Physicochemical Evaluation of Palm Kernel Meal Fermented by Microbes Cocktail

(1)

EVALUASI FISIKOKIMIA BUNGKIL INTI SAWIT

TERFERMENTASI OLEH KOKTAIL MIKROBA

TIURMA PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOBOR

B O G O R

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Evaluasi Fisikokimia

Bungkil Inti Sawit Terfermentasi Oleh Koktail Mikroba” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain manapun.Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2010 Tiurma Pasaribu D152080071


(3)

ABSTRACT

TIURMA PASARIBU. Physicochemical Evaluation of Palm Kernel Meal Fermented by Microbes Cocktail. Under direction by Erika B. Laconi and I.P. Kompiang.

Utilization of palm kernel meal as a feed ingredient is limited by the high fiber and low protein. The aim of this research is to improve the nutritive value of palm kernel meal with fermentation technology by using Bacillus amyloliquefacien, Trichoderma harzianum, and cocktail microbes (combination of Bacillus amyloliquefacien and Trichoderma harzianum). Bacillus amyloliquefaciens was produced as Wizna et al. (2005). The source of Trichoderma harzianum was from Balitnak. Three kinds of microbes were used with 3 replicates, i.e. T1 (Bacillus amyloliqueyfacien), T2 (Trichoderma harzianum), T3 (cocktail mikrobes) as a treatment and incubation period as a second factor i.e P1 (0 day), P2 (3 days), P3 (5 days), and P4 (7 days). Parameter were crude protein and crude fiber for all treatment, and the lowest fiber analysis would continue with NDF, ADF, crude fat, organic matter, amino acid, and cellulase, mannanase activity. Result showed that the three of microbes grew on palm kernel meal in third incubation and grew on and in the substrat at 7 days. Cocktail microbes better enhanced protein and reduced crude fiber than Bacillus amyloliqueyfacien andTrichoderma harzianum. Cocktail microbes enhanced amino acid such as methionin, arginin and glutamic acid, also neutral detergent fiber, but reduced acid detergent fiber,and hemicellulase. Cellulase and mannanase activity were increasing after fermentation. It is concluded that cocktail microbes decreased crude fiber and improved crude protein in 7 days incubation. Key words: fermentation, palm kernel meal, crude protein, crude fiber, cocktail microbes


(4)

RINGKASAN

TIURMA PASARIBU. 2010. Evaluasi Fisikokimia Bungkil Inti Sawit Terfermentasi oleh Koktail Mikroba. Dibimbing oleh ERIKA B. LACONI dan I. P. KOMPIANG.

Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh secara kimiawi atau dengan proses fisik. Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein 15,73-17,19% lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18 %. (Chong et al., 1998) lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar protein kasar bungkil kedele yang memiliki: 42 – 50 % serta bungkil kacang tanah mengandung 45 – 50 %. Dengan komposisi nutrien tersebut BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk non-ruminan maupun ruminansia. Pemberian BIS pada ruminansia tidak menjadi masalah namun pada non-ruminan seperti ayam menjadi suatu masalah karena kandungan seratnya yang tinggi. Tingginya kandungan serat kasar dan kandungan protein menengah menyebabkan nilai nutrisinya menjadi rendah karena ternak non ruminan tidak mampu mencerna bahan pakan dengan kandungan serat yang tinggi. Untuk memperbaiki nilai nutrisi bungkil inti sawit tersebut dilakukan suatu upaya yaitu dengan teknologi fermentasi dengan menggunakan koktail mikroba (kombinasi antara bakteri Bacillus amyloliquifacien

dan kapang Trichoderma harzianum). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fisikokimia bahan pakan bungkil inti sawit melalui teknologi fermentasi dengan menggunakan koktail Penelitian Ternak Ciawi Bogor mulai Desember 2009 hingga Mei 2010. Mikroba yang digunakan adalah Bacillus amyloliquefaciens diperoleh dari kultur pemurnian yang diambil dari serasah hutan, dengan CFU 18,7x1016 dan

Trichoderma harzianum siap pakai yang diperoleh dari Balitnak dengan CFU 3,3x102

Perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens dilakukan menurut Kompiang. Teknik fermentasi dilakukan dengan mencampurkan Bacillus amyloliquefaciens atau

Trichoderma harzianum ke dalam bungkil inti sawit dengan perbandingan 1:1. Koktail mikroba dilakukan dengan mencampurkan B. amyloliquefaciens dan T. harzianum ke dalam bungkil inti sawit dengan perbandingan 1:1:2 (L/kg), yang diinkubasi selama 7 hari pada suhu +30

. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan cara viable count (standard plate count/SPC), didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah diinkubasi dalam media biakan. Setelah inkubasi, semua koloni yang terbentuk dihitung pada kisaran 30-300 koloni dan dicatat pada tiap dilusi yang berbeda.

o

C, dengan pengamatan pada hari ke 0, 3, 5, dan 7. Peubah yang diukur adalah pertumbuhan mikroba secara visualisasi secara deskriptif selama fermentasi, dan kualitas nutrien (bahan kering, kehilangan bahan kering, dan kehilangan bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, ADF (acid detergent fiber), NDF (neutral detergent fiber), abu, asam amino esensial (AAE) dan uji aktivitas enzim selulase, dan mananase. Analisis lemak, abu, ADF, NDF, AAE serta uji aktivitas enzim dilakukan berdasarkan hasil analisis serat kasar terendah pada inkubasi 3, 5, dan 7 hari. Data dianalisis dengan menggunakan


(5)

Rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 3 macam mikroba (T1=Bacillus amyloliquefacien T2= Trichoderma harzianum; T3= koktail mikroba (kombinasi

Bacillus amyloliquefacien dan Trichoderma harzianum) dan 4 jenis lama inkubasi (P1 = 0 hari; P2= 3 hari; P3=5 hari;P4=7 hari) sebanyak 3 ulangan. Bila uji ANOVA terdapat perbedaan yang nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjut orthogonal comparison (Steel dan Torrie, 1995). Analisis regresi dilakukan pada masing-masing mikroba..

Hasil penelitian menunjukkan pada inkubasi ke tujuh pertumbuhan B. amyloliquifacien, T. harzianum, dan koktail mikroba mencapai 100% di permukaan hingga tumbuh ke dalam substrat. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi, pada perlakuan B. amyloliquifacien tertinggi (16,28 +3.79%), kedua T. harzianum (11.85+ 4.27%) dan perlakuan terendah diantara ketiganya ditunjukkan oleh koktail mikroba (8,90+2.83%). Selama fermentasi menunjukkan penurunan kadar serat kasar, dan tidak terdapat interaksi antara perlakuan mikroba dengan lama inkubasi. Perlakuan dengan T. harzianum menunjukkan penurunan lebih kecil (12.85 ± 0.43) dibandingkan B. amyloliquifacien (12.81 ± 0.40) dan koktail mikroba (11.64 ± 0.72). Analisis statistik regresi untuk kadar serat kasar yang difermentasi oleh ketiga perlakuan nyata (P<0,05) menunjukkan penurunan yang bersifat linear, masing-masing B. amyloliquifacien dengan persamaan Y=14,28-0,21X dan koefisien korelasi 0.99, T. harzianum dengan persamaan Y=14,15-0,18X dengan koefisien korelasi 0.94, dan koktail mikroba dengan persamaan Y=14,18-0,32X dengan koefisien korelasi 0.93.

Secara statistik dengan rancangan acak lengkap pola faktorial inkubasi 7 hari tidak ada perbedaan diantara perlakuan mikroba. Namun lamanya fermentasi (0-7 hari) mempunyai pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap peningkatan protein dari 21,95 menjadi 28,54 % pada B. amyloliquefaciens, dari 23,00 menjadi 28,54 % pada

T. harzianum, serta dari 21,66 % menjadi 28,68 % pada koktail mikroba.

Komposisi kimia bungkil inti sawit setelah difermentasi dengan koktail mikroba menunjukkan peningkatan protein kasar (21,66 menjadi 28,68 %) dan serat deterjen asam (ADF) (42,21 menjadi 45,95 g/100g), sedangkan kadar serat menurun dari 13,98 menjadi 11,64%, serat deterjen netral (NDF) (dari 62,99 menjadi 56,39 g/100g), hemiselulosa (dari 20,78 menjadi 10,44 g/100g), serta lemak kasar (12,23 menjadi 11,46 g/100g) dan abu menurun dari 6,81 menjadi 4,34 g/100g. Demikian juga kandungan asam amino terjadi peningkatan pada methionin (dari 0,71 menjadi 0,73 %), asam glutamat (dari 2,62 menjadi 3,08), dan arginin dari (1,88 menjadi 2,41 %), sedangkan asam amino lainnya tidak mengalami peningkatan. Selama fermentasi terjadi kenaikan aktivitas enzim selulase (dari 0,025 menjadi 0,468 BK (µ/ml) dan mananase (dari 0,027 menjadi BK (µ/ml). Disimpulkan bahwa fermentasi dengan koktail mikroba (kombinasi pertumbuhan B. Amyloliquefaciens dan T. harzianum) dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar protein bungkil inti sawit.

Kata kunci: fermentasi, B. amyloliquefaciens, T. harzianum, koktail mikroba, serat kasar, dan protein


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

EVALUASI FISIKOKIMIA BUNGKIL INTI SAWIT

TERFERMENTASI OLEH KOKTAIL MIKROBA

TIURMA PASARIBU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOBOR

B O G O R

2010


(8)

(9)

Judul Tesis : Evaluasi Fisikokimia Bungkil Inti Sawit Terfermentasi oleh Koktail Mikroba

Nama : Tiurma Pasaribu

NRP : D152080071

Program Studi/Mayor : Ilmu Nutrisi dan Pakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Erika B. Laconi, M.S.

