Dengan melihat pembahasan diatas, terlihat bahwa pengaturan mengenai penyelesaian masalah atau persengketaan internasional dengan jalan turut campurnya
Negara lain yang bukan salah satu pihak yang bersengketa, telah mempunyai aturan- aturan yang menjadi bagian dari hukum internasional.
B. Intervensi yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan
Suatu sengketa internasional dapat menjadi suatu akibat atau menimbulkan akibat lain terhadap Negara lain. Dari pihak lain ini, biasanya menimbulkan reaksi yang dapat
merupakan usaha menyelesaikan permasalahan secara damai atau merupakan suatu tindakan unilateral yang bersifat kekerasan.
Intervensi bersangkut-paut dan selalu dan selalu menyinggung kepada kedaulatan suatu Negara. Bila campur tangan itu hanya sekedar sugesti diplomatik, hal ini bukanlah
suatu masalah atau belum dianggap suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu Negara. Intervensi harus sampai pada tingkat dimana kedaulatan suatu Negara dalam
pelaksanaannya diambil alih oleh Negara. Ini merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional, namun di sisi lain hukum internasional memberikan membolehkan
tindakan tersebut dengan syarat bahwa timbulnya suatu keadaan atau hal tertentu yang merupakan ancaman bahaya bagi perdamaian dan keamanan dunia dan juga merupakan
pelanggaran bagi hukum internasional dan memungkinkan untuk timbulnya perang. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dr. Ali Sastroamijojo, SH, yaitu:
“Intervensi itu meskipun bisa dijalankan sewaktu-waktu dalam taraf perkembangan persengketaan antar Negara, tetapi lazimnya dijalankan pada saat
kalau antara pihak yang bersengketa akan meletus peperangan. Jadi bila demikian,
Universitas Sumatera Utara
intervensi dalam hal ini bermaksud untuk mencegah meletusnya peperangan, artinya tidak untuk memihak salah satu dari pihak yang bersengketa.”
23
Suatu tindakan intervensi yang diperbolehkan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu intervensi yang berdasarkan suatu hak dan tindakan lain yang walaupun tidak
berdasarkan suatu hak namun diizinkan oleh hukum internasional. Seperti yang dikatakan oleh L. Oppenheim, yaitu:
“That intervention, as a rule, forbidden by international law, which protect the international personality of the state, there is no doubt, on the other hand, there is
just a little doubt, that this rule has exception, for there are intervention which take place by right, and there are other which, although they do not take place by
right, are nevertheless permited by international law.”
24
Sarjana lain berpendapat bahwa intervensi bukanlah hak dari suatu Negara, melainkan sanksi dari hak-hak yang dimiliki oleh Negara-negara.
25
Jadi dapat dikatakan bahwa intervensi merupakan suatu law enforcement yang dalam hal-hal tertentu
pelaksanaannya diberikan kepada Negara tertentu. Terlepas dari apakah suatu intervensi merupakan suatu hak atau merupakan suatu delegasi wewenang dari hukum
internasional, suatu Negara dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan. J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi Negara atas kedaulatan Negara lain
belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut
hukum internasional. Adapun tindakan intervensi tersebut adalah:
26
1. Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB.
23
Ali Sastroamidjoyo, op.cit hal.191
24
Oppenheim Lauterpacht,”International Law and Treaties”, Longmans, London 1952 hal.137
25
J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta 1963, hal.292
26
J.G Starke, Op.cit hal.137
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di Negara lain.
3. Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata armed attack. Syarat-syarat pembelaan diri adalah: langsung instant,
situasi yang mendukung overwhelming situation, tidak ada cara lain leaving no means, tidak ada waktu untuk menimbang no moment of deliberation.
27
4. Berhubungan dengan Negara protektorat atas dominionnya. Syarat-
syarat ini diadopsi dari kasus kapal Caroline.
5. Jika Negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional.
Pelaksanaan dari intervensi yang disebutkan di atas, disamping tidak menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan
politik, juga harus mendapat izin atau tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB. Maka untuk ini suatu intervensi harus mendapat izin dari PBB melalui
Dewan Keamanan. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan- pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah
intervensi itu diperlukan terhadap keadaan-keadaan tersebut.
28
27
Diadopsi dari kasus kapal Caroline 1837 yaitu kasus dimana Inggris membakar kapal pemberontak Kanada yang sedang berlayar di wilayah perairan Amerika Serikat. Sumber:
avalon.law.yale.edu, diakses tanggal 14 November 2011.
