo menyerah dalam perjuangan batinnya melawan perasaannya sendiri dan mengakui bahwa jika selama ini ia yakin dirinya telah sepenuhnya melupakan Nakarai Tosui, itu semua kebohongan semata dan pria itu masih sangat melekat di hatinya. Saat itu juga Ichiyo sadar ia tidak dapat berjuang sendiran menerbitkan novelnya tanpa bantuan, dan sebuah ide muncul di kepalanya bahwa mungkin Nakarai Tosui satu-satunya orang yang dapat membantu menerbitkan novel pertamanya. Apalagi ia menerbitkan majalahnya sendiri, Musashino dan meskipun majalah tersebut kurang mendapat sambutan, memasukkan novelnya di sana berarti melihat hasil karyanya dicetak untuk pertama kalinya dan dikenal secara resmi. Ia akan naik kelas, dari seorang penulis amatir yang terseok- Universitas Sumatera Utara seok menjadi penulis yang karyanya diterbitkan, dan sarana penyaluran apa pun dapat membantu, termasuk majalah Musashino. Begitu membuat keputusan untuk kembali mengontak Tosui, naluri spontan Ichiyo memerintahnya untuk menanggalkan segala keraguan dan langsung mengunjunginya. Namun gengsi yang tinggi dan keinginan untuk membuat pria itu terpesona dengan setidaknya sebuah novel baru yang berkualitas dan telah selesai menahan langkahnya sampai Tosui sendiri mengirim pesan kepada Ichiyo agar menemuinya. Pesan itu dibaca berulang-ulang oleh Ichiyo dengan rasa tak percaya ketika gelombang demi gelombang perasaan tumpah di dalam dirinya. Beberapa hari setelah mendapat pesan dari Tosui, Ichiyo pun menuju rumahnya. Tosui berjanji akan menerbitkan novel pertama Ichiyo walau tidak yakin ia mampu melakukannya, mengingat latar belakang Ichiyo yang tanpa koneksi berpengaruh dan juga seorang wanita di zaman Meiji Jepang, karenanya profesi apa pun yang digelutinya di luar rumah dan dapur akan diremehkan. Bahkan Tosui pun harus mengakui janjinya lebih hanya sekadar ungkapan keinginan daripada kenyataan atau sebuah kepastian. Nakarai Tosui menepati janjinya dan berhasil menerbitkan novel pertama Ichiyo, Bunga di Kala Senja melalui majalahnya, Musashino di tahun 1892, dua novel lagi menyusul sebelum majalah tersebut gulung tikar musim panas tahun itu. Musashino memang bukanlah majalah populer, namun Ichiyo akhirnya melihat novelnya dicetak. Menjelang musim panas, desas-desus semakin nyaring terdengar dan Ichiyo tidak bisa lagi mengabaikan begitu saja peringatan dan suara-suara menentang dari keluarga, teman, dan koleganya tentang Tosui yang reputasinya semakin buruk dan Universitas Sumatera Utara kebobrokan finansialnya yang memalukan. Tosui juga membual pada siapa pun yang ditemuinya bahwa Ichiyo tak henti mengejarnya. Hal tersebut membuat Ichiyo merasa sangat terhina dan gelombang kemarahan Ichiyo tertuju pada mentor dan pujaan hatinya itu sehingga Ichiyo mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya kepada Tosui. Ichiyo segera memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menyelesaikan bukunya dan dalam hitungan minggu, terbitlah Umoregi atau Dalam Keremangan dan sesuai janji Miyake Kaho mengatur novel itu dapat diterbitkan di dalam majalah bergengsi Miyako no Hana, jauh sekali dibandingkan penerbitan buku pertamanya di majalah milik Tosui yang buruk kualitasnya, Musashino. Meskipun sejak itu Ichiyo rutin memperoleh bayaran untuk karyanya, uang yang didapatnya masih belum cukup untuk mengakhiri kemiskinan berkepanjangan dan kesulitan finansial dalam rumah tangga Higuchi. Ibu dan adiknya masih harus menerima pekerjaan cuci dan jahit pakaian untuk menyokong keluarga sehingga Ichiyo dapat terus menulis. Hingga musim panas tahun 1893, meskipun telah banyak cerita pendek dan novel yang ditulis Ichiyo, keluarga Higuchi mau tidak mau berhenti berpura-pura dan harus mengakui bahwa mereka berada dalam kesulitan finansial yang luar biasa berat dan bahkan tidak mampu lagi menjadi bagian terluar dari masyarakat “terhormat” di bagian elite kota tersebut yang dengan susah