Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan hukum

penyangga tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk ikut menentukan dan membatasi individu-individu atau kelompok masyarakat --di luar 7-12 desa penyangga-- yang berhak ikut atau tidak boleh ikut dalam pengambilan SDH dan pengelolaan lahan dalam zona rehabilitasi TNMB. Apalagi ikut menentukan dan membatasi hak para pihak yang memiliki kekuatan kapital semacam PT.LDO Jember. Akibat dari keterbatasan itu, kepada sesama warga masyarakat yang tidak memiliki lahan, sekalipun di luar atau relatif jauh dari desa penyangga TNMB, mereka tidak mempermasalahkan atau cenderung membiarkan. Apa yang mereka lakukan adalah bagian dari bentuk adaptasi dan meniru pola-pola penguasaan sumberdaya yang dilakukan oleh PT. LDO Jember dan para pekerjanya, daripada harus melawan atau menolak dengan kekuatan yang terbatas. 293 Kebehasilan kelompok masyarakat desa-desa penyangga menduduki lahan zona rehabilitasi dalam keterbatasan di atas, dalam situasi sosial ekonomi yang terjepit membawa mereka secara internal ”memiliki hak pelepasan” rights of alienation, yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya, kepada pihak lain keluarga dekat, teman, tetangga dekat sedesa atau di luar desanya. Jumlah warga yang telah melakukan hak pelepasan ini, secara kuantitatif memang relaitif kecil, tetapi kejadian ini terjadi di semua desa-desa penyangga di Jember dan Banyuwangi dengan argumentasi yang sama; biaya berobat anak sakit, biaya sekolah anaknya dan beberapa argumentasi keterbatasan ekonomi kemiskinan 294 293 Wawancara anggota dengan KetanMerahOPR 7 tujuh desa penyangga, Oktober 2007 dan September 2008 294 Ibid. . Sekalipun aparat Balai TNMB mengetahui adanya transaksi jual beli lahan, Balai TNMB belum mampu melakukan kontrol dan tindakan penegakan hukum kesepakatan. Okupator baru yang memperoleh lahan melalui ”jual beli” tidak mengalami proses sosialisasi dan pendampingan rehabilitasi, sehingga transformasi nilai dan tujuan rehabilitasi terputus. Kejadian ini ke depan akan memperumit Balai TNMB melakukan pengendalian terhadap individu-individu atau kelompok masyarakat yang diberi peluang hak berpartisipasi menggarap lahan Gambar`26. Proses legalisasi hak partisipasi masyarakat desa-desa penyangga dalam pengelolaan TNMB melewati 3 tiga tahapan, seperti pada Tabel 58. 1. Legalisasi tahap ini difasilitasi Konsorsium IPB dan LSM-L Latin Bogor. Hak partisipasi ini diberikan dalam bentuk MoU Pilot Project rehabilitasi berbasis tanaman TOGA tahun 1993-1995, untuk merehabilitasi 60 dari lahan dalam zona penyangga TNMB yang telah rusak sebelum terjadi chaos politik nasional. Jumlah kelompok masyarakat desa-desa penyangga yang terlibat; 2. Legalisasi distribusi lahan kepada individu-individu atau kelompok masyarakat, melalui kesepakatan MoU kemitraan rehabilitasi. Kemitraan ini mensyaratkan ada dan terbentuknya kelompok tani KetanMerahOPR. Legalisasi ini terpaksa diberikan karena tidak lagi pintu dialog dengan masyarakat. Dialog menuju kesepakatan kemitraan rehabilitasi dengan kelompok masyarakat desa-desa penyangga, baru mencapai kata sepakat setelah menghabiskan waktu selama tiga tahun Agustus 2003, dan telah berakhir pada Agustus 2008; 3. Legalisasi distribusi lahan kepada individu-individu atau kelompok