Penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam kuhp terhadap perkara tindak pidana pencurian: analisis peraturan mahkamah agung nomor 02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP

(1)

PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA

PENCURIAN

(Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

MUHAMMAD SOMA KARYA MADARI NIM : 1110048000050

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

MUHAMMAD SOMA KARYA MADARI NIM : 1110048000050

Pembimbing I Pembimbing II

Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum. Ismail Hasani, SH, MH.

NIP. 196111011993031002 NIP. 197712172007101002

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya

atau hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Desember 2014


(5)

i ABSTRAK

MUHAMMAD SOMA KARYA MADARI. NIM 1110048000050. Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP Terhadap Perkara Tindak Pidana Pencurian (Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2014 M. V+ 80 halaman + 6 halaman daftar pustaka.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP menurut Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012, Implikasi yang ditimbulkan dari berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian.

Tipe penelitian adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang mempergunakan studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), serta Nota Kesepakatan Bersama antara Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI dan POLRI Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Metode penelitian ini menggunakan bahan hukum atau literatur hukum, bahan hukum primer, dan bahan sekunder sebagai rujukan utama. Kemudian dalam analisisnya menggunakan metode deduktif yaitu menarik kesimpulan dari masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual

approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian (KUHP), kemudian dikaitkan dengan PERMA No.02 Tahun 2012. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan untuk mengkaji dan memahami hubungan hukum antara tindak pidana pencurian dan perkara tindak pidana ringan. Hal ini dilakukan agar terjadi kesamaan pandangan dalam menafsirkan konsep-konsep tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah berlakunya PERMA No.02 Tahun 2012 mengubah aturan yang mengatur tentang jumlah denda. Terhadap setiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat l dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu kali). Dan dalam hal penanganan perkara

tindak pidana pencurian yang bersifat ringan (pencurian dibawah

Rp.2.500.000.00,-) berlaku pemeriksaan acara cepat terhadap pelakunya.

Kata Kunci : Tindak Pidana Ringan, Pencurian, dan PERMA.

Pembimbing : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum

Ismail Hasani, SH, MH


(6)

ii Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah

dan nikmat dari-Nyalah skripsi berjudul “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP Terhadap Perkara Tindak Pidana Pencurian (Analisis Yuridis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)” dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai keterbatasan dan kendala yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan sebagai motivasi rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan yang Penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ingin penulis sampaikan setulus hati ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. J.M. Muslimin, MA., Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH., Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Thamrin, SH., M.Hum., mantan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sudah memberikan arahan berupa saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

3. Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum, selaku dosen Pembimbing I dan Ismail


(7)

iii

menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan arahan dan masukan serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.

4. Kedua Orang tua yang sangat dicintai Penulis, Bapak Agus Wedi, Ba.C

dan Hj. Tri Puji Suryani, yang selalu mendoakan, mencintai penulis, memberikan dukungan baik materil maupun moril, dan menjadi motivasi penulis sekaligus inspirasi dalam kehidupan penulis. Tak lupa pula kakanda & adinda tercinta M. Mahdi Paramarta, S,Kom dan Natasyalicha

Madari yang selalu men-support dan menjadi semangat bagi penulis untuk

cepat menyelesaikan masa studinya di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Sahabat seperjuangan yang tak henti-hentinya mengingatkan dan

memotivasi dalam kebaikan. Terkhusus saudara/i-ku Ainul Arifatul Ulum, Satyawan Pari Kresno, Rizky Hariyo Wibowo, Andi Komara, Shapat R Lubistya, Zakaria, Eko Yulianto, Hilman Purnama, Zikri Muliansyah dan Hopsah yang telah mendukung, saling mendoakan, mengispirasi dalam menyusun skripsi ini serta memberikan semangat persahabatan dan persaudaraan yang menjadi kenangan tersendiri bagi penulis.

6. Keluarga besar Ilmu Hukum khususnya AMPUH (Angkatan Muda Peduli

Hukum). Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bang Irfan Kamil Siregar, SH, Bang Achmad Farobi, SH, Bang Benu Pangestu, SH, Bang Rifky Gunawan, M. Rizky Firdaus, M. Hisyam Rafsanjani, Reza Haryo Wibowo, M. Azhar, Dwi Pujiantok, Nanda Narenda Putra, Rizky Ramandhika, Supandri, Lidia. Kawan-kawan KKN MERDIKA 2013, MCC (Moot Court Community) dan BLC (Bussines Law Community). 7. Kekasih tersayang “Nurhidayah” yang tidak henti-hentinya mendukung,

mendoakan, serta membantu penulis dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis

sebutkan namanya satu-persatu, semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin).


(8)

iv

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Jakarta, 10 Desember 2014


(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ...i

KATA PENGANTAR ... ...ii

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………...7

D. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu...9

E. Metode Penelitian………....11

F. Sistematika Penulisan...14

BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DAN PENCURIAN A. Tindak Pidana Ringan 1. Tindak pidana………..………...16

2. Sanksi pidana……….19

3. Tujuan pemidanaan………20

4. Klasifikasi tindak pidana………23


(10)

vi

unsur tindak pidana pencurian menurut KUHP…..29

3. Tindak pidana pencurian ringan……….32

BAB III KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PERADILAN PIDANA

A. Proses Peradilan Pidana Dalam Tahap Penyidikan, Penuntutan,

Dan Persidangan

1. Penyelidikan dan penyidikan……….33

2. Penuntutan………..35

3. Pemeriksaan persidangan………...38

B. Tahap-Tahap Upaya Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana

1. Pengertian upaya hukum………...39

2. Tahap upaya hukum biasa: Banding dan Kasasi…………42

3. Tahap upaya hukum luar biasa: Peninjauan Kembali

(PK)...51

C. Lembaga Mahkamah Agung

1. Profil………...53

2. Struktur peradilan dibawah Mahkamah Agung………….54


(11)

vii

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP

A. Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda

Dalam KUHP Menurut PERMA No.2 Tahun 2012 .………...60

B. Implikasi Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012

Terhadap Penanganan Perkara Tindak Pidana Pencurian...67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……..………78

B. Saran..………...………80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak

dipertanggungjawabkan.1

Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat uandang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu menurut Aristoteles, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga

negaranya.2

Kaidah yang terkandung dalam ajaran Aristoteles tersebut adalah menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam kekuasaan

1

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, h.46.

2

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1988), h.154.


(13)

2

negara. Secara yuridis Indonesia memang benar menerapkan hukum sebagai supremasi negara sebagaimana termaktub dalam UUD Pasal 1 ayat (3) tadi. Hal ini berimplikasi pada setiap perbuatan warga negara Indonesia harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, termasuk didalamnya adalah mengenai tindak pidana ringan.

