Gondang Naposo (Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)

(1)

“GONDANG NAPOSO

(Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Oleh:

Dina Rianti Gultom Nim. 040905060

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Dina Rianti Gultom Nim : 040905060

Departeman : Antropologi

Judul : GONDANG NAPOSO (Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)

Medan, September 2008

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Ermansyah, M.Hum) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 131 996 173 NIP. 131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131 575 010


(3)

KATA PENGANTAR

Bagi Dia segala pujian, hormat dan kemuliaan. Penulis bersyukur dan berterima kasih buat kasih karunia-Nya yang selalu setia menyertai perjalanan hidup penulis. Pertolongan dan bimbingan-Nya yang memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah.

Penulis menyadari dengan usaha, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penulis, skripsi ini masih kurang sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk kesempurnaan skripsi ini dari semua pihak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih atas semua itu. Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Pembantu Dekan I atas fasilitas yang telah diberikan kepada penulis

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departeman Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 4. Ibu Drs. Sri Emiyanti selaku penasehat akademik yang memberikan


(4)

5. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pengetahuan secara teoritis dan metodologis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan perhatian dalam penulisan skripsi ini. 6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu.

7. Kantor Kepala Desa Gajah atas kerja samanya dalam pemberian datanya kepada peneliti.

8. Anggota Persatuan Muda-Mudi Simpang Desa Gajah (PERMUSIMDES), pembina dan para orang tua yang ada di Simpang Desa Gajah atas informasinya yang telah diberikan kepada penulis.

9. Penghargaan, terima kasih dan rasa cinta yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada orang tua tercinta, mama E. Pakpahan dan papa M. Gultom atas nasehat, kasih sayang dan perjuangannya dalam mewujudkan cita-cita anak-anaknya.

10.Adik-adikku tersayang: Heni Yumiati Gultom, Mangasi Julianto Gultom, Adriana Norita Gultom, dan Deni Erwindo Gultom, atas kasih sayang, perhatian dan dukungan doa kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

11.Spesial kepada seseorang yang berkenan di hatiku Donal Regen Simanjuntak dan kepada teman-temanku Eli Samosir, Veronika, Lelita


(5)

Anglina Br.Girsang, Cory Ester Pratini Rajagukguk dan masih banyak lagi yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

12.Kepada kerabat Antropologi khususnya stambuk 2004 yang tak bisa disebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih.

Akhir kata atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis mendoakan semoga Tuhan selalu memberikan kasih karunia-Nya kepada kita semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, September 2008


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4. Lokasi Penelitian ... 8

1.5. Tinjauan Pustaka ... 9

1.6. Metode Penelitian ... 14

1.7. Analisa Data ... 17

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Letak Geografis dan Sejarah Desa Gajah ... 18

2.2. Demografi Penduduk dan Sistem Mata pencaharian ... 21

2.3. Pola Permukiman Desa Gajah ... 25

2.4. Sistem Religi ... 27


(7)

BAB III. PELAKSANAAN GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH

3.1. Latar Belakang Lahirnya Gondang Naposo di Desa Gajah ... 34

3.2. Mekanisme Pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Gajah ... 38

3.2.1. Persiapan Gondang Naposo ... 38

3.2.2. Acara Pembukaan Gondang Naposo ... 47

3.2.3. Pelaksanaan Gondang Naposo ... 56

3.2.4. Acara Penutupan Gondang Naposo ... 69

BAB IV. KEPENTINGAN YANG TERMAKTUB MELALUI PELAKSANAAN GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH 4.1. Hiburan di Saat Liburan ... 71

4.2. Sarana Pencarian Jodoh ... 75

4.3. Pengintegrasian dan Membanguan Solidaritas Orang Batak Toba ... 76

4.4. Komunikasi Orang Batak Terdadap Tuhan dan Sesama ... 82

4.5. Ekspresi Idenditas dan Kesinambungan Budaya ... 84

4.6. Sarana Bagi Kepentingan Politik ... 89

BAB V. KESIMPULAN ... 91

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH

DAFTAR INTERVIEW DAN OBSERVASI LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Distribusi Jumlah Penduduk Desa Gajah Berdasarkan Umur 2. Tabel 2 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 3. Tabel 3 Distribusi Jumlah Ternak di Desa Gajah

4. Tabel 4 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Sitem Mata Pencariannya

5. Tabel 5 Jumlah Rumah Penduduk Menurut Sifat dan Bahannya 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1, daftar 50 undangan yang ditujukan kepada berbagai organisasi, perkumpulan dan instansi tertentu.

2. Lampiran 2, daftar 24 proposal yang ditujukan kepada berbagai organisasi, partai politik, instansi dan orang-orang tertentu.

3. Lampiran 3, daftar 42 keluarga yang meminjamkan ulosnya kepada PERMUSIMDES

4. Lampiran 4, daftar undangan yang manortor/menari pada Sabtu 21 Juni 2008 beserta jumlah sumbangannya


(10)

ABSTRAK

Dina Rianti Gultom 2008, Judul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 94 halaman, 8 tabel, 14 gambar, 19 daftar pustaka ditambah sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar istilah daftar wawancara, daftar informan, peta Desa Gajah ditambah lampiran surat penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang gondang naposo. Gondang naposo merupakan budaya Batak Toba yang dibawa dari bona pagogit. Perpindahan penduduk bukanlah suatu hal yang baru bagi orang Batak Toba. Orang Batak Toba cenderung intens melakukan migrasi ke berbagai daerah. Di tempat yang baru orang Batak Toba dihadapkan dengan kelompok etnik lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Orang Batak Toba yang bermigrasi ke tempat yang baru tak lupa membawa budayanya. Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah membawa gondang naposo dari bona pasogit.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tradisi gondang naposo yang ada di Desa Gajah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertipekan eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan tehnik observasi partisipasi, wawacara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gondang naposo lahir di Desa Gajah tahun 1971 tepatnya saat PERMUSIMDES dibentuk dan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang naposo. Mekanisme palaksanaan gondang naposo terdiri dari persiapan, pembukaan, palaksanaan dan penutupan gondang naposo. Kepentingan yang termaktub melalui pelaksanaan gondang naposo adalah sebagai hiburan saat liburan, sarana pencarian jodoh, pengintegrasian dan membagunan solidaritas orang Batak Toba, Komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, Ekspresi idenditas dan kesinambungan budaya Batak Toba dan sebagai sarana bagi kepentingan politik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya orang Batak Toba di Desa Gajah selalu melaksanakan gondang naposo untuk melestarikan


(11)

kembali akan tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposoyaitu nilai gotong- royong masih tetap dipelihara. Bagi orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah gondang naposo juga dijadikan sebagai upaya penegasan idenditas kelompok. Penegasan idenditas kelompok tersebut secara simbolik diekspresikan melalui musik gondang dan tortor yang dipagelarkan pada pelaksanaan gondang naposo.


(12)

ABSTRAK

Dina Rianti Gultom 2008, Judul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 94 halaman, 8 tabel, 14 gambar, 19 daftar pustaka ditambah sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar istilah daftar wawancara, daftar informan, peta Desa Gajah ditambah lampiran surat penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang gondang naposo. Gondang naposo merupakan budaya Batak Toba yang dibawa dari bona pagogit. Perpindahan penduduk bukanlah suatu hal yang baru bagi orang Batak Toba. Orang Batak Toba cenderung intens melakukan migrasi ke berbagai daerah. Di tempat yang baru orang Batak Toba dihadapkan dengan kelompok etnik lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda. Orang Batak Toba yang bermigrasi ke tempat yang baru tak lupa membawa budayanya. Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah membawa gondang naposo dari bona pasogit.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tradisi gondang naposo yang ada di Desa Gajah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertipekan eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan tehnik observasi partisipasi, wawacara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gondang naposo lahir di Desa Gajah tahun 1971 tepatnya saat PERMUSIMDES dibentuk dan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang naposo. Mekanisme palaksanaan gondang naposo terdiri dari persiapan, pembukaan, palaksanaan dan penutupan gondang naposo. Kepentingan yang termaktub melalui pelaksanaan gondang naposo adalah sebagai hiburan saat liburan, sarana pencarian jodoh, pengintegrasian dan membagunan solidaritas orang Batak Toba, Komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, Ekspresi idenditas dan kesinambungan budaya Batak Toba dan sebagai sarana bagi kepentingan politik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya orang Batak Toba di Desa Gajah selalu melaksanakan gondang naposo untuk melestarikan


(13)

kembali akan tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposoyaitu nilai gotong- royong masih tetap dipelihara. Bagi orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah gondang naposo juga dijadikan sebagai upaya penegasan idenditas kelompok. Penegasan idenditas kelompok tersebut secara simbolik diekspresikan melalui musik gondang dan tortor yang dipagelarkan pada pelaksanaan gondang naposo.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena perpindahan penduduk sudah terjadi sejah dahulu kala dan bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Naim (1984:9) bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai mobilitas perpindahan yang cukup tinggi seperti orang Minangkabau, Banjar, Bugis, dan termasuk juga orang Batak.

Bagian orang Batak yang cenderung intens melakukan migrasi adalah Batak Toba. Perpindahan penduduk Batak Toba dari dataran tinggi Toba Tapanuli Utara dalam era pra modern mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh lahan persawahan. Pada awalnya daerah persebaran adalah ke daerah sekitarnya. Kemudian merembes ke daerah lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Umumnya para migran didominasi oleh kaum tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya. Mereka memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tegah, Labuhan Batu, Deli Serdang, Aceh, bahkan sampai ke daerah Asahan (Purba, 1998:267).

Dewasa ini, migrasi yang dilakukan oleh orang Batak Toba tidak hanya ke daerah pedesaan saja untuk memperluas areal persawahannya melainkan juga ke daerah perkotaan. Di samping itu, para migran Batak Toba juga tidak lagi didominasi oleh kaum tani melainkan kelompok masyarakat dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang lebih beragam. Hal ini dikarenakan,


(15)

untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak migran Batak Toba harus memiliki bekal karena besarnya persaingan di kota baik dari kelompok etnik lokal maupun migran lainnya.

Orang Batak Toba yang melakukan migrasi ke suatu daerah tentunya membawa serta budayannya. Di daerah yang baru tersebut, mau tidak mau orang Batak Toba akan berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan koentjaraningrat (1990:248) bahwa migrasi dapat menyebabkan pertemuan-pertemuan-pertemuan antar kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda, yang mengakibatkan individu-individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan yang lain.

Salah satu kensekwensi arus migrasi Batak Toba adalah menjadikannya sebagai bagian dari keberagaman penduduk di daerah yang baru, selain keberagaman penduduk lokal dan migran lainnya. Daerah baru sebagai salah satu sasaran migrasi Batak Toba tersebut sebenarnya mencirikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang heterogen. Suatu masyarakat heterogen memiliki keberagaman budaya yang berbeda dan tetap menjadi pedoman masing-masing warganya di tempat yang baru.