masyarakat, melalui kesepakatan MoU kemitraan rehabilitasi yang di Gambar 29 Okupasi lahan oleh masyarakat di desa dan di desa Andongrejo fasilitasi oleh tokoh masyarakattokoh Partai Politik PDI-P dan Pemerintah desa. Legalisasi distribusi ini hanya terjadi di desa Wonoasri. Tabel 67 Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi TNMB Desa Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi TNMB Fasilitasi LSM → MoU Pilot Project, 1993-1995 Okupasi Individu Kelompok → MoU Okupasi Individu dan Kelompok → Tanpa MoU Illegal Fasilitasi Tokoh Masyarakat dan Pem Des → MoU Wonoasri Perintah Gus Dur, kemudian mengajukan permintaan Resmi ke desa dan pihak Balai TN MB, Fasilitator: Bp. Misdi, Alm, mantan Ketua DPC PDIP Jember → MoU Pendampingan oleh LSM Hamim, signifikan, diterima kemudian ditolak Curahnongko Latin Bogor Luas: 7 Ha, gabung dengan Desa Andongrejo Bukan lahan penjarahan tahun 19992000 Dilakukan oleh orang dari Ambulu, daripada nonton sekalian warga ikut menduduki lahan Fasilitasi Desa Ada bantuan pendampingan dari Hamim,Kail dan Ciwali tetapi tidak signifikan Andongrejo s.d.a Dilakukan oleh orang dari Ambulu, daripada nonton sekalian warga ikut menduduki lahan s.d.a Sanenrejo 50 dilakukan oleh okupator lapar lahan 50 dilakukan oleh preman hutan mantan pemain kayu, masih sulit dikonsolidasi s.d.a Curahtakir 50 dilakukan oleh okupator lapar lahan 50 dilakukan oleh preman hutan s.d.a Mulyorejo - Okupasi lahan hutan lindung dan hutan produksi Babansilosanen - - Sarongan Lahan mBabatan Eks Jati Bukan Jati : ≥ 200 Ha Lahan mBabatan di Rajekwesi: Illegal Fasilitasi Desa tanpa bantuan pendampingan LSM Kampung Rajegwesi Atas hasil relokasi pasca tsunami, 1994 → Faktor loby Bpk. Dr. Abd.Kadir, M.Si Mantan Kades Sarongan dan Wabup Kab. Banyuwangi Kandangan Ikut Desa Sarongan Kecuali itu, saat ini masih ada individu-individu dan kelompok masyarakat yang belum berhasil dikonsolidasi dan didata secara resmi oleh Balai TNMB atau illegal. Pada kasus yang terakhir ini, secara kuantitatif kecil, tetapi terjadi secara merata di semua desa penyangga. Masalah ini ke depan diperkirakan akan terus bertambah, tergantung pada laju perambahan yang masih terjadi di beberapa tempat. Boks 3: Membeli Lahan Demi Membantu Teman Ibnu Yakin 31 tahun , lahir dan dibesarkan di desa Andongrejo. Pada tahun 1995 – 2005 menjadi TKI illegal di Malasyia. Akhir tahun 2005 – 2007 kembali lagi ke Malaysia. Merasa tidak nyaman hidup sebagai TKI illegal, awal tahun 2007, Ibnu Yakin akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Sekembali dari Malaysia awal tahun 2007 ia langsung menikah dan kini memiliki seorang anak. Selama menjadi TKI illegal, ia mengaku kepalanya beberapa kali diinjak oleh Polisi Diraja Malaysia. Ia juga pernah ditahan, dan baru dibebaskan setelah membayar 150 Ringgit. Agar tidak ditangkap Polisi, setiap malam, sehabis bekerja sebagai buruh, ia bersama dengan teman-temannya tidur di hutan. Ketika ditanya, enak mana menjadi TKI illegal di Malaysia dengan tinggal di pelosok desa di Indonesia, dengan tangkas Ibnu Yakin menjawab: enakan menggarap lahan tetelan TNMB. Seperti kebanyakan warga desa Andongrejo lainnya, Ibnu Yakin juga tidak memiliki lahan tegalan atau sawah, karena itu, sisa gaji yang ia dapatkan sebagai TKI illegal di Malaysia, ia belikan