Rancangan Percobaan Perubahan Komposisi Kimia Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi dengan Koktail Mikroba

29

3.14 Rancangan Percobaan

Pertama, data dianalisis dengan menggunakan dalam Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial dengan 3 macam mikroba x 4 lama inkubasi x 3 ulangan = 36 unit percobaan. Bila uji ANOVA terdapat perbedaan yang nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjut orthogonal comparison Steel Torrie 1995. Mikroba fermentasi terdiri dari: T1 = Bacillus amyloliquefaciens T2 = Trichoderma harzianum T3 = koktail mikroba kombinasi Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum Lama inkubasi proses fermentasi terdiri dari: P1 = 0 hari P2 = 3 hari P3 = 5 hari P4 = 7 hari Model linier Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial adalah : Y ijk = μ + α i +βj + αβ i j + ε ijk dimana : Yijk = nilai pengamatan bungkil inti sawit pada faktor jenis mikroba taraf ke-i dan lama inkubasi fermentasi taraf ke-j dan ulangan ke-k μ = Rataan umum α i = Pengaruh jenis mikroba faktor α ke-i βj = Pengaruh lama inkubasi fermentasi bungkil inti sawit faktor β ke-j αβ i j = Pengaruh interaksi faktor α ke-i dan faktor β ke-j ε ijk = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ke-j serta ulangan ke-n; n = 1, 2, 3 30 Kedua, data dianalisis dengan menggunakan Model Regresi Linier Sederhana, yaitu hubungan antara X dan Y dinyatakan dalam fungsi linierordo 1 dan perubahan Y diasumsikan karena adanya perubahan X. Model Regresi Linier Sederhana adalah : Y = βo + β 1 x + ε dimana : β dan β 1 adalah parameter regresi ε adalah sisaangalateror peubah acak Y adalah jenis mikroba peubah tak bebas peubah acak X adalah lama inkubasi peubah bebas yang nilainya diketahui dan presisinya sangat tinggi bukan peubah acak 31 IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan Mikroba pada Substrat Bungkil Inti Sawit S

etiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Mikroba memiliki kemampuan untuk menggandakan diri secara eksponensial karena sistem reproduksinya merupakan pembelahan biner melintang, dimana tiap sel membelah diri menjadi dua sel. Selang waktu yang dibutuhkan sel untuk membelah diri disebut dengan waktu generasi. Selama fermentasi aerobik dilakukan pengamatan secara visual terhadap pertumbuhan bakteri B. amyloliquefaciens, kapang T. harzianum, dan koktail mikroba yang disarikan pada Tabel 2. Inkubasi pada 0 hingga 2 hari belum terlihat ada pertumbuhan, hal ini mengindikasikan pada inkubasi 0-2 hari merupakan fase lag lambat. Pada saat fase lag tidak terjadi pertumbuhan Lama inkubasi mikroba, sel sedang mengalami perubahan komposisi kimiawi, bertambahnya ukuran serta substansi intraseluler, sehingga siap untuk membelah diri. Tabel 2. Pertumbuhan selama fermentasi aerobik 7 hari. B. amyloliquefaciens Koktail mikroba T. harzianum 0 hari Inokulasi Inokulasi Inokulasi 3 hari Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih miselium +++. Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih miselium +++. Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih miselium +++. 5 hari Pertumbuhan miselium semakin terlihat ++++, warna putih merata Pertumbuhan miselium semakin terlihat ++++, warna putih merata Pertumbuhan miselium semakin terlihat ++++, warna putih merata 7 hari Pertumbuhan miselium semakin terlihat ++++, warna putih merata Pertumbuhan miselium semakin terlihat ++++, warna putih merata Pertumbuhan miselium semakin terlihat ++++, warna putih merata Pada hari ketiga B. amyloliquefaciens, T. harzianum, dan koktail mikroba sudah menutupi substrat hingga 25. Hari kelima pertumbuhan mencapai 50, dan pada hari ketujuh inkubasi 7 hari pertumbuhan B. amyloliquefaciens, T. 32 harzianum , dan koktail mikroba mencapai 100 di permukaan hingga tumbuh ke dalam substrat, disarikan pada Tabel 2 dan Gambar 10, 11, dan 12. Pada inkubasi 3, 5 dan 7 hari diindikasikan berada pada kurva pertumbuhan fase logaritma atau fase eksponensial, karena sel membela diri dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat. Pada fase ini merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak, aktivitas sel meningkat, dan fase yang penting bagi kehidupan mikroorganisme. Pertumbuhan ditandai dengan adanya warna putih di permukaan substrat pada ketiga perlakuan mikroba. Pertumbuhan terjadi karena tersedianya nutrien pada substrat bungkil inti sawit, air yang cukup, dan temperatur yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Gambar 10. Pertumbuhan B. amyloliquefaciens pada substrat bungkil inti sawit. 33 Gambar 11. Pertumbuhan T. harzianum pada substrat bungkil inti sawit. Gambar 12. Pertumbuhan koktail mikroba pada substrat bungkil inti sawit 34 4.2 Kehilangan Bahan Kering Selama Proses Fermentasi Bungkil Inti Sawit Selama fermentasi terjadi kehilangan bahan kering yang disarikan pada Tabel 3. Pada saat fermentasi mikroba akan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa serta manan menjadi gula-gula sederhana. Selama fermentasi terjadi proses respirasi anaerob pembebasan energi tanpa oksigen, mikroba memecah komponen substrat untuk keperluan metabolisme, kinetika metabolisme dan kinetika enzim dan pertumbuhan.yang menyebabkan kehilangan bahan kering. Tabel 3. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi Jenis Mikroba ________________________________________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba hari 3 13,50 a + 0,00 9,20 b + 3,12 7,40 c + 0,00 5 14,53 a + 2,68 13,50 a + 0,62 6,67 b + 0,00 7 20,80 a + 1,81 12,82 b + 6,81 12,62 b Sementara itu tidak ada interaksi antara jenis mikroba dengan lama fermentasi terhadap kehilangan bahan kering. Selama pertumbuhan, mikroba akan menggunakan sumber karbon dan diubah menjadi karbon dioksida, air, dan energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan. Kehilangan bahan kering + 0,72 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 Kehilangan bahan kering pada fermentasi 3 hari berbeda nyata P0,05 diantara ketiga perlakuan Tabel 3, dimana perlakuan koktail mikroba menunjukkan kehilangan bahan kering terendah 7,40+0,00, disusul T. harzianum 9,20+3,12, selanjutnya B. amyloliquefacien 13,50+0,00. Setelah inkubasi 5 hari kehilangan bahan kering tidak berbeda nyata antara perlakuan B. amyloliquefaciens dengan T. harzianum, namun berbeda nyata P0,05 dengan perlakuan koktail mikroba 6,67 + 0,00. Pada inkubasi 7 hari kehilangan bahan kering pada perlakuan B. amyloliquefaciens nyata P0,05 lebih tinggi 20,80 + 1,81 dari perlakuan T. harzianum 12,82 + 6,81 dan koktail mikroba 12,62 + 0,72. 