jaringan dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan menyiapkan tindakan yang terkoordinasi, atau justru sebaliknya, dapat mengakibatkan kesimpangsiuran
dalam praktik ekonomi pasar; seluruh hal tersebut mewakili suatu modal masyarakat yang sama vitalnya bagi kehidupan ekonomi seperti modal fisik itu
sendiri Hefner, 2000: 339.
1.2.3. Pedagang Pasar Sembada: Dari Liminal, Hingga Adaptasi
Realitas tantangan kendala yang tengah dialami oleh pedagang Pasar Sembada sepertinya dapat dipahami sebagai realitas sosial-kultural yang berada
pada dua sisi yang saling bertentangan, namun tidak bisa dipisahkan: yakni sisi yang mapan, dan sisi yang memberi peluang bagi perubahan. Sebagaimana
pandangan Dimyati 2004, bahwa sisi yang mapan berbicara tentang kehidupan dalam pengaturan kebudayaan dominan yang berisi norma atau aturan sebagai
pedoman untuk bertingkah laku anggota suatu masyarakat, sedangkan sisi yang lainnya merupakan potensi-potensi yang mendesak keluar untuk menjadi aktual.
Di antara kedua sisi itu, ada ruang yang tak ada di mana-mana, tapi juga ada di mana-mana, yakni ruang liminal. Ruang liminal itu semacam ambang, in-between,
yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan. Selanjutnya, Dimyati 2004 juga mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan ruang liminal tersebut merupakan tempat teraktualisasikannya potensi- potensi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ia berada di ruang liminal, sebab ia
tak lagi berupa potensi, tapi juga kehadirannya ditolak oleh sisi yang mapan dominan karena mengingat sifatnya yang ‘subversif’, berbeda, dan dianggap
menganggu ketertiban, keharmonisan dan kenormalan yang telah berjalan.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Dimyati 2004 tersebut sepertinya dapat menjelaskan tentang bagaimana situasi maupun kondisi para pedagang Pasar Sembada yang di satu sisi
memiliki potensi untuk tetap bertahan sebagai pedagang Pasar Sembada, namun harus berada di bawah pengaruh tekanan kehadiran pasar modern Carrefour dan
juga para ‘OknumAgen Pasar’ yang menciptakan budaya dominan dalam pengaturan aktivitas perdagangan mereka; dan sisi yang lain mereka terdesak
keluar dari Pasar Sembada untuk tetap dapat melanjutkan kehidupan ekonominya, namun sebagai pedagang kaki lima yang keberadaannya cenderung dianggap
mengganggu ketertiban, keharmonisan, dan kenormalan praktik aktivitas perdagangan kekinian di Pasar Sembada.
Koentjaraningrat 1990 mengatakan bahwa hubungan manusia selalu dijembatani oleh pola-pola kehidupan sebagai representasi atas kebudayaan yang
merupakan keseluruhan atas sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Manusia di dalam kelompok atau masyarakat selalu mempunyai kebudayaan, dengan kebudayaan yang demikian mereka tidak hanya mampu
beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi juga mampu mengubah lingkungan menjadi sesuatu yang berarti dengan apa yang mereka jalani. Dengan demikian,
kebudayaan itu mencakup totalitas dari pengalaman manusia dalam berupaya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya yang bersifat dinamis.
Upaya penyesuaian diri manusia di dalam kehidupan merupakan bentuk strategi keberlangsungan kehidupan yang diatur oleh sistem sosial budaya yang
ada sekaligus sebagai proses strategi adaptasi. Budaya sebagai pola strategi
Universitas Sumatera Utara
adaptasi sepertinya relevan dalam memahami bagaimana upaya pedagang Pasar Sembada menyikapi keberadaan ‘Carrefour’ maupun para ‘OknumAgen Pasar’
yang sementara ini dianggap mengancam keberlangsungan kegiatan ekonomi mereka selaku pedagang pasar tradisional Sembada.
Salah satu konsep adaptasi yang sepertinya relevan untuk digunakan terkait fokus penelitian di sini adalah pemahaman adaptasi yang dikemukakan
oleh Bennett yang dimodifikasi oleh Ahimsa-Putra 2003, bahwa salah satu pengertian adaptasi merupakan siasat-siasat adaptif yang menunjuk pada
rencana, pedoman, petunjuk mengenai apa yang akan dilakukan, dan bisa pula berarti perilaku atau tindakan-tindakan yang telah diwujudkan. Ahimsa-Putra
2003 kemudian juga mendefinisikan siasat adaptasi dengan mengacu pada aturan-aturan, pedoman, petunjuk, norma-norma untuk berperilaku, yang
semuanya berada pada tataran ide, pengetahuan. Siasat-siasat adaptif itu sendiri dapat dikatakan merupakan suatu proses
usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Perubahan situasi maupun kondisi lingkungan sosial-kultural, ekonomi yang
dialami para pedagang di Pasar Sembada, tentunya membuat para pedagang harus menerapkan suatu strategi dalam mempertahankan usahanya serta untuk tetap
bertahan hidup. Mereka dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru di tengah ancaman yang datang, seperti kehadiran ‘Carrefour’, dan
masuknya ‘OknumAgen Pasar’ yang meningkatkan harga sewa sehingga mendesak mereka hingga harus berjualan sebagai PKL di luar kompleks Pasar
Sembada. Dengan demikian, siasat adaptif para pedagang Pasar Sembada
Universitas Sumatera Utara
tersebut menurut penulis adalah cara atau taktik para pedagang Pasar Sembada dalam menjalankan suatu rencana agar mampu mencapai tujuan yang diinginkan.
Dengan strategi itu mereka bisa tetap bertahan terhadap berbagai permasalahan baru yang tengah dihadapi mereka, pasca kehadiran ‘Carrefour’ maupun para
‘oknumagen pasar’ yang mengancam eksistensi mereka sebagai pedagang Pasar Sembada.
1.3. Rumusan Masalah