payah pernah berhasil ditembus ayah Ichiyo. Tanpa pemberitahuan, mereka pindah ke luar kota, tepatnya ke daerah yang disebut “dataran rendah” di pinggiran kota dan ini menandai awal mundurnya Ichiyo dari perkumpulan telaah puisi para wanita kaya dan terhormat di kediaman Nyonya Nakajima. Karena keadaan yang mendesak, ibu Ichiyo mengatasi perasaan Universitas Sumatera Utara antipatinya terhadap komersialisme murahan dan memutuskan untuk membuka toko murah bermodal rendah dengan sangat terpaksa and ia berdoa agar tak ada satu pun teman mereka yang berjalan-jalan ke area “rendah” mereka dan menemukan keluarga Higuchi telah menjadi pedagang sederhana. Namun ia mesti berjuang menahan malu, karena hampir semua menganggap pedagang lebih rendah posisinya dibandingkan petani di Jepang pada zaman Meiji. Setelah menemukan rumah yang dapat mereka beli, mereka pindah ke rumah baru tersebut yang berada di kawasan Ryusenji yaitu di tengah-tengah pusat lokalisasi dan kawasan hiburan. Itulah kawasan Yoshiwara yang terkenal dengan reputasi buruknya, yang akan menjadi tempat tinggal Ichiyo dan keluarganya selama sembilan bulan ke depan. Setelah sejenak dilanda keraguan, para wanita Higuchi bersikukuh dengan rencana awal mereka yaitu membuka toko kecil yang menjual barang-barang murah. Ironisnya, meski mereka memulai usaha itu dengan harapan ibu dan adik Ichiyo yang menjalankannya, membuat Ichiyo bisa bebas menulis, kenyataannya justru sebaliknya. Alih-alih demikian, Ichiyo malah terlalu sibuk setap hari menjalankan usaha sehingga ia tak memiliki waktu untuk menulis dan selama masa itu, ia hanya menulis dua cerita pendek. Namun lama-kelamaan, ia terbiasa dengan Ryusenji dan mulai tertarik dengan segudang pengalaman hidup tepat di depan matanya. Ichiyo mulai menulis catatan kecil tentang berbagai macam orang dan peristiwa di jalan-jalan Ryusenji yang penuh warna, kebiasan yang terbukti membawa hasil saat catatan-catatan kecil ini muncul di novel-novelnya kelak. Meskipun cukup lama mereka sempat berjuang sekuat tenaga, namun setelah sembilan bulan, para wanita Higuchi terpaksa mengakui bahwa membuka toko di Universitas Sumatera Utara Ryusenji tanpa pengalaman apa pun atau petunjuk cara mengelola bisnis adalah sebuah kesalahan besar. Sejak awal, mereka kekurangan modal untuk mengisi toko itu dengan produk-produk yang lebih beragam serta berkualitas dan akhirnya memilih barang-barang bermutu rendah dengan sedikit pilihan. Lingkungan tersebut memberi toko mereka banyak pelanggan tetap, namun keuntungan yang dihasilkan sangat kecil sehingga tak dapat menutupi biaya pengelolaan serta pekerjaan melelahkan yang bahkan Ichiyo pun tak dapat melepaskan diri sehingga mereka memutuskan untuk menutup toko dan pindah ke rumah tua kecil di Maruyama-Furuyama yang masih berada di tengah-tengah kawasan hiburan kumuh dalam kota. Ibu dan adik Ichiyo lebih banyak menerima pesanan jahit pakaian di kawasan ini. Sementara Ichiyo mulai memantau dan meresapi lingkungan sekitarnya, merekam setiap aspek kehidupan di tengah-tengah para wanita penghibur dan kelak menjadikan salah satu novelnya yang paling banyak dipuji, Child’s Play, yang digadang-gadang sebagai “Bola Api Edo di Kala Senja” oleh seorang kritikus terkemuka, merujuk pada karakter kuat dalam novel tersebut. Saat itu adalah masa indah dan damai bagi keluarga Higuchi dan tanpa toko yang menguras energi dan waktunya, Ichiyo menulis dengan sangat giat, menghasilkan lima buah novel antara tahun 1895-1896,yaitu On the Last Day of the Year Hari Terakhir di Tahun Ini, Troubled Waters Air yang Keruh, The Thirteenth Night Malam Ketiga Belas, Child’s Play Mainan Anak, dan Separate Ways Jalan Lain. Ichiyo menganggap rumah barunya di Maruyama- Furuyama agak lebih baik dibandingkan rumah sebelumnya di Ryusenji. Ia menulis nyaris tanpa henti, hingga tengah malam di bawah cahaya lampu redup dan ia tak mau mendengarkan permintaan