lahan tetelan dalam kawasan TNMB seluas 0,25 Ha dengan harga Rp.300.000,- dari tetangganya yang butuh uang, karena anaknya sakit. Kondisi lahannya tidak sangat subur mas, pada musim tanam akhir tahun 2007 – sampai pertengahan 2008, sejak pertama kali ia ”memiliki hak pemanfaatan” ia memperoleh hasil dari menanam kacang sebesar 1,25 kuintal, dijual dengan harga: Rp. 400.000,-. Sekarang lahan tetelannya kosong, dan rencananya pada musim hujan yang akan datang akhir tahun 2008 akan ditanami padi. Selain ditanami tanaman musiman, pada lahan tetelannya juga telah ditanami banyak tanaman tahunan yang dianjurkan oleh pihak TNMB, seperti asam, kedawung, nangka, pete, dan sebagainya, namun ia tidak hafal berapa jumlah pasti dari tanaman tahunan tersebut. Yang menanam bukan saya pak, tetapi orang yang menjual ke saya. Ketika Ibnu Yakin berangkat ke Malaysia pada tahun 1995, kondisi TNMB masih hijo royo-royo, ia sama sekali tidak menyangka jika kondisi TNMB menjadi rusak parah. Dengan logat Malaysia yang masih lekat, secara pribadi ia sangat prihatin, sedih bercampur senang dengan kondisi TNMB saat ini. Prihatin dan sedih jika pada musim kemarau kawasan penyangga TNMB menjadi seperti gurun di Afrika, panas dan kering, dan air sulit didapat. Namun, ia juga senang mendapatkan tetelan lahan untuk berladang, karena kenyataannya warga desa Andongrejo dan sekitarnya memang tidak memiliki lahan tegalan atau sawah, sehingga terpaksa harus menduduki lahan dalam kawasan TNMB. Ia sadar bahwa lahan yang ia beli Rp.300.000,. dari tetangga sedesanya, tidak memiliki kekuatan hukum, karena lahan tersebut milik negara TNMB. Ia juga sadar bahwa pihak TNMB sewaktu-waktu dapat saja mengusir keluar mereka dari kawasan TNMB, tetapi hal itu menurutnya bukan jalan keluar yang tepat, bahkan akan memperparah kerusakan TNMB, karena yang menggarap lahan tetelan jumlahnya ribuan orang. Jika kawasan penyangga ditutup oleh pihak Balai TNMB, ia yakin warga yang masuk hutan akan lebih banyak dari saat ini. Pada saat hendak diwawancarai, Ibnu Yakin sedang mencari pakan ternak sapi Nggaduh sistem bagi hasil milik orang Surabaya. Dari kerja Nggaduh ini ia sudah mendapatkan 1 satu ekor anak sapi sebagai celengan tabungan. Selain memelihara sapi Nggaduh, untuk bertahan hidup dengan seorang isteri dan seorang anaknya, pada musim buah pisang, Ibnu Yakin juga bekerja kulakan gedhang jual beli pisang dari para petani ke tenggkulak untuk dibawa ke Bali dan daerah-daerah lainnya di Jawa. Tiap harinya, ia mampu mengumpulkan 10 – 15 tandon pisang, 1 tandon dijual dengan harga antara Rp. 6.000 - Rp. 7.000, yang bagus dan besar laku dijual antara Rp. 8.000 - Rp.9.000. Pada musim buah pisang, ia mampu meraup keuntungan sampai Rp. 40.000 per hari, tetapi keuntungan tersebut baru ia terima dari tengkulak setelah 4 hari. Keuntungan yang diperoleh dari hasil berladang dan kerja sambilan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan tidak pernah ada sisa untuk ditabung. Ia juga tidak dapat memastikan berapa penghasilannya per bulan atau per tahun, karena semuanya serba tidak pasti dan tergantung keadaan musim. Ketika ditanya tentang keberadaan sejumlah LSM yang mendamping masyarakat desa penyangga TNMB, seperti: LATIN, HAMIM, KAIL, dan CIWALI, ia mengaku hanya pernah mendengar nama LSM KAIL, tetapi tidak pernah berhubungan dengan dan tidak tahu apa yang dikerjakan oleh LSM tersebut, tetapi bapak mertuanya pernah bekerja-sama dengan LSM KAIL beberapa kali, sekarang tidak pernah berhubungan lagi dengan LSM tersebut. Sumber: Wawancara Snowball September 2008