35 selama proses fermentasi disebabkan oleh mikroorganisme menggunakan substrat untuk berkembang biak dan menghasilkan air dan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme. Oleh karena itu, kehilangan bahan kering dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan mikroorganisme dalam substrat. Pada fermentasi bungkil inti sawit dengan A. niger menunjukkan kehilangan bahan kering sebesar 18,74 Mathius 2008. Pada penelitian ini, kehilangan bahan kering tertinggi selama fermentasi terdapat pada perlakuan B. amyloliquefaciens 20,80 dan terendah pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba 12,62. Kehilangan bahan organik hanya dianalisis pada fermentasi dengan perlakuan koktail mikroba yaitu 10,3 setelah inkubasi 7 hari. Seperti diketahui bahwa pada proses fermentasi terjadi perubahan zat-zat organik sebagai akibat dari reaksi biokimia yang ditimbulkan oleh kapang maupun bakteri. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang T. harzianum seperti selulase, protease, dan lipase Harman 2006 dan Bacillus amyloliquefaciens mempunyai aktivitas enzim protease dan amilase yang sangat baik dan aktivitas lipase dan selulase yang baik. Baik kapang maupun bakteri akan merombak zat-zat organik seperti selulosa, protein dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana, sehingga dalam proses perombakan tersebut akan terjadi kehilangan sebagian bahan kering karena zat-zat organik tadi bisa berubah menjadi CO 2 dan H 2 O Sulaiman 1988; Murray et al. 2000. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa selama proses fermentasi terjadi peningkatan kadar air karena perombakan bahan organik oleh enzim-enzim yang dihasilkan mikroba. Fardiaz 1988 mengemukakan bahwa mikroba menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi dengan jalan memecahnya menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa, dan selanjutnya pemecahan glukosa menjadi CO 2 dan H 2 O melalui jalur glikolisis dan siklus Krebs untuk menghasilkan energi. Perubahan yang terjadi pada bahan organik diikuti dengan perubahan atau kehilangan bahan kering karena bahan kering suatu bahan makanan terdiri atas bahan organik dan bahan an-organik McDonald et al. 1981. Pertumbuhan kapang akan lebih banyak menyesuaikan diri dengan ketersediaan makronutrien dan mikronutrien dalam substrat. Jumlah mikroba yang banyak akan menyebabkan produksi enzim-enzim semakin tinggi, sehingga jumlah zat-zat organik yang dirombak juga semakin banyak. Dengan demikian maka terjadi 36 penurunan yang lebih besar dari bahan organik tersebut dengan semakin meningkatnya massa mikroba. Sebaliknya, jika kadar bahan organik semakin turun, maka kadar abu dari substrat semakin meningkat. Pada penelitian bungkil inti sawit kehilangan bahan organik selama fermentasi dengan koktail mikroba disebabkan meningkatnya massa mikroba yang menggunakan bahan organik sebagai sumber energi. 4.3 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit Kandungan serat kasar bungkil inti sawit setelah fermentasi disarikan pada Tabel 4. Secara statistik rancangan acak lengkap pola faktorial, menunjukkan tidak berbeda nyata diantara ketiga perlakuan mikroba terhadap kandungan serat kasar. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan mikroba dan lama inkubasi. Fermentasi selama 7 hari menunjukkan kandungan serat kasar terus menurun dan yang terendah pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba Gambar 15. Perlakuan dengan T. harzianum menunjukkan penurunan lebih kecil 12,85 dibandingkan B. amyloliquefaciens 12,81 dan koktail mikroba 11,64. Hal ini mengindikasikan enzim Ekso-beta-glukanase yang diperoduksi Bacillus amyloliquifacien memotong rantai luar polisakarida dan enzim Endo-beta-glukanase yang diperoduksi Trichoderma harzianum memotong rantai dalam polisakarida Wizna et al. 2005 dapat bekerja sama menguraikan serat kasar mulai dari inkubasi 0 hari hingga 7 hari. Ginting Krisnan 2006 melaporkan kandungan serat kasar yang difermentasi dengan T. harzianum sekitar 12,55 pada inkubasi 6 hari dan 12,69 pada inkubasi 9 Tabel 4. Kandungan serat kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi Jenis Mikroba_________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba hari 0 14,27 ± 0,33 14,04 ± 0,86 13,98 ± 0,00 3 13,70 ± 0,08 13,82 ± 0,04 13,42 ± 0,50 5 13,13 ± 0,18 13,25 ± 0,41 12,79 ± 0,41 7 12,81 ± 0,40 12,85 ± 0,43 11,64 ± 0,72 37 hari. Sedangkan kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba menurun hingga 16,7. Hal ini mengindikasikan bila kedua mikroba yaitu bakteri B. amyloliquefaciens dan kapang T. harzianum dikombinasikan pada teknologi fermentasi maka akan menunjukkan hasil yang lebih baik daripada yang tidak dikombinasikan. Berikut ini akan diuraikan pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan serat kasar oleh masing-masing mikroba secara analisis regresi.