Kasus tindak pidana ringan (Tipiring) adalah kasus yang tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia baik dari kalangan menengah kebawah maupun dari kalangan menengah keatas. Maraknya kasus hukum tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah tekanan ekonomi dan kemiskinan.

Dewasa ini masalah hukum pidana banyak dibicarakan dan menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada usaha untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional. Usaha tersebut adalah bertujuan untuk mengatasi pelbagai kelemahan dan kekurangan yang ada dalam KUHP yang berlaku sekarang, yang merupakan peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai pada masa orde baru di zaman kemerdekaan ini, yang ternyata banyak pengaturan di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat pancasila dan UUD 1945 maupun dengan

situasi dan kondisi masyarakat saat ini.3

Harus diakui bahwa selama ini KUHP yang dipakai sebagai pedoman dan parameter untuk menentukan kriteria pencurian ringan sudah

3

Suparni Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.1.


(14)

berusia lebih dari 60 tahun. Ketika itu, batas tindak pidana pencurian ringan ialah 26 gulden. Setelah itu pada 1960, sistem hukum Indonesia mengadaptasi batas pencurian ringan menjadi RP.250,- (dua ratus lima puluh rupiah), dengan perbandingan pada waktu itu harga minyak US$1,8 per barel dan harga emas dunia US$35 per ons. Jika dibandingkan dengan situasi saat ini, harga minyak dunia bekisar US$100 per barel dan harga

emas menembus hingga US$1.700 per ons.4

Tidak disesuaikannya nilai mata uang dalam KUHP menyebabkan kasus-kasus seperti yang terjadi pada nenek Minah, yang diperlakukan seperti pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) yang diancam dengan ancaman hukuman 5 Tahun penjara. Selain itu hanya karena kasus pencurian 2 buah kakao, pencurian sendal jepit, pencurian 6 buah piring, atau kasus pencurian 2 buah semangka, yang nilainya tentu sudah tidak lagi dibawah Rp 250,- para tersangka dan/atau terdakwanya dapat dikenakan penahanan oleh penyidik maupun penuntut umum.

Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil yang kini diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima)

4

Jamal Wiwoho, Penegakan Hukum atas Pencurian Ringan.

http://jamalwiwoho.com/category/opini, Media Indonesia e-paper h.26, diakses tanggal 13 Januari 2013.


(15)

4

tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP oleh karena tidak

sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.5

Jika kita bandingkan dengan para pelaku tindak pidana berat misalnya koruptor, tentu hal ini menimbulkan reaksi yang membuat geram masyarakat.

Dalam praktik, hakim dalam mengadili suatu perkara sering dihadapkan pada suatu ketentuan bahwa kasus tersebut belum diatur dalam suatu peraturan, yang menyebabkan terhambatnya upaya mewujudkan penegakan hukum. Hal ini karena peraturan terdahulu tidak lengkap dan sudah ketinggalan dengan dinamika perubahan zaman. Mau tidak mau Hakim harus mampu mengatasi problem tersebut dengan kewajiban mencari, menggali fakta, serta menemukan hukum sesuai nilai-nilai dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.6

Banyaknya kasus kecil sampai ke pengadilan karena Pasal dalam KUHP yang menyebut pencurian ringan maksimal kerugian Rp 250,-. Dengan kondisi sosial ekonomi sekarang, maka tidak ada lagi pencurian yang dikategorikan ringan. Nilai kerugian maksimal inilah yang diubah oleh Mahkamah Agung dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

5

Penjelasan Umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, h.4.

6

Binsar Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.59.


(16)

Lahirnya produk hukum ini diharapkan mampu memberikan kemudahan kepada tersangka atau terdakwa yang terlibat dalam perkara Tipiring agar tidak perlu menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus pencurian enam buah piring oleh nenek Rasminah pada tahun 2011. PERMA ini juga diharapkan dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot tindak pidananya.

Hakim mempunyai kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, dengan mencakupkan

pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan

mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum.7

Lahirnya PERMA ini juga menuai kontra dari berbagai pihak khususnya para praktisi hukum. Dapat ditafsirkan bahwa dalam ketentuan PERMA ini pencurian di bawah Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) tidak perlu ditahan apabila terhadap terdakwa telah dikenakan penahanan sebelumnya oleh pihak kepolosian, ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

Seandainya kita menarik penafsiran itu diantaranya dapat memicu orang-orang untuk melakukan pencurian ringan beramai-ramai mengambil milik orang lain yang nilainya di bawah Rp.2.500.000,- (dua juta lima

7


(17)

6

ratus ribu rupiah). Bagi remaja yang rentan berperilaku menyimpang akan dengan mudah melakukan Tipiring. PERMA ini dikhawatirkan dijadikan alat untuk berlindung bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, serta menjadi alat tawar-menawar penegakan hukum dengan mengatur batas nominal nilai yang dicuri sehingga terbebas dari jeratan hukum.

PERMA ini menimbulkan kesan terburu-buru, seharusnya dilakukan pembahasan dengan pakar-pakar dan praktisi hukum sehingga ditemukan cara penanggulangan yang tepat dan efektif untuk menangani kasus-kasus Tipiring seperti pencurian. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul : “PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN

DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN (Analisis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP)”

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah

Agar pembahasan tidak terlalu meluas dan fokus, Penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas hanya pada implikasi diterapkannya Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 dalam penanganan perkara tindak pidana pencurian.


(18)

2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah

denda dalam KUHP menurut PERMA No.02 Tahun 2012?

b. Bagaimana Implikasi Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun

2012 terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang penegakan hukum tindak pidana pencurian setelah Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 diterapkan. Karena hal ini sangat berkaitan dengan maraknya tindak pidana dengan objek perkara yang relatif sederhana namun diancam dengan pidana cukup berat, sehingga dinilai tidak proporsional dan melukai rasa keadilan masyarakat. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan

jumlah denda dalam KUHP menurut Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012.

b. Untuk mengetahui Implikasi dari Peraturan Mahkamah Agung

No.02 Tahun 2012 terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian.


(19)

8

2. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang Ilmu Hukum khususnya Ilmu Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Hukum Pidana.

b. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa mengenai aturan main dalam penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012, mengingat skripsi tentang Peraturan Mahkamah Agung belum banyak dilakukan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gagasan kepada pemerintah mengenai bagaimana implikasi terhadap produk hukum yang dibentuknya.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sub bab tinjauan atau review kajian terdahulu berfungsi untuk

mengetahui hal-hal apa yang telah diteliti dan yang belum diteliti sehingga tidak terjadi duplikasi dalam penelitian (Berdasarkan pedoman penulisan skripsi, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012). Penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan


(20)

dengan penelitian ini di beberapa perpustakaan yang Penulis temukan, penelitian tersebut yaitu :

1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2012, yang disusun

oleh Femi Angraini, dengan judul skripsi “Perkara Tindak Pidana

Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah

Denda Dalam KUHP Serta Perbandingannya Dengan Perancis”.