28
Bab VII Piagam PBB, Pasal 39, 41, dan 51
Universitas Sumatera Utara
Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya berdasarkan penafsiran atas Pasal 2 4 Piagam PBB.
29
Menurut hasil penelitian D’Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah Negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusian,
pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah Negara lain secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.
Pasal 2 4 bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar
kesatuan wilayah territorial integrity, kebebasan politik political independence dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB in any other manner inconsistent with the
Purposes of the United Nations.
30
Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah Negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu
Negara. Setiap Negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Berdasarkan asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam PBB.
Pasal 51 Piagam PBB juga mengatur salah satu bentuk intervensi. Dimana intervensi ini dilakukan atas nama PBB atau secara kolektif dengan tujuan self defence
terhadap suatu keadaan yang timbul yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi. Jadi dapat disimpulkan bahwa di bawah
naungang PBB, suatu intervensi dengan tujuan pembelaan diri terhadap suatu serangan
29
Yoram Dinstein, War, Aggression and Self-Defence, Second Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994, hlm. 89.
30
Anthony D’Amato, There is no Norm of Intervention or Non Intervention in International Law, International Legal Theory, ASIL, 2001, hlm.20.
Universitas Sumatera Utara
yang membahayakan perdamaian atau merusak perdamaian atau merupakan suatu agresi dan ini adalah salah satu manifestasi dari tujuan utama PBB.
Bentuk lain dari suatu intervensi yang diperbolehkan adalah blokade dalam waktu damai. Intervensi ini dijalankan oleh suatu Negara untuk memaksa Negara lain menepati
kewajibannya menurut perjanjian yang dibuat dengan Negara yang menjalankan intervensi.
31
Suatu intervensi haruslah bersifat memaksa atau dengan kekerasan. Sifat inilah yang membedakan lembaga intervensi dengan tindakan campur tangan lainnya.
Intervensi dijalankan secara lebih aktif terhadap urusan dalam dan luar negeri suatu Negara, dan intervensi dapat begitu luas sehingga mencakup tindakan-tindakan militer.
Blokade dalam waktu damai sekiranya hanya dapat dijalankan menurut hukum internasional, apabila penyelesaian sengketa dengan jalan perundingan telah
dilakukan tetapi menemui jalan buntu.
Suatu tindakan intervensi yang tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan sesungguhnya tidak ada alasan apapun yang dapat dibuat sebagai pembenaran yaitu
suatu intervensi yang nyata-nyata akan menimbulkan atau akan lebih membuat suatu keadaan menjadi lebih memburuk. Tindakan intervensi ini bukanlah untuk memberi jalan
keluar menuju suatu perdamaian. J.G. Starke mengatakan intervensi ini dengan istilah subversive intervention dan yang dimaksud dengan intervensi ini adalah:
31
“Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai”,dimuat di www.hukumit.blogspot.com, diakses tanggal 14 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
“Yang mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh suatu Negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang
saudara di Negara lain.”
32
Larangan seperti ini juga ditemukan dalam kompromi antara berbagai kepentingan yang dimulai oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan kata lain mereka
berusaha sejauh mungkin menghindari friksi atau pergesekan antar kekuatan yang mereka miliki.
Penggunaan paksaan ekonomi atau tekanan psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam Pasal 39.
33
Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB.
Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata use of force yang dinyatakan
dalam Pasal 2 4 tidaklah absolute, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu Negara. Syarat tersebut
dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut.
34
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata use of force yang dilarang menurut hukum internasional adalah
ketika keinginan Negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktifitas militer.
35
32
J.G. Starke, Op.cit hal.137
Menurutnya setiap negara bisa menggunakan kekerasan bersenjata use of force untuk menyelamatkan asset nasionalnya dalam kerangka pertahanan diri self defence jika
kerugian yang dihadapi tampak nyata imminent, namun hal tersebut dapat dilakukan
33
Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.
34
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nation –An Introduction-, The MacMillan Company, New York, 1951, hlm. 172-173
35
Rosalyn Higgins, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford University Press, England 1994, hlm. 246
Universitas Sumatera Utara
jika Negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan Negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebbe.
36
C. Sebab-Sebab Suatu Negara Melakukan Intervensi