4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh

B. amyloliquifacien

Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang difermentasi dengan B. amyloliquifacien menunjukkan penurunan yang bersifat linear dengan persamaan Y=14,28-0,21X dengan koefisien korelasi 0,99 seiring dengan lama inkubasi Gambar 13. Turunnya serat kasar merupakan hasil Tabel 5. Analisis regresi kadar serat kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi 0,3,5, dan 7 hari. Jenis mikroba r r 2 SE P B. amyloliquefacien 0,995 0,99 0,07 0,05 T. harzianum 0,969 0,94 0,17 0,05 Koktail mikroba 0,964 0,93 0,33 0,05 aktivitas enzim yang terdapat pada B. amyloliquefaciens, kenaikan aktivitas enzim diikuti dengan penurunan kadar serat hasil aktivitas hidrolisis enzim. Lynd et al. 2002 melaporkan genus Bacillus mampu mendegradasi selulosa, karena memiliki enzim selulolitik endo-1,4-ß-glucanase Hidayat 2005 yang berperan mendegradasi selulosa tersebut. Pada onggok yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens diperoleh penurunan kandungan serat kasar sebesar 32 dan peningkatan kandungan protein kasar sebesar 360 Wizna et al. 2008b. 38 Gambar 13. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens Keterangan: SKBA=kadar serat kasar dengan perlakuan B. amyloliquefaciens Fermentasi bungkil inti sawit dengan koktail mikroba menunjukkan penurunan dari 14,27 menjadi 12,81 sekitar 10. Penurunan serat kasar oleh B. amyloliquefacien tersebut lebih rendah dibandingkan pada empulur sagu. Hal ini disebabkan B. amyloliquefacien dicampur dengan isi rumen untuk fermentasi empulur sagu, sedangkan isi rumen berisi meraneka ragam mikroba yang dapat berperan mendegradasi serat, sehingga menghasilkan penurunan serat yang lebih besar dari fermentasi bungkil inti sawit oleh B. amyloliquefacien saja. Turunnya serat kasar pada bungkil inti sawit diakibatkan enzim selulase yang diproduksi oleh bakteri B. amyloliquefaciens. Seperti telah diuraikan di atas serat kasar terhidrolisis oleh enzim endo- β-glukanase, 1,4-β-D-glukan glukanohidrolase, CMCase, dimana Cx memutus secara random rantai selulosa yang terdiri dari glukosa dan selo-oligosakarida. Sedangkan Ekso- β-glukanase, 1,4- β -D-glukan selobiohidrolase, aviselase, dan C1 menyerang bagian luar selulosa pada ujung non-reduksi dengan selobiosa sebagai struktur utama. Kemudian β-glukosidase, selobiase menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa Spano 1975. Dengan demikian enzim yang diproduksi B. amyloliquefaciens dapat mendegradasi serat kasar menjadi glukosa pada bungkil inti sawit, sehingga bungkil inti sawit terfermentasi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk bahan pakan unggas. 14,27 13,70 13,13 12,81 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 S er at ka sar Lama Inkubasi hari SKBA Predicted SKBA Y = 14,28 - 0,21X 39 4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh

T. harzianum

Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang difermentasi dengan T. harzianum menunjukkan penurunan yang bersifat linear dengan persamaan Y=14,15-0,18X dengan koefisien korelasi 0,94 Gambar 14. Turunnya serat kasar merupakan hasil aktivitas enzim Endo-beta-glukanase pada Trichoderma harzianum yang memotong rantai dalam polisakarida Wizna et al. 2005. Gambar 14. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum Keterangan : SKTRI=kadar serat kasar dengan perlakuan T. harzianum Turunnya serat kasar pada bungkil inti sawit diakibatkan aktivitas enzim selulase mendegradasi selulosa yang diproduksi oleh kapang T. harzianum. Proses penurunan ini telah diuraikan di atas, dimana serat kasar terhidrolisis oleh enzim endo- β-glukanase, 1,4-β-D-glukan glukanohidrolase, CMCase, dimana Cx memutus secara random rantai selulosa yang terdiri dari glukosa dan selo- oligosakarida. Dengan demikian enzim yang diproduksi T. harzianum dapat mendegradasi serat kasar menjadi glukosa pada bungkil inti sawit. 14,15 13,62 13,27 12,92 11 12 13 14 15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 S er at K asar Lama Inkubasi hari Y=14,15-0,18X SKTRI Predicted SKTRI 40 Diantara berbagai spesies Trichoderma terdapat kemiripan satu dengan yang lain akan tetapi T. harzianum merupakan spesies yang terbaik dalam merombak selulosa jika dibandingkan dengan spesies lainnya seperti T. viride, Trichoderma ressei, Trichoderma koningii dan Trichoderma glaukum Rifai 1969; Chalal 1985; Well 1986 . Fati 1997 melaporkan bahwa fermentasi dedak padi dengan kapang Trichoderma harzianum mampu menurunkan serat kasar dari 18,90 menjadi 12,81 . Sedangkan pada bungkil inti sawit T. harzianum menurunkan serat kasar dari 14,15 menjadi 12,19 . Rendahnya penurunan serat kasar oleh T. harzianum pada bungkil inti sawit terfermentasi diindikasikan perkembangan massa mikroba sedikit, sehingga produksi enzim selulase juga sedikit, dengan sendirinya selulosa yang terdegradasi rendah. 4.3.3 Pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi oleh koktail mikroba Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang difermentasi dengan koktail mikroba nyata P0,05 menunjukkan penurunan yang bersifat linear dengan persamaan Y=14,18-0,32X dengan koefisien korelasi 0.93 seiring dengan lama inkubasi Gambar 15. Turunnya serat kasar pada bungkil inti sawit menunjukkan bahwa bakteri B. amyloliquefaciens dan kapang T. harzianum memiliki sinergi yang positif dalam mendegradasi serat kasar pada bungkil inti sawit. Disamping enzim selulase yang diproduksi oleh bakteri B. amyloliquefaciens juga memproduksi enzim selulolitik endo-1,4-ß-glukanase Hidayat 2005. Pada bungkil inti sawit serat kasar dihidrolisis oleh enzim endo- β- glukanase, CMCase, yang diproduksi oleh T. harzianum, dimana Cx memutus secara random rantai selulosa yang terdiri dari glukosa dan selo-oligosakarida Spano 1975. Sedangkan Ekso- β-glukanase yang diproduksi B. amyloliquefaciens , 1,4- β -D-glukan selobiohidrolase, aviselase, dan C1 menyerang bagian luar selulosa pada ujung non-reduksi dengan selobiosa sebagai struktur utama. Kemudian β-glukosidase, selobiase menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Turunnya serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh 41 koktail mikroba menunjukkan adanya assosiasi positif antara B. amyloliquefaciens dan Gambar 15. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba. Keterangan : SKBATRI=kadar serat kasar dengan perlakuan koktail mikroba 4.4 Pengaruh Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Kasar Bungkil Inti Sawit T. harzianum dalam mendegradasi selulase. Secara statistik dengan rancangan acak lengkap pola faktorial, kandungan protein kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi disajikan pada Tabel 6. Kenaikan protein bungkil inti sawit pada inkubasi 3 hari tidak berbeda nyata diantara ketiga perlakuan jenis mikroba. Tapi pada inkubasi 5 hari peningkatan protein bungkil inti sawit tertinggi pada perlakuan T. harzianum 28,02 ± 0,34, disusul koktail mikroba 26,92 ± 1,65, kemudian B. amyloliquefacien 25,49 ± 0,75. Namun pada ikubasi 7 hari tidak ada perbedaan diantara perlakuan jenis mikroba. Lamanya fermentasi 0-7 hari bungkil inti sawit menunjukkan peningkatan protein dari 21,95 ± 0,10 menjadi 28,54 ± 0,30 pada perlakuan B. Amyloliquefacien , dari 23,00 ± 0,42 menjadi 28,54 ± 0,30 pada perlakuan T. harzianum , dan pada perlakuan koktail mikroba dari 21,66 menjadi 28,68 Tabel 7. Peningkatan protein pada bungkil inti sawit terfermentasi oleh ketiga perlakuan jenis mikroba hanya 24-32, jauh lebih kecil dari penelitian sebelumnya yaitu 14,19 menjadi 36,43 Sinurat et al. 1996; Supriyati et al. 13,98 13,42 12,79 11,64 8 10 12 14 16 1 2 3 4 5 6 7 8 S er at K asar Lama Inkubasi hari Y=14,18-0,32X SKBATRI Predicted SKBATRI 42 1998. Perbedaan ini disebabkan adanya penambahan mineral pada penelitian sebelumya. Pada percobaan ini sama sekali tidak menambahkan mineral pada saat fermentasi, hanya bahan baku dan mikroba saja. Pada percobaan sebelumnya, proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan urea, MgSO 4 , ZA, KCl, NaH 2 PO 4 , FeSO 4 untuk memperoleh pertumbuhan mikroba yang optimal. Tabel 6. Kandungan kadar protein kasar bungkil inti sawit selama Fermentasi . ________________ Jenis Mikroba___________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba hari 0 21,95 ± 0,10 23,00 ± 0,42 21,66 ± 0,99 3 23,81 ± 0,24 24,17 ± 0,60 24,08 ± 0,40 5 25,49 ± 0,75 28,02 ± 0,34 26,92 ± 1,65 7 28,54 ± 0,30 28,54 ± 0,30 28,68 ± 1,36 Secara statistik setelah fermentasi selama 7 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan jenis mikroba. Data menunjukkan kandungan protein kasar tertinggi terlihat pada BIS yang difermentasi oleh koktail mikroba 28,68 namun tidak berbeda nyata dengan yang difermentasi oleh B. amyloliquifacien 28,54 dan T. harzianum 28,54. Hal ini menunjukkan aktivitas enzim pemecah protein tidak berbeda antara T. harzianum dengan B. amyloliquifacien. Peningkatan protein yang diperoleh berasal dari asimilasi anorgaik N urea dan ZA=NH 4 2 SO 4 menjadi protein oleh mikroba. Pada percobaan ini, unsur anorganik N tidak ditambahkan, sehingga tidak akan terjadi asimilasi protein. Peningkatan protein yang terjadi karena menurunnya kadar dari unsur-unsur lainnya, dan juga disebabkan hilangnya bahan kering selama fermentasi. Berikut ini akan diuraikan pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan protein kasar secara analisis regresi pada masing-masing mikroba. 43