Ketua Anggota

Prof. Ris. Dr. I. Putu Kompiang

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

PRAKATA

Terima kasih dan kemuliaan bagi Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat yang diberikan-Nya selama proses pelaksanaan mulai dari pembuatan proposal, penelitian hingga penulis dapat menyelesaikan karya tesis ini. Tesis disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor mulai Desember 2009 hingga Mei 2010 dengan judul “Evaluasi Fisikokimia Bungkil Inti Sawit Terfermentasi oleh Koktail Mikroba”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Erika B. Laconi MS dan Prof. Dr. I.P. Kompiang selaku pembimbing atas kesabaran, penyediaan waktu dan masukan selama proses pembimbingan. Ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc. selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A. MS. M.Sc. yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Terima kasih kepada Dr. Luki Abdullah, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor serta Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. selaku Ketua Departemen yang telah memberi saran pada saat pembuatan proposal. Terima kasih kepada Dr. Sofjan Iskandar yang telah memberi peluang dan Bapak kepala Balai Penelitian Ternak Prof. Ir. Bambang Sudaryanto MS yang selalu mendukung pendidikan. Kepada para peneliti, Dr. A.P. Sinurat, Ir. I.A.K. Bintang, MS, Dr. T. Purwadaria, yang telah memberikan masukan dalam penulisan ini. Kepada Helmi Hamid, Emi Sujatmika, Emma Frederick, dan rekan lainnya yang telah meluangkan waktunya untuk membantu pelaksanaan penelitian di laboratorim Balai Penelitian Ternak. Kepada Dr.Wizna yang telah memberikan inokulum B. amyloliquefacien. Terimakasih untuk E. Tobing yang mungkin terabaikan selama penelitian. Ucapan kasih sayang yang tak pernah berhenti untuk anakku Samantha J. Blandina dan Rachel Daniella, serta keluarga besarku, Tuhan memberkati kita semua. Amin

Bogor, Agustus 2010 Tiurma Pasaribu


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Parsoburan (TAPUT) pada tanggal 11 Desember 1962 dari Bapak D. Pasaribu dan Ibu T.K. Pardosi (almarhum). Penulis merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara.

Penulis lulus dari Universitas Pakuan tahun 1993, dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 2008. Pada tahun 1980 sampai dengan 1981 bekerja di CV. PRIMATES. Pada tahun 1981 sampai dengan 1982 bekerja di Dinas Peternakan DKI Jakarta. Pada tahun 1982 sampai dengan tahun 1983 bekerja di Balai Penelitian Veteriner Bogor. Kemudian pada tahun 1983 hingga sekarang penulis bekerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, sebagai staf peneliti sejak tahun 1994 hingga sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Potensi Bungkil Inti Sawit sebagai Bahan Pakan Unggas 2.2 Fermentasi ... 5

... 3

2.2.1 Media Fermentasi ... 6

2.2.2 Fermentasi Media Padat ... 7

2. 3 Koktail Mikroba ... 7

2.3.1 B. amyloliquefaciens ... 7

2.3.2 Trichoderma harzianum ... 9

2.4 Selulosa sebagai Komponen Serat Kasar Tanaman ... 12

2.5 Enzin Selulase ... 13

2.6 Manan ... 14

2.7 Enzim Mananase 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 17

... 15

3.1 3.2 Mikroba ... 17

Tempat dan Waktu ... 17

3.2.1 Bacillus amyloliquefaciens ... 17

3.2.2 Trichoderma harzianum ... 17

3.2.3 Penghitungan Jumlah Mikroorganisme ... 17

3.2.4 Perbanyakan B.amyloliquefaciens ... 20

3.2.5 Fermentasi ... 20

3.3 Pertumbuhan Mikroba ... 22

3.4 Bahan Kering ... 22

3.5 Kehilangan Bahan Kering ... 22


(13)

Halaman

3.7 Penentuan Protein Kasar ... 24

3.8 Penentuan Serat Kasar ... 23

3.9 Penentuan Serat Deterjen Netral (NDF) ... 23

3.10 Penentuan Serat Deterjen Asam (ADF) ... 25

3.11 Penentuan Asam Amino Esensial ... 26

3.12 Uji Aktivitas Enzim Selulase ... 27

3.13 Uji Aktivitas Enzim Mananase ... 28

3.14 Rancangan Percobaan ... 29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Pertumbuhan 4.2 B. amyloliquifacien pada Substrat Bungkil Inti Sawit ... 31

Kehilangan Bahan Kering Selama Proses Fermentasi Bungkil Inti Sawit 4.3 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil ... 34

Inti Sawit ... 36

4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien ... 37

4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh T. harzianum ... 39

4.3.3 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi oleh Koktail Mikroba ... 40

4.4 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Protein Kasar Bungkil Inti Inti Sawit ... 41

4.4.1 Kasar Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien... 43

Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein 4.4.2 Kasar Bungkil Inti Sawit oleh T. harzianum ... 44

Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein 4.4.3 Kasar Bungkil Inti Sawit oleh Koktail Mikroba ... 45

Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein 4.5 Perubahan Komposisi Kimia Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi dengan Koktail Mikroba ... 46

4.6 Perubahan Asam Amino Setelah Fermentasi dengan Koktail Mikroba ... 48

4.7 Aktivitas Selulase dan Mananase Setelah Fermentasi ... 49

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan inti sawit (palm kernel)

perkebunan besar di Indonesia Tahun 2004-2008 ... 4

2. Pertumbuhan selama fermentasi aerobik (7 hari) ... 31

3. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi (%) ... 34

4. Kandungan kadar serat kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi ... 36

5. Analisis regresi kadar serat kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi ... 37

6. Kandungan kadar protein kasar bungkil inti sawit selama fermentasi ... 42

7. Analisis regresi kadar protein kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi ... 43

8. Komposisi protein, serat kasar, NDF, ADF, lemak, dan abu bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba ... 47

9. Komposisi asam Amino esensial (AAE) bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba ... 48

10. Aktivitas Sselulase dan mananase sebelum dan sesudah fermentasi bungkil inti sawit dengan koktail mikroba ... 50


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pohon industri kelapa sawit ... 5

2. Bacillus amyloliquefaciens ... 8

3. Trichoderma harzianum 4. Skema rangkaian selulosa ... 12

... 10

5. Diagram dinding sel tanaman ... 12

6. Skema rangkaian selulolisis ... 13

7. Cara penghitungan jumlah mikroorganisme hidup ... 18

8. Alur pengenceran pada penghitungan mikroba ... 19

9. Skema Fermentasi ... 21

10. Pertumbuhan B. amyloliquefaciens pada substrat bungkil inti sawit ... 32

11. Pertumbuhan T. harzianum pada substrat bungkil inti sawit ... 33

12. Pertumbuhan koktail mikroba pada substrat bungkil inti sawit ... 33

13. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens ... 38

14. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum ... 39

15. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba ... 41

16. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens ... 44

17. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum ... 45

18. Analisis regresi kadar protein kasar pada bungkil inti sawit yang dengan koktail mikroba ... 46


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Analisis ragam kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi ... 61 2. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh

B. amyloliquefaciens ... 62 3. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh

T. harzianum ... 63 4. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh

koktail mikroba ... 64 5. Analisis ragam kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi ... 65 6. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh B. amyloliquefaciens ... 66 7. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh T. harzianum ... 67 8. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh koktail mikroba ... 68


(17)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia, Malaysia, dan Nigeria merupakan 3 negara di dunia yang memproduksi 84% minyak kelapa sawit. Indonesia merupakan negara terbesar dalam menghasilkan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 5.000.000 hektar dengan total produksi crude palm oil (CPO) sekitar 14.500.000 ton (LRPI 2006).

Dari kelapa sawit diperoleh 2 jenis minyak yaitu minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO/palm kernel oil). Pada pengolahan CPO diperoleh hasil ikutan berupa serat buah sekitar 1,5-3,5 ton/ha tanaman/tahun dan lumpur minyak sawit sekitar 3-6 ton/ha tanaman/tahun. Pada pengolahan PKO diperoleh bungkil inti sawit sekitar 0,3-0,6 ton/ha tanaman/tahun, (Sindu 1999) (Gambar 1).

Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh secara kimiawi (ekstraksi) atau dengan proses fisik (expeller). Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein 15,73-17,19% lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18 % (Chong et al. 1998; Mathius et al. 2005). Dengan komposisi nutrien tersebut BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk ruminansia karena mempunyai rumen, sehingga mampu mendegradasi serat. Sedangkan untuk monogastrik seperti ayam menjadi suatu masalah karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Bagi monogastrik untuk memperbaiki nilai nutrisi bungkil inti sawit tersebut kadar serat kasar diturunkan dan kadar protein ditingkatkan. Fermentasi dengan menggunakan koktail mikroba (kombinasi antara bakteri

Fermentasi merupakan proses pemecaha

Bacillus amyloliquefaciens dan kapang Trichoderma harzianum) merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki nilai nutrisi bungkil inti sawit. Supriyati et al. (1998) melaporkan peningkatan kadar protein terjadi pada bungkil inti sawit dari 14,19 menjadi 25,06% setelah difermentasi dengan menggunakan

A. niger NRRL 337.

senyawa yang lebih sederhana yang melibatka baik kapang


(18)

pada substrat limbah agroindustri. Pada substrat lumpur sawit protein meningkat setelah fermentasi dari 11,94 menjadi 22,59% dengan menggunakan Aspergillus niger sebagai inokulum (Pasaribu et al. 1998). Selain A. niger kemungkinan penggunaan mikroba lain seperti Bacillus amyloliquifacien dan Trichoderma harzianum atau koktail mikroba bisa dimanfaatkan untuk mendegradasi dan meningkatkan protein.

Koktail mikroba adalah campuran beberapa mikroba yang diramu menjadi satu (Schwan 1998), dalam penelitian ini yang dicampur adalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fisikokimia bahan pakan bungkil inti sawit yang difermentasi dengan menggunakan koktail mikroba (kombinasi antara Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum).

Bacillus amyloliquifacien dan Trichoderma harzianum. Penggabungan dua mikroba ini didasarkan atas peran enzim Ekso-beta-glukanase dari Bacillus amyloliquefaciens

yang memotong rantai luar polisakarida dan enzim Endo-beta-glukanase pada

Trichoderma harzianum yang memotong rantai dalam polisakarida (Wizna et al. 2005). Diharapkan teknologi fermentasi dengan menggunakan koktail mikroba dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan protein bungkil inti sawit. Sehingga produknya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif pada unggas.


(19)

3

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Bungkil Inti Sawit sebagai

Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit dengan biomassa 45-46% dari inti sawit

Bahan Pakan Unggas

Pembangunan perkebunan kelapa sawit, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar maupun oleh masyarakat berkembang dengan sangat pesat. Awal tahun 1968, areal kelapa sawit hanya terbatas di tiga wilayah (Sumatera Utara, Aceh dan Lampung) saat ini sudah berkembang di 22 daerah Provinsi. Luas areal tahun 1968 seluas 105.808 ha dengan produksi 167.669 ton, pada tahun 2007 telah meningkat menjadi 6,6 juta ha dengan produksi sekitar 17,3 juta ton CPO (Ditjenbun 2008).