Skripsi ini menelaah tentang bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian perkara tindak pidana ringan di perancis serta prosedur peyelesaian perkara tindak pidana ringan menurut PERMA No.02 Tahun 2012 di indonesia. Sedangkan pada skripsi ini membahas mengenai implikasi Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 terhadap penanganan tindak pidana pencurian di Indonesia. Jadi menelaah lebih jauh bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana pencurian setelah berlakunya PERMA.

2. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya 2013,

yang disusun oleh Benny Nugroho, dengan judul skripsi “Sanksi

Pidana Bagi Pelaku Pencurian Ringan Menurut Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012”. Penulis dalam

skripsinya secara garis besar membahas tentang parameter tindak pidana pencurian ringan. Sedangkan pada skripsi ini membahas mengenai bagaimana penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP menurut Peraturan Mahkamah Agung


(21)

10

No.02 tahun 2012. Menelaah bagaimana aturan main penerapan PERMA tersebut terhadap penyesuaian jumlah denda dalam tindak pidana ringan.

3. Buku ilmiah karangan Suparni Niniek yang berjudul “Eksistensi

Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan”, diterbitkan oleh

Sinar Grafika di Jakarta pada tahun 2007. Penulis dalam bukunya membahas tentang prospek penerapan pidana denda dalam KUHP, RUU KUHP, dan peraturan-peraturan lain yang memuat tentang pidana denda di luar KUHP. Sedangkan pada skripsi ini akan membahas tentang implikasi pidana denda setelah berlakunya PERMA N0.02 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.

E. Metode Penelitian 1. Tipe penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian dengan menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berkaitan dan berkenaan dengan judul skripsi ini, serta dengan menggunakan literatur-literatur, buku-buku, referensi yang sifatnya ilmiah dan saling terkait serta berkesinambungan satu sama lain dalam penulisan skripsi ini.


(22)

Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

manusia yang dianggap pantas.8

2. Pendekatan masalah

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan ini, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu :9 pendekatan

perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis,

pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Dalam penelitian ini pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah aturan hukum

yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.10

Pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan

menelaah perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian (KUHP) lalu dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung No.02 Tahun 2012 yang menjadi pokok permasalahan dalam

8

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet.1.), h.118.

9

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010, Cet.4.), h.93.

10

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008, Cet.4.), h.302.


(23)

12

penelitian ini. Selanjutnya yaitu pendekatan konseptual (conseptual

approach). Pendekatan ini dilakukan untuk menelaah berbagai konsep yang ada mengenai pencurian dan perkara tindak pidana ringan. Pendekatan ini dilakukan agar terjadi kesamaan pandangan dalam menafsirkan konsep-konsep tersebut.

3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat

otoritatif .11 Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh

pihak yang berwenang. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, PERMA No.02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

11

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008, Cet.4.), h.141.


(24)

b. Bahan hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.12 Terdiri dari

buku-buku ilmiah, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan pencurian dan berita kasus pencurian dari sumber yang dapat dipercaya kebenarannya.

4. Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan

hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang

menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret.

Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

12

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet.1.), h.119.


(25)

14

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman dan jelas diketahui alur logis dan struktur berpikir dalam penelitian ini akan diberikan gambaran umum secara sistematis dari keseluruhan skripsi. Skripsi ini terdiri dari lima bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I : Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian hukum ini. Selain itu, terdiri pula dari tujuan serta manfaat diadakannya penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini akan diuraikan konsep mengenai tindak pidana ringan dan tindak pidana pencurian lalu dilanjutkan dengan definisi serta unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam KUHP.

Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara jelas mengenai kedudukan Mahkamah Agung dalam peradilan pidana. Lalu materi ditekankan kepada proses peradilan dan upaya hukum yang dapat dilakukan mulai dari tingkat banding sampai dengan peninjauan kembali. Setelah itu materi lebih mengerucut lagi membahas tentang lembaga Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya.


(26)

Bab IV : Bab ini menjelaskan tentang bagaimana penyesuaian batasan tindak pidanan ringan dan jumlah denda dalam KUHP menurut PERMA No.02 Tahun 2012. Lalu dilanjutkan dengan bagaimana implikasi atas diterapkanya PERMA terhadap penanganan perkara tindak pidana pencurian.

BAB V : Merupakan penutup yang akan menguraikan tentang

kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.


(27)

16 BAB II

TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DAN PENCURIAN

A. Tindak Pidana Ringan 1. Tindak pidana

Perkembangan hukum pidana mulai dari masyarakat sederhana sampai pada masyarakat modern sekarang ini tidaklah mengubah hakikat hukum pidana, melainkan hanya makin menegaskan sifat dan luas bidang hukum pidana. Oleh karenanya, baik untuk masyarakat dahulu kala maupun masyarakat sekarang, hukum pidana dapat didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidana-pidana yang seharusnya dikenakan. Definisi ini mencakup empat pokok yang terkait erat satu

dengan yang lain, yaitu peraturan, perbuatan, pelaku, dan pidana.1

Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana

bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut.2

Istilah ini (tindak pidana), tumbuhnya dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata

1

Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.1.

2


(28)

“tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah-laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,

maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.3

Bahwa Moeljatno, tidak menggunakan istilah tindak pidana

rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana”. Kata

perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu

suatu pengertian yang menunjuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu :4

a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang

dilarang.

b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris

dikenal dengan istilah “Criminal act”. Dalam hal ini meskipun

orang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum

berarti bahwa ia mesti dipidana, ia harus

mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan

3

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h.55.

4


(29)

18

untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “Criminal responsibility”.

Bahwa orang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Akan dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana.

Dalam hal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan kata lain: orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum).5

5


(30)

2. Sanksi pidana

Sanksi (Sanctie) adalah akibat hukum bagi pelanggar ketentuan

undang-undang. Ada sanksi adsministratif, ada sanksi perdata dan ada

sanksi pidana. Sanksi pidana (Strafsanctie) merupakan akibat hukum

terhadap pelanggaran ketentuan pidana yang berupa pidana dan/atau

tindakan.6

Pengertian sanksi dapat penulis artikan sama dengan pidana atau hukuman yang pengertiannya adalah suatu reaksi atas delik yang berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat

delik.7 Jadi dalam sistem hukum kita yang menganut asas praduga tak

bersalah (Presumption of innocent), pidana sebagai reaksi atas delik yang

dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan

atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan.8

Dalam Pasal 10 KUHP termaktub jenis-jenis sanksi pidana itu sendiri yaitu beruapa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok

meliputi :9

a. pidana mati;

b. pidana penjara;

c. pidana kurungan; dan

d. pidana denda.