Kenyataan tersebut juga diungkapkan oleh Pelly dalam Siallagan (1991:12) bahwa orang Batak Toba dimanapun berada akan tetap menggunakan norma-norma dan idiologi tradisionalnya untuk mengembangkan gaya hidup (sud budaya) sendiri, guna membedakan mereka dengan kelompok lain dalam situasi permukiman yang kontemporer. Orang Batak Toba yang melakukan migrasi juga memiliki kecenderungan untuk mengasosiasikan diri dalam suatu wadah


(16)

organisasinya yang disebut dengan asosiasi klen1

Pembentukan asosiasi sesungguhnya didasarkan atas keinginan orang Batak Toba untuk membentuk kekuatan dalam melanjutkan budaya dan tradisi

. Asosiasi klen adalah suatu wadah tempat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat dan kegiatan sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara sesama anggota klen di bawah pengaturan asosiasi (Situmorang, 1983:82).

Selain terhimpun dalam asosiasi klen, orang Batak Toba juga membentuk

asosiasi lainnya yang terhimpun dalam asosiasi sosial religi. Dalam asosiasi klen

dan asosiasi sosial religi mereka dapat saling tolong-menolong dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara selingkaran hidup setiap individu seperti upacara kelahiran, upacara naik sidi atau upacara pada saat akil balik, upacara pernikahan, upacara kematian,dll.

Demikian halnya orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah. Mereka membentuk asosiasi klen dan asosiasi sosial religius. Hal tersebut dapat dilihat dari keberadaan Puguan Raja Sonang, Gultom, Patambor (Manurun), Siagian,Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama (Situmorang), Borbor Marsada (Malalu, Pasaribu, Lubis) dan lain-lain. Di samping itu, ada juga Serikat Tolong-menolong atau STM yakni STM Jalan Gereja, STM Jalan Kisaran, STM Jalan Siantar dan juga terdapat organisasi kepemudaan dari ketiga Serikat Tolong-menolong tersebut yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disebut dengan PERMUSIMDES.

1

Klen/clan adalah kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi.


(17)

Batak Toba. Pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan budaya dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan setiap asosiasi untuk menghidupkan atau melestarikan budaya Batak Toba yaitu gotong-royong yang tercermin dalam pelaksanaan upacara pernikahan, upacara mangoppoi jabu (upacara memasuki rumah baru), upacara kematian, dll. Dalam upacara tersebut mereka memberi sumbangan atau bantuan dalam bentuk uang, beras, dan tenaga. Sedangkan, pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan tradisi dapat dilihat dari pelaksanaan tradisi gondang2

Gondang sabagunan

Batak Toba.

Orang Batak Toba mengenal 2 jenis emsambel gondang, yaitu ensambel

gondang sabagunan dan ensambel gondang hasapi (Endo,1991:6). Kedua ensambel gondang ini digunakan sebagai pengiring tarian seremonial, yaitu

tortor. Namun, bagi orang Batak Toba gondang sabagunanlah yang umumnya digunakan karena merupakan bagian integral dari adat dan merupakan simbol musikal adat (Purba, 2004:65). Ensambel gondang sabagunan merupakan ensambel yang memiliki suara yang besar sehingga selalu digunakan di luar ruangan dan hal ini sesuai dengan upacara yang selalu dilaksanakan orang Batak Toba yang selalu dilakukan di luar ruangan. Sedangkan, ensambel gondang hasapi merupakan ensambel yang suaranya kecil sehingga digunakan di dalam ruangan.

3

2

Kata gondang mempunyai banyak pengertian, bisa berarti instrument, ensambel musik, judul komposisi tunggal, judul komposisi kolektif, upacara, dan doa. Lihat Mauly Purba, 2000:25.

3

Gondang Sabangunan adalah seperangkat alat musik yang memiliki suara yang besar memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan tradisional orang Batak Toba. Fungsi gondang sabagunan sendiri dalam


(18)

kepercayaan agama tradisional dan upacara adat Batak Toba ialah sebagai salah satu elemen yang tidak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan tortor dan

gondang, keduanya berjalan seiring dalam suatu upacara adat Batak Toba. Dalam agama tradisional Batak Toba, gondang sabangunan di tempatkan sebagai media komunikasi antar manusia dan Tuhan Pencipta(http://kairo.nainggolan.net/?p=38). Kenyataan tersebut, terkait erat dengan adat hasipelebeguan4

Orang Batak Toba di Desa Gajah juga menggunakan tradisi gondang sabagunan khususnya untuk kaum muda-mudi dalam pelaksanaan pesta yang dikenal dengan gondang naposo

.

Gondang sabagunan digunakan diberbagai kesempatan atau upacara misalnya upacara religius, adat maupun hiburan. Penggunaan gondang sabagunan

pada upacara religius seperti mamele (memuja roh nenek moyang), pesta bius (upacara kurban oleh komunitas desa) dan lain-lain. Pada upacara adat seperti acara pernikahan sekalipus mangadati (menyampaikan adat), manggoppoi jabu

(memasuki rumah baru), mangokkal holi (memindahkan tengkorak orang mati), upacara kematian saur matua. Sedangkan, pada acara hiburan gondang sabagunan digunakan pada pesta gondang tunggal atau pesta muda-mudi (Nainggolan,1979:56).

5

4

Hasipelebeguan adalah kepercayaan pada dewa dalam mitologi Batak Toba, pada roh nenek moyang yang mendiami tempat-tempat sakral (Vergouwen, 1980:79).

5

Gondang Naposo adalah suatu kegiatan muda-mudi di Desa Gajah yang berlangsung selama 3 hari 2 malam yang diisi dengan acara menari/manortor yang diirngi oleh musik gondang. . Gondang sabagunan yang digunakan pada pesta gondang naposo tidak lagi murni menggunakan alat-alat musik dalam ensambel gondang sabagunan. Hal ini dikarenakan, masuknya ajaran agama kristen dan pengaruh budaya Barat ke tanah Batak yang membawa ensambel


(19)

musik tiup atau musik Brass Barat, dll. Saat ini orang Batak Toba di Desa Gajah menggunakan musik tiup6

6

Musik tiup adalah ensambel yang berkembang khususnya sekitar tahun 1980-an sebagai satu ensambel yang berfungsi mengiringi upacara adapt pada masyarakat Kristen Batak Toba untuk menggantikan peranan ensambel musik gondang. Belakangan ada perkemabnagan dimana musik tiup yang didominasi oleh alat-alat musik Brass Barat yang digabung dengan alat musik tradisi yang berasal dari ensambel gondang dan alat-alat musik tradisi Batak Toba lainnya seperti , keyboard, dan drum yang digabung dengan alat musik tradisi atau alat musik yang juga digunakan dalam gondang sabagunan. Misalnya

taganing (seperangkat gendang yang terdiri dari 5 buah gendang) sedangkan sulim

(seruling) adalah alat musik tiup.

Godang naposo sebagai tradisi kaum muda-mudi di Desa Gajah merupakan kegiatan kaum muda-mudi yang terhimpun dalam asosiasi

PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah). Aktivitas kaum muda-mudi di Desa Gajah yang tertuang di dalam pesta gondang naposo

merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut dapat menunjukkan arti penting pelaksanaan gondang naposo bagi orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah. Pelaksanaan gondang naposo dapat sebagai sarana hiburan di saat liburan, pencarian jodoh, sarana membangunan solidaritas, pengintegrasian orang Batak Toba di Desa Gajah, sarana komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, sebagai kesinambungan budaya, sebagai sarana bagi kepentingan politik dan sebagai bentuk ekspresi idenditas orang Batak Toba terhadap kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah.


(20)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan gondang naposo sebagai suatu pesta muda-mudi Batak Toba di Desa Gajah ? Permasalahan ini diuraikan ke dalam 3 pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah ?

2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah ? 3. Kepentingan apa saja yang termaktub melalui pesta gondang naposo?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tradisi gondang naposo yang ada di Desa Gajah. Untuk hal tersebut maka dideskripsikan sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan, pembukaan, pelaksanaan, dan penutup), dan berikutnya mendeskripsikan kepentingan apa saja yang termaktub melaui pelaksanaan gondang naposo

tersebut.

Secara akademis penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang mengulas tradisi Batak Toba dalam rangka pelestarian tradisi gondang khususnya

gondang naposo yang dapat dipahami sebagai simbol penguatan idenditas orang Batak Toba di luar daerah asal. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka membuat kebijakan yang terkait dengan pelestarian tradisi gondang Batak Toba khususnya


(21)

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Gajah tepatnya di Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan lokasi adalah karena Desa Gajah merupakan salah satu daerah perantauan orang Batak Toba di Asahan. Di Desa Gajah orang Batak Toba melaksanakan gondang naposo sebagai wujud ekspresi idenditas di tengah kelompok etnik lainnya. Lokasi penelitian merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas orang Batak Toba atau kampung Batak dan ditambah lagi Desa Gajah merupakan tempat kelahiran peneliti.

E. Tinjauan Pustaka

Berbagai kajian terhadap masalah-masalah tradisi gondang Batak Toba telah dilakukan. Seperti kajian Simarmata (1992) tentang sikap masyarakat Batak Toba di Lumban Pea terhadap penggunaan seperangkat alat musik tiup pada upacara adat. Simarmata menjelaskan bahwa penetrasi agama kristen protestan ke Desa Lumpan Pea telah menimbulkan perubahan yang berhubungan dengan sistem religi tradisional yang umumnya tidak terlepas dengan tradisi gondang sabagunan. Namun, setelah masuknya agama kristen protestan gondang sabagunan di rubah dengan seperangkat alat musik tiup dalam acara gereja maupun dalam acara adat. Di samping itu, penggunaan alat musik tiup dapat menaikkan penghasilan di luar sektor pertanian bagi pemain musik dan dapat menaikkan prestise bagi warga masyarakat yang menjalankan adat.

Kajian Simanjuntak (1993) tentang makna simbolik tortor Batak Toba, menjelaskan bahwa tortor dilaksanakan sehubungan dengan adanya masa-masa


(22)

krisis dalam kehidupan seorang individu atau sekelompok orang yang dianggap penuh dengan keajaiban dan dapat menimbulkan malapetaka bagi bagi mereka. Pelaksanaan tortor tidak terlepas dari tradisi gondang sabagunan. Pelaksanaan

tortor diiringi gondang sabagunan ini berhubungan dengan tata cara dan adat istiadat Batak Toba yang tidak terlepas dari unsur Dalihan Na Tolu. Di samping itu, tortor dilaksanakan karena berfungsi sebagai alat dalam upacara religi yang sakral, sebagai refleksi dan validasi organisasi sosial dan sistem kekerabatan, sebagai alat simbolisasi dan komunikasi, sebagai alat hiburan dan estetika.