Kelapa sawit mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional. Disamping sebagai bahan baku industri dalam negeri, juga komoditas ekspor utama. Pada tahun 2007 total ekspor CPO Indonesia sebesar 11,08 juta ton (BPS 2009) dengan nilai US $ 7,8 milyar. Mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 3,3 juta kepala keluarga. Pengembangan kelapa sawit juga mendorong pengembangan wilayah.

Prospek pengembangan kelapa sawit ke depan sangat bagus, tidak saja untuk bahan baku minyak makan, oleokimia, tapi juga digunakan sebagai bahan baku energi (bio-fuel) dan limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Melihat prospek yang bagus tersebut, pemerintah akan terus mendorong pengembangan kelapa sawit dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Saat ini Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2008 memiliki luas areal perkebunan 6.611 ribu ha dengan produksi CPO 17.109 ribu ton (Ditjenbun 2008). Produksi minyak kelapa sawit

(CPO) setiap tahunnya meningkat disarikan pada Tabel 2, pada tahun 2004 sekitar 8.479,3 ribu ton dan tahun 2008 menjadi 11.406,5 ribu ton (BPS 2009). Demikian pula produksi inti sawit menunjukkan peningkatan, dimana pada tahun 2004 sekitar 1.862,0 dan pada tahun 2008 produksinya 2.281,2 ribu-ton masing-masing setara dengan 837,9 dan 1026,5 ribu-ton bungkil inti sawit (BPS 2009).


(20)

dari bobot tandan sawit.

Bungkil inti sawit menga

Bungkil inti sawit yang merupakan bagian dari buah segar kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pakan ternak dapat dilihat pada Gambar 1.

nutrisinya berupa

yang diperoleh secara kimiawi (ekstraksi) atau dengan proses fisik (expeller)

et al. 1998 melaporkan bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein yang cukup tinggi yaitu antara 14,19% sampai 17,19%, lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18 %. Variasi ini kemungkinan disebabkan perbedaan cara proses pengolahan PKO, jenis sawit, kematangan buah dan lokasi tumbuhnya kelapa sawit.

Tabel 1. Produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan inti sawit (palm kernel) perkebunan besar di Indonesia tahun 2004-2008.

Tahun Minyak kelapa sawit (ribu ton) Inti sawit (ribu ton)

2004 8.479,3 1.862,0

2005 10.119,0 2.139,7r

2006 10.961,8 2.363,1

2007 11.079,6x 2.399,9

2008 11.406,5 2.281,2

Sumber : BPS, 2009

Keterangan: x=Angka sementara r=Angka diperbaiki

Selain kandungan protein yang cukup tinggi, bungkil inti sawit memiliki kandungan serat kasar yang tinggi pula. Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar serat kasar 12-18% (Chong et al. 1998; Mathius et al. (2005), 21,08% (Nuraini & Trisna, 2006). Walaupun kandungan serat kasarnya tinggi masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak unggas karena mempunyai kadar protein yang cukup tinggi,

Tingginya kandungan serat kasar merupakan kendala sebagai bahan pakan unggas karena tidak dapat dicerna, sehingga dibutuhkan teknik untuk mendegradasi serat ke molekul yang lebih sederhana agar bisa dicerna. Salah satu

dan setelah fermentasi pemanfaatan dapat lebih tinggi menjadi 25,16% (Supriyati et al. 1996).


(21)

teknik untuk mendegradasi serat adalah teknologi fermentasi dengan menggunakan mikroba, baik kapang atau bakteri.

Pemanfaatan produk fermentasi untuk unggas menunjukkan pengaruh yang positif. Bungkil kelapa terfermentasi dapat digunakan dalam ransum anak itik jantan hingga 20% (Sinurat et al. 1996). Pada itik petelur bungkil kelapa terfermentasi dapat diberikan hingga 30% tanpa mempengaruhi produksi telur (Sinurat et al. 1998). Pemberian bungkil inti sawit terfermentasi dengan

Aspergillus niger pada itik sedang tumbuh dapat diberikan hingga hingga 15 % (Bintang et al. 1999).

Kelapa Sawit

Daging buah Biji sawit Tandan kosong Batang pohon

Makanan ternak Pupuk

Minyak sawit Sabut Sludge Inti sawit

Cangkang

Pangan

Minyak goreng, olein Margarin, lemak kue Vanaspati, cocoa butter substitute

PKO

Bungkil inti sawit

Oleokimia Stearin, sabun asam, lemak, deterjen Pelumas, plasticizer Kosmetik, BBM Particle board Minyak goreng Salad oil Oleokimia Makanan ternak Sabun Pupuk

Arang, karbon aktif Bahan pengisi Particle board, Asap cair Gambar 1. Pohon industri kelapa sawit

Sumbe industri-kelapa-sawit/

2.2 Fermentasi

Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Klein et al. 2004). Fermentasi pada umumnya menyebabkan hilangnya karbohidrat, namun protein terhidrolisis


(22)

menjadi asam amino, lemak terurai menjadi asam lemak, sehingga mempunyai daya cerna yang lebih tinggi dan meningkatnya kandungan vitamin, terutama golongan vitamin B. Disamping menghasilkan hidrolisat siap serap, fermentasi juga menghasilkan biomasa mikroba yang bernilai tinggi (Buckle et al. 1987; Muchtadi 1989). Menurut jenis medianya proses fermentasi dibagi menjadi tiga yaitu fermentasi medium padat, dimana mediumnya tidak larut (bentuk padat), tapi cukup lembab untuk kebutuhan hidup mikroba dengan kadar air 12 –60%). Fermentasi medium semi padat merupakan medium yang tidak larut, kelembaban cukup dengan kadar air 65 –80%. Fermentasi medium cair adalah medium cair dengan substrat larut dan atau tidak larut dengan kadar air >80% (Stansbury et al. 1997

Komposisi media dan kondisi lingkungan merupakan faktor yang sangat penting untuk proses fermentasi. Jenis media ada yang komplek dan sintetik (media mineral), dimana sekecil apapun modifikasi media dapat merubah stabilitas sel, kualitas produk, dan proses fermentasi. Secara umum dalam media fermentasi mengandung makronutrien berupa karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N), Sulfur (S), dan Fosfat (P) , dan magnesium (Mg) yang berasal dari air, gula-gula, lemak, asam amino, dan garam mineral. Sedangkan mikronutrien yang dibutuhkan adalah trace element (FeSO4.7H2O; CuSO4.5H2O; H3BO3; MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; Na2MoO4; CaCl.2H2O; CoCl2.6H2O) dan vitamin. Makro dan mikronutrien dibutuhkan mikroorganisme untuk memperoleh energi, pertumbuhan, perkembangan, dan biosintesa produk-produk metabolisme (

).

2.2.1 Media Fermentasi

Klein

et al. 2004). Demikian juga bakteri Bacillus amyloliquifacien dan kapang

Trichoderma harzianum membutuhkan media yang mengandung makro dan mikronutrien. Dilihat dari komposisi kimia, bungkil inti sawit bisa menjadi substrat untuk Bacillus amyloliquifacien dan Trichoderma harzianum karena mengandung karbohidrat sebagai sumber karbon dan protein sebagai sumber nitrogen, kalsium dan fosfor sebagai sumber mineral.


(23)

2.2.2 Fermentasi Media Padat

Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi dimana medium yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme sedangkan fermentasi medium cair adalah proses yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Klein et al. 2004).

Basillus dapat hidup secara obligat aerob atau fakultatif anaerob dan positif mempunyai enzim katalase (

Dalam melakukan fermentasi pada prinsipnya adalah pengaturan kondisi pertumbuhan optimum mikroorganisme, sehingga dapat mencapai dan menghasilkan laju pertumbuhan yang maksimal. Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi adalah jenis substrat, mikroorganisme, dan kondisi fisik pertumbuhan. Ketiga faktor tersebut berpengaruh terhadap massa dan komposisi sel (Tannenbaum 1985). Keuntungan penggunaan medium padat antara lain: 1) tidak memerlukan tambahan lain kecuali air, 2) persiapan inokulum lebih sederhana, 3) dapat menghasilkan produk dengan kepekatan tinggi; 4) kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, 5) kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah, 6) produktifitas tinggi, 7) aerasi optimum, 8) tidak diperlukan kontrol pH maupun suhu yang teliti. Dalam menyiapkan proses fermentasi medium padat perlu memperhatikan beberapa faktor yaitu : sifat substrat terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisarasi dan derajat polimerisasi, sifat mikroorganisme karena masing-masing mikroorganisme mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan metabolismenya, kinetika metabolisme dan kinetika enzim. Bungkil inti sawit termasuk substrat atau media padat yang memiliki partikel dengan permukaan sempit, sehingga mudah untuk dimasuki air maupun oksigen. Dengan fisik tersebut maka tidak sulit untuk menjadi media pertumbuhan kapang maupun bakteri disamping kandungan nutrient bungkil yang sudah tersedia.

2.3 Koktail Mikroba

2.3.1 Bacillus amyloliquefaciens

Chelikani et al. 2004). Genus Basillus dapat dijumpai dimana saja walaupun kondisi lingkungan kritis, karena sel Basillus bisa memproduksi endosperm, dimana bisa dorman pada waktu yang lama untuk


(24)

menghindari lingkungan ekstrim, namun demikian tidak semua spesies Bacillus bisa memproduksi endosperm (Madigan & Martinko 2005). Basillus terdiri dari banyak jenis, salah satu jenis basillus yang digunakan dalam dunia industri adalah

Gambar 2. Bacillus amyloliquefaciens

(Sumber: Fukumoto 1943) Klasifikasi Bacillus amyloliquefaciens

Domain: Bacteria

Bacillus amyloliquefaciens. B. amyloliquefaciens diklasifikasikan ke dalam domain bakteri, devisi firmikutes (kuat dan langsing), kelas basili, ordo basilale, familii basilaseae, dan genus basilus.

Division:

Class: Bacilli

Orde

Fam

Genus:

Species: Bacillus amyloliquefaciens

Bacillus amyloliquefaciens

B. amyloliquefaciens termasuk genus Basillus Gram-positif berbentuk batang, kuat dan langsing (Gambar 2), yaitu sejenis bakteri yang ditemukan di


(25)

dalam tanah oleh peneliti Jepang bernama Fukumoto pada tahun 1943 yang memberikan nama tersebut karena bakteri tersebut memproduksi cairan amilase, yaitu enzim yang mendegradasi tepung menjadi gula (Fukumoto 1943). Selain amilase, B. amyloliquefaciens juga memproduksi lipase, protease, peptidase, sukrase, dan memproduksi Iturins yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan kapang (Antifungal Agent) seperti Fusarium, Collectotricum, Rhizoctonia, Aspergillus, dan Phytopthera. Enzim yang telah diproduksi dari B. amyloliquefaciens secara komersil adalah α-amilase, alfa-asetolaktase, dekarboksilase, beta-glukanase, hemiselulase, maltogenik amilase, protease, dan xilanase (Gupta et al. 2003); Kandra (2003). Alpha amilase yang digunakan dalam hidrolisis pati, subtilisin protease digunakan dalam deterjen, dan enzim restriksi BamH1 digunakan dalam penelitian DNA (

Dalam dunia industri,

Graumann 2007).

sebagai sumber

antibiotik alam, berupa barnase. Barnase adalah protein bakteri yang mengandung 110 macam asam amino dan mempunyai aktivitas ribonuklease (Hartley & Smeaton 1973).