4.4.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Bungkil Inti Sawit oleh

B. amyloliquifacien

Analisis regresi pada perlakuan B. amyloliquefaciens pada fermentasi bungkil inti sawit menunjukkan peningkatan protein bersifat linear Y=21,52+0,91X mengikuti lama inkubasi, semakin lama inkubasi maka kandungan protein semakin meningkat Gambar 16. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh terhadap kandungan protein. Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koefisien relasi r 2 yaitu 0,95 Tabel 7. B. amyloliquefaciens pada fermentasi campuran empulur sagu dan isi rumen mampu meningkatkan protein 42 dengan temperature 40 o C selama 9 hari Wizna et al. 2008a. Sedangkan peningkatan protein pada bungkil inti sawit dengan B. amyloliquefaciens menunjukkan nilai yang lebih kecil yaitu 21,52 menjadi 27,92 sekitar 22. Hal ini diindikasikan fermentasi empulur sagu dilakukan dengan B. amyloliquefaciens dan isi rumen, dengan demikian jumlah jenis mikroba yang tersedia lebih banyak, sehingga akan meningkatkan kandungan protein empulur. Sedangkan fermentasi pada bungkil inti sawit hanya dilakukan dengan satu jenis mikroba yaitu B. amyloliquefaciens, hal ini menyebabkan peningkatan protein tidak sebesar pada fermentasi empulur sagu. Tabel 7. Analisis regresi kadar protein kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi 0,3,5, dan 7 hari. Jenis mikroba r r 2 SE P B. amyloliquifacien 0,97 0,95 0,76 0,05 T. harzianum 0,89 0,79 1,34 0,05 Koktail mikroba 0,99 0,99 0,42 0,05 Peningkatan protein sesungguhnya berasal dari mikroba, karena secara absolut protein digunakan oleh mikroba untuk kebutuhan metabolisme dan pertumbuhan, dan secara relatif meningkat. 44 Gambar 16. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens Keterangan : PRBA=kadar protein kasar dengan perlakuan B. amyloliquefaciens 4.4.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi oleh