6

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.138.

7

Roelan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1974), h.30.

8

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.9.

9


(31)

20

Sedangkan pidana tambahan meliputi Pencabutan beberapa hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman putusan hakim. Namun menurut naskah rancangan KUHP baru (Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1982/1983) dirumuskan pembagian jenis pidana yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana mati. Pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tertutup, pidana pengawasan, pidana denda, pidana kerja sosial. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat. Sedangkan pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus.

3. Tujuan pemidanaan

Menurut Bismar Siregar, maksud tujuan pemidanaan ialah :10

a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman

negara, masyarakat dan penduduk;

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak

pidana.

10

Bismar Siregar, Tentang Pemberian Pidana, Kertas Kerja Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN Dep. Kehakiman, 1980.


(32)

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep rancangan Buku I KUHP Tahun 1982/1983, tujuan pemberian pidana dirumuskan

sebagai berikut :11

1). Pemidanaan bertujuan untuk

Ke-1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normahukum demi pengayoman masyarakat;

Ke-2 mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikianmenjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

Ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

Ke-4 membebasakan rasa bersalah pada terpidana.

2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Untuk mencapai tujuan pemidanaan dikenal tiga teori, yaitu :12

1. Teori pembalasan, diadakannya pidana adalah untuk pembalasan.

Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dengan pengikut Immanuel Kant, Hegel, Herbert, dan Stahl.

Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatief” yakni: seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana merupakan suatu alat untuk mencapai

11

Muladi dan Nawawi Arief, Barda, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005, Cet.3.), h.24.

12


(33)

22

suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (Uitdrukking van

de gerechtigheid).13

Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan “Negation der Negation” (peniadaan atau pengingkaran

terhadap pengingkaran).14

2. Teori tujuan atau relatif, jika teori absolut melihat kepada

kesalahan yang sudah dilakukan, sebaliknya teori-teori relatif ataupun tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut teori previsi, yang dapat kita tinjau dari dua segi, yaitu previsi umum dan previsi khusus. Dengan dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan niatnya, karena adanya perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan kepada masyarakat pada umumnya. Sedangkan previsi khusus ditujukan kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.

13

Muladi dan Nawawi Arief, Barda, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005, Cet.3.), h.11.

14

Muladi dan Nawawi Arief, Barda, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005, Cet.3.), h.12.


(34)

3. Teori gabungan, gabungan dari dua teori di atas. Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan serta berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan. Dengan ini pidana memiliki dua maksud yang saling berkesinambungan yaitu mencapai tujuan keadilan.

4. Klasifikasi tindak pidana

Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu :15

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (Misdriven)

dimuat dalam buku II dan pelanggaran (Overtredingen) dimuat

dalam buku III.

Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan

Rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan Wetsledict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenakan

helm ketika mengendarai sepeda motor.16

15

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002, Cet.1.), h.117-119.

16


(35)

24

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana

formil (Formeel delicten) dan tindak pidana materiil (Materiel

delicten).

c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana

sengaja (Doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja

(Culpose delicten).

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak

pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (Delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut

juga tindak pidana omisi (Delicta ommisionis).

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana

umum dan tindak pidana khusus.

g. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak

pidana Communia (Delicta communia, yang dapat dilakukan oleh

siapa saja), dan tindak pidana Propria (dapat dilakukan hanya oleh

orang memiliki kualitas pribadi tertentu.

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,

maka dibedakan antara tindak pidana biasa (Gewone delicten) dan


(36)

i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (Eenvoudige

delicten), tindak pidana yang diperberat (Gequalificeerde delcten)

dan tindak pidana yang diperingan (Gepriviligeerde delicten).

j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tidak

pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.

k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,

dibedakan antara tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten)

dan tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten).

5. Tindak pidana ringan

Tindak Pidana Ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya. tindak pidana ringan ini tidak hanya berupa pelanggaran tapi juga mencakup kejahatan-kejahatan ringan yang tertulis dalam Buku II KUHP yang terdiri dari, penganiayaan hewan ringan, penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan, dan penadahan ringan.

Hal inilah yang menjadi keistimewaan KUHP Indonesia yang merupakan warisan KUHP Hindia Belanda. Sekalipun KUHP


(37)

Hindia-26

Belanda didasari oleh KUHP Belanda namun pembagian bentuk kejahatan biasa dan ringan berasal dari Hindia-Belanda sendiri yang kemudian diadopsi ke dalam KUHP Indonesia.

Kejahatan dan pelanggaran sendiri memiliki beberapa perbedaan. Pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diletakkan di tempat yang berbeda dalam KUHP. Pada dasarnya, KUHP terdiri atas 569 pasal

yang dibagi dalam tiga buku. Tiga buku itu :17

“Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (juga disebut Bagian

Umum,Algemeen deel) – pasal-pasal 1-103.

Buku II : Kejahatan – pasal-pasal 104-448

Buku III : Pelanggaran – pasal-pasal 449-569.”

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, KUHP Hindia-Belanda yang diadopsi ke dalam KUHP Indonesia mengenal tindak pidana ringan sedangkan Belanda sendiri tidak mengenal lembaga tersebut. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman lembaga tindak pidana ringan semakin

dipertanyakan keberadaannya. Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana 1”

menggunakan istilah kejahatan enteng sebagai padanan kata Lichte

misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan ringan atau yang dalam tulisan ini menggunakan istilah Tindak Pidana Ringan.

Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sulit ditemukan dalam KUHP, definisi tindak pidana ringan yang cukup dapat dipahami justru dapat ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum pidana

17


(38)

formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa :

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang

ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”.18

Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai definisi tindak pidana ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.

Apabila ditelusuri lebih jauh bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP maka setidaknya terdapat sembilan pasal yang tergolong bentuk tindak pidana ringan, yaitu Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai penghinaan ringan.

18


(39)

28

B.Tindak Pidana Pencurian 1. Definisi pencurian

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah,

biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” adalah

proses, cara, perbuatan.

Dalam pasal 362 KUHP disebutkan, “barang siapa mengambil

barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.19

Dalam hukum kriminal, pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, penjarahan, perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal. Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam pencurian disebut

pencuri, dan tindakannya disebut mencuri.20

Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur-unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun

19

Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Cet.15.), h.140.