2.3.2 Trichoderma harzianum

Trichoderma adalah salah satu jamur tanah yang tersebar luas yang dapat ditemui di lahan-lahan pertanian dan perkebunan (Harman 2006). Trichoderma

bersifat saprofit pada tanah, kayu. Beberapa jenis Trichoderma dapat digunakan sebagai biofungisida, dimana Trichoderma mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani,

Sclerotium rolfsii, dan lain-lain (Etebarian 2000; Eziashi et al. 2006 ;Harman 2006

Pada proses fermentasi, Trichoderma memproduksi enzim selulase yang berperan dalam mendegradasi selulosa menjadi glukosa. Beberapa strain

Trichoderma telah dikembangkan sebagai agen biokontrol (Well, 1986)

). Spesies Trichoderma disamping sebagai mikroorganisme pengurai (Beare

et al. 1992) dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman.

, seperti T.


(26)

pertanian. Biakan jamur Trichoderma dalam media aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, yaitu dapat mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang berkualitas.

Saat ini, Trichoderma merupakan salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah. Menurut Ramada (2008) pupuk biologis Trichoderma dapat dibuat dengan inokulasi biakan murni pada media aplikatif, misalnya dedak. Sedangkan biakan murni diisolasi dari tanah sekitar perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan diremajakan kembali pada media PDA (Potato Dextrose Agar).

Gambar 3. Trichoderma harzianum

(Sumber: Harman 2006) Klasifikasi

Kingdom:

Trichoderma harzianum: Division:

Subdivision: Class: Orde

Family:

Genus:

Species: T. harzianum


(27)

Trichoderma bersifat saprofit, dimana dapat beradaptasi dengan situasi yang beragam memproduksi berbagai macam enzim. Kapang ini dapat tumbuh pada pH 3 – 7 dengan suhu 30o

Beberapa strain tertentu memproduksi enzim utama yang dikultur dalam suspensi untuk memproduksi enzim pada skala industri. Misalnya

C, dan tumbuh optimal pada pH 5 (Isil & Nulifer 2005).

dimanfaatkan untuk memproduksi selulase dan hemiselulase (Sim & Oh 1993)

et al. 2007), da

adalah jenisT. viride and T. hamatum, dimana pada umumnya

tumbuh disekitar permukaan perakaran. Salah satu fungisida produk bioteknologi komersil kapang ini adalah 3Tac (berisi 3 jenis Trichoderma dengan tahap pertumbuhan vegetative yang berbeda) yang digunakan untuk

perlakuaPenicillium sp.

Taksonomi Trichoderma secara umum dibagi berdasarkan karakter morfologi seperti konidia, bentuk, warna dan ornamentasi, bentuk percabangan dengan cabang pendek disamping, short inflated phialides, dan formasi panjangnya hipa steril atau fertil dari konidia. T. harzianum (Gambar 3) termasuk jenis agregat, yang dibagi kedalam tiga ,empat, atau lima subspecies, tergantung dari strainnya (Bissett 1991). Trichoderma harzianum termasuk ke dalam

klasifikasi kerajaan jamur (fungi), devisi

kelas

genusTrichoderma harzianum.

Trichoderma harzianum merupakan salah satu kapang yang digunakan sebagai fungisida, misalnya untuk perlakuan bibit dan tanah untuk membebaskan beberapa penyakit yang disebabkan kapang patogen. T.harzianum positif berasosiasi dengan populasi bakteri (Eastburn & Butler 2002). Misalnya kapang

T.harzianum menyediakan selulase untuk mendegradasi selulosa berasosiasi dengan bakteri obligat anaerobik Clostridium butyricum yang berperan menyediakan nitrogenase. Selulosa dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk fiksasi nitrogen (N2), hal ini meningkatkan laju dekomposisi dibandingkan bila kapang hanya sendiri mendegradasinya (Veal & Lynch 1994).


(28)

2.4

Selulosa merupakan komponen struktural utama dari

Selulosa sebagai Komponen Serat Kasar Tanaman

dapat

berantai panja

homopolimer linear yang dibangun unit-unit D-glukosa dengan ikatan β-1,4 glikosida dengan rumus molekul )n dan struktur kimia (gambar 4) (

Gambar 4. Skema rangkaian selulosa ( Crawford 1981).

Gambar 5. Diagram dinding sel tanaman

(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Plant_cell_wall_diagram.svg) Crawford 1981).

Selulosa merupakan susunan umum dinding sel tanaman (Gambar 5), namun selulosa juga dimiliki beberapa bakteri. Walaupun selulosa cukup stabil namun rentan bila dihidrolisis dengan asam maupun basa. Hidrolisis dengan pH tinggi biasanya lebih kuat memotong rantai 1-4-glikosida daripada kondisi pH rendah. Selain dapat didegradasi secara kimia, selulosa juga bisa di degradasi oleh enzim, yaitu enzim selulase.


(29)

2.5 Enzim Selulase

Enzim selulase termasuk ke dalam enzim hidrolase yang dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis pemutusan ikatan beta-1,4 glikosida yang terdapat dalam molekul selulosa lainnya (Dwidjoseputro 1982; Nishiyama et al. 2002).

Selulase tidak dimiliki oleh manusia dan monogastrik, karena it tidak dapat menguraikan selulosa (Crawford 1981). Tetapi hal ini dapat dilakukan oleh beberapa hewan seperti dalam sistem pencernaannya mengandun menghasilkan enzim selulase yang akan m 1,4 glikosida.

Gambar 6. Skema rangkaian selulolisis (Spano 1975)

Selulosa merupakan nama umum atau trivialnya, sedangkan nama sistematiknya adalah beta-1,4-glukan-4-glukanohidrolase. Enzim selulase merupakan enzim komplek yang terdiri dari 3 komponen utama, yaitu endo-beta-glukanase (EC 3.2.1.4), ekso-beta-endo-beta-glukanase (EC 3.2.1.91), dan beta-glukosidase (EC 3.2.1.21), yang bekerja secara bertahap atau bersama-sama menguraikan selulosa menjadi unit glukosa (Gerhartz 1990).


(30)

Spano (1975) melaporkan enzim endo-β-glukanase, 1,4-β-D-glukan glukanohidrolase, CMCase, Cx memutus secara random rantai selulosa yang terdiri dari glukosa dan selo-oligosakarida. Sedangkan Ekso-β-glukanase, 1,4- β -D-glukan selobiohidrolase, aviselase, dan C1 menyerang bagian luar selulosa pada ujung non-reduksi dengan selobiosa sebagai struktur utama. Kemudian β -glukosidase, selobiase menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa (Gambar 6).

2.6 Manan

Manan tersusun dari 1-4 polimer gula manosa. Manan yang dihirolisa menghasilkan manno-oligosaccharida, namun yang paling sering diproduksi adalah mannobiose dan mannotriose, dan manosa merupakan produk yang paling baik. Produksi utama hidrolisis manan adalah manno-oligosaccharida, yang paling sering digunakan adalah mannotriosa dan mannobiosa (Kensch 2008).

Manan dan heteromanan merupakan bagian dari fraksi hemiselulosa pada dinding sel tanaman. Struktur dinding sel tanaman sebagian besar terdiri dari susunan polisakarida berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Dekker 1985) (Gambar 5). Hemiselulosa merupakan polisakarida linier atau bercabang yang banyak ditemukan sebagai heteroglikan pada tumbuhan tingkat tinggi. Dua jenis hemiselulosa yang penting dalam industri ialah hetero-1,4-D-manan dan hetero - 1,4-D-xilan (Hilge et al. 1998).

Manan dan heteromanan tersebar luas di alam sebagai bagian dari fraksi hemiselulosa dalam kayu keras dan kayu lunak (Capoe et al. 2000), biji tanaman leguminosa dan kacang-kacangan (Handford et al. 2003). Manan adalah salah satu bentuk dari polisakarida tanaman yang merupakan polimer dari gula manosa (Nishiyama et al. 2002). Manan tersusun dari polimer 1 sampai 4 rangkaian gula sederhana manosa dan banyak dijumpai di alam, misalnya pada biji tanaman antara lain kelapa sawit, kelapa, kopi, kacang, guar gum, dan locust bean gum. Manan (polimer manosa) yang diselingi dengan galaktosa, dikenal sebagai galaktomanan (Lehninger 1982). Galaktomanan umumnya ditemukan pada tanaman legum sebagai penyusun biji namun juga pada tanaman lain seperti pada endosperma palem (Magdel-Din et al. 1998). Mannan bisa dihidrolisa menjadi mannosa maupun manno-oligosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik oleh


(31)

enzim endo β-mannanase (1,4-β-D-mannan mannanohydrolase [EC 3.2.1.78]) dan

exoβ-manosidase (β-D-mannanopyranoside hydrolase [EC 3.2.1.25]) (Puls dan

Scuseill, 1993). Produksi utama hidrolisis manan adalah manno-oligosaccharida, yang paling sering digunakan adalah mannotriosa dan mannobiosa, dan manosa merupakan produk yang paling baik. (Kensch 2008).

2.7. Enzim Mananase

Mananase adalah enzim yang menghidrolisis manan. Enzim mananase terutama dimanfaatkan untuk mendegradasi serat dari biomassa tanaman kelapa, dan bungkil inti sawit. Dalam dunia industri enzim mananase digunakan dalam prosesing makanan dan pengeboran minyak. Pada bidang pertanian, enzim mananase digunakan untuk meningkatkan hasil minyak dari kelapa sawit atau kelapa, dan pada pengolahan limbah kopi digunakan untuk mengekstraksi nilai komponen yang lebih tinggi. Enzim mananase juga digiunakan untuk memproduksi manno-oligosakarida sebagai prebiotik dan feed aditif (Kensch 2008).

Mananase berada dimana-mana dialam yang pada umumnya diproduksi oleh mikroorganisme, namun juga diproduksi dari tumbuhan dan hewan. Sumbernya beraneka ragam seperti bakteri, aktinomisetes, ragi, dan kapang yang dikenal pendegradasi manan (Puchart et al. 2004).

Enzim mananase dari bakteri kebanyakan terdapat pada ekstraselluler dan dapat beraktivitas pada range pH dan temperature yang luas, meskipun pada umumnya optimal pada kondisi asam dan netral (Dhawan & Kaur 2007).

Penggunaan enzim mananase sebagai feed additive menunjukkan beberapa keuntungan, hal ini terlihat bila enzim tersebut dicampur ke dalam bahan pakan ternak seperti bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tanaman laiinya yang dominan mengandung manan. Robbins et al. (1999) melaporkan, pemberian β-mannanase yang dicampur dengan pakan jenis jagung, kedelai, dan lemak menunjukkan peningkatan kecernaan protein, lisin, dan asam amino lainnya dengan menggunakan babi (45-75 kg) dengan protein kasar pada 16% atau 12% dan 3500

Endo-β -mannanase adalah enzim yang menghidrolisis manan yang merupakan bagian dari polisakarida.


(32)

kcal/kg ME. Tujuan pemberian mananase tersebut untuk memperbaiki nutrien dan pertambahan bobot badan. Untuk monogastrik seperti unggas dan babi, manan tersebut sulit dicerna sehingga akan berperan sebagai antinutrisi (Odetallah et al.


(33)

17

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor mulai Desember 2009 hingga Mei 2010.

3.2 Mikroba.

3.2.1 Bacillus amyloliquefaciens

Biakan Bacillus amyloliquefaciens diperoleh dari kultur pemurnian Wizna

et al. (2005), kemudian diperbanyak dengan metode Kompiang (komunikasi pribadi). Dalam penelitian ini mengandung CFU 18,7x1016.

3.2.2 Trichoderma harzianum

Biakan siap pakai Trichoderma harzianum diperoleh dari Balitnak dengan CFU 3,3x102

Syarat koloni yang ditentukan untuk dihitung adalah sebagai berikut: satu koloni dihitung 1 koloni, dua koloni yang bertumpuk dihitung 1 koloni, beberapa koloni yang berhubungan dihitung 1 koloni, dua koloni yang berhimpitan dan masih bdapat dibedakan dihitung 2 koloni, koloni yang terlalu besar (lebih besar

.

3.2.3 Penghitungan Jumlah Mikroorganisme

Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan cara viable count atau disebut juga sebagai standard plate count (SPC) didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah diinkubasi dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah mikroorganisme dalam suspensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut digunakan istilah colony forming units (CFU/ ml). Koloni yang tumbuh berasal dari suspensi yang diperoleh menggunakan pengenceran bertingkat dari sebuah sampel yang ingin diketahui jumlah mikrobanya.


(34)

dari setengah luas cawan) tidak dihitung, koloni yang besarnya kurang dari setengah luas cawan dihitung 1 koloni.

Penghitungan jumlah mikroorganisme hidup (viable count) adalah jumlah minimum mikroorganisme. Hal ini disebabkan koloni yang tumbuh pada lempengan agar merupakan gambaran mikroorganisme yang dapat tumbuh dan berbiak dalam media dan suhu inkubasi tertentu seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 7. Cara penghitungan jumlah mikroorganisme hidup

Teknik dilusi (pengenceran)

Teknik dilusi sangat penting di dalam analisa mikrobiologi. Karena hampir semua metode perhitungan jumlah sel mikroba mempergunakan teknik ini, seperti TPC (Total Plate Count). Bahan yang digunakan adalah, PCA (Plate Count Agar), BPW (Buffer Pepton Water), aquades Steril (NaCl fisiologis), alkohol 70 %, NaCl. Peralatan yang dipakai terdiri dari: Petri Dish, autoclaf, tabung reaksi, inkubator, erlenmeyer, pipet ukur, bunsen Burner, dan laminar air flow.

Metodenya adalah sebagai berikut: Larutan kultur diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh pengenceran1/10 bagian. Dari larutan pengenceran 1/10 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml aquades atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian. Dari larutan pengenceran 1/100 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/1000 bagian. Demikian seterusnya hingga pengenceran yang diinginkan, kemudian ditanam pada media agar (Potato Dextro Agar) dan diinkubasi selama 36-48 jam seperti terlihat pada Gambar 8. Mikroba yang dapat


(35)

dihitung pada kisaran 30-300 koloni. Jumlah sel mikroba dapat diketahui dengan cara menghitung sel relatif / CFU per ml:

CFU/ ml = jumlah koloni x faktor pengenceran dimana :

Jumlah koloni = jumlah koloni mikroba yang tumbuh pada media agar faktor pengenceran= larutan pengenceran (misalnya 1/100)

Gambar 8. Alur pengenceran pada penghitungan mikroba

Setelah inkubasi, dihitung semua koloni yang terbentuk yang berada pada kisaran 30-300 koloni dan dicatat pada tiap dilusi yang berbeda. Hanya plate yang berjumlah 30-300 koloni yang countable (dapat dihitung). Hal ini dikarenakan jumlah koloni yang kurang dari 30 dianggap negatif karena akan memberikan nilai probabilitias 0, sehingga sampel tidak absah secara statistik untuk digunakan


(36)

dalam penghitungan. Jumlah koloni yang lebih dari 300 tidak dapat dihitung karena saling menumpuknya koloni sehingga perhitungan menjadi tidak akurat.

3.2.4 Perbanyakan B. amyloliquefaciens

3.2.4.1 Bahan Perbanyakan B. amyloliquefaciens

Bahan yang digunakan dalam perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens

adalah media nutrien agar, media cair Paul Marjonoff (PM) yang terdiri dari : {(MgSO4.7H2O 2% 15 ml, ZnSO4.7H2O 0,01% 25 ml, (NH4)2SO4 50 ml, trace

elemens (terdiri dari: FeSO4.7H2O 0,500; CuSO4.5H2O 0,010; H3BO3 0,007; MnSO4.4H2O 0,050; ZnSO4.7H2O 0,050; Na2MoO4 0,010; CaCl.2H2O 1,324; CoCl2.6H2O 0,010 dalam g/liter) 10 ml, buffer fosfat pH 7,2 50 ml, yeast extract 0,05% 7,5 mg, dan bactopepton 0,075% 1,875 mg)}, gula pasir, dan garam halus. Sedangkan peralatan terdiri dari fermentor, Petri dish,dan aerator.

3.2.4.2 Metode Perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens

Perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens dilakukan menurut Kompiang (Komunikasi pribadi, 8 Desember 2009). Biakan Bacillus amyloliquefaciens

ditanam pada media nutrien agar, kemudian diinkubasi selama 2 hari. Setelah dua hari biakan Bacillus amyloliquefaciens diambil 2 plate ditanam ke dalam media cair Paul Marjonoff (PM) 1 liter, kemudian diinkubasi selama 3 hari dalam fermentor. Pada hari kedua media PM ditambahkan 100 gram gula pasir dan 10 gram garam halus per liter, dan inkubasi dilanjutkan hingga 3 hari. Adanya pertumbuhan ditandai dengan berubahnya warna media dari coklat bening menjadi coklat keruh. Setelah 3 hari B. amyloliquefaciens siap untuk digunakan dan ditanam ke substrat bungkil inti sawit padat.

3.2.5 Fermentasi

3.2.5.1 Bahan Fermentasi

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian adalah, bungkil inti sawit (BIS) yang diperoleh dari Bengkulu, mikroba Bacillus amyloliquefaciens

dan Trichoderma harzianum. Sedangkan alat yang digunakan adalah inkubator, baki besar, ember, sendok (pengaduk), dan fermentor.


(37)

3.2.5.2 Metode fermentasi

Metode fermentasi secara skematik disarikan pada Gambar 9. Sebanyak 500 ml Bacillus amyloliquefaciens dicampurkan ke dalam 500 gram bungkil inti sawit, kemudian diaduk hingga homogen dan diinkubasi hingga 7 hari. Demikian juga untuk Trichoderma harzianum dilakukan hal yang sama sedangkan untuk koktail mikroba dilakukan dengan mencampurkan 500 g BIS dengan 250 ml

Bacillus amyloliquefaciens dan 250 ml Trichoderma harzianum (2:1:1), kemudian diaduk sampai rata dan diinkubasi dalam tray plastik selama 7 hari. Inkubasi

Inkubasi 0, 3, 5, 7 h

Suhu 30oC Inkubasi

0, 3, 5, 7 h Suhu 30oC

Inkubasi 0, 3, 5, 7 h Suhu 30oC BIS : Ba : Th (2:1:1) (kg/l) (diaduk

hingga homogen) BIS :Th (1:1) (kg/l)

(diaduk hingga homogen) BIS : Ba (1:1) (kg/l)

(diaduk hingga homogen)

Peubah: Fisik:pertumbuhan mikroba secara visualisasi

Kimiawi: kehilangan BK, dan kehilangan BO, PK, SK. sedangkan Lemak, ADF, NDF, Abu, AAE, dan uji aktivitas enzim selulase dan mananase dilakukan pada inkubasi 0 dan 7 hari

Gambar 9. Skema Fermentasi

Keterangan: Ba= Bacillus amyloliquefaciens; Th= Trichoderma harzianum

BIS=bungkil inti sawit; BK=berat kering; BO=bahan organik; PK=protein kasar; SK=serat kasar; ADF=acid detergent fiber; NDF=neutral detergent fiber; AAE=asam amino esensial

dilakukan pada suhu +30oC, dengan pengamatan dilakukan pada hari ke 0, 3, 5, dan 7. Peubah yang diukur adalah pertumbuhan mikroba secara visualisasi secara deskriptif selama fermentasi, dan kualitas nutrien (Bahan kering, kehilangan bahan kering, dan kehilangan bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, ADF (acid detergent fiber), NDF (neutral detergent fiber), abu, asam amino esensial (AAE) dan uji aktivitas enzim selulase, dan mananase. Analisis


(38)

lemak, abu, ADF, NDF, AAE serta uji aktivitas enzim dilakukan berdasarkan hasil serat kasar terendah pada inkubasi 3, 5, dan 7 hari.

3.3 Pertumbuhan Mikroba

Pertumbuhan mikroba secara visualisasi dilihat secara deskriptif dengan nilai + (pertumbuhan miselium belum ada); ++ (pertumbuhan miselium sudah mulai terlihat (25%)); +++ (pertumbuhan miselium sudah merata (50%); ++++ (pertumbuhan miselium merata dipermukaan dan di dalam substrat (100%)), selama inkubasi (0, 3, 5, dan 7 hari).

