Tahap upaya hukum biasa: Banding dan Kasasi
Tinggi.
15
Dalam hal ini para pihak yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengumpulkan beberapa bukti-bukti yang
mendukung sebagai upaya pembuktian yang kuat dalam beracara di Pengadilan.
Jika Pasal 233 ayat 1 KUHAP ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua
putusan pengadilan tingkat pertama Pengadilan negeri dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang
khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian. Sebelum kekecualian tersebut dibicarakan, perlu
diperhatikan kata yang dipakai oleh KUHAP di Pasal 233 yaitu “terdakwa”.
16
Menurut pendapat Andi Hamzah, semestinya di situ digunakan kata “terpidana”, karena perkara yang dibanding itu
merupakan putusan yang dengan sendirinya merupakan penjatuhan pidana kepada terdakwa. Tidaklah logis jika terdakwa yang dibebaskan
atau lepas dari segala tuntutan hukum mengajukan banding. Kekecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP
tersebut ialah :
17
15
R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Bandung: Tarsito, 1980, h.124-125.
16
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: GI, 1983, h.267.
17
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: GI, 1983, h.268.
a Putusan bebas istilah asing: Vrijspraak;
b Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang
tepatnya penerapan hukum sic; c
Putusan Pengadilan dalam acara cepat dahulu dipakai istilah perkara rol.
Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian baru Judicium novum. Jadi dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli
dan surat-surat baru.
18
Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa acara pada pemeriksaan pertama tetap menjadi dasar pemeriksaan
banding kecuali
jika ada
penyimpangan-penyimpangan dan
kekecualian-kekecualian. Berhubung dengan tidak diperkenankannya banding terhadap
putusan bebas Virijspraak itu, perlu diperhatikan adanya istilah “bebas murni” dan “bebas tidak murni” Zuivere virjspraak en niet-
zuiivere vrijspraak dan “lepas dari segala tuntutan hukum terselubung”
bedekte ontlslag van rechsvervolging.
19
Mengenai bentuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum, diatur dalam Pasal 191 ayat 2, yakni apabila pengadilan berpendapat
apa yang didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Kemudian
terhadap putusan acara cepat juga merupakan putusan yang tidak dapat
18
J.M. Van Bemmelen, Ons Strafrecht, 4, het Formele Strafrecht, Groningen: Tjeenk Willink, 1977, h.212.
19
A. Mincenhof, De Nederlands Straf vordering, Harlem: H.D.Tjeenk Wilink and Zoon, 1967, h.289.
diajukan banding atau merupakan salah satu dari pengecualian yang telah disebutkan di atas bahwa baik perkara yang diperiksa dengan
acara tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu lintas jalan, tidak dapat dimintakan banding, kecuali apabila putusan itu berupa
pidana perampasan kemerdekaan.
20
Dalam ketiga hal ini, permintaan banding tidak dapat diajukan, sehingga terhadap putusan-putusan ini
hanya cukup diperiksa oleh Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan tingkat terkahir.
Putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, seperti yang diatur dalam Pasal 241 ayat
1 bentuk putusan yang dapat dijatukan Pengadilan Tinggi terhadap perkara yang diperiksanya dalam tingkat banding ialah :
21
1. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Ini bentuk pertama putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. ”Menguatkan” putusan
yang telah dijatuhkan Pengadilan Negeri. Secara murni Pengadilan Tinggi menguatkan putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri.
a Menguatkan putusan Pengadilan Negeri “ Secara Murni”
Pada bentuk putusan yang menguatkan putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri “secara murni”, Pengadilan
Tinggi menganggap putusan itu sudah “tepat dan benar secara
20
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2, h.460.
21
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2, h.504-509.
keseluruhan”. Tidak ada lagi yang perlu ditambah, diubah atau dikurangi. Pengadilan Tinggi dalam hal seperti ini dengan
sendiri “mengambil alih” semua alasan dan pertimbangan maupun kesimpulan yang dianggap tersirat dalam putusan yang
dijatuhkan Pengadilan Tinggi. b
Menguatkan putusan “Dengan Tambahan Pertimbangan” Variasi atau variant kedua bentuk putusan Pengadilan
Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri,
dilakukan dengan
jalan “menambah” atau “menyempurnakan” pertimbangan dan
alasan maupun kesimpulan putusan Pengadilan Negeri. 2.
Mengubah atau memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Mengenai bentuk putusan berupa perubahan atau perbaikan
amar putusan Pengadilan Negeri, bisa terjadi : a
Sepanjang mengenai pertimbangan dan alasan yang dimuat dalam putusan dapat disetujui dan dianggap tepat oleh
Pengadilan Tinggi. b
Atau bak pertimbangan putusan perlu ditambah, juga amar putusan Pengadilan Negeri perlu diubah atau diperbaiki.
c Atau juga bisa, di samping Pengadilan Tinggi mengubah
pertimbangan putusan Pengadilan Negeri dengan pertimbangan lain, sekaligus perubahan pertimbangan itu diikuti perubahan
atau perbaikan amar putusan.
d Atau sekaligus di samping mengubah atau memperbaiki amar
putusan juga memutus perkara yang bersangkutan atas pertimbangan dan alasan lain.
3. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Bentuk ketiga putusan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, membatalkan putusan Pengadilan
Negeri. Pengadilan Tinggi berwenang membatalkan dan juga berhak mengoreksi putusan Pengadilan Negeri, bukan hanya
menguatkan atau mengubah putusan, tetapi berwenang untuk “membatalkan”.
b. Upaya hukum Kasasi
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis. Kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan
demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan dan membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan, karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum. Yang tunduk pada kasasi hanyalah kesalahan-
kesalahan di dalam penerapan hukum. Penerapan fakta-fakta termasuk wewenang Judex factie, yang dalam sistem hukum Indonesia menjadi
wewenang pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat terakhir.
22
22
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung: Dalam Praktik Sehari-hari, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.82.
Landasan hukum untuk melakukan kasasi berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang- undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang ”. Berdasarkan pasal diatas, salah satu kewenangan
konstitusional MA yang diberikan oleh UUD 1945 sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah mengadili perkara pada
tingkat kasasi.
23
Tujuan upaya hukum kasasi adalah koreksi terhadap kesalahan putusan
pengadilan dibawahnya.
Dimana memperbaiki
dan meluruskan kesalahan penerapan hukum agar hukum benar-benar
diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Lalu selain
itu upaya hukum ini bertujuan menciptakan dan membentuk hukum baru, dan pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.
Perkara-perkara yang tunduk pada kasasi, antara lain :
24
1. Ketentuan Pasal 44 UU MA Jo Pasal 244 KUHAP, yaitu
putusan atau penetapan penagdilan yang diberikan dalam tingkat terakhir dan menyangkut perkara pidana yang bukan
putusan bebas.
23
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi Dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata
, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h.228-229.
24
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung: Dalam Praktik Sehari-hari, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.83.
2. Perbuatan pemeriksaan yang dilakukan oleh kurang dari 3
orang hakim. 3.
Putusan PN yang memeriksa dan memutuskan perkara atas putusan Verstek yang tidak melakukan pemeriksaan terhadap
perlawanan. 4.
Perkara perdata yang nilai gugatannya tidak lebih dari Rp. 100 seratus rupiah. Bunyi UU Nomor 20 tahun 1974 Jo Pasal 199
RBg. 5.
Putusan dalam perkara pidana ringan dengan acara cepat. Dalam kenyataan praktek, sering ditemukan hambatan formal
yang dialami pencari keadilan. Akibatnya, permohonan kasasi ”tidak dapat diterima”. Hambatan formal yang dimaksud yaitu kurangnya
pemahaman kalangan masyarakat pencari keadilan tentang tata cara mengajukan permohonan kasasi. OIeh karena itu penulis memaparkan
tata cara permohonan kasasi agar upaya kasasi tidak menjadi sia-sia. Adapun tata cara itu ialah :
25
a Permohonan diajukan kepada panitera;
Pasal 245 ayat 1 menegaskan: “Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu
diberitahukan kepada terdakwa ”. Pemohon dapat mengajukan
25
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Edisi ke-2, h.546-552.
permohonan secara langsung menghadap sendiri panitera Pengadilan Negeri atau dapat disampaikan baik secara lisan
maupun dengan tulisan. Namun jika ayat 1 dihubungkan dengan Pasal 245 ayat 2, terdapat suatu prinsip yang mengharuskan
pemohon “mesti datang menghadap” panitera, sebab ayat 2 secara tegas menentukan “surat keterangan kasasi” atau “akta
permohonan”, ditandatangani oleh panitera dan pemohon. b
Yang berhak mengajukan permohonan kasasi; Untuk mengetahui siapa yang berhak mengajukan
permohonan kasasi, dibaca kembali ketentuan Pasal 244, yang menegaskan bahwa yang berhak adalah terdakwa dan atau
penuntut umum. Mereka inilah yang berhak mengajukan p
ermohonan kasasi baik “sendiri-sendiri” maupun secara “bersamaan”.
c Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi;
Seperti yang telah disinggung, sering kali pemohon kasasi kurang cermat memperhatikan tenggang waktu yang dibenarkan
undang-undang. Akibatnya, pemohonan kasasi tidak sah, karena hak untuk mengajukan kasasi gugur, dan permohonan kasasi
dinyatakan tidak dapat diterima. Mengenai tenggang waktu yang dibenarkan undang-undang untuk mengajukan permohonan kasasi
yaitu 14 hari terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan. Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera
Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama. Terlambat dari batas waktu 14 hari, mengakibatkan hak
untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan Pasal 246 ayat 2.
d Akta permohonan kasasi;
Akta permohonan kasasi menurut Pasal 245 ayat 1 yaitu panitera mencatat permohonan itu dalam sebuah “surat keterangan”
atau “akta permohonan kasasi” inilah yang dimaksud dengan akta kasasi, yang berisi catatan tentang adanya permohonan kasasi serta
hari dan tanggal diajukan permohonan tersebut. Selanjutnya akta kasasi harus dilampirkan dalam berkas perkara.
e Permohonan kasasi wajib diberitahukan dan pemohon wajib
mengajukan memori kasasi.