20

Wikipedia Ensiklopedia bebas, Pencurian Adalah,


(40)

seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud,

yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).21

2. Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut KUHP

Pasal 362 KUHP tentang pencurian menyebutkan: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, di ancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.22

Jika diteliti rumusan tindak pidana pencurian tersebut, perbuatan

itu terdiri dari unsur-unsur :23

1. Barang siapa;

2. Mengambil barang sesuatu; 3. Barang kepunyaan orang lain;

4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri 4 unsur seperti tersebut di atas tanpa menitikberatkan satu unsur. Tiap-tiap unsur mengandung arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu perbuatan. Barang siapa; yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang”, subjek hukum yang melakukan perbuatan.

21

Blog Tajmiati-Bloger, Tindak Pidana Pencurian,

http://tajmiati-bloger.blogspot.com/2012/04/tindak-pidana-pencurian.html, diakses tanggal 10 September 2014 pukul 10.12 WIB.

22

Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Cet.15.), h.140.

23


(41)

30

Pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu :24

1. Unsur objektif, terdiri dari:

a. Perbuatan mengambil

b. Objeknya suatu benda

c. Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda

tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain 2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:

a. Adanya maksud

b. Yang ditujukan untuk memiliki

c. Dengan melawan hukum

Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas.

Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau

kedalam kekuasaannya.25

24

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2003), h.5.

25

Blog Law For Justice, Pengertian Tindak Pidana Pencurian,

http://kukuhtirtas.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-pencurian.html, diakses tanggal 10 September 2014 pukul 10.58 WIB.


(42)

Kekuasaan benda apabila belum nyata dan mutlak beralih ke tangan si petindak, pencurian belum terjadi, yang terjadi barulah percobaan mencuri. Dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihnya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak berarti juga beralihnya hak milik atas benda itu ke tangan petindak. Oleh karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum,

misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain sebagainya.26

Jadi benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Sebagai unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungakan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil, dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan

26


(43)

32

hukum subujektif. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya

atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu.27

3. Tindak pidana pencurian ringan

Berdasarkan pasal 364 KUHP Yang berbunyi “Perbuatan yang

diterangkan pada pasal 362 dan pasal 363 butir ke-5 apabila tidak dilakukan didalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada dirumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam dengan pencurian ringan dengan pidana paling lama tiga

bulan atau pidana denda dua ratus lima puluh rupiah”. Dari rumusan

ketentuan pidana di atas dapat diketahui, bahwa yang dimaksud pencurian ringan itu dapat berupa :

a. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok;

b. Tindak pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara

bersama-sama;

c. Tindak pidana pencurian, yang untuk mengusahakan jalan masuk

ke tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya, orang yang bersalah tidak melakukan pembongkaran, perusakan, pemanjatan atau memakai kunci-kunci palsu atau serangan palsu.

27

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayu Media, 2003), h.16.


(44)

33

A. Proses Peradilan Pidana Dalam Tahap Penyidikan, Penuntutan Dan Persidangan

1. Penyelidikan dan penyidikan

Proses penyelesaian perkara pidana di mulai dari penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Apabila dilakukan penyelidikan ternyata terdapat cukup bukti bahwa seseorang diduga kuat telah melakukan tindak pidana, maka dilanjutkan dengan mengadakan penyidikan. Kemudian setelah penyidikan selesai, berkas perkara dikirim ke kejaksaan untuk dilakukan penelitian berkas perkara yang dilakukan

oleh Jaksa/atau Penuntut Umum.1

Terhadap suatu peristiwa yang telah dinyatakan sebagai suatu tindak pidana oleh penyelidik, maka tahap selanjutnya adalah melakukan penyidikan untuk mencari tahu siapa pelaku dari tindak pidana tersebut. Berdasarkan Pasal 1 butir 1 KUHAP pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan adalah pejabat Polisi Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang berwenang melakukan penyidikan berdasarkan KUHAP. Penyidik mempunyai wewenang sebagaimana yang ditentukan dalam

Pasal 7 KUHAP, di antaranya adalah :2

1

Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.1.

2

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui APTB dan APKDH Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h.53.


(45)

34

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Melakukan penyitaan dan pemeriksaan surat;

d. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

e. Mengadakan pemberhentian penyidikan.

Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindak penyelidikan yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan (Pasal 102 ayat (1) & (2) KUHAP).

Adapun yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 5 KUHAP). Dalam hal untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa terjadinya suatu tindak pidana, telah termaktub pada Pasal 102 KUHAP sumbernya berupa laporan, pengaduan, tertangkap tangan, dan diketahui oleh petugas.

Peninjauan pada tahap penyidikan juga dapat dilakukan terhadap ketidaklengkapan berkas perkara yang harus dipenuhi sebelum melimpahkan berkas perkara tersebut ke kejaksaan. Ketidaklengkapan


(46)

tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu baik secara formal maupun

materiel.3

Ketidaklengkapan persyaratan formal :

a. Tidak terdapat berita acara pemeriksaan tersangka;

b. Tidak ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP);

c. Tidak ada berita acara penangkapan.

Ketidaklengkapan syarat materiel :

a. Ketidak sesuaian tindak pidana yang disangkakan;

b. Tidak menguraikan unsur delik secara cermat, jelas dan lengkap.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Pada penyerahan berkas tahap pertama, penyidik secara fisik menyerahkan berkas perkara dari penyidik diterima oleh urusan surat-surat, kemudian diserahkan kepada pimpinan selanjutnya pimpinan atau pejabat yang ditunjuk menugaskan seorang jaksa dengan surat perintah untuk

melakukan penelitian berkas perkara.4

2. Penuntutan

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam UU ini dengan permintaan supaya diperiksa dan

diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan merupakan Dominus

3

Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.2.

4

Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.3.


(47)

36

litis, atau kewenangan mutlak dari penuntut umum, yang artinya bahwa hanya penuntut umum yang berwenang untuk melakukan penuntutan

dalam perkara pidana (Pasal 1 butir 7 jo Pasal 13 KUHAP).5

Ruang lingkup penuntutan terdiri dari tugas seorang jaksa dalam hal mempelajari dan meneliti berkas perkara yang diajukan oleh penyidik, apakah telah cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan menyusun surat dakwaan.

Berhasilnya penuntutan sangat tergantung kepada kemampuan penuntut umum dalam mengajukan alat-alat bukti dan membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan memang benar

terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.6 Dalam hal

Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas perkara telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan, kemudian penuntut umum

melimpahkan perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.7

Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan perkara selanjutnya, baik pemeriksaan di persidangan pengadilan negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan. Terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan

5

Ledeng Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Edisi ke-2), h.20.

6

Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.13.

7

Alfitra, Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009, Cet.1.), h.14.