3.4 Bahan Kering

Kadar air diukur dengan menimbang sampel 4-5 g kemudian dikeringkan dalam oven 105 oC selama 4-6 jam (AOAC, 1980). Setelah 6 jam diangkat dan dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang.

Bobot sampel basah-bobot sampel kering

Kadar Air = --- X 100% Bobot sampel basah

3. 5 Kehilangan Bahan Kering

Kehilangan bahan kering merupakan jumlah bahan kering yang hilang selama proses fermentasi. Besaran kehilangan bahan kering ditentukan dengan pengurangan berat bahan sebelum fermentasi dengan berat bahan setelah fermentasi (dalam gram). Sedangkan persentasi kehilangan bahan kering ditentukan dengan pengurangan berat bahan sebelum fermentasi dikalikan kadar kering dengan berat bahan setelah fermentasi kali bahan dikalikan kadar kering (dalam %).

Kehilangan BK (g) = (A x BKs) – (B x BKf) (A x BKs) – (B x BKf)

Kehilangan BK (%) = --- x 100% (A x BKs)


(39)

A = berat sampel sebelum fermentasi (g) B = berat sampel setelah fermentasi (g) BKs = bahan kering sebelum fermentasi (%) BKf = bahan kering setelah fermentasi (%)

3.6 Kehilangan Bahan Organik

Kehilangan bahan organik ditentukan dengan menimbang bahan sebelum fermentasi dan setelah fermentasi, kemudian nilai bahan organik didapatkan dari 100 - abu (%). Besaran kehilangan bahan organik dihitung dengan formula sebagai berikut :

Kehilangan BO (g) = (A x BKs x BOs) – (B x BKf x BOf) (A x BKs x BOs) – (B x BKf x BOf)

Kehilangan BO (%) = --- x 100% (A x BKs x BOs)

A = berat sampel sebelum fermentasi (g) B = berat sampel setelah fermentasi (g) BKs = bahan kering sebelum fermentasi (%) BOs = bahan organik sebelum fermentasi (%) BKf = bahan kering setelah fermentasi (%) BOf = bahan organik setelah fermentasi (%)

3.7 Penentuan Protein Kasar

Diukur dengan menggunakan metoda Kjeldahl (AOAC 1980). Sampel ditimbang 0,3 g kemudian ditambahkan katalis selenium 1,5 gram, lalu dimasukkan ke dalam tabung Kjehdal dan ditambahkan H2SO4 pekat 20 ml. Selanjutnya didestruksi hingga warnanya hijau kekuningan jernih, dan dinginkan selama 15 menit baru ditambahkan 300 ml aquadest, dan didinginkan kembali. Setelah dingin ditambahkan NaOH 40% (teknis) 100ml, kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 10ml H2SO4 0,1 N yang sudah ditambahkan 3 tetes indikator campuran Methylen Blue dan Methylen Red. Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan dari warna ungu menjadi biru-kehijauan. Penetapan blanko dengan cara: 10 ml H2SO4 0,1 N ditambah indikator PP, dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Karena protein rata-rata mengandung


(40)

16% Nitrogen, maka 100% : 16% = 6,25 dipakai untuk mendapatkan nilai protein kasar (Protein kasar = N% x 6,25).

Perhitungan :

(ml blanko – ml sampel) x N NaOH x 14 x 6,25

% Protein = --- x 100% Berat sampel (mg)

3. 8 Penentuan Serat Kasar

Penentuan serat kasar dilakukan dengan analisis proksimat. Sample ditimbang sebanyak 1 gram (x), dimasukkan dalam gelas piala, kemudian dimasukkan ke dalam Heater Extract. Lalu ditambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan dimasak selama 30 menit, kemudian ditambahkan 25 ml NaOH 15 N dan dimasak kembali selama 30 menit. Selanjutnya kertas saring disiapkan yang telah dipanaskan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam (a). Kemudian cairan disaring dengan menggunakan kertas saring (a) yang diletakkan dalam corong Buchner. Penyaringan dilakukan dengan labu pengisap yang dihubungkan dengan pompa vacum. Kemudian dicuci berturut-turut menggunakan air panas 50 ml, H2SO4 0,3 N 50 ml, air panas 50 ml, dan terakhir aseton 25 ml. Setelah selesai kertas saring beserta isi dimasukkan ke dalam cawan porselen selanjutnya dikeringkan dalam oven 105oC selama 1 jam. Kemudian diangkat dan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (Y), selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600o

Serat Deterjen Netral (NDF) ditentukan dengan Van Soest (1963). Penetapan ini untuk memisahkan fraksi yang larut dalam pereaksi NDF dan yang tidak larut. Serat NDF merupakan fraksi yang tidak larut. Fraksi yang tidak larut tidak dapat dihidrolisis oleh pereaksi NDF, sehingga serat akan terpisah dan dapat ditentukan kadarnya dengan disaring, dikeringkan, kemudian ditimbang.

C selama 6 jam. Selanjutnya diangkat dan dinginkan dalam desikator dan ditimbang (Z) .

Perhitungan:

Y – Z – a

% Serat Kasar = --- x 100% X


(41)

Metodenya diuraikan berikut ini, sebanyak 0,5 g sampel ditambah 60 ml larutan NDF dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 600 ml. Selanjutnya dipanaskan dalam penangas listrik sampai mendidih. Kemudian didestruksi selama 60 menit pada suhu 2200C. Campuran dituang ke dalam cawan masir yang sudah diketahui bobotnya (W1). Sampel disaring dan dicuci dengan air panas sampai tidak berbusa lagi lalu dibilas dengan aseton. Cawan dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C selama satu malam. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai W2.

c-b

% NDF = --- x 100% a

3.10 Penentuan Serat Deterjen Asam (ADF)

Serat Deterjen Asam (ADF) dilakukan dengan menggunakan metode Van Soest (1963). Bagian dinding sel tanaman atau serat detergen netral yang tidak dapat larut dalam larutan detergen asam dengan komposit utama CTAB (Cetyl trimethyl ammonium bromide) pada pemanasan selama satu jam.

Bahan yang digunakan pada analisis ADF terdiri dari: Larutan detergent asam atau acid detergent solution (ADS) dibuat dengan melarutkan CTAB 20 gram dalam asam sulfat 1 N, Dekalin, Aceton. Sedangkan alat yang dipakai sama dengan untuk penentuan NDF, yaitu: pendingin yang sesuai dengan mulut gelas piala, pemanas listrik, pompa vakum, lemari pengirim, tanur, desikator, cawan kaca masir, corong buchner, dan penjepit

Metode yang digunakan sama dengan penentuan NDF. Kurang lebih satu gram contoh (a gram) dimasukkan dalam gelas piala 600 ml, kemudian ditambah 100 ml ADS dan 2 ml dekalin. Selanjutnya diekstraksi selama satu jam setelah mendidih disaring dengan cawan penyaring yang telah diketahui beratnya (b gram), penyaringan dilakukan dengan pompa vakum. Residu dan kertas saring dicuci dengan air panas beberapa kali dan akhirnya dengan aceton, lalu dikeringkan pada 105 0C dan ditimbang (c gram).


(42)

Perhitungan: c-b % ADF = --- a

% hemiselulosa = % NDF - % ADF

3. 11 Penentuan Asam Amino Esensial

Penentuan asam amino dilakukan dengan Amino Acid Analizer. Bahan yang digunakan pada analisis asam amino adalah : larutan HCl 6 N dan 0,1 N; larutan penyangga trisodium sitrat 2H2O dengan tiga variasi pH, yaitu pH 3,25 (0,2 N Na+ + 1% propanol), pH 3,95 (0,4 N Na-), dan pH 6,4 (1 N Na-); larutan lithium asetat terdiri dari 168 g Li(OH3), 600 ml asam asetat glasial, dan 400 mlair bebas ion; larutan ninhidrin terdiri atas 200 ml larutan ’Dimethyl Sulfokside’, 66,66 ml larutan lithium asetat; 5,32 g larutan ninhidrin, 0,22 g hidridantin, dan gas N2 murni; larutan standar asam amino buatan Beckman yang mengandung 0,25 umol/ml; contoh bungkil inti sawit tanpa dan sudah fermentasi dikeringkan dalam freeze dry dan digiling halus, etanol absolut dan es kering. Sedangkan alat yang digunakan meliputi amino acid analyzer Beckman tipe CL 119, neraca analitik 5 desimal.

Metode: 1. Hidrolisis protein

Sebanyak 50 gram contoh di masukkan ke dalam tabung pyrex 10 ml yang bertutup, selanjutnya dimasukkan 5 ml HCl 6 N dan dialiri gas nitrogen murni (Nitrogen Hp) kemudian tabung ditutup dan diletakkan dalam ovenµ dengan suhu 105 – 110 o

Hasil analisis yang sudah kering dilarutkan kembali dengan HCl 0,1 N hingga volume 3 ml, diaduk dengan vortex hingga homogen, lalu disaring dengan penyaring dengan ukuran 0,22 um. Kemudian hasil saringan diambil 100 µm dan diinjeksikan pada alat spektrofotometri, kemudian pencatatan yang digunakan

C selama 24 jam. Kemudian hasil hidrolisis dikeluarkan dari oven dan dibiarkan hingga suhu ruang, kemudian disaring dengan ketas saring Whatman no 41. Kemudian diambil 1 ml larutan ke dalam tabung 10 ml, lalu dibekukan dengan es kering dan selanjutnya dikeringkan dengan pengering vakum.


(43)

secara manual, sehingga perhitungan dilakukan dengan mengukur tinggi khromatogram standar dan tinggi khromatogram contoh dalam satuan cm.

Perhitungan:

t spl

Asam amino (%) = --- x(0,250 µmol/ml x BM AA x 3 ml x 10-6 x df x 100%) t std

--- bobot contoh x 10-3 g

Keterangan:

t spl = tinggi puncak khromatogram contoh t std = tinggi puncak khromatogram standar 0,250 µmol/ml = konsentrasi standar

3 ml = volume akhir contoh

BM AA = bobot molekul masing-masing asam amino

df = faktor pengenceran

Total asam amino adalah total asam amino yang diperoleh dari hasil analisis contoh.

3.12 Uji Aktivitas Enzim Selulase

Pengujian aktivitas enzim selulase dilakukan dengan metode DNS (dinitrosalicylic acid) (Miller 1959). Bungkil inti sawit yang telah diinkubasi dengan isolat dipindahkan ke tabung propylene. Selanjutnya ditambahkan 25ml buffer sitrat dengan pH 6,0, 50 mM, lalu diaduk dengan menggunakan vortex 15 menit dan disentrifus selama 15 pada 3500 rpm, suhu 4-5oC. Selanjutnya sebanyak 0,75 ml supernatan enzim dicampur 0,75 ml 1% CMCase (enzim selulase) dalam buffer sitar dengan pH 6,0. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit, kemudian ditambahkan 1,5 ml dinitrosalicylic acid. Selanjutnya dipanaskan selama 15 menit dan didinginkan selama 20 menit dan dibaca dengan menggunakan spektrofotometer 575 nM. Perhitungan aktivitas enzim selulase dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut,

kadar glukosa x pengenceran Aktivitas enzim = ---


(44)

Keterangan:

Satu unit aktivitas selulase adalah jumlah enzim yang melepaskan µmol glukosa dalam satu menit pada kondisi pengujian.

Faktor pengenceran = 1 Berat molekul glukosa 180 Waktu inkubasi 30 menit.

3.13 Uji Aktivitas Enzim Mananase

Uji aktivitas enzim mananase dilakukan berdasarkan metode Purwadaria et al. (1988). Aktivitas mananase dianalisis dengan menggunakan gum locust bean

(0,5% dalam buffer asetat dengan pH 4,8 dan suhu optimum 40oC). Filtrat enzim, buffer dan substrat diinkubasi selama 5 menit pada suhu 40oC. Sampel berisi 1 ml filtrat enzim ditambah 1 ml substrat di vorteks dan diinkubasi selama 30 menit pada suhun optimum. Selanjutnya DNS ditambahkan 3 ml, divorteks, dan dididihkan pada penangas air selama 15 menit. Kontrol dibuat dengan menambahkan 3 ml DNS (dinitrosalicylic acid) dan 1 ml substrat ke dalam 1 ml filtrat enzim tanpa inkubasi. Blanko terdiri dari 1 ml buffer, 3 ml DNS dan 1 ml substrat. Kontrol dan blanko dididihkan selama 15 menit, kemudian aktivitas mananase ditentukan dengan pengukuran absorban pada panjang gelombang 575 nm. Kemudian standar dibuat dengan 1 ml manosa dengan deret konsentrasi 0-450 µg/ml dari larutan induk 1000 µg/ml dalam air, diencerkan dengan buffer, kemudian ditambahkan 1 ml substrat dan 3 ml DNS, selanjutnya dididihkan 15 menit. Setelah absorban dingin, diukur pada panjang gelombang 575 nm. Kurva standar dibuat dengan menghubungkan konsentrasi manosa dan absorban. Satu unit aktivitas enzim adalah banyaknya enzim yang dapat memproduksi 1 µmol manosa per menit pada kondisi percobaan dengan formula sebagai berikut :

Aktivitas Mananase (µ/ml) = [glukosa]sampel – [glukosa] kontrol (µg/ml) x Fp Waktu inkubasi x BM manosa

Keterangan:


(45)

3.14 Rancangan Percobaan

Pertama, data dianalisis dengan menggunakan dalam Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial dengan 3 macam mikroba x 4 lama inkubasi x 3 ulangan = 36 unit percobaan. Bila uji ANOVA terdapat perbedaan yang nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjut orthogonal comparison (Steel & Torrie 1995).

Mikroba fermentasi terdiri dari: T1 = Bacillus amyloliquefaciens

T2 = Trichoderma harzianum

T3 = koktail mikroba (kombinasi Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum

Lama inkubasi (proses fermentasi) terdiri dari: P1 = 0 hari

P2 = 3 hari P3 = 5 hari P4 = 7 hari

Model linier Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial adalah :

Yijk = μ + αi+βj + (αβ) ij + εijk dimana :

Yijk = nilai pengamatan bungkil inti sawit pada faktor jenis mikroba taraf ke-i dan lama inkubasi fermentasi taraf ke-j dan ulangan ke-k

μ = Rataan umum

αi = Pengaruh jenis mikroba faktor αke-i

βj = Pengaruh lama inkubasi fermentasi bungkil inti sawit faktor β ke-j

(αβ) ij = Pengaruh interaksi faktor αke-i dan faktor β ke-j

εijk = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ke-j serta ulangan ke-n; n = 1, 2, 3


(46)

Kedua, data dianalisis dengan menggunakan Model Regresi Linier Sederhana, yaitu hubungan antara X dan Y dinyatakan dalam fungsi linier/ordo 1 dan perubahan Y diasumsikan karena adanya perubahan X.

Model Regresi Linier Sederhana adalah :

Y = βo + β1x + ε

dimana :

β0 dan β1 adalah parameter regresi

ε adalah sisaan/galat/eror (peubah acak)

Y adalah jenis mikroba peubah tak bebas (peubah acak)

X adalah lama inkubasi (peubah bebas) yang nilainya diketahui dan presisinya sangat tinggi (bukan peubah acak)


(47)

31

4.1 Pertumbuhan Mikroba pada Substrat Bungkil Inti Sawit

Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Mikroba memiliki kemampuan untuk menggandakan diri secara eksponensial karena sistem reproduksinya merupakan pembelahan biner melintang, dimana tiap sel membelah diri menjadi dua sel. Selang waktu yang dibutuhkan sel untuk membelah diri disebut dengan waktu generasi.

Selama fermentasi aerobik dilakukan pengamatan secara visual terhadap pertumbuhan bakteri B. amyloliquefaciens, kapang T. harzianum, dan koktail mikroba yang disarikan pada Tabel 2. Inkubasi pada 0 hingga 2 hari belum terlihat ada pertumbuhan, hal ini mengindikasikan pada inkubasi 0-2 hari merupakan fase lag (lambat). Pada saat fase lag tidak terjadi pertumbuhan

Lama inkubasi

mikroba, sel sedang mengalami perubahan komposisi kimiawi, bertambahnya ukuran serta substansi intraseluler, sehingga siap untuk membelah diri.

Tabel 2. Pertumbuhan selama fermentasi aerobik (7 hari).

B. amyloliquefaciens T. harzianum Koktail mikroba

0 hari Inokulasi Inokulasi Inokulasi

3 hari Tumbuh baik pada

permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih (miselium) (+++).

Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih (miselium) (+++).

Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih (miselium) (+++).

5 hari Pertumbuhan

miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata

Pertumbuhan

miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata

Pertumbuhan

miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata

7 hari Pertumbuhan

miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata

Pertumbuhan

miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata

Pertumbuhan

miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata

Pada hari ketiga B. amyloliquefaciens, T. harzianum, dan koktail mikroba sudah menutupi substrat hingga 25%. Hari kelima pertumbuhan mencapai 50%, dan pada hari ketujuh (inkubasi 7 hari) pertumbuhan B. amyloliquefaciens, T.


(48)

harzianum, dan koktail mikroba mencapai 100% di permukaan hingga tumbuh ke dalam substrat, disarikan pada Tabel 2 dan Gambar 10, 11, dan 12. Pada inkubasi 3, 5 dan 7 hari diindikasikan berada pada kurva pertumbuhan fase logaritma atau fase eksponensial, karena sel membela diri dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat. Pada fase ini merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak, aktivitas sel meningkat, dan fase yang penting bagi kehidupan mikroorganisme. Pertumbuhan ditandai dengan adanya warna putih di permukaan substrat pada ketiga perlakuan mikroba. Pertumbuhan terjadi karena tersedianya nutrien pada substrat bungkil inti sawit, air yang cukup, dan temperatur yang sesuai dengan yang dibutuhkan.


(49)

Gambar 11. Pertumbuhan T. harzianum pada substrat bungkil inti sawit.


(50)

4.2 Kehilangan Bahan Kering Selama Proses Fermentasi Bungkil Inti Sawit

Selama fermentasi terjadi kehilangan bahan kering yang disarikan pada Tabel 3. Pada saat fermentasi mikroba akan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa serta manan menjadi gula-gula sederhana. Selama fermentasi terjadi proses respirasi anaerob (pembebasan energi tanpa oksigen), mikroba memecah komponen substrat untuk keperluan metabolisme, kinetika metabolisme dan kinetika enzim dan pertumbuhan.yang menyebabkan kehilangan bahan kering. Tabel 3. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi (%) Jenis Mikroba

________________________________________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba (hari)

3 13,50a + 0,00 9,20b + 3,12 7,40c + 0,00 5 14,53a + 2,68 13,50a + 0,62 6,67b + 0,00 7 20,80a + 1,81 12,82b + 6,81 12,62b

Sementara itu tidak ada interaksi antara jenis mikroba dengan lama fermentasi terhadap kehilangan bahan kering. Selama pertumbuhan, mikroba akan menggunakan sumber karbon dan diubah menjadi karbon dioksida, air, dan energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan. Kehilangan bahan kering

+ 0,72 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kehilangan bahan kering pada fermentasi 3 hari berbeda nyata (P<0,05) diantara ketiga perlakuan (Tabel 3), dimana perlakuan koktail mikroba menunjukkan kehilangan bahan kering terendah (7,40+0,00%), disusul T. harzianum (9,20+3,12), selanjutnya B. amyloliquefacien (13,50+0,00). Setelah inkubasi 5 hari kehilangan bahan kering tidak berbeda nyata antara perlakuan

B. amyloliquefaciens dengan T. harzianum, namun berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan koktail mikroba (6,67 + 0,00%). Pada inkubasi 7 hari kehilangan bahan kering pada perlakuan B. amyloliquefaciens nyata (P<0,05) lebih tinggi (20,80 + 1,81) dari perlakuan T. harzianum (12,82 + 6,81%) dan koktail mikroba (12,62 + 0,72%).


(51)

selama proses fermentasi disebabkan oleh mikroorganisme menggunakan substrat untuk berkembang biak dan menghasilkan air dan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme. Oleh karena itu, kehilangan bahan kering dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan mikroorganisme dalam substrat. Pada fermentasi bungkil inti sawit dengan A. niger menunjukkan kehilangan bahan kering sebesar 18,74% (Mathius 2008). Pada penelitian ini, kehilangan bahan kering tertinggi selama fermentasi terdapat pada perlakuan B. amyloliquefaciens (20,80%) dan terendah pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba (12,62%).