adiknya agar cukup beristirahat. Universitas Sumatera Utara Seperti mutiara, kisah-kisah terus saja keluar dari cangkangnya, sembilan novel dalam setahun, empat di antaranya menjadi mahakarya dan Ichiyo akhirnya menjadi seorang novelis tersohor dan wanita yang diperhitungkan. Seiring novel- novel yang dihasilkan goresan pena kuasnya, jumlah penggemar Ichiyo membengkak hingga berkali-kali lipat dan ia akhirnya diterima oleh bundan atau komunitas sastra Tokyo. Bungakkai atau komunitas sastra dan masyarakat umum menggemari novel- novelnya dan tiba-tiba, tanpa peringatan, saat ia sama sekali tidak mengharapkannya, karier menulis Ichiyo melonjak secara dramatis dan membuatnya menuju popularitas. Buku-bukunya laris luar biasa di pasaran dan mendadak Ichiyo menjadi buah bibir di seluruh kota. Rombongan-rombongan kecil penggemar mulai berkerumun di pagar kecil rumahnya setiap hari dengan membawa hadiah-hadiah dan surat penggemar, yang lainnya menunggu berjam-jam untuk mendapatkan tanda tangan atau sekadar berbincang dengannya dan dalam sekejap klub penggemar Ichiyo Higuchi muncul. Tahun 1896, tahun terakhir kehidupan Ichiyo, segalanya menjadi lebih baik bagi keluarga Higuchi, hari-hari gelap penuh kesengsaraan dan kemiskinan suram sepertinya mulai berlalu dan gairah serta semangat baru pun datang seiiring nikmatnya kesuksesan yang melenakan. Bahkan ibu Ichiyo lebih banyak tersenyum dan rumah mereka selalu ramai oleh gerombolan kecil penulis, penyair, dan penerbit yang tak pernah merasa terpuaskan akan Ichiyo Higuchi. Para penulis yang mampir ke rumahnya setiap hari terdiri dari nama-nama besar dari kalangan sastra zaman Meiji dan bahkan para cendekiawan pria paling chauvinistis sekalipun terpaksa mengakui bahwa sang wanita Higuchi ini merupakan kekuatan sastra yang patut Universitas Sumatera Utara diperhitungkan dan mereka tidak bisa lagi dengan sombong merendahkannya sebagai seorang wanita yang “bermimpi menjadi penulis” di dunia pria. Terlalu bahagia hingga tak menyadari penyakit putrinya yang bertambah parah, ibu Ichiyo mulai menjalankan ritual membakar dupa di makam suaminya setiap pagi dan memberinya kabar terbaru tentang kesuksesan Ichiyo yang terus bertambah, yang ia harapkan dapat mengakhiri kesulitan ekonomi keluarga mereka. Nyaris tak terbayangkan oleh mereka bahwa musim panas tahun 1896 merupakan yang pertama dan terakhir di mana Ichiyo dapat berbagi kebahagiaan bersama keluarga dan penggemarnya, para penulis dan teman-temannya, baik lama maupun bara. Awan kelabu badai berikutnya telah mendekati mereka, namun yang luar biasa, tak satu pun dari orang-orang yang setiap hari berkumpul di sekelilingnya melihat hal itu. Ichiyo sendiri memilih bungkam, berjuang melawan kesehatan yang memburuk serta rasa sakit yang datang dan pergi dalam diam karena ia tidak ingin merusak momentum dan lingkaran perhatian sempurna terhadap novel-novelnya yang sangat sulit ia dapatkan. Pada akhirnya, bahkan para pria yang gemar menyepelekan Ichiyo sebagai seorang wanita dengan gangguan mental yang tak layak diperhitungkan dan tidak mungkin menorehkan namanya dalam dunia sastra negeri Jepang yang didominasi kaum pria, sekarang terpaksa mengakui bahwa tak ada penulis lain yang menulis seperti Ichiyo karena sang penulis ini telah menyaksikan dan merasakan sendiri kehidupan yang dijalani, tempat yang dihuni, dan waktu yang dihabiskan karakter- karakter ciptaannya. Saat ia menulis tentang kemiskinan, kepedihan, dan penderitaan, Universitas Sumatera Utara tulisannya gamblang dan nyata, diambil dari pengalaman nyata dan tidak dibuat oleh seseorang yang menulis dalam kenyamanan penelitian melalui buku. Di akhir musim panas, Ichiyo tahu, tanpa keraguan, ia sekarat dan pikiran itu membuatnya ngeri karena ia menyadari betapa ia sendirian. Di larut malam saat semua orang sudah pulang dan ia tak bisa tidur akibat berusaha menahan batuk parau agar tak mengganggu ibu