(48)

dihukum untuk perbuatan-perbuatan yang tidak dicantum dalam surat

dakwaan.8

Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat

dakwaan, yakni syarat formil dan syarat materiel.9 Syarat formil diatur

dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP yang meliputi :

a. Surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut

umum pembuat surat dakwaan;

b. Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang

terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan. Sesuai KEPJA No. KEP-120/J.A/12/1992, identitas terdakwa tersebut dilengkapi dengan pendidikan.

Syarat materiel diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yang meliputi :

a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat

tindak pidana dilakukan.

8

Ledeng Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Edisi ke-2), h.21.

9

Lihat UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Mengenai Syarat-Syarat Surat Dakwaan.


(49)

38

3. Pemeriksaan persidangan

Perkara yang telah dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri didasarkan atas permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnnya.

Berbicara kewenangan mengadili maka perlu diketahui

kewenangan dibagi menjadi dua jenis yaitu, kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewengan absolut, berkaitan dengan lingkungan peradilan (lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dalam Pasal 18 UU 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Sedangkan kewenangan relatif, berkaitan dengan pembagian wilayah hukum setiap pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Selanjutnya setelah pelimpahan perkara oleh penuntut umum dilakukan penunjukkan majelis hakim dan penetapan hari sidang. Kemudian dilakukannya pemanggilan terdakwa ke persidangan. Pada permulaan ketua sidang/ketua majelis memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk (Pasal 154 ayat (1) KUHAP) dan selanjutnya menanyakan identitas terdakwa (Pasal 155 ayat (1) KUHAP). Sesudah itu meminta penuntut umum membacakan

surat dakwaan. 10

10

Ledeng Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Edisi ke-2), h.100.


(50)

Kesatuan acara pemeriksaan persidangan dimulai dari pemeriksaan terdakwa, pembacaan surat dakwaan, pengajuan eksepsi atau keberatan, putusan sela, pembuktian, pembacaan surat tuntutan dan pembelaan, replik duplik, dan sampai pada putusan merupakan rangkaian dari hukum acara peradilan yang diatur dalam KUHAP. Hingga pada putusan pengadilan telah dikeluarkan selanjutnya tahap upaya hukum dapat diberikan. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas, atau lepas dari segala tuntutan. Dalam hal putusan pengadilan berupa pemidanaan, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

B. Tahap-Tahap Upaya Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana 1. Pengertian upaya hukum

Upaya hukum adalah bagian dari mata rantai proses perkara pidana. Upaya hukum merupakan proses argumentasi melalui dokumentasi dari pada perdebatan. Sebab pada dasarnya para pihak tidak hadir; dan dalam praktiknya hampir tidak pernah ada perkara dimana dalam tingkat upaya hukum para pihak didengar. Sesungguhnya dalam tingkat banding dan


(51)

40

kasasi kehadiran itu dimungkinkan (Vide, Pasal 238 ayat (4) jo Pasal 253

ayat (3) KUHAP).11

Sedangkan menurut Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si yang dimaksud dengan upaya hukum adalah upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan terkait dengan adanya putusan pengadilan. Upaya hukum tersebut dilakukan dengan tujuan mengoreksi dan menselaraskan kesalahan yang terdapat dalam putusan yang telah dijatuhkan, baik putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap maupun belum berkekuatan hukum tetap. Terdapat dua macam upaya hukum, yaitu upaya

hukum biasa dan upaya hukum luar biasa :12

a. Upaya Hukum Biasa

a) Perlawanan (verzet), upaya hukum yang dapat dilakukan terkait

dengan putusan sela;

b) Banding, adalah upaya yang dapat dilakukan agar putusan

peradilan tingkat pertama diperiksa kembali dalam tingkat banding;

c) Kasasi, adalah upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap

putusan pengadilan lain selain Mahkamah Agung.

b. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Upaya hukum luar biasa terdiri dari :

11

Luhut M.P.Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2006, Cet.4.), h.84.

12

Eggi Sudjana, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hiyatullah, 2012), h.88.


(52)

a) Kasasi demi kepentingan hukum, yaitu kasasi yang hanya dapat diajukan oleh jaksa agung dan tidak akan berpengaruh terhadap perkara yang sedang berlangsung;

b) Peninjauan Kembali, Upaya hukum yang diajukan terkait

adanya keadaan baru yang diduga berpengaruh apabila diajukan pada saat persidangan berlangsung.

Seperti yang telah dipaparkan di atas terdapat perbedaan terkait upaya hukum yang diberikan oleh Undang-undang oleh masing-masing lembaga. Dalam upaya hukum dibedakan kewenangan dari pengadilan berikutnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA). Kedua lembaga Yudikatif tersebut memiliki kewenangan yang berbeda, dimana perbedaan tersebut bahwa Pengadilan Tinggi merupakan pemerikasaan ulangan atas putusan Pengadilan Negeri terhadap semua aspek perkara. Sedangkan Mahkamah Agung lebih kepada esensi dari perkara tersebut. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi disebut Judex factie.13

Sedangkan Mahkamah Agung disebut Judex jurist dikarenakan

MA yang hanya memeriksa interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum

terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh Judex factie. Dengan demikian,

tingkatan pemeriksaan perkara pidana hanya dua tahap ditambah bila ada

hal-hal luar biasa dengan upaya hukum peninjauan kembali (PK).14

13

Judex Factie menurut kamus hukum adalah Hakim yang berwenang memeriksa fakta dan bukti, dalam hal ini hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Www. Pn kendari. go.id/index.php/deskinfo?download=8:kamus-hukum dikutip tanggal 1 September 2014 pukul 20.00 WIB.

14


(53)

42

2. Tahap upaya hukum biasa: Banding dan Kasasi

a. Upaya hukum Banding

Upaya hukum banding, diperiksa oleh Pengadilan Tinggi

sebagai Judex factie. Artinya pemeriksaan diulang untuk semua aspek

tapi tanpa kehadiran para pihak sekalipun kehadiran itu dimungkinkan. Upaya hukum banding harus dilakukan dalam tenggang waktu 7

(tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan (Vide, Pasal 233 ayat (2)

KUHAP). Sebagai tindak lanjut, pernyataan banding diajukan satu memori banding yang memuat alasan-alasan tidak diterimanya putusan, namun memori banding itu tidak wajib.

Yang dijadikan bahan-bahan bagi pemeriksaan tingkat banding adalah seluruh catatan-catatan yang telah dibuat oleh panitera selama proses Peradilan Negeri tingkat pertama ditambah berkas perkara yang bersangkutan dan memori-memori banding dari pihak-pihak yang bersangkutan. Jika Pengadilan Tinggi memandang perlu dapat memanggil langsung terdakwa atau saksi dan juga saksi ahli guna didengar keterangannya secara langsung. Dalam hal terdakwa ditahan, maka pengadilan tinggilah yang berwenang untuk menentukan selanjutnya. Selama Pengadilan Tinggi belum memutusakan perkara tersebut, selama itu pula masih diberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menyerahkan ataupun menambah surat-surat pembelaan atau keterangan lain kepada Pengadilan


(54)

Tinggi.15 Dalam hal ini para pihak yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengumpulkan beberapa bukti-bukti yang mendukung sebagai upaya pembuktian yang kuat dalam beracara di Pengadilan.