Kajian Kusuma (1995) tentang penggunaan alat musik tiup dalam upacara kematian saur matua suku bangsa Batak Toba. Kusuma menjelaskan bahwa setelah masuknya Zending Jerman di tanah Batak melahirkan perubahan pada kegiatan “margondang”. Pihak gereja melarang penggunaan gondang sabagunan

yang selalu dikaitkan dengan kepercayaan asli orang Batak Toba yaitu sipelebegu (pemuja setan atau roh nenek moyang), seperti upacara magokkal holi (upacara pemindahan tengkorak), sibaran (upacara melepas kemalangan) dll.

Dari ketiga kajian telah diuraikan sebelumnya menjelaskan mengenai pelaksanaan tradisi gondang Batak Toba secara umum. Sedangkan, masalah yang akan di kaji dalan penelitian ini secara khusus membicarakan pelaksanaan budaya

gondang Batak Toba yaitu gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah menunjukkan suatu upaya penghidupan kembali tradisi Batak Toba di luar daerah asalnya. Dapat di pahami bahwa orang Batak Toba yang melakukan migrasi kesuatu daerah tak lupa membawa budayanya yang dijadikan sebagai pedoman di tempat yang baru.


(23)

Sebagaimana yang diungkapkan Ermansyah (2005:25) bahwa keberadaan seseorang atau sekelompok orang di tempat yang baru dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda mewujudkan 3 (tiga) proses sosial yang saling berkaitan, yaitu:

Pertama, pengelompokan kembali di dalam latar belakang sosial budaya yang baru. Proses ini merupakan proses penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi atau adanya kecenderungan dari seseorang atau sekelompok orang untuk tetap berhubungan dan menetap bersama warga kelompok asalnya di tempat yang baru. Kedua, proses rekonstruksi sejarah kehidupan seseorang atau sekelompok orang karena ada fase kehidupan yang baru terbentuk. Hal ini memiliki arti yang sangat berbeda bagi seseorang atau sekelompok orang, karena latar sosial budaya yang berbeda dengan latar sosial budaya dimana mereka menjadi bagian sebelumnya. Ketiga, proses rekonfigurasi “proyek-proyek” etnik mereka. Seseorang atau sekelompok orang yang berbeda di tempat baru akan menyusun kembali dan menegaskan idenditas kelompok atau kebudayaannya.

Perubahan konteks atau latar sosial budaya menimbulkan kesadaran seseorang atau sekelompok orang untuk menegaskan kembali asal-usul dan idenditas kebudayaanya. Hal ini menunjukkan suatu proses reproduksi


(24)

kebudayaan dapat dipahami dari 3 (tiga) aspek (Irwan Abdullah dalam Ermansyah, 225:26), yaitu:

Pertama, aspek kognitif, yang melihat kebudayaan sebagai sistem gagasan yang merupakan pedoman hidup manusia. Untuk itu, gagasan dan berbagai aspek kehidupan seseorang atau sekelompok orang akan dikaji untuk melihat sistem kosmologis dalam rangka menjelasakan bentuk-bentuk reproduksi kebudayaan. Kedua, aspek evaluatif, yang merupakan standar nilai yang masih direproduksi dan digunakan untuk menilai kehidupan di tempat yang baru. Hal ini mengarah kepada analisis norma-norma dan nilai yang masih berperan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok orang, meskipun di dalam latar belakang sosial budaya yang berbeda. Ketiga, aspek simbolik, yang merupakan bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan yang dapat dilihat dari berbagai upacara dan kegiatan yang berlangsung. Keberadaan berbagai upacara tanda penting dari pelestarian kebudayaan.

Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah juga mereproduksi kebudayaannya melalui pesta gondang naposo. Pesta gondang

naposo merupakan kebudayaan Batak Toba yang di bawa dari daerah asal (bona pasogit). Gondang naposo tersebut direproduksi kembali di Desa Gajah. Proses reproduksi yang dimaksud adalah bahwa tradisi gondang naposo yang ada di


(25)

daerah asal dilahirkan kembali di daerah yang baru atau di Desa Gajah dengan bentuk dan kepentingan yang berbeda.

Perbedaan bentuk antara gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal dengan yang dilaksanakan di Desa Gajah dapat dipahami melalui perbedaan penamaan. Di daerah asal gondang naposo disebut sebagai gondang tunggal

(pesta muda-mudi) dan Poltak Bulan Purnama sebaliknya di Desa Gajah disebut dengan pesta gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal berlangsung selama tujuh malam berturut-turut (Nainggolan, 1979:77). Sedangkan, gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah berlangsung selama dua hari dua malam. Alat musik yang digunakan di daerah asal masih murni seperangkat alat musik gondang sabagunan sedangkan alat musik yang digunakan pada pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah menggunakan alat musik tradisi yang dikombinasikan dengan alat musik modern seperti sulim,

taganing, drum, keyboard, dll.

Pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah memiliki nilai-nilai seperti yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposo di daerah asal. Hal ini dapat dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal maupun yang ada di Desa Gajah sama-sama sebagai sarana menjalin kebersamaan atau solidaritas, sebagai sarana komunikasi orang Batak Toba dengan Tuhan dan sesama. Hal ini tercermin dari gerak tari atau tortor yang dipagelarkan yakni

gondang mula-mula yang merupakan tanda penghormatan kepada Tuhan, dan sesama. Sedangkan, gondang hasahatan si tio-tio merupakan ungkapan rasa


(26)

terima kasih kepada Tuhan atas keselamatan yang telah diberikan kepada mereka (Lusiati dalam Malau, 2007:3).

Melalui pelaksanaan gondang naposo sesama orang Batak Toba yang berada di Desa Gajah dan yang ada di sekitar Desa Gajah dapat terintegrasi. Sesama orang Batak Toba bertemu pada pelaksanaan gondang naposo, mereka saling melepas rindu dan menari bersama sehingga nilai-nilai dalam kehidupan orang Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup, dan pengharapan diwujudkan melalui tortor yang diiringi oleh musik gondang

(Sinaga, 1994:9).

Salah satu nilai Batak Toba yang terlihat melalui pelaksanaan gondang naposo adalah nilai gotong-royong. Nilai ini tercermin melalui pemberian sumbangan berupa uang yang disebut dengan “silua” atau “santisanti” dari para undangan kepada penyelenggara pesta gondang naposo (suhut) secara timbal balik. Menurut Koenjaraningrat (1972:165) bahwa dalam masyarakat kecil prinsip timbal balik merupakan penggerak masyarakat dalam melakukan tindakan tolong-menolong. Demikian halnya sumbangan yang diberikan oleh undangan dalam pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah juga merupakan tindakan tolong-menolong yang juga mengharapkan balasan saat para undangan melaksanakan

gondang naposo.

Bagi orang Batak Toba yang ada di daerah asal, pelaksanaan gondang naposo hanya sebagai acara adat dalam rangka perwujudan kebudayaan saja. Namun, bagi orang Batak Toba yang ada Di Desa Gajah pelaksanaan gondang naposo direproduksi sebagai wujud ekspresi idenditas orang Batak Toba


(27)

dihadapan kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah seperti Melayu, Jawa, Tapanuli Selatan, Nias dan Karo. Kenyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat Koentjaranigrat (1974:104) bahwa kesenian (dalam hal ini gondang) merupakan satu-satunya unsur kebudayaan dari tujuh unsur kebudayaan universal yang dapat menonjolkan sifat khas atau idenditas. Jadi dapat dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan orang Batak Toba yang ada di Desa gajah bukanlah sekedar kegiatan muda-mudi semata, melainkan sebagai simbol penegasan idenditas orang Batak Toba di perantauan.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini bertipekan eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara terperinci tradisi

gondang naposo sebagai suatu kegiatan kaum muda-mudi di Desa Gajah yang terhimpun dalam asosiasi PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah). Penelitian ini juga mendeskripsikan sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan, pembukaan, pelaksanaan, dan tahap penutup), dan berikutnya menjelaskan kepentingan yang termaktub melalui pesta gondangnaposo tersebut.

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui 2 kelompok yaitu melalui data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan. Sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan, dari berbagai buku, jurnal dan lain-lain. Buku, jurnal dan yang lainnya terutama diarahkan untuk mendapatkan gambaran-gambaran tertulis mengenai


(28)

kebudayaan Batak Toba secara khususnya data mengenai tradisi gondang naposo, data tertulis mengenai data kependudukan desa, teori-teori yang mendukung masalah penelitian, dll.

Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Adapun hal yang diobservasi adalah proses pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan,pelaksanaan, tahap penutup), siapa-siapa saja pihak yang terlibat dalam sejarah pembentukan gondang naposo yang masih hidup dan pembentuknya sekarang, alat-alat apa saja yang digunakan dalam gondang naposo, tarian yang dipagelarkan dan lain-lain. Observasi partisipasi yang dilakukan dilengkapi dengan kamera photo untuk mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi peneliti di lapangan dan sebagai penegasan data yang diperoleh di lapangan.

Selain observasi partisipasi, wawancara mendalam juga dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Informan kunci merupakan orang-orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada di dalam masyarakat atau orang yang memahami masalah penelitian. Dalam hal ini informan kunci yaitu pemuka desa, kepala desa, tokoh masyarakat, pengerak atau panitia gondang naposo, pargorsi dan lainnya. Sedangkan, informan biasa merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan ahlinya. Dalam penelitian aini yang menjadi informan biasa adalah masyarakat sekitar lokasi penelitian yang tidak terlibat secara langsung dalam


(29)

kepanitiaan pelaksanaan gondang naposo, seperti muda-mudi maupun orang tua serta kelompok etnik lain yang ada disekitar lokasi penelitian.

Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu mengenai sejarah kedatangan orang Batak Toba di Desa Gajah, sejarah lahirnya

gondang naposo, mekanisme pelaksanaan gondang naposo, siapa-siapa saja orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan gondang naposo, alat-alat ayang digunakan dalam pelaksanaan gondang naposo khususnya alat musik yang digunakan dan kepentingan apa yang mereka dapat dari peleksanaan gondang naposo tersebut.

Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa yaitu mengenai bagaimana pandangan mereka mengenai pelaksanaan gondang naposo

dan bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo serta kepentingan apa saja yang mereka peroleh dari pelaksanaan gondang naposo tersebut. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder sebagai alat bantu karena daya igat peneliti yang terbatas.

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara bertujuan atau

purposif dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan sudah diketahui oleh peneliti. Penentuan informan didasarkan atas kriteria umur, jenis kelamin, lama tinggal, dan lainnya. Dalam penelitian ini jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data.


(30)

G. Analisa Data

Data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif. Proses analisa data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Data dikategorikan menurut kategori tertentu yang terkait diinterpretasikan sesuai dengan data dan kemampuan peneliti. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan laporan penelitian.


(31)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA GAJAH

A. Letak Geografis, Administratif dan Sejarah Desa Gajah

Desa Gajah merupakan sebuah desa yang terletak tidak jauh dari ibu kota Kecamatan Sei Balai yaitu kira-kira 15 km. Jarak Desa Gajah ke ibu kota kabupaten Asahan kira-kira 35 km. Sedangkan jarak Desa Gajah ke ibu kota propinsi sekitar 95 km. Oleh Kerena itu, Desa Gajah merupakan desa yang maju dan desa yang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat.

Menurut data yang diperoleh dari kantor kepada desa luas wilayah Desa Gajah sekitar 1.187 Ha. Sebagian besar wilayah Desa Gajah dimanfaakan sebagai ladang seluas kira-kira 240 Ha, persawahan kira-kira 360 Ha, perkebunan 85 Ha, pekuburan sekitar 20 Ha, dan tanah kosong sekitar 23 Ha selebihnya digunakan sebagai areal permukiman penduduk yakni seluas 459 Ha.

Desa Gajah merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian kira-kira 0,5 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata pada siang hari sekitar 28 C-30 C. Hal ini sangat mempengaruhi pertanian di desa ini. Musim kemarau yang terjadi sangat panjang dari April sampai September. Pada bulan-bulan tersebur hujan turun hanya beberapa kali saja. Luas wilayah Desa Gajah adalah 1.187 Ha yang terdiri dari sepuluh dusun yakni ditandai dengan sebutan Dusun I hingga Dusun X. Masing-masing dusun dikepalai oleh kepala dusun yang berfungsi mempercepat proses administrasi.


(32)

Pembagian atau susunan dusun yang ada di Desa Gajah tidak tersusun secara berurutan mulai dari Dusun I sampai dengan Dusun X. Secara administratif Desa Gajah berbatasan dengan desa lain yakni:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kwalakasim - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Durian

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram - Sebelah Timur berbatasan dengan Perwakilan Sei Balai

Jika hendak pergi ke Desa Gajah, kita bisa menempuhnya dari kota Medan sekitar 3 sampai 4 jam, dari ibu kota kabupataen kira-kira 45 menit. Terminal angkutan menuju Desa Gajah berada di Kisaran dan untuk mencapai Desa Gajah kita bisa naik angkuttan pedesaan seperti ojek \ RBT dan anggkutan umum seperti mobil Merpati, Srimersing dan lain sebagainya.

Menurut sejarahnya, Desa Gajah dulunya masih hutan belantara yang dihuni berbagai macam binatang termasuk Gajah. Daerah ini berbatasan dengan kebun Hapam. Menurut keterangan informan Kebun Hapam dulunya merupakan milik “Amerika Serikat”7

Sekitar tahun 1952 masuklah masyarakat membuka lahan untuk persawaha. Orang pertama yang membuka lahan di Desa Gajah adalah Parsaoran Samosir yang bermigrasi dari Pulau Samosir. Tidak hanya kebun Hapam ternyata

. Namun, terjadi pengalihan kepemilikan kepada M.Hutapea dan setelah itu Kebun Hapam dirubah namanya menjadi Kebun Banua Area. Pemilik kebun Hapam selalu resah akibat ulah Gajah yang sering merusak kebun mereka.

7


(33)

Gajah juga merusak tanaman para masyarakat yang berada di lahan yang baru dibuka tersebut. Untuk mengatasi Gajah, masyarakat membangun sebuah podok untuk menjaga dan mangawasi kalau-kalau Gajah datang merusak tanaman mereka. Nama pondok itu mereka sebut Pondok Gajah yang akhirnya nama itu menjadi nama kampong yaitu Kampung Pondok Gajah.

Kampung Pondok Gajah berubah menjadi Desa Gajah setelah terjadi pemekaran dari Kampung Durian sekitar tahun 1960. masyarakat akhirnya yang dulunya hutan berubah menjadi lahan persawahan. Gajah akhirnya pindah ke bagian dalam hutan dan ada juga yang dimasukkan ke penengkaran dan sejak saat itu gajah tidak pernah lagi muncul.

Desa Gajah termasuk kecamatan Tanjung Tiram hingga tahun 1999. Terjadi pemekaran, Desa Gajah menjadi kecamatan Sei Balai hingga sekarang. Desa Gajah cukup strategis dengan kegiatan penduduknya sebagai petani sawah, hingga saat ini 80 % masyarakat hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. 20 % diantaranya adalah sebagai pedagang dan pegawai negeri.


(34)

B. Demografi Penduduk dan Sistem Mata Pencaharian

Penduduk Desa Gajah terdiri dari 921 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 3.800 jiwa. Berikut adalah tabel jumlah penduduk Desa Gajah berdasarkan umur

Tabel 1

Distribusi Jumlah Penduduk Desa Gajah Berdasarkan Umur

No Umur Jumlah jiwa

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13

0 – 4 5 – 9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35- 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 keatas 177 436 410 320 250 260 315 330 310 320 340 245 85

Jumlah 3.800

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Tingkat pendidikan penduduk Desa Gajah pada umumnya sudah dapat dikatakan baik. Hanya 0,5 % saja penduduk yang masih buta huruf. Dan 99,5 % dari jumlah penduduk sudah mengeyam pendidikan walaupun hanya sampai tingkat SD, SLTP maupun SMA saja. Untuk lebih jelasnya distribusi penduduk berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.


(35)

Tabel 2

Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Jiwa

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Belum sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMA

Tamat akademi \ sederajat Tamat Perguruan Tinggi Buta huruf 560 368 627 820 980 320 210 15

Jumlah 3.800

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Masyarakat Desa Gajah hampir seluruhnya sudah mengecap pendidikan seperti yang terlihat dalam tabel, sehingga masyarakat tidak lagi buta huruf dan bodoh. Paling tidak masyarakat sudah dapat membaca dan menulis. Para orang tua di desa ini menganut nilai bahwa anak mereka adalah kekayaan dan merupakan milik mereka yang paling berharga dari apapun. Sehingga para orang tua mengusahakan apapun juga agar anak mereka dapat bersekolah setinggi-tingginya. Hal ini berkaitan dengan tiga nilai yang dianut oleh masyarakat Batak Toba bahkan menjadi pegangan hidup yaitu, “Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon”.

Secara umum kehidupan masyarakat Desa Gajah bersifat agraris ( pertanian ) karena 80 % masyarakat hidup dari pertanian dan perkebunan. Hanya 20 % diantaranya sebagai pedagang, wiraswasta dan pegawai negeri. Adapun tanaman yang secara umum ditaman adalah padi untuk sawah. Sedangkan tanaman untuk perkebunan adalah tanaman kelapa sawit, cokelat, dan karet. Hasil


(36)

pertanian merupakan sumber penhidupan utama bagi penduduk Desa Gajah. Hampir semua penduduk dan anggota keluarga mereka yang sudah remaja dan dewasa ikut terlibat dalam pertanian tersebut.

Bagi penduduk yang berdagang, pegawai negeri, dan wiraswasta juga terlibat dalam pertanian di samping pekerjaan mereka tersebut. Mereka mengolah sawah dan kebun yang di usahakan untuk menambah penghasilan mereka. Hal ini disebabkan oleh kondisi alam yang memang mendukung dan juga tersedianya pengairan sehingga panen raya dapat dilakukan dua kali dalam satu tahunnya. Di samping itu juga didukung penggunaan pupuk yang sesuai dengan takaran, pemupukan yang dilakukan secara teratur dan berkala, pengolahan tanah agar gembur dan subur, penyiangan dan lain sebagainya.

Dibidang pertanian, hal yang paling dominan dihasilkan adalah padi, dan kelapa sawit. Padi dari Desa Gajah selain untuk dipasarkan juga sebagai persediaan bahan pangan sebelum tiba masa panen raya berikutnya. Produksi padi dari desa ini bisa mencapai sekitr 800 ton / tahun dan kelapa sawit bisa mencapai 9000 ton / tahun.

Untuk menambah penghasilan penduduk desa ini juga beternak. Semua jenis ternak masyarakat memiliki kandangnya masing-masing, jadi tidak ditemukan lagi hewan peliharaan yang berkeliaran disekitar desa selain hewan peliharaan seperti anjing dan kucing.

Masyarakat Desa Gajah memanfaatkan kotoran hewan peliharaanya seperti kotoran ayam, itik, kerbau, sapi dan kambing. Hal ini terjadi keran kotoran dari hewan peliharaan tersebut dapat dijadikan pupuk yang disebut dengan pupuk


(37)

organic. Masyarakat memanfaatkan kotoran hewan peliharaan mereka juga dikarenakan harga pupuk yang sangat tinggi, jadi untuk menghemat biaya pertanian kotoran hewan peliharaan tersebut ternyata membuat tanah menjadi subur. Namun, penggunaan pupuk organic tersebut tidak diberikan secara sembarangan tetapi harus sesuai dengan kebutuhan. Untuk mengetahui distribusi dari ternak yang maka, berikut adalah tabel jumlah ternak yang ada di Desa Gajah.

Tabel 3

Distribusi Jumlah Ternak di Desa Gajah

No Jenis Ternak Jumlah Ternak

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sapi Kambing Domba Babi Ayam Buras Itik Dll 10 150 20 620 530 650

Jumlah 2.025

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Distribusi ternak menunjukkan bahwa beternak juga merupakan kegiatan yang dapat menambah jumlah pendapatan penduduk desa ini. Jika babi di jual harganya dapat mencapai sekitar Rp.500.000 / ekor bahkan ada yang mencapai Rp.1200.000 – Rp.2.000.000 / ekornya, apabial ukuran babinya besar dan gemuk. Berikut adalah distribusi penduduk berdasarkan sistem mata pencahariannya.


(38)

Tabel 4

Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Sistem Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Jiwa

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Petani Buruh Tani Pengusaha Buruh Bangunan Pedagang Supir

Pegawai Negeri Sipil TNI / Polri

Pensiunan (PNS,TNI/Polri )

1.900 90 8 15 80 12 110 6 35

Jumlah 2.257

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Pertanian Desa Gajah memerlukan tenaga buruh tani karena untuk menanam padi dengan lahan yang luas itu memerlukan dan memakan waktu yang ekstra. Jadi, untuk mempermudah pekerjaan maka para petani mencarai jasa buruh tani dengan upah kira-kira Rp.30.000 – Rp.40.000 / hari. Hal ini juga dikarenakan sudah jarangnya ditemukan masyarakat yang melakukan kegiatan gotong-royong atau “marsiadapari”.

C. Pola Pemukiman

Jumlah penduduk Desa Gajah mencapai 3.800 jiwa dan 889 kepala keluarga, yang diklasifikasi sebagai berikut: dusun I terdiri dari 348 jiwa , dusun II terdiri dari 427 jiwa, dusun III terdiri dari 391 jiwa, dusun IV terdiri dari 380 jiwa, dusun V terdiri dari 179 jiwa, dusun VI terdiri dari 262 jiwa, dusun VII terdiri dari 220 jiwa, dusun VIII terdiri dari 655 jiwa, dusun IX terdiri dari 405 jiwa dan dusun X terdiri dari 351 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk Desa Gajah


(39)

berdasarkan jenis kelamin yakni, laki-laki sebesar 1.884 jiwa dan perempuan sebesar 1.916 jiwa.

Masyarakat Desa Gajah mengenal berbagai sistem kesatuan hidup setempat. Beberapa istilah kesatuan hidup setempat seperti jabu atau rumah dan sopo adalah tempat berteduh yang berada di ladang, jika sedang hujan atau hari sangat terik. Namun, sekarang ini sopo sudah sangat jarang ditemukan.

Jabu atau rumah adalah kesatuan keluarga inti (house hold). Berarti Desa Gajah terdiri dari 921 Jabu. Bentuk yang lebih besar lagi adalah huta atau kampung dimana setiap satu huta dipimpin oleh satu kepala desa. Satuan dari beberapa huta membentuk satu kecamatan, demikian seterusnya.

Kondisi rumah ditinjau dari segi bangunan maupun segi kesehatan sudah cukup baik dan pada umumnya bentuk rumah sudah mengikuti bentuk rumah dikota serta tak ditemukan lagi rumah tradisional atau rumah adat yang berbentuk panggung. Berikut ini adalah tabel rumah penduduk menurut sifat dan bahannya.

Tabel 5

Jumlah Rumah Penduduk Menurut Sifat dan Bahannya

No Jenis Rumah Menurut Sifat dan Bahanya Jumlah \ Buah 1.

2. 3. 4.

Dingding terbuat dari batu \ gedung permanent Dingding terbuat dari sebagian batu \ semi permanent

Dingding terbuat dari kayu\ papan Dingding terbuat dari bambu \ lainnya

221 385 268 25 Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007


(40)

Pola pemukiman pada umumnya ada yang mengelompok dan ada juga yang tidak. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain kira-kira 2-5 m. Ada juga rumah yang dibangun dengan rapat artinya dua rumah yang memiliki satu dingding pembatas.

Masyarakat Desa Gajah terdiri dari beberapa suku bangsa seperti Batak Toba, Tapanuli Selatan, Karo, Jawa dan Nias. Setiap suku bangsa memiliki bahasa sendiri. Namun, dalam pergaulan hidup sehari-hari masyarakat menggunakan bahasa Indonesia meskipun ada beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa daerahnya apabila bertemu dengan orang yang sesuku dengannya. Berikut adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan kelompok etnik.

Tabel 6

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

No Kelompok Etnik Jumlah jiwa 1 2 3 4 5 Batak Toba Jawa Tapanuli Selatan Nias Karo 2.885 435 300 145 35

Jumlah 3.800

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

D. Sistem Religi

Masyarakat Desa Gajah pada umumnya beragama Kristen Protestan, Katolik dan sebagian lainnya menganut agama Islam. Di Desa Gajah terdapat bangunan gereja sebanyak 18 buah yaitu gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan ), GPDI ( Gereja Pentakosta Di Indonesia ), GPI (Gereja Pantekosta Indonesia ), dan HKI ( Huria Katolik Indonesia ). Sedangkan, mesjid terdapat 2


(41)

buah dan surau atau musolla hanya 1 saja. Berikut tabel distribusi penduduk Desa Gajah menurut agama yang dianutnya.

Tabel 7

Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Jiwa

1. 2. 3.

Kristen Protestan Katolik

Islam

2.799 796 205

Jumlah 3.800

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Masyarakat desa ini hidup beragama dengan toleransi yang cukup tinggi, mereka tidak mengindahkan perbedaan agama. Masyarakat lebih condong pada hubungan saling membantu dan akrab. Toleransi beragama cukup tinggi terlihat bahwa ternak babi tidak ada yang berkeliaran di sekitar desa tetapi semua babi di kandang. Disamping itu, pada hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri umat Islam memberi kue kepada tetangganya yang beragama Kristen dan sebaliknya. Terdapat pula organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang ada di desa ini. Pada acara-acara pesta tertentu seperti pesta pernikahan, ulang tahun, sunatan dan lain sebagainya masyarakat saling mengundang tanpa membedakan agama.

Di Desa Gajah juga terdapat organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang ada di Desa Gajah. Misalnya Organisasi Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK), dan Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah (PERMUSIMDES). Setiap tahunnya PERMUSIMDES selalu merayakan ulang tahun dengan mengadakan gondang naposo. Pada saat gondang naposo


(42)

pada pelaksanaan gondang naposo semua anggota PERMUSIMDES tampa membedakan agama ikut terlibat dalam acara gondang naposo tersebut. Dulunya anggota PERMUSIMDES hanya etnik Batak Toba yang beragama Kristen. Namun, seiring dengan pertambahan penduduk yang semakin pesat mengakibatkan jumlah anggota PERMUSIMDES semakin banyak dan berasal dari agama dan kelompok etnik yang beragam.

E. Sistem Organisasi dan Kekerabatan

Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Batak Toba adalah

jabu (keluarga inti) yang juga merupakan kesatuan ekonomi terkecil. Keluarga inti terbentuk melalui perkawinan, dimana pada masa awalnya pengantin baru akan tinggal di rumah orang tuanya. Setelah keluarga inti mampu berusaha sendiri baru akan tinggal dengan istrinya atau dengan suaminya artinya berpisah dengan orang tuanya. Sistem organisasi dan kekerabatan yang di kaji adalah suku bangsa Batak Toba dikarenakan mayoritas penduduk Desa Gajah adalah suku bangsa Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Asas patrilineal

menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan disusun menurut garis ayah dan semua kerabat laki-laki. Orang Batak Toba seperti orang batak pada umumnya mengenal suatu konsep kemasyarakatan yang bernama Dalihan Na Tolu ( tungku Batak Toba jaman dahulu), terbuat dari tiga batu yang diletakkan dalam bentuk


(43)

segi tiga. Di atasnya di letakkan alat memasak makanan. Tungku ini melambangkan dasar hubungan sosial orang Batak (Simanjuntak, 1988:51).

Sistem kekerabatan orang Batak Toba yang demikian berhubungan dengan dengan sistem pewarisan pada orang Batak. Dalam hal ini hanya laki-lakilah yang berhak mendapat warisan orang tua mereka. Warisan yang diberikan biasanya dalam bentuk benda tidak bergerak, misalnya : hauma (sawah), tano (tanah ), jabu

( rumah ), ulos (kain khas orang batak ), mas ( emas ). Namun, bila benda-benda ini tidak selalu ada pada orang tua sehingga harta warisan bisa juga berupa : horbo

( kerbau ), singir (piutang), dan lain-lain8.

Sistem perkawinan yang dianut mengenal incest taboo. Incest taboo pada orang Batak Toba adalah tidak terjadinya hubungan perkawinan antara sesama saudara sedarah maupun antara satu marga. Misalnya : keluarga Gultom A tidak boleh mengawini keluarga Gultom B , karena mereka mengganggap hubungan tersebut adalah kekerabatan dari satu nenek moyang yang sama.

Perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara orang-orang yang

marpariban dimana laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Perkawinan pada orang Batak Toba pada umumnya, merupakan pranata, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam sautau hubungan yang tertentu. Kaum kerabat dari laki-laki atau

“paranak” dengan kaum kerabat dari si wanita atau “parboru” ( Payung Bangun, 1988:102).


(44)

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam keluarga batih orang Batak Toba disebut “ripe”. Keluarga “saompu” satu kelompok kekerabatan dimana semua kaum kerabat patrilineal yang masih diingat atau dikenal kerabatnya adalah bentuk keluarga luas pada orang Batak Toba. Istilah teknis untuk itu disebut klen kecil (Simanjuntak, 1994:17).

Suatu kelompok kekerabatan yang lebih besar adalah “marga”. Istilah marga mengenal beberapa arti seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak (1994:18). Marga bisa berarti klen patrilineal (misalnya marga Siagian, Manik, dsb) tetapi juga sub klen (Siburian, Silo, Nababan, Lumbantoruan, dsb). Marga bisa juga berarti gabungan klen /fatri misalnya : Lotung, Sumba, dan Borbor ) sekaligus menegaskan wilayah territorial dari masing-masing fatri.

Dalam hubungan perkawinan ada tiga kelompok kekerabatan yang penting pada hubungan kekerabatan seperti yang telah dijelaskan di atas, saat ini masih dipertahankan dan masih dapat jelas terlihat pada upacara-upacara tertentu seperti upacara perkawinan, upacara kematian, memasuki rumah baru dan lain sebagainya.

Selain kesatuan kekerabatan seperti hal tersebut diatas, ada juga berbagai organisasi (GAMKI, PORMA SATU, IPP (Ikatan Pemuda Pancasila), Karang Taruna, SPSI, OKP), serikat marga (Raja Sonang, Gultom, Patambor/ Manurung, Siagian, Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama/ Situmorang, Borbor Marsada

(Malau, Pasaribu, Lubis), Lembaga pemerintahan: LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa),LMD( Lembaga Masyarakat Desa ), PKK, serta STM (Serikat Tolong Menolong).


(45)

Masyarakat Desa Gajah juga memiliki sistem organisasi sosial yang di bagi dalam tiga kategori yaitu serikat jalan Gereja, serikat jalan Siantar, dan serikat jalan Kisaran. Pembagian ketiga serikat tersebut dilakukan sesuai dengan arah jalan yaitu Kisaran dan Siantar. Sedangkan, untuk serikat jalan Gereja ditentukan berdasarkan banyaknya bengunan gereja di daerah tersebut. Adapun pengurus harian serikat jalan Gereja adalah; ketua : Kaus Sinaga, wakil ketua: Danso Sitinjak, sekretaris: Tanda Marpaung, bendahara : Bisara Panjaitan.

Syarat-syarat menjadi anggota serikat adalah setiap membayar uang seharga 1 kaling padi dan 3 lembar papan. Uang padi tersebut digunakan sebagai modal untuk membeli ulos bila ada anak gadis dari serikat itu yang menikah. Sedangkan, uang papan digunakan untuk membeli papan untuk digunakan sebagai peti mati apabila ada anggota serikat yang meninggal. Setelah tujuh hari tujuh malam diterima sebagai anggota serikat barulah sah sebagai anggota serikat.

Apabila ada anggota serikat yang mengadakan pesta maka setiap anggota serikat diwajibkan menghadiri pesta tersebut dengan membawa 2 tumba atau 4 kilo gram beras khusus untuk pesta besar. Sedangkan untuk pesta kecil diwajibkan membawa 11/2 kilo gram beras dan hal ini juga berlaku untuk serikat marga.

Perbedaannya dalam serikat tolong menolong tidak diadakan arisan dan kebaktian atau partagiangan sedangkan dalam serikat marga hal tersebut dilaksanakan sekali dalam sebulan. Biasanya keluarga yang mengadakan arisan atau keluarga yang di rumahnya dilaksanakan arisan marga berarti keluarga tersebutlah yang akan menarik uang arisan tersebut.