T. harzianum

Analisis regresi pada perlakuan T. harzianum pada fermentasi bungkil inti sawit menunjukkan peningkatan protein bersifat linear Y=22,9+0,7X mengikuti lama inkubasi, semakin lama inkubasi maka kandungan protein semakin meningkat Gambar 17. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa lama fermentasi nyata P0,05 berpengaruh nyata terhadap kandungan protein. Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koefisien relasi r 2 yaitu 0,94 Tabel 7. Pada analisis regresi menunjukkan, protein kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum meningkat dari 23,00 menjadi 28,02 21,8 dengan lama inkubasi 0 hingga 7 hari. Trichoderma harzianum mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan bahan berselulosa. Fermentasi dedak padi dengan kapang Trichoderma harzianum meningkatkan protein kasar dari 8,74 menjadi 14,66 40,4 Fati 1997. Peningkatan protein pada bungkil inti sawit lebih rendah bila dibandingka dengan dedak padi terfermentasi oleh Trichoderma harzianum. Perbedaan ini diindikasikan pada saat fermentasi bungkil inti sawit dengan menggunakan inokulum Trichoderma harzianum tidak ditambahkan mineral, 21,52 24,26 26,09 27,92 20 22 24 26 28 30 1 2 3 4 5 6 7 8 P rot ein Lama inkubasi hari PRBA Rataan PRBA Y=21,52 + 0,91X 45 Gambar 17. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum Keterangan:PRTRI=kadar protein kasar dengan perlakuan T. harzianum sedangkan pada fermentasi dedak ditambahkan mineral sebagai sumber protein dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap kandungan protein bungkil inti sawit tersebut. Rendahnya peningkatan protein tersebut karena protein hanya bersumber dari kapang T.harzianum. Hariyum 1986 melaporkan. kapang mempunyai kandungan rendah protein, dan asam nukleatnya hanya 5 dibandingkan bakteri dan ragi masing-masing 8-16 and 6-12. 4.4.3 Analisis regresi pada perlakuan koktail pada fermentasi bungkil inti sawit menunjukkan peningkatan protein bersifat linear Y=21,47+1,03X mengikuti lama inkubasi, semakin lama inkubasi maka kandungan protein semakin meningkat Gambar 18. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama fermentasi nyata P0,05 berpengaruh terhadap kandungan protein. Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koefisien relasi r Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi oleh Koktail Mikroba 2 yaitu 0,99 Tabel 7. Pada analisis statistik dengan rancangan acak lengkap pola faktorial, protein kasar menunjukkan peningkatan dari 0 hingga 7 yaitu dari 21,66 menjadi 28,68 . Kenaikan protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba disarikan pada 23,00 24,17 28,02 27,24 20 22 24 26 28 30 1 2 3 4 5 6 7 8 P rot ein Lama inkubasi hari Y=22,9+0,7X PRTRI Predicted PRTRI 46 Tabel 6. Peningkatan protein pada substrat padat berasal asam nukleat dari kapang itu sendiri yang dapat memberikan kontribusi N. Bakteri juga memberi kontribusi yang sama dimana dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan glikoprotein. Dengan demikian koktail mikroba dapat meningkatkan kandungan protein bungkil inti sawit melalui proses fermentasi. Gambar 18. Analisis regresi kadar protein kasar pada bungkil inti sawit yang dengan koktail mikroba Keterangan : PRBATRI=kadar protein kasar dengan perlakuan koktail mikroba Hasil analisis protein tertinggi dan serat kasar terendah pada ketiga perlakuan jenis mikroba, didapatkan pada fermentasi dengan perlakuan koktail mikroba. Dengan demikian dilanjutkan dengan analisis lemak, abu, acid detergent fiber ADF, neutral detergent fiber NDF, asam amino, dan aktivitas selulase serta mananase.

4.5 Perubahan Komposisi Kimia Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi dengan Koktail Mikroba

Komposisi kimia bungkil inti sawit setelah difermentasi dengan koktail mikroba menunjukkan kadar protein dan serat deterjen asam ADF meningkat. Sedangkan serat kasar dan serat deterjen netral NDF, hemiselulosa serta lemak 47 kasar dan abu menurun Tabel 8. Selama proses fermentasi, mikroba menurunkan kadar dinding sel NDF, hal ini diindikasikan selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa bungkil inti sawit sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim selulase dan lignoselulase. Hal ini terlihat dari menurunnya kandungan serat kasar dan hemiselulosa Tabel 8. Lignin merupakan dinding pelindung Tabel 8. Komposisi protein, serat kasar, NDF, ADF, lemak, dan abu bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba. Komposisi kimia Sebelum fermentasi Setelah fermentasi Protein kasar, 21,66 28,68 Serat Kasar, 13,98 11,64 NDF g100 g 62,99 56,39 ADF g100 g 42,21 45,95 Hemiselulosa g100 g 20,78 10,44 Lemak Kasar g100 g 12,23 11,46 Abu g100 g 6,81 4,34 fisik yang menghambat daya cerna enzim terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan hemiselulosa. Selain itu menurunnya kadar NDF menunjukkan terjadinya pemecahan selulosa dinding sel. Perombakan ADF lambat, diindikasikan degradasi belum terjadi pada inkubasi 7 hari, sehingga menunjukkan peningkatan karena belum dimanfaatkan oleh koktail mikroba. Koktail mikroba juga mempunyai enzim lipase untuk merombak lemak sehingga kadar lemak menurun Tabel 8. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bungkil inti sawit baik sebelum dan sesudah fermentasi. Kadar abu menurun setelah bungkil inti sawit difermentasi, hal ini mengindikasikan bahwa zat anorganik bungkil inti sawit menurun setelah difermentasi. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. 48

4.6 Perubahan Asam Amino Setelah Fermentasi dengan Koktail Mikroba