Jika Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian. Sebelum kekecualian tersebut dibicarakan, perlu diperhatikan kata yang dipakai oleh KUHAP di Pasal 233 yaitu “terdakwa”.16

Menurut pendapat Andi Hamzah, semestinya di situ digunakan kata “terpidana”, karena perkara yang dibanding itu merupakan putusan yang dengan sendirinya merupakan penjatuhan pidana kepada terdakwa. Tidaklah logis jika terdakwa yang dibebaskan atau lepas dari segala tuntutan hukum mengajukan banding. Kekecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP

tersebut ialah :17

15

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Tarsito, 1980), h.124-125.

16

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: GI, 1983), h.267.

17

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: GI, 1983), h.268.


(55)

44

a) Putusan bebas (istilah asing: Vrijspraak);

b) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang

tepatnya penerapan hukum (sic);

c) Putusan Pengadilan dalam acara cepat (dahulu dipakai istilah

perkara rol).

Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian

baru (Judicium novum). Jadi dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli

dan surat-surat baru.18 Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa

acara pada pemeriksaan pertama tetap menjadi dasar pemeriksaan

banding kecuali jika ada penyimpangan-penyimpangan dan

kekecualian-kekecualian.

Berhubung dengan tidak diperkenankannya banding terhadap

putusan bebas (Virijspraak) itu, perlu diperhatikan adanya istilah

“bebas murni” dan “bebas tidak murni” (Zuivere virjspraak en niet-zuiivere vrijspraak) dan “lepas dari segala tuntutan hukum terselubung” (bedekte ontlslag van rechsvervolging).19

Mengenai bentuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum, diatur dalam Pasal 191 ayat (2), yakni apabila pengadilan berpendapat apa yang didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Kemudian terhadap putusan acara cepat juga merupakan putusan yang tidak dapat

18

J.M. Van Bemmelen, Ons Strafrecht, 4, het Formele Strafrecht, (Groningen: Tjeenk Willink, 1977), h.212.

19

A. Mincenhof, De Nederlands Straf vordering, (Harlem: H.D.Tjeenk Wilink and Zoon, 1967), h.289.


(56)

diajukan banding atau merupakan salah satu dari pengecualian yang telah disebutkan di atas bahwa baik perkara yang diperiksa dengan acara tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu lintas jalan, tidak dapat dimintakan banding, kecuali apabila putusan itu berupa

pidana perampasan kemerdekaan.20 Dalam ketiga hal ini, permintaan

banding tidak dapat diajukan, sehingga terhadap putusan-putusan ini hanya cukup diperiksa oleh Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan tingkat terkahir.

Putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, seperti yang diatur dalam Pasal 241 ayat (1) bentuk putusan yang dapat dijatukan Pengadilan Tinggi terhadap

perkara yang diperiksanya dalam tingkat banding ialah :21

1. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri

Ini bentuk pertama putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. ”Menguatkan” putusan yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri. Secara murni Pengadilan Tinggi menguatkan putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri.

a) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri “ Secara Murni”

Pada bentuk putusan yang menguatkan putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri “secara murni”, Pengadilan Tinggi menganggap putusan itu sudah “tepat dan benar secara

20

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2), h.460.

21

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2), h.504-509.


(57)

46

keseluruhan”. Tidak ada lagi yang perlu ditambah, diubah atau dikurangi. Pengadilan Tinggi dalam hal seperti ini dengan sendiri “mengambil alih” semua alasan dan pertimbangan maupun kesimpulan yang dianggap tersirat dalam putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi.

b) Menguatkan putusan “Dengan Tambahan Pertimbangan”

Variasi atau variant kedua bentuk putusan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding yang menguatkan

putusan Pengadilan Negeri, dilakukan dengan jalan

“menambah” atau “menyempurnakan” pertimbangan dan alasan maupun kesimpulan putusan Pengadilan Negeri.

2. Mengubah atau memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri

Mengenai bentuk putusan berupa perubahan atau perbaikan amar putusan Pengadilan Negeri, bisa terjadi :

a) Sepanjang mengenai pertimbangan dan alasan yang dimuat

dalam putusan dapat disetujui dan dianggap tepat oleh Pengadilan Tinggi.

b) Atau bak pertimbangan putusan perlu ditambah, juga amar

putusan Pengadilan Negeri perlu diubah atau diperbaiki.

c) Atau juga bisa, di samping Pengadilan Tinggi mengubah

pertimbangan putusan Pengadilan Negeri dengan pertimbangan lain, sekaligus perubahan pertimbangan itu diikuti perubahan atau perbaikan amar putusan.


(58)

d) Atau sekaligus di samping mengubah atau memperbaiki amar putusan juga memutus perkara yang bersangkutan atas pertimbangan dan alasan lain.

3. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri

Bentuk ketiga putusan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, membatalkan putusan Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi berwenang membatalkan dan juga berhak mengoreksi putusan Pengadilan Negeri, bukan hanya menguatkan atau mengubah putusan, tetapi berwenang untuk “membatalkan”.

b. Upaya hukum Kasasi

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis. Kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan dan membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum. Yang tunduk pada kasasi hanyalah kesalahan-kesalahan di dalam penerapan hukum. Penerapan fakta-fakta termasuk

wewenang Judex factie, yang dalam sistem hukum Indonesia menjadi

wewenang pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat terakhir.22

22

Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung: Dalam Praktik Sehari-hari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.82.


(59)

48

Landasan hukum untuk melakukan kasasi berdasarkan Pasal 24

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangan dibawah undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh

undang-undang”. Berdasarkan pasal diatas, salah satu kewenangan

konstitusional MA yang diberikan oleh UUD 1945 sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah mengadili perkara pada

tingkat kasasi.23

Tujuan upaya hukum kasasi adalah koreksi terhadap kesalahan

putusan pengadilan dibawahnya. Dimana memperbaiki dan

meluruskan kesalahan penerapan hukum agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Lalu selain itu upaya hukum ini bertujuan menciptakan dan membentuk hukum baru, dan pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

Perkara-perkara yang tunduk pada kasasi, antara lain :24

1. Ketentuan Pasal 44 UU MA Jo Pasal 244 KUHAP, yaitu

putusan atau penetapan penagdilan yang diberikan dalam tingkat terakhir dan menyangkut perkara pidana yang bukan putusan bebas.