Kehilangan bahan organik hanya dianalisis pada fermentasi dengan perlakuan koktail mikroba yaitu 10,3% setelah inkubasi 7 hari. Seperti diketahui bahwa pada proses fermentasi terjadi perubahan zat-zat organik sebagai akibat dari reaksi biokimia yang ditimbulkan oleh kapang maupun bakteri. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang T. harzianum seperti selulase, protease, dan lipase (Harman 2006) dan Bacillus amyloliquefaciens mempunyai aktivitas enzim protease dan amilase yang sangat baik dan aktivitas lipase dan selulase yang baik. Baik kapang maupun bakteri akan merombak zat-zat organik seperti selulosa, protein dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana, sehingga dalam proses perombakan tersebut akan terjadi kehilangan sebagian bahan kering karena zat-zat organik tadi bisa berubah menjadi CO2 dan H2O (Sulaiman 1988; Murray et al. 2000). Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa selama proses fermentasi terjadi peningkatan kadar air karena perombakan bahan organik oleh enzim-enzim yang dihasilkan mikroba. Fardiaz (1988) mengemukakan bahwa mikroba menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi dengan jalan memecahnya menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa, dan selanjutnya pemecahan glukosa menjadi CO2 dan H2O melalui jalur glikolisis dan siklus Krebs untuk menghasilkan energi. Perubahan yang terjadi pada bahan organik diikuti dengan perubahan atau kehilangan bahan kering karena bahan kering suatu bahan makanan terdiri atas bahan organik dan bahan an-organik (McDonald et al. 1981). Pertumbuhan kapang akan lebih banyak menyesuaikan diri dengan ketersediaan makronutrien dan mikronutrien dalam substrat. Jumlah mikroba yang banyak akan menyebabkan produksi enzim-enzim semakin tinggi, sehingga jumlah zat-zat organik yang dirombak juga semakin banyak. Dengan demikian maka terjadi


(52)

penurunan yang lebih besar dari bahan organik tersebut dengan semakin meningkatnya massa mikroba. Sebaliknya, jika kadar bahan organik semakin turun, maka kadar abu dari substrat semakin meningkat. Pada penelitian bungkil inti sawit kehilangan bahan organik selama fermentasi dengan koktail mikroba disebabkan meningkatnya massa mikroba yang menggunakan bahan organik sebagai sumber energi.

4.3 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit

Kandungan serat kasar bungkil inti sawit setelah fermentasi disarikan pada Tabel 4. Secara statistik rancangan acak lengkap pola faktorial, menunjukkan tidak berbeda nyata diantara ketiga perlakuan mikroba terhadap kandungan serat kasar. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan mikroba dan lama inkubasi.

Fermentasi selama 7 hari menunjukkan kandungan serat kasar terus menurun dan yang terendah pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba (Gambar 15). Perlakuan dengan T. harzianum menunjukkan penurunan lebih kecil (12,85%) dibandingkan B. amyloliquefaciens (12,81%) dan koktail mikroba (11,64%). Hal ini mengindikasikan enzim Ekso-beta-glukanase yang diperoduksi Bacillus amyloliquifacien memotong rantai luar polisakarida dan enzim Endo-beta-glukanase yang diperoduksi Trichoderma harzianum

memotong rantai dalam polisakarida (Wizna et al. 2005) dapat bekerja sama menguraikan serat kasar mulai dari inkubasi 0 hari hingga 7 hari. Ginting & Krisnan (2006) melaporkan kandungan serat kasar yang difermentasi dengan T. harzianum sekitar 12,55% pada inkubasi 6 hari dan 12,69% pada inkubasi 9

Tabel 4. Kandungan serat kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi (%) Jenis Mikroba_________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba (hari)

0 14,27 ± 0,33 14,04 ± 0,86 13,98 ± 0,00 3 13,70 ± 0,08 13,82 ± 0,04 13,42 ± 0,50 5 13,13 ± 0,18 13,25 ± 0,41 12,79 ± 0,41 7 12,81 ± 0,40 12,85 ± 0,43 11,64 ± 0,72


(53)

hari. Sedangkan kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba menurun hingga 16,7%. Hal ini mengindikasikan bila kedua mikroba yaitu bakteri B. amyloliquefaciens dan kapang T. harzianum

dikombinasikan pada teknologi fermentasi maka akan menunjukkan hasil yang lebih baik daripada yang tidak dikombinasikan.

Berikut ini akan diuraikan pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan serat kasar oleh masing-masing mikroba secara analisis regresi.

4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien

Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang difermentasi dengan B. amyloliquifacien menunjukkan penurunan yang bersifat linear dengan persamaan Y=14,28-0,21X dengan koefisien korelasi 0,99 seiring dengan lama inkubasi (Gambar 13). Turunnya serat kasar merupakan hasil

Tabel 5. Analisis regresi kadar serat kasar yang difermentasi dengan mikrobaselama masa inkubasi 0,3,5, dan 7 hari.

Jenis mikroba r r2 SE P

B. amyloliquefacien 0,995 0,99 0,07 < 0,05

T. harzianum 0,969 0,94 0,17 < 0,05 Koktail mikroba 0,964 0,93 0,33 < 0,05

aktivitas enzim yang terdapat pada B. amyloliquefaciens, kenaikan aktivitas enzim diikuti dengan penurunan kadar serat hasil aktivitas hidrolisis enzim. Lynd et al. (2002) melaporkan genus Bacillus mampu mendegradasi selulosa, karena memiliki enzim selulolitik endo-1,4-ß-glucanase (Hidayat 2005) yang berperan mendegradasi selulosa tersebut. Pada onggok yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens diperoleh penurunan kandungan serat kasar sebesar 32% dan peningkatan kandungan protein kasar sebesar 360% (Wizna et al. 2008b).


(1)

64

Lampiran 4. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi

oleh koktail mikroba.

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R

0.96

R Square

0.93

Adjusted R Square

0.89

Standard Error

0.33

Observations

4.00

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance F

Regression

1.00

2.82

2.82

26.42

0.04

Residual

2.00

0.21

0.11

Total

3.00

3.03

Coefficients

Standard

Error t Stat P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95,0%

Upper 95,0% Intercept 14.18 0.29 49.28 0.00 12.94 15.42 12.94 15.42 inkubasi (0.32) 0.06 (5.14) 0.04 (0.60) (0.05) (0.60) (0.05)

RESIDUAL OUTPUT

Observation

Predicted SKBATRI

Residuals

1.00

14.18

(0.19)

2.00

13.20

0.22

3.00

12.55

0.24

4.00

11.91

(0.27)

Keterangan: SKBATRI= Kadar serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi

dengan koktail mikroba


(2)

65

Lampiran 5. Analisis ragam kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi

General Linear Models Procedure

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 11 211.5266 19.2297 15.91 0.0001 Error 24 29.0125 1.2089

Corrected Total 35 240.5391

R-Square C.V. Root MSE PROTEIN Mean 0.879385 4.3465 1.0995 25.2956

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 2 2.6239 1.3119 1.09 0.3538 Inkubasi 3 194.8707 64.9569 53.73 0.0001 Perlakuan * Inkubasi 6 14.0320 2.3387 1.93 0.1160 General Linear Models Procedure

T Grouping Mean N PERLK A 25.6067 12 2

A 25.3317 12 3 A 24.9483 12 1 General Linear Models Procedure

T Grouping Mean N Inkubasi A 28.1533 9 7 B 26.8078 9 5 C 24.0189 9 3 D 22.2022 9 0

Level of Level of ---PROTEIN--- PERLK Inkubasi N Mean SD

B. amyloliquefaciens 0 3 21.9500 0.1015 B. amyloliquefaciens 3 3 23.8133 0.2421 B. amyloliquefaciens 5 3 25.4867 0.7454 B. amyloliquefaciens 7 3 28.5433 0.3044 T. harzianum 0 3 23.0000 0.4232 T. harzianum 3 3 24.1667 0.5950 T. harzianum 5 3 28.0200 0.3404 T. harzianum 7 3 27.2400 2.7302 Koktail mikroba 0 3 21.6567 0.9872 Koktail mikroba 3 3 24.0767 0.3970 Koktail mikroba 5 3 26.9167 1.6485 Koktail mikroba 7 3 28.6767 1.3550


(3)

66

Lampiran 6. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi

oleh B. amyloliquefaciens.

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R

0.98

R Square

0.95

Adjusted R Square

0.93

Standard Error

0.76

Observations

4.00

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance F

Regression

1.00

22.35

22.35

39.17

0.02

Residual

2.00

1.14

0.57

Total

3.00

23.49

Coefficients

Standard

Error t Stat P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95,0%

Upper 95,0% Intercept 21.52 0.67 32.35 0.00 18.66 24.38 18.66 24.38 inkubasi 0.91 0.15 6.26 0.02 0.29 1.54 0.29 1.54

RESIDUAL OUTPUT

Observation

Predicted PRBA

Residuals

1.00

21.52

0.43

2.00

24.26

(0.45)

3.00

26.09

(0.60)

4.00

27.92

0.62

Keterangan: PRBA= Kadar protein kasar bungkil inti sawit yang difermentasi

dengan B. amyloliquefaciens


(4)

67

Lampiran 7. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi

oleh T. harzianum.

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R

0.89

R Square

0.79

Adjusted R Square

0.69

Standard Error

1.34

Observations

4.00

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance

F

Regression

1.0

13.8

13.8

7.6

0.1

Residual

2.0

3.6

1.8

Total

3.0

17.4

Coefficients

Standard

Error t Stat

P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95,0%

Upper 95,0% Intercept 22.9 1.2 19.4 0.0 17.8 28.0 17.8 28.0 inkubasi 0.7 0.3 2.8 0.1 (0.4) 1.8 (0.4) 1.8

RESIDUAL OUTPUT

Observation

Predicted PRTRI

Residuals

1.00

22.9

0.1

2.00

25.1

(0.9)

3.00

26.5

1.5

4.00

27.9

(0.7)

Keterangan: PRTRI= Kadar protein kasar bungkil inti sawit yang difermentasi

dengan T. harzianum


(5)

68

Lampiran 8. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi

oleh koktail mikroba.

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R

0.99

R Square

0.99

Adjusted R Square

0.98

Standard Error

0.42

Observations

4.00

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance F

Regression

1.00

28.43

28.43

159.49

0.01

Residual

2.00

0.36

0.18

Total

3.00

28.78

Coefficients

Standard

Error t Stat P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95,0%

Upper 95,0% Intercept 21.47 0.37 57.73 0.00 19.87 23.07 19.87 23.07 inkubasi 1.03 0.08 12.63 0.01 0.68 1.38 0.68 1.38

Keterangan: PRBATRI= Kadar protein kasar bungkil inti sawit yang difermentasi

dengan koktail mikroba

RESIDUAL OUTPUT

Observation

Predicted PRBATRI

Residuals

1.00

21.47

0.19

2.00

24.56

(0.48)

3.00

26.62

0.30


(6)