dan adiknya yang sedang terlelap. Di tengah pergulatannya dengan tubuh yang sakit dan lemah serta tekanan untuk menyembunyikannya dari semua orang, Ichiyo terus menulis dengan desakan waktu yang semakin besar. Pada tahun 1896, beberapa bulan sebelum kematiannya, ia mulai menulis novel baru berjudul Separate Ways Jalan lain yang menjadi buku terakhirnya. Novel itu merupakan penghormatan pilu bagi saat-saat menyakitkan dalam hidupnya saat situasi memaksanya untuk “berpisah jalan”, ia memikirkan bagaimana Nakarai Tosui dan dirinya telah berpisah jalan, dan sekarang, saat yang paling tidak mungkin untuk diubah, kematiannya yang telah menanti, yang akan memaksanya berpisah jalan dari semua orang yang mesti ia tinggalkan. Ichiyo menulis dengan energi baru yang aneh dan di minggu terakhir bulan Januari 1896, Ichiyo mengumumkan bahwa ia telah menyelesaikan novelnya, Wakare-michi atau “Jalan Lain”. Bulan Agustus 1896, kondisi Ichiyo terus memburuk namun semua tokoh sastra yang mengelilinginya terlalu sibuk mendapatkan perhatiannya untuk menyadari bahwa idola mereka sedang menanti ajal, bahkan tidak juga saat ia makin banyak diam di tengah diskusi seru di mana ia biasanya paling banyak melontarkan pendapat. Suatu sore setelah rombongan penulis terakhir telah pulang dari perayaan Ichiyo, setelah ia mengeluh sakit kepala dan butuh Universitas Sumatera Utara istirahat, adik Ichiyo mendatangi kamar kakaknya dan mendapatinya terserang demam tinggi dan banjir keringat, bola matanya terbalik dan napasnya tersenggal- senggal. Ibu dan adiknya segera membawa Ichiyo ke dokter dan dinyatakan Ichiyo terkena tuberkulosis tahap akhir dan tidak ada obat lagi di tahap ini. Setiap hari Ichiyo dapat merasakan tuberkulosis menggerogoti energi dan hidupnya, meskipun kepalanya berdengung penuh ide sajak-sajak dan novel-novel baru, ia terlalu lemah untuk menulisnya. Di pengunjung bulan Agustus, Ichiyo mengalami minggu luar biasa dimana kondisinya meningkat pesat dan ia cukup sehat untuk bangun serta duduk bersama tamu-tamunya di kebun kecil sambil minum the dan berbincang tentang sastra, seperti yang dulu dilakukannya. Bulan September, aura kehidupan singkat pada diri Ichiyo mulai kembali memudar dan keluarganya lagi-lagi harus berjibaku dengan penderitaan saat melihatnya berjuang melawan batuk yang tak kunjung berhenti, tiap batuk lebih parah dari sebelumnya. Rasa mengigil, demam, dan keringat malam hari pun kembali muncul lebih hebat dari sebelumnya dan mereka pun mempersiapkan diri menghadapi yang terburuk, bahwa hidup Ichiyo yang masih seumur jagung harus berakhir. Kematian Ichiyo yang dicatat pada pagi subuh 23 November 1896 meninggalkan duka mendalam bagi komunitas bungakkai, ia seakan-akan muncul entah dari mana untuk mengguncang komunitas sastra di Jepang zaman Meiji dengan koleksi novel yang merupakan gabungan mengagumkan antara kisah fiksi dengan kehidupan, perasaan, hati, dan jiwa orang-orang yang sungguh nyata, dari jalan-jalan dan gang-gang kawasan hiburan hingga kemewahan dan kepura-puraan di masyarakat kalangan atas. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Ichiyo harus berkutat dengan Universitas Sumatera Utara kondisi kesehatan yang buruk, kemiskinan, dan semua itu adalah bukti sebuah keberanian dan tekad yang besar, bagaimana seorang wanita kurus dan berwajah seperti burung yang terimpit oleh keadaan yang dialaminya, masih memiliki energi yang besar untuk menghasilkan ribuan sajak dan cerpen yang tak terhitung jumlahnya, serta novel. Ichiyo Higuchi masih terus memesona semua orang lama setelah ia meninggal dunia. Sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati beratus-ratus tahun kemudian dan wajahnya sekarang diabadikan dalam mata uang kertas resmi 5000 yen Jepang, sebuah penghormatan yang tak pernah diperoleh wanita Jepang mana pun. 3.2 Analisis Sosiologis Dalam Novel Catatan Ichiyo 3.2.1 Hubungan Ichiyo dengan keluarga