23

M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.228-229.

24

Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung: Dalam Praktik Sehari-hari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.83.


(60)

2. Perbuatan pemeriksaan yang dilakukan oleh kurang dari 3 orang hakim.

3. Putusan PN yang memeriksa dan memutuskan perkara atas

putusan Verstek yang tidak melakukan pemeriksaan terhadap

perlawanan.

4. Perkara perdata yang nilai gugatannya tidak lebih dari Rp. 100

(seratus rupiah). Bunyi UU Nomor 20 tahun 1974 Jo Pasal 199 RBg.

5. Putusan dalam perkara pidana ringan dengan acara cepat.

Dalam kenyataan praktek, sering ditemukan hambatan formal yang dialami pencari keadilan. Akibatnya, permohonan kasasi ”tidak dapat diterima”. Hambatan formal yang dimaksud yaitu kurangnya pemahaman kalangan masyarakat pencari keadilan tentang tata cara mengajukan permohonan kasasi. OIeh karena itu penulis memaparkan tata cara permohonan kasasi agar upaya kasasi tidak menjadi sia-sia.

Adapun tata cara itu ialah :25

a) Permohonan diajukan kepada panitera;

Pasal 245 ayat (1) menegaskan: “Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu

diberitahukan kepada terdakwa”. Pemohon dapat mengajukan

25

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2), h.546-552.


(61)

50

permohonan secara langsung menghadap sendiri panitera Pengadilan Negeri atau dapat disampaikan baik secara lisan maupun dengan tulisan. Namun jika ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 245 ayat (2), terdapat suatu prinsip yang mengharuskan pemohon “mesti datang menghadap” panitera, sebab ayat (2) secara tegas menentukan “surat keterangan kasasi” atau “akta permohonan”, ditandatangani oleh panitera dan pemohon.

b) Yang berhak mengajukan permohonan kasasi;

Untuk mengetahui siapa yang berhak mengajukan permohonan kasasi, dibaca kembali ketentuan Pasal 244, yang menegaskan bahwa yang berhak adalah terdakwa dan atau penuntut umum. Mereka inilah yang berhak mengajukan

permohonan kasasi baik “sendiri-sendiri” maupun secara

“bersamaan”.

c) Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi;

Seperti yang telah disinggung, sering kali pemohon kasasi kurang cermat memperhatikan tenggang waktu yang dibenarkan undang-undang. Akibatnya, pemohonan kasasi tidak sah, karena hak untuk mengajukan kasasi gugur, dan permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima. Mengenai tenggang waktu yang dibenarkan undang-undang untuk mengajukan permohonan kasasi yaitu 14 hari terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan. Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera


(62)

Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama. Terlambat dari batas waktu 14 hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan Pasal 246 ayat (2).

d) Akta permohonan kasasi;

Akta permohonan kasasi menurut Pasal 245 ayat (1) yaitu panitera mencatat permohonan itu dalam sebuah “surat keterangan” atau “akta permohonan kasasi” inilah yang dimaksud dengan akta kasasi, yang berisi catatan tentang adanya permohonan kasasi serta hari dan tanggal diajukan permohonan tersebut. Selanjutnya akta kasasi harus dilampirkan dalam berkas perkara.

e) Permohonan kasasi wajib diberitahukan dan pemohon wajib

mengajukan memori kasasi.

3. Tahap upaya hukum luar biasa: Peninjauan Kembali (PK)

Pada tahapan ini merupakan upaya hukum luar biasa karena undang-undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali dengan segala persyaraan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan ini untuk menerapkan Asas Keadilan terhadap pemberlakuan Asas Kepastian Hukum, Karena peninjauan kembali berorientasi pada tuntutan keadlian. Putusan hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi. Oleh Karena itu fungsi MA dalam peradilan peninjauan kembali (PK) adalah mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mendukung ketidakadilan


(63)

52

karena kesalahan dan kekhilafan hakim.26 Adapun putusan pengadilan

yang dapat dimintakan peninjauan kembali ialah :27

a. Semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap;

Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi.

b. Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan;

Upaya peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan putusan Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.

Pengecualian ini telah dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (2)

KUHAP yakni: i. Putusan bebas (Vrijspraak), atau ii. Putusan lepas

dari segala tuntutan hukum (Onslag rechts vervolging).

Permohonan peninjauan kembali ini dapat diajukan dua kali (2x)

(Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial review tahun

2012 yang diajukan oleh Antasari Azhar) dan dapat dicabut selama belum diputus dan/atau memiliki kekuatan hukum tetap.

26

Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung: Dalam Praktik Sehari-hari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h.110.

27

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2), h. 615.


(64)

C. Lembaga Mahkamah Agung 1. Profil

Mahkamah Agung adalah lembaga tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan

kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.28 Dalam Pasal 24

UUD NRI dikatakan pula bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, UU ini juga telah mencabut dan membatalkan berlakunya UU No.4 Tahun 2004. Undang-undang ini di susun karena UU No.4 Tahun 2004 secara substansial dinilai kurang mengakomodir masalah kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas. Selain itu juga karena adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 34 UU No.4 Tahun 2004, karena setelah pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut diputus bertentangan dengan UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut tidak berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera melakukan perubahan pada undang-undang dimaksud.

Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung, dan diangkat oleh Presiden. Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60

28

Zamroni, Sejarah Mahkamah Agung: (Online), http/www.zamroni.com/40-sejarah-mahkamah-agung.html, 2009, diakses tanggal 7 April 2011, Diupload oleh Raha di 21.58.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

RASIONALISASI BATAS NILAI KERUGIAN PADA TINDAK PIDANA RINGAN DALAM KUHP

4 69 109

PENERAPAN PERMA NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATAS TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERKAIT VONIS PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN.

0 6 15

IS PENERAPAN PERMA NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATAS TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERKAIT VONIS PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN.

0 3 11

I B PENERAPAN PERMA NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATAS TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERKAIT VONIS PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN.

1 3 16

II PENERAPAN PERMA NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATAS TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP TERKAIT VONIS PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN.

0 3 6

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG MELALUI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO 02 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

0 1 17

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENERAPAN KELUARNYA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP OLEH HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDAN.

0 0 1

Tindak Pidana Penyiksaan dalam R KUHP

0 0 41

Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam Kuhp Di Kepolisian Resor Rembang (Studi Kasus Pada Tindak Pidana Pencurian Ringan)

0 0 10

TESIS KEWENANGAN PENYIDIK RADEN BAGUS TESIS KEWENANGAN PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM HAL PENAHANAN BERDASARKAN KUHAP SETELAH BERLAKUNYA PERMA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP

0 0 20