(46)

Tujuan dibentuknya serikat tolong-menolong adalah untuk menjalin persaudaraan sesama anggota serikat dan untuk membangun solidaritas sesama anggota serikat. Sedangkan, tujuan dibentuknya serikat marga adalah untuk menjalin persaudaraan antar marga, melestarikan budaya batak yang dibawa dari

Bona Pasogit, dan sebagai idenditas orang Batak Toba di tempat yang baru atau di Desa Gajah. Kenyataan tersebut terkait dengan keberagaman penduduk di Desa Gajah yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Keberagaman tersebut jelas mempunyai tuntutan kebudayaan dari masing-masing kelompok etnik. Oleh karena itu, timbul rasa di desak oleh kelompok etnik lain. Semuanya itu bermuara pada adanya kehendak atau usaha untuk memperkuat diri masing-masing dengan menyusun suatu kekuatan disekitarnya yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari kelompok marga yang sama yang disebut dengan asosiasi marga (Bagun dalam Siallagan, 1991:12). Sebagai kelompok etnik yang terkecil, orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah membentuk perkumpulan marga


(47)

BAB III

PELAKSANAAN PESTA GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH

A. Latar Belakang lahirnya Gondang Naposo di Desa Gajah

Pada tahun 1952 seorang yang bernama Pasaoran Gultom yang berasal dari Samosir datang manonbang ke Desa Gajah. Manombang adalah suatu usaha untuk mencari kehidupan yang lebih baik di daerah yang baru dengan cara membuka hutan untuk lahan pertanian. Desa Gajah dulunya disebut sebagai pondok Gajah. Disebut pondok Gajah karena pada masa itu banyak terdapat gajah. Namun, pada tahun 1960 Desa Pondok Gajah berubah menjadi Desa Gajah setelah terjadi pemekaran dari Kampung Durian.

Pertambahan penduduk yang besar mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian semakin besar. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dulunya hutan dirubah menjadi lahan persawahan. Pertambahan penduduk yang besar terjadi karena faktor kelahiran maupun karena besarnya arus migrasi orang Batak Toba dari Daratan Tinggi Toba (Tapanuli Utara) yang datang ke Desa Gajah. Perpindahan penduduk dari Dataran Tinggi Toba dalam era pra modern dimulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ledakan penduduk dan sulitnya memperoleh lahan persawahan. Sedangkan, pertambahan penduduk di Desa Gajah karena faktor kelahiran diperkirakan terjadi setelah jumlah migrasi yang datang ke Desa Gajah semakin banyak.

Pada umumnya, orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah tinggal dan menetap bersama dengan orang yang berasal dari daerah asalnya atau yang


(48)

satu kelompok etnik dengannya. Hal ini merupakan salah satu cara mereka untuk beradaptasi dengan keadaan atau situasi yang baru. Lambat-laun jumlah mereka bertambah sehingga mereka mulai membentuk perkumpulan atau asosiasi marga

(Raja Sonang, Goltom, Parna, Borbor Marsada, Si Pitu ama/Situmorang, Toga Simatupang dll), dan Serikat Tolong Menolong (STM) sepertihalnya Serikat Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja.

Dalam serikat marga maupun Serikat Tolong Menolong (STM) ini biasanya yang berperan aktif adalah para orang tua sedangkan anak-anak tidak ikut berperan. Kenyataan tersebut menunjukkan rasa persaudaraan di antara sesama muda-mudi Simpang Desa Gajah sagatlah minim. Sebagai bukti pada saat pesta, muda-mudi tidak ada yang mau membantu para orang tua seperti mencuci piring, membungkus teh, membuat teh manis/kopi, memasang tenda dan lain-lain. Di samping itu, sesama muda-mudi Simpang Desa Gajah juga kurang mengenal satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, para orang tua dan tokoh masyarakat di Simpang Desa Gajah yang tersebar atau terbagi dalam tiga serikat (Jalan Siantar, Jalan Kisaran, dan Jalan Gereja) bersepakat membentuk wadah organisasi kepemudaan yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disingkat dengan PERMUSIMDES.

PERMUSIMDES dibentuk pada tahun 1971 sekitar bulan Juni – Juli. Pendirinya adalah seluruh naposo/muda-mudi Desa Gajah. Sedangkan, pembinanya adalah Jakob Tampubolon, Ferdinan Napitupulu, Sari Simangunsong, Tanda Marpaung dan Barnabas Pandiangan.


(49)

Pada saat PERMUSIMDES dibentuk setiap muda-mudi yang mendaftar sebagai anggota diwajibkan membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 5000/orang. Di samping itu, muda-mudi yang mendaftar sebagai anggota PERMUSIMDES harus sudah berusia 15 tahun ke atas dan belum menikah, dan bersedia membantu apabila ada pesta di Simpang Desa Gajah. Namun, perlu diperhatikan bahwa setiap anggota PERMUSIMDES turut serta membantu sebuah pesta, apabila anak dari keluarga yang melaksanakan pesta tersebut telah terdaftar sebagai anggota PERMUSIMDES. Jadi apabila sebuah keluarga mengadakan pesta akan tetapi anak dari keluarga yang menyelenggarakan pesta tersebut tidak terdaftar sebagai anggota PERMUSIMDES maka anggota PERMUSIMDES tidak akan turun tangan membantu pesta tersebut. Namun, apabila ada anggota PERMUSIMDES yang membantu pesta tersebut itu hanya karena ikatan kekerabatan atau karena tetangganya saja.

Setiap anggota PERMUSIMDES yang melaksanakan pesta pernikahan maka uang pendaftarannya sebagai anggota PERMUSIMDES dikembalikan dalam bentuk kado sebagai hadiah pernikahan. Pada saat pesta berlangsung anggota PERMUSIMDES akan membantu penyelenggaraan pesta tersebut seperti membagikan teh, membuat teh manis/kopi, dan mencuci piring. Pada saat sesi memberikan ulos/ mengulosi pengantin maka akan diberikan waktu kepada anggota PERMUSIMDES untuk menari/manortor sambil memyerahkan kado kepada kedua mempelai. Namun, sebelumnya ketua PERMUSIMDES akan menyampaikan sepatah dua kata kepada kedua mempelai.


(50)

Apabila ada anggota keluarga dari PERMUSIMDES yang mengalami kemalangan seperti sakit atau meninggal maka PERMUSIMDES juga akan memberikan bantuan sebesar uang pendaftaran. Namun, sekarang uang pendaftaran menjadi anggota PERMUSIMDES sebesar Rp. 35.000. Uang pendaftaran tersebut diserahkan kepada bendahara harian PERMUSIMDES.

Kinerja dari organisasi PERMUSIMDES tersebut membawa dampak yang baik bagi sesama muda-mudi maupun bagi para orang tua. Oleh karena itu, maka para tokoh masyarakat, orang tua, dan anggota PERMUSIMDES khususnya para pengurus harian mengadakan rapat. Dari rapat tersebut, disepakati untuk merayakan ulang tahun PERMUSIMDES.

Perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang batak khusus untuk muda-mudi yang disebut dengan

gondang naposo. Melalui kegiatan tersebut diharapkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan dikalangan muda-mudi Simpang Desa Gajah dan sekitarnya semakin erat. Hal ini terkait bahwasanya orang Batak Toba di Desa Gajah dan di Desa sekitarnya dulunya merupakan kelompok etnik minoritas. Melalui kegiatan

gondang naposo tersebut juga diharapkan muda-mudi Simpang Desa Gajah tetap mencintai budayanya dengan tetap melestarikan gondang batak yang bibawa dari

bona pasogit khususnya gondang naposo.

Para orang tua yang ada di Desa Gajah juga mengharapkan bahwa dengan dilaksanakannya kegiatan gondang naposo tersebut muda-mudi Simpang Desa Gajah tidak hanya menyaksikan hiburan-hiburan yang kurang bermanfaat. Misalnya saja keyboard yang memperlihatkan tarian-tarian erotis dan vulgar.


(51)

Melalui kegiatan gondang naposo ini secara khusus para orang tua Simpang Desa Gajah juga mengharapkan agar muda-mudi Simpang Desa Gajah terhindar dari perjudian, penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang, praktek seks bebas serta tindakan kriminal lainnya.

B. Mekanisme Pelaksanaan Gondang Naposo di Simpang Desa Gajah 1. Persiapan Gondang Naposo

Rapat Sesama Anggota PERMUSIMDES dan Rapat Anggota PERMUSIMDES dengan Orang Tua

Rapat muda-mudi Simpang Desa Gajah dalam rangka persiapan gondang naposo diadakan sebanyak empat kali. Rapat pertama adalah rapat sesama anggota PERMUSIMDES. Rapat tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, 5 Juni 2008 di rumah Rina Tambunan. Agenda rapat tersebut adalah kepastian pelaksanaan gondang naposo, tanggal berapa gondang naposo dilaksanakan, dan pemilihan lokasi gondang naposo. Dari rapat tersebut disepakati bahwa gondang naposo akan dilaksanakan. Gondang naposo akan dilaksanakan di tanah Bapak Roy Tambunan dan gondang naposo tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tepatnya tanggal 21 dan 22 Juni 2008. Gondang naposo tersebut rencananya akan dimulai pukul 15:00 Wib.

Rapat ke dua juga dilaksanakan di rumah Rina Tambunan. Rapat tersebut jatuh pada hari Minggu, 8 Juni 2008. Agenda rapat tersebut adalah pembentukan panitia perayaan ulang tahun PERMUSIMDES periode 2008/2009 dan perencanaan dana (berapa kas, perkiraan jumlah pengeluaran, perkiraan dana yang


(52)

kurang, membahas dana yang kurang di peroleh dari mana dan dengan cara apa). Dari rapat yang telah berlangsung disepakati bahwa susunan kepanitiaan terdiri dari Ketua: Saur S.Simangunsong, ST , Wakil Ketua: Donal Simanjuntak, Sekretaris: Nani Dy.Panjaitan, Bendahara: Dina Rianti Gultom. Sedangkan, seksi-seksinya terdiri dari: Seksi Bunga: Evi Dina Panjaitan, Seksi Peralatan: Manto Nainggolan, Seksi Konsumsi: Rina Tambunan, Velita Simbolon, dan Mei Sitinjak, Seksi Humas: Wasinton Sitorus, Seksi Keamanan: Rudi Silalahi dan Jogi Sitompul, Seksi Ulos: Mei Nova Siallagan, Melita Zebua, Hendra Panjaitan, Yuni Purba, Juli Simangunsong, Marro Siahaan, dan Eva Simangunsong, Seksi Undangan: Wasinton Sitorus, dan Seksi Surat Izin: Donal Simanjuntak.

Dari pelaksanaan rapat kedua diketahui bahwa jumlah kas PERMUSIMDES tahun 2007 sebesar Rp. 7.350.000 dan pengeluaran diperkirakan berkisar Rp. 8.800.000. Oleh karena itu, PERMUSIMDES kekurangan dana sebesar Rp 1.450.000. Maka dari itu diputuskan untuk menambah dana, PERMUSIMDES akan menjatuhkan 24 proposal ke berbagai instansi. Di samping itu, PERMUSIMDES juga akan meminta bantuan dana kepada para pedagang di pekan (pasar) serta dari para pengendara sepeda motor maupun mobil yang melintas di lokasi gondang.

Rencananya proposal akan dijatuhkan pada hari Senin 16 Juni 2008 dan dikumpulkan kembali pada hari Jumat 20 Juni 2008. Sedangkan, bantuan dana dari bunga dan sumbangan dari para pedagang di pekan dilaksanakan pada hari Sabtu 21 Juni 2008. Hal ini dikarenakan di Simpang Desa Gajah pekan


(53)

dilaksanakan pada hari Sabtu sehingga lokasi gondang banyak dilewati oleh para pedagang dan pembeli yang akan pergi ke pekan atau pasar.

Selanjutnya rapat ketiga dilaksanakan pada hari Selasa 10 Juni 2008 di rumah Rina Tambunan. Agenda rapatnya adalah rencana rapat dengan orang tua, penentuan waktu dan tempat rapat anggota PERMUSIMDES dengan orang tua, serta penyusunan tertib acara untuk rapat yang akan dilaksanakan dengan orang tua. Dari rapat tersebut diperoleh kesepakatan bahwa rapat anggota PERMUSIMDES dengan orang tua dilaksanakan pada hari Jumat 13 Juni 2008 di depan rumah Oppung Holong Sitorus. Rapat anggota PERMUSIMDES dengan para orang tua dilaksanakan tepatnya pukul 20:00 Wib dengan tertib acara sebagai berikut:

1. Kata sambutan dari ketua PERMUSIMDES pada periode 2006–2007 oleh Wasinton Sitorus

2. Doa pembukaan dari Oppung Eko Sitinjak 3. Kata sambutan dari orang tua

4. Pelantikan/ peresmian panitia PERMUSIMDES periode 2008–2009 oleh P.Surbakti, Spd selaku ketua umum PERMUSIMDES periode 2006–2007. 5. Pemilihan Pembina PERMUSIMDES dari orang tua

6. Pembacaan laporan keuangan tahun 2007 oleh bendahara yaitu Evi Dina Panjaitan

7. Pembacaan perkiraan dana untuk pelaksanaan gondang naposo tahun 2008 oleh bendahara yaitu Dina Rianti Gultom


(54)

9. Ucapan terima kasih dari orang tua 10.Doa penutup dari Oppung Preddi.

Sesuai dengan rencana sebelumya tepat pada hari Jumat 13 Juni 2008 di depan rumah Oppung Holong Sitorus dilaksanakan rapat anggota PERMUSIMDES dengan orang tua. Melalui rapat diperoleh kesimpulan bahwa pesta ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan pelaksanaan gondang naposo. Gondang Naposo akan dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu yakni tanggal 21 dan 22 Juni 2008 di tanah Bapak Roy Tambunan. Pada saat rapat berlangsung P.Surbakti,Spd meresmikan ketua PERMUSIMDES yakni Saur S.Simangunsong,ST, wakil ketua Donal Simanjuntak, sekretaris Nany Dy. Panjaitan dan bendahara Dina Rianti Gultom untuk periode 2008 – 2009. Disamping itu,melalui rapat juga telah ditetapkan pembina PERMUSIMDES dari orang tua, yaitu: Ketua umum PERMUSIMDES: P. Surbakti , Spd, Sekretaris umum: K.Sinambela, Bendahara umum: Sari Simangunsong, Penasehat: M. Simbolon, Koordinator: L. Simbolon.

 Persiapan Dari setiap Seksi 1. Seksi Undangan

Pada hari Kamis 12 Juni 2008 undangan keberbagai muda-mudi di daerah lain/ desa tetangga dan kepada serikat tolong-menolong, kepada instansi serta organisasi tententu telah dibuat. Tepat pada hari Sabtu 14 Juni 2008 undangan telah selesai dibuat dan langsung disebarkan. Undangan yang disebar berkisar 50


(55)

buah yang ditujukan kepada berbagai perkumpulan atau organisasi serta kepada instansi tertentu. (lihat lampiran 1).

Pada pada hari Senin 16 Juni 2008 proposal selesai disusun dan langsung disebar oleh Wasinton Sitorus sebagai seksi undangan dan proposal. Proposal tersebut berkisar 24 buah yang ditujukan kepada berbagai organisasi, partai politik, istansi, dan orang-orang tertentu (lihat lampiran 2).

2. Seksi Pegurus Surat Izin

Dalam rangka menyukseskan pesta ulang tahun PERMUSIMDES, maka panitia, orang tua dan pembina sepakat bahwa surat izin untuk mengadakan hiburan atau gondang naposo selama dua hari dua malam harus diurus ke Polres Asahan. Tujuan dari pengurusan surat izin pengadaan hiburan tersebut adalah agar apabila terjadi keributan pihak Polres yang akan turun tangan menaganinya. Seksi yang bertanggungjawab mengurus surat izin pelaksanaan gondang naposo

tersebut adalah Donal Simanjuntak. Tepat pada hari Jumat 13 Juni 2008 surat izin sudah selesai diurus ke Kisaran.

3. Seksi Ulos

Pengutipan ulos tersebut dilaksanakan pada hari Rabu 18 Juni 2008 oleh Melita Zebua, Yuni Purba, Hendra Panjaitan, Juli Simangunsong, Eva Simangunsong, Marro Siahaan dan Mei Nova Siallagan. Pengutipan ulos dari setiap keluarga atau rumah dimulai dari Serikat Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja. Ulos yang dikutip diberi kode atau nomor agar


(56)

tidak tertukar dengan ulos yang lain. Para orang tua tidak keberatan bila ulosnya dipinjam untuk digunakan pada saat gondang naposo berlangsung. Hal ini dikarenakan, apabila ada ulos yang hilang panitia bersedia mengganti ulos tersebut. Biasanya para orang tua memberi ulosnya yang sudah usang atau jelek. Bahkan ada juga orang tua yang memberi ulos yang telah dipinjam oleh PERMUSIMDES pada tahun lalu bahkan ada yang sudah dua atau tiga tahun yang lalu. Hal ini terbukti, dari ulos yang diberikan oleh para orang tua telah ada kode satu, dua bahkan ada tiga kode.

Para orang tua dengan senang hati meminjamkan ulosnya karena setelah selesai gondang biasanya ulos tersebut dijemur dahulu sebelum dikembalikan kepada pemiliknya. Di samping itu, para orang tua juga dengan senang hati membantu anggota PERMUSIMDES karena setiap ada pesta anggota PERMUSIMDES bersedia membantu pelaksanaan pesta tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa orang tua yang dengan senang hati memberikan dua atau tiga ulosnya untuk dipinjam oleh PERMUSIMDES.

Jumlah ulos yang terkumpul sekitar 45 buah. Jumlah ulos tersebut menurut perkiraan sudah cukup. Hal ini dikarenakan semua anggota PERMUSIMDES memakai ulosnya sendiri yang dibawa dari rumah masing-masing di samping ulos yang telah diberikan kepada seksi ulos. Data keluarga atau orang tua yang telah meminjamkan ulosnya kepada PERMUSIMDES dapat dilihat pada lampiran 3.


(57)

4. Seksi Humas

Wasinton sitorus selaku seksi humas tidak perlu repot mengurus atau meminta izin kepada Bapak Roy Tambunan, Oppung Engel Sitompul, Oppung Preddi Marpaung, Kardo Tambunan agar gondang naposo dilaksanakan di depan rumah mereka. Hal ini dikarenakan, pada saat rapat dengan orang tua mereka juga ikut serta dan mereka setuju tanahnya dipakai untuk lokasi gondang naposo. Namun, Oppung Engel Sitompul keberatan bila mesin genset ditaruh di samping dingding rumahnya. Alasannya karena, getaran mesin genset tersebut telah membuat dingding kamar mandinya retak pada saat pelaksanaan gondang naposo

tahun lalu. Oleh karena itu, untuk tahun ini mesin genset rencananya ditaruh di tanah Gereja Metodhis Indonesia. Setelah dikonfirmasikan kepada Pendeta Samosir selaku pendeta di Gereja Methodis Indonesia, beliau tidak keberatan.

5. Seksi Bunga

Bunga dibuat oleh Evi Dina Panjaitan selaku seksi bunga dan dibantu oleh anggota PERMUSIMDES lainnya. Bunga dibuat pada hari Rabu 18 Juni 2008 dan bunga yang dibuat kira-kira 2000 buah. Pada hari Sabtu 21 Juni 2008 Evi Panjaitan dibantu oleh anggota PERMUSIMDES lainnya meminta bantuan dana dari pengendara sepeda motor maupun pengendara mobil. Sebagai gantinya anggota PERMUSIMDES memberikan bunga kepada orang-orang yang telah menyumbang.

Uang yang disumbangkan tidak dipatok melainkan terserah dari kerelaan hari penyumbang. Anggota PERMUSIMDES meminta sumbangan dengan cara


(58)

menghambat jalan pengendara sepeda motor maupun pengendara mobil dengan tiga buah ulos yang telah disambung menjadi satu dan kedua ujung ulos dipegang oleh dua orang anggota PERMUSIMDES. Sebagian anggota PERMUSIMDES ada yang bertugas meminta sumbangannya dan ada yang bertugas memegang kaleng tempat sumbagan sambil menempelkan bunga ke sepeda motor atau ke mobil penyumbang.

Para pengendara sepeda motor maupun pengendara mobil tidak keberatan dan dengan kerelaan hati memberikan sumbangan. Hal ini dikarenakan, aksi meminta sumbangan tersebut dilaksanakan langsung di depan lokasi gondang naposo yang telah dipasangi pentas dan teratak. Oleh karena itu, para penyumbang tidak merasa telah di tipu.

Acara meminta sumbangan untuk dana gondang naposo sudah biasa ditemukan oleh para penyumbang karena setiap tahunnya PERMUSIMDES selalu meminta sumbangan dengan cara seperti ini juga. Kegiatan meminta sumbangan seperti ini juga tidak hanya ditemukan di Simpang Desa Gajah. Di desa-desa lain juga dilaksanakan gondang naposo jadi mereka juga meminta sumbangan seperti yang dilakukan oleh PERMUSIMDES.

Selain meminta sumbangan dari para pengendara sepeda motor dan pengendara mobil, PERMUSIMDES juga meminta sumbangan dari para pedagang di pekan. Kegiatan meminta sumbangan dilaksanakan mulai pukul 09:00 Wib sampai 12:00 Wib saat pekan dimulai dan pada saat penutupan pekan. Hasil sumbangan yang diperoleh berkisar Rp. 290.000. Sedangkan, kegiatan meminta sumbangan pada hari Minggu hasilnya hanya Rp.100.000. Hal ini


(59)

dikarenakan kegiatan meminta sumbangan tersebut dimulai pukul 15:00 Wib sampai 17:00 Wib saja dan pada saat itu hujan turun.

6. Seksi Peralatan

Pentas dan teratak dipasang pada hari Jumat 20 Juni 2008. Pemasangan pentas dan teratak dilakukan oleh Manto Nainggolan dibantu oleh anggota PERMUSIMDES lainnya khususnya laki-laki. Pentas yang dipasang sebanyak 1 buah dan teratak sebanyak 6 buah. Setelah pentas dan teratak dipasang lokasi

gondang disapu dengan bersih.

7. Seksi Konsumsi

Konsumsi atau makanan serta minuman pemain musik disediakan oleh mama Engel Sitompul dengan dana Rp.400.000. Jumlah pemain musik ditambah biduan dan teknisinya yaitu 9 orang. Sesuai dengan kesepakatan dengan pemain musiknya, mereka makan hanya tiga kali yaitu malam Minggu, Minggu siang dan malam Senin. Setelah makan pemain musik istirahat kira-kira 30 menit dan diberi rokok. Pemain musik juga harus diberi minum Aqua, Bir dicampur M1 50 agar pemain musiknya tetap segar dan tahan bermain musik sampai pagi kira-kira jam 04:00 Wib.


(60)

8. Seksi Keamanan

Seksi keamanan tidak ikut serta menari atau manortor dilokasi gondang naposo karena mereka harus tetap siap sedia memantau pelaksanaan gondang naposo. Pemantauan yang dilakukan di lokasi parkir para undangan yang datang dengan menggunakan sepeda motor maupun yang datang dengan mobil borongan. Tujuan dari pemantauan tersebut agar tidak terjadi keributan pada saat gondang naposo berlangsung.

Seksi keamanan bertugas memantau pelaksanaan gondang naposo dari luar lokasi gondang. Hal ini dikarenakan, P. Surbakti, Spd selaku ketua umum PERMUSIMDES bertugas memantau dan mengontrol jalannya pesta gondang naposo tepat dilokasi gondang naposo. Akibatnya, semua anggota PERMUSIMDES tidak bisa keluar masuk dari lokasi gondang dengan sembarangan karena harus mendapat izin dulu dari P. Surbakti, Spd.

2. Pembukaan Gondang Naposo

Rombongan pemain musik berasal dari Tiga Dolok yang bernama Musik Udut Manik Raja. Alat-alat musik yang digunakan tidak lagi murni menggunakan seperangkat alat musik gondang sabagunan seperti di daerah asal (bona pasogit).

Hal ini dikarenakan, penggunaan seperangkat alat musik gondang sabagunan

memiliki hubungan yang erat dengan kepercayaan tradisional orang Batak Toba. Dalam agama tradisional Batak Toba, gondang sabagunan di tempatkan sebagai media komunikasi antar manusia dan Tuhan Pencipta/Debata Mulajadi Na Bolon


(61)

Setelah masuknya ajaran agama kristen yang di bawa oleh Jerman Zending ke tanah batak penggunaan gondang sabagunan akhirnya dilarang (http://kairo.nainggolan.net/?p=38). Gondang sabangunan diganti dengan menggunakan alat musik Brass band atau ensambel musik tiup sampai sekarang. Demikian halnya alat musik yang digunakan dalam pelaksanaan gondang naposo

di Desa Gajah tidak lagi murni menggunakan alat musik gondang sabagunan.

Alat musik gondang sabagunan yang digunakan hanya taganing (seperangkat gendang yang terdiri dari 5 buah gendang) dan hasapi yang dikombinasikan dengan ensambel musik tiup dan alat musik modern yakni 1 buah seruling, 3 buah drum, dan 1 buah keyboard (Hutajulu, 2006:7).

Rombongan pemain musik tiba dilokasi gondang pukul 15:10 Wib dan semua alat-alat musik langsung dipasang. Pemasangan semua alat-alat musik serta perlengkapan lainnya memakan waktu satu jam. Akhirnya tepat pukul 16:15 Wib K.Sinambela selaku sekretaris umum merangkap seksi acara mulai memanggil para orang tua atau natua-tua ni huta dari Serikat Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja.

Para orang tua yang yang berkumpul dilokasi gondang hanya sekitar 20 orang. Hal ini dikarenakan, keterlambatan rombongan pemain musik tiba dilokasi

gondang sehingga sebahagian orang tua sudah pergi ke ladang untuk mamuro9

9

Mamuro adalah kegiatan menjaga tanaman padi agar tidak dimakan burung. Kegiatan

.

Setibanya di lokasi gondang seksi ulos langsung memberikan ulos kepada para orang tua. Akhirnya tepat pukul 16:30 Wib acara pembukaan gondang naposo


(62)

muda-mudi Simpang Desa Gajah belum bisa “pahunduli” maupun “manggalang pargonsi” artinya muda-mudi belum bisa menyambut musisi ke tempat yang telah disediakan untuk musisi. Menurut cara tradisi Batak Toba pargonsi hanya dapat

“masisisean” (saling menyapa atau saling bertanya) dengan pengetua dari suhut

(pelaksana gondang naposo) yakni Opuung Helen Gultom. Hal ini dikarenkan para orang tualah yang seniorlah yang memahami “ruhut-ruhut ni adat” atau sendi-sendi adat.

Pargonsi yang diundang itu lebih dahulu “masisisean” dengan “hasuhuton” apa gerangan mereka diundang? Suhut atau Oppung Helen Gultom menjawab: bahwa pada saat ini para orang tua berniat memberikan kesempatan bergembira bagi anak-anak mereka. Harapan orang tua, muda-mudi semakin dewasa mendapatkan jodoh bagi yang belum ada jodoh, manogu na di lambung, mangilap di nadao10

Pargonsi memainkan gondang sipitulili atau sipitu gondang (tujuh gendang) tanpa ada yang manortor/menari. Tujuan dari gondang sipitu adalah merupakan memohon lindungan dari Tuhan, memohon izin memainkan gondang

artinya merapat ke yang dekat memanggil kepada yang jauh. Kiranya generasi muda ini menjadi kebanggaan bagi orang tua, “panunduti” di

harajaon “panorusi” di “hagabeon” artinya generasi pemimpin dan pengembangan (populasi) klan. Manumpak Mulajadi dilehon hahipason dohot hapantason artinya diberi kesehatan dan kebijaksanaan oleh Tuhan. Inilah acara

mamuhai gondang atau membuka gondang.

10

Manogu na di lambung, mangilap di nadao artinya merapat ke yang dekat memanggil kepada yang jauh. Melalui gondang naposo diharapkan persaudaraan kepada orang-orang yang terdekat semakin erat dan persaudaraan kepada orang-orang yang berasal dari desa tetangga dan


(63)

dan memohon lingdungan dari Tuhan. Setelah itu Oppung Helen Gultom membuat tua ni gondang dengan menyampaikan pidato:

“Ale amang pargonsi11 nami,

Dison ro do hami natua-tua ni huta akka ianakhon nami on laho mambuat tua ni gondang asa resmi gondang on di bukka. Jadi bahen amang majo gondang alu-alu

Asa i alu-aluhon tu Amatta Debata”.

Artinya:

“Wahai pemain musik/musisi kami,

Di sini kami datang orang tua anak kami ini,

Mau membuat gondang pembuka agar gondang ini resmi dibuka,

Jadi pemain musik kami mainkanlah dulu gondangalu-alu itu biar sampai kepada Tuhan.

Musisi atau pemain musik memainkan gondang yang yang sesuai dengan

gondang Alu-alu tu Amatta Debata seperti yang diminta. Gondang alu-alu tu Amatta Debata dimainkan agar pargonsi membuat pemberitahuan secara musikal kepada Tuhan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada khalayak ramai. Selanjutnya Oppung Helen Gultom meminta pargonsi memainkan gondang mula-mula.

“Ale amang pargonsi nami,

Nungga dialu-aluhon amang tu Amatta Debata, Saonari bahen amang majo gondang mula-mula i,


(64)

Ai marmula do sude na adong di tano on”.

Artinya:

“Wahai musisi kami,

Sudah musisi sampaikan kepada Tuhan,

Sekarang musisi mainkanlah dulu gondang mula-mula itu, Karena semua yang ada di tanah/bumi ini memiliki asal mula”.

Para orang tua dan muda-mudi Simpang Desa Gajah manortor/menari sesuai dengan irama musik. Menurut sejarahnya tortor berasal dari suara langkah kaki, karena bentuk rumah Batak Toba yang berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Oleh karena itu, akan menimbulkan suara “tur-tur” jika ada orang yang berjalan di dalam rumah. Langkah kaki tersebut kemudian diiringi dengan suara

gondang yang kemudian menjadi manortor dan dikenal dengan kara tor-tor

(Hutasoit dalam Malau, 2007:2).

Memainkan tortor mula-mula, waktu yang dibutuhkan untuk itu tidaklah terlalu lama. Alasan penggunaan waktu sangat singkat adalah hanya untuk menyampaikan rasa hormat, sembah dan memberikan kabar kepada Tuhan bahwasanya muda-mudi Simpang Desa Gajah hendak mengadakan suatu acara pesta yakni gondang naposo.

Gerakan tortor mula-mula bagi kaum laki-laki berbeda dengan gerakan untuk kaum perempuan. Gerakan tortor mula-mula kaum laki-laki yakni dengan mengangkat kedua belah telapak tangan, dimana telapak tangan dirapatkan dan diletakkan di kening kepala dengan jari-jari tangan mengarah ke atas. Sedangkan,


(1)

3.Gambar orang tua PERMUSIMDES yang manortor pada saat pembukaan

gondang naposo


(2)

5.Gambar anggota PERMUSIMDES yang meminta-minta silua/sumbangan dari undangan yang sedang namortor


(3)

7. Gambar rombongan undangan dari Muda-mudi PARNADES II yang sedang meminta gondang


(4)

9. Gambar anak sekolah minggu yang sedang manortor saat gondang liat-liat

10. Gambar Oppung Helen Gultom dan orang tua PERMUSIMDES sedang meminta gondang kepada pargonsi/pemain musik


(5)

11. Gambar orang tua PERMUSIMDES yang sedang manortor saat gondang liat

1 12. Gambar anggota PERMUSIMDES yang sedang meminta-minta silua dari para orang tua


(6)

13.Gambar para orang tua yang manortor bersama-sama dengan anggota PERMUSIMDES sambil berpegangan tangan

14.Gambar anggota PERMUSIMDES yang sedang marsomba/menyembah para orang tua sebagai wujud rasa hormat.