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola hubungan relasi sosial antara Balai TNMB dengan para pihak, terutama dengan masyarakat desa penyangga adalah hasil dari konstruksi kebijakan politik dan tekanan dari pemerintah atas pentingnya kawasan konservasi. Cara berpikir demikian telah menempatkan masyarakat desa-desa penyangga sebagai kelompok masyarakat yang lemah dalam konservasi dan seolah tidak membutuhkan konservasi alam. Pemerintah, dengan otoritas yang dimilikinya, tanpa ada dialog dan proses sosial lainnya dengan masyarakat langsung menetapkan zonasi kawasan. Dengan otoritas menetapkan zonasi, pemerintah menyudutkan kelompok masyarakat enklaf dengan stigma sosial sebagai permukiman ilegal dan membatasi ruang gerak masyarakat desa-desa penyangga non enklaf dalam mengakses sumberdaya alam. Muara dari proses zonasi kawasan yang di dalamnya sudah terbentuk wilayah hidup masyarakat, membentuk pola hubungan yang berdimensi konflik jangka panjang, berkelanjutan dan berspektrum luas. Konflik akses tersebut sudah bersifat manifest, sebagai dampak dari penyebaran peta kekuatankekuasaan pasca otonomi daerah –era orde baru kekuasaan terpusat-- dari para pihak dalam berhubungan dengan, mengambil manfaat atau menjaga eksistensi sumberdaya alam dalam kawasan TNMB. Konflik akses menimbulkan beban dampak yang berbeda terhadap masing- masing para pihak, yang disebabkan oleh sumber-sumber politik yang menimbulkan kesenjangan kekuasaan, keterbatasan kepemilikan tanah, dan kesenjangan pendapatan di antara kelompok masyarakat desa-desa penyangga dengan kelompok PT. LDO Jember yang dinilai meperoleh akses dan hak istimewa dari pemerintah dan juga pihak pengelola TNMB. Relasi sosial yang tidak seimbang dan memicu kecemburuan sosial bermuara pada penjarahan dan okupasi lahan. Demikian juga, perbedaan ketentuan dan perlakuan dalam hal menanam tanaman rehabilitasi antara kelompok masyarakat desa penyangga dengan PT. LDO Jember yang mendapatkan izin HGU bermuara pada penggagalan program rehabilitasi kawasan melalui konsolidasi nilai, sekalipun diintervensi Balai TNMB dan memakai simbol berbasis pemberdayaan masyarakat. 2. Kondisi faktual, ramifikasi, konsekuensi dan kelembagaan konservasi; a. Secara faktual, kebijakan legalisasi okupasi atau distribusi lahan dalam kawasan TNMB menimbulkan ramisikasi, yakni memberi implikasi positif pada aspek sosial ekonomi rumahtangga subsisten okupator, tetapi negatif terhadap aspek sosial budaya nilai-nilai kearifan lokal, kelembagaan konservasi masyarakat fungsinya bergeser menjadi instrumen perlawanan rehabilitasi, bermuara pada aspek ekologi gagalnya program rehabilitasi sebagai akibat dari perbedaan kepentingan dan perlakuan dalam rehabilitasi. b. Respon masyarakat terhadap program rehabilitasi relatif baik. Namun karena adanya perbedaan ketentuan dan perlakuan poin 1 menimbulkan polarisasi antar aktor dalam mengakses dan menjaga eksistensi kawasan konservasi TNMB. Polarisasi kepentingan itu terjadi antara kelompok konservasionis populis yang dimotori oleh kