B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan gondang
naposo sebagai suatu pesta muda-mudi Batak Toba di Desa Gajah ? Permasalahan ini diuraikan ke dalam 3 pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah ?
3. Kepentingan apa saja yang termaktub melalui pesta gondang naposo?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tradisi gondang naposo yang ada di Desa Gajah. Untuk hal tersebut maka dideskripsikan sejarah lahirnya gondang
naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo tahap persiapan, pembukaan, pelaksanaan, dan penutup, dan berikutnya mendeskripsikan
kepentingan apa saja yang termaktub melaui pelaksanaan gondang naposo tersebut.
Secara akademis penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang mengulas tradisi Batak Toba dalam rangka pelestarian tradisi gondang khususnya
gondang naposo yang dapat dipahami sebagai simbol penguatan idenditas orang Batak Toba di luar daerah asal. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan
masukan-masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka membuat kebijakan yang terkait dengan pelestarian tradisi gondang Batak Toba khususnya
gondang naposo.
Universitas Sumatera Utara
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Gajah tepatnya di Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan lokasi adalah karena Desa Gajah
merupakan salah satu daerah perantauan orang Batak Toba di Asahan. Di Desa Gajah orang Batak Toba melaksanakan gondang naposo sebagai wujud ekspresi
idenditas di tengah kelompok etnik lainnya. Lokasi penelitian merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas orang Batak Toba atau kampung Batak dan
ditambah lagi Desa Gajah merupakan tempat kelahiran peneliti.
E. Tinjauan Pustaka
Berbagai kajian terhadap masalah-masalah tradisi gondang Batak Toba telah dilakukan. Seperti kajian Simarmata 1992 tentang sikap masyarakat Batak
Toba di Lumban Pea terhadap penggunaan seperangkat alat musik tiup pada upacara adat. Simarmata menjelaskan bahwa penetrasi agama kristen protestan ke
Desa Lumpan Pea telah menimbulkan perubahan yang berhubungan dengan sistem religi tradisional yang umumnya tidak terlepas dengan tradisi gondang
sabagunan. Namun, setelah masuknya agama kristen protestan gondang sabagunan di rubah dengan seperangkat alat musik tiup dalam acara gereja
maupun dalam acara adat. Di samping itu, penggunaan alat musik tiup dapat menaikkan penghasilan di luar sektor pertanian bagi pemain musik dan dapat
menaikkan prestise bagi warga masyarakat yang menjalankan adat. Kajian Simanjuntak 1993 tentang makna simbolik tortor Batak Toba,
menjelaskan bahwa tortor dilaksanakan sehubungan dengan adanya masa-masa
Universitas Sumatera Utara
krisis dalam kehidupan seorang individu atau sekelompok orang yang dianggap penuh dengan keajaiban dan dapat menimbulkan malapetaka bagi bagi mereka.
Pelaksanaan tortor tidak terlepas dari tradisi gondang sabagunan. Pelaksanaan tortor diiringi gondang sabagunan ini berhubungan dengan tata cara dan adat
istiadat Batak Toba yang tidak terlepas dari unsur Dalihan Na Tolu. Di samping itu, tortor dilaksanakan karena berfungsi sebagai alat dalam upacara religi yang
sakral, sebagai refleksi dan validasi organisasi sosial dan sistem kekerabatan, sebagai alat simbolisasi dan komunikasi, sebagai alat hiburan dan estetika.
Kajian Kusuma 1995 tentang penggunaan alat musik tiup dalam upacara kematian saur matua suku bangsa Batak Toba. Kusuma menjelaskan bahwa
setelah masuknya Zending Jerman di tanah Batak melahirkan perubahan pada kegiatan “margondang”. Pihak gereja melarang penggunaan gondang sabagunan
yang selalu dikaitkan dengan kepercayaan asli orang Batak Toba yaitu sipelebegu pemuja setan atau roh nenek moyang, seperti upacara magokkal holi upacara
pemindahan tengkorak, sibaran upacara melepas kemalangan dll. Dari ketiga kajian telah diuraikan sebelumnya menjelaskan mengenai
pelaksanaan tradisi gondang Batak Toba secara umum. Sedangkan, masalah yang akan di kaji dalan penelitian ini secara khusus membicarakan pelaksanaan budaya
gondang Batak Toba yaitu gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah menunjukkan suatu upaya penghidupan kembali tradisi Batak Toba
di luar daerah asalnya. Dapat di pahami bahwa orang Batak Toba yang melakukan
migrasi kesuatu daerah tak lupa membawa budayanya yang dijadikan sebagai pedoman di tempat yang baru.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang diungkapkan Ermansyah 2005:25 bahwa keberadaan seseorang atau sekelompok orang di tempat yang baru dengan latar belakang
sosial budaya yang berbeda mewujudkan 3 tiga proses sosial yang saling berkaitan, yaitu:
Pertama, pengelompokan kembali di dalam latar belakang
sosial budaya yang baru. Proses ini merupakan proses penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi atau
adanya kecenderungan dari seseorang atau sekelompok orang untuk tetap berhubungan dan menetap bersama warga
kelompok asalnya di tempat yang baru. Kedua, proses
rekonstruksi sejarah kehidupan seseorang atau sekelompok orang karena ada fase kehidupan yang baru terbentuk. Hal ini
memiliki arti yang sangat berbeda bagi seseorang atau sekelompok orang, karena latar sosial budaya yang berbeda
dengan latar sosial budaya dimana mereka menjadi bagian
sebelumnya. Ketiga, proses rekonfigurasi “proyek-proyek”
etnik mereka. Seseorang atau sekelompok orang yang berbeda di tempat baru akan menyusun kembali dan
menegaskan idenditas kelompok atau kebudayaannya. Perubahan konteks atau latar sosial budaya menimbulkan kesadaran
seseorang atau sekelompok orang untuk menegaskan kembali asal-usul dan idenditas kebudayaanya. Hal ini menunjukkan suatu proses reproduksi
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan dapat dipahami dari 3 tiga aspek Irwan Abdullah dalam Ermansyah, 225:26, yaitu:
Pertama , aspek kognitif, yang melihat kebudayaan sebagai
sistem gagasan yang merupakan pedoman hidup manusia. Untuk itu, gagasan dan berbagai aspek kehidupan seseorang
atau sekelompok orang akan dikaji untuk melihat sistem kosmologis dalam rangka menjelasakan bentuk-bentuk
reproduksi kebudayaan. Kedua, aspek evaluatif, yang
merupakan standar nilai yang masih direproduksi dan digunakan untuk menilai kehidupan di tempat yang baru. Hal
ini mengarah kepada analisis norma-norma dan nilai yang masih berperan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok
orang, meskipun di dalam latar belakang sosial budaya yang
berbeda. Ketiga, aspek simbolik, yang merupakan bentuk-
bentuk ekspresi kebudayaan yang dapat dilihat dari berbagai upacara dan kegiatan yang berlangsung. Keberadaan berbagai
upacara tanda penting dari pelestarian kebudayaan. Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah juga
mereproduksi kebudayaannya melalui pesta gondang naposo. Pesta gondang
naposo merupakan kebudayaan Batak Toba yang di bawa dari daerah asal bona
pasogit. Gondang naposo tersebut direproduksi kembali di Desa Gajah. Proses reproduksi yang dimaksud adalah bahwa tradisi gondang naposo yang ada di
Universitas Sumatera Utara
daerah asal dilahirkan kembali di daerah yang baru atau di Desa Gajah dengan bentuk dan kepentingan yang berbeda.
Perbedaan bentuk antara gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal dengan yang dilaksanakan di Desa Gajah dapat dipahami melalui perbedaan
penamaan. Di daerah asal gondang naposo disebut sebagai gondang tunggal pesta muda-mudi dan Poltak Bulan Purnama sebaliknya di Desa Gajah disebut
dengan pesta gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal berlangsung selama tujuh malam berturut-turut Nainggolan, 1979:77.
Sedangkan, gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah berlangsung selama dua hari dua malam. Alat musik yang digunakan di daerah asal masih
murni seperangkat alat musik gondang sabagunan sedangkan alat musik yang digunakan pada pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah menggunakan alat
musik tradisi yang dikombinasikan dengan alat musik modern seperti sulim, taganing, drum, keyboard, dll.
Pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah memiliki nilai-nilai seperti yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposo di daerah asal. Hal ini dapat
dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal maupun yang ada di Desa Gajah sama-sama sebagai sarana menjalin kebersamaan atau
solidaritas, sebagai sarana komunikasi orang Batak Toba dengan Tuhan dan
sesama. Hal ini tercermin dari gerak tari atau tortor yang dipagelarkan yakni
gondang mula-mula yang merupakan tanda penghormatan kepada Tuhan, dan sesama. Sedangkan, gondang hasahatan si tio-tio merupakan ungkapan rasa
Universitas Sumatera Utara
terima kasih kepada Tuhan atas keselamatan yang telah diberikan kepada mereka
Lusiati dalam Malau, 2007:3.
Melalui pelaksanaan gondang naposo sesama orang Batak Toba yang berada di Desa Gajah dan yang ada di sekitar Desa Gajah dapat terintegrasi.
Sesama orang Batak Toba bertemu pada pelaksanaan gondang naposo, mereka saling melepas rindu dan menari bersama sehingga nilai-nilai dalam kehidupan
orang Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup, dan pengharapan diwujudkan melalui tortor yang diiringi oleh musik gondang
Sinaga, 1994:9. Salah satu nilai Batak Toba yang terlihat melalui pelaksanaan gondang
naposo adalah nilai gotong-royong. Nilai ini tercermin melalui pemberian sumbangan berupa uang yang disebut dengan “silua” atau “santisanti” dari para
undangan kepada penyelenggara pesta gondang naposo suhut secara timbal balik. Menurut Koenjaraningrat 1972:165 bahwa dalam masyarakat kecil prinsip
timbal balik merupakan penggerak masyarakat dalam melakukan tindakan tolong- menolong. Demikian halnya sumbangan yang diberikan oleh undangan dalam
pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah juga merupakan tindakan tolong- menolong yang juga mengharapkan balasan saat para undangan melaksanakan
gondang naposo. Bagi orang Batak Toba yang ada di daerah asal, pelaksanaan gondang
naposo hanya sebagai acara adat dalam rangka perwujudan kebudayaan saja. Namun, bagi orang Batak Toba yang ada Di Desa Gajah pelaksanaan gondang
naposo direproduksi sebagai wujud ekspresi idenditas orang Batak Toba
Universitas Sumatera Utara
dihadapan kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah seperti Melayu, Jawa, Tapanuli Selatan, Nias dan Karo. Kenyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat
Koentjaranigrat 1974:104 bahwa kesenian dalam hal ini gondang merupakan satu-satunya unsur kebudayaan dari tujuh unsur kebudayaan universal yang dapat
menonjolkan sifat khas atau idenditas. Jadi dapat dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan orang Batak Toba yang ada di Desa gajah bukanlah
sekedar kegiatan muda-mudi semata, melainkan sebagai simbol penegasan idenditas orang Batak Toba di perantauan.
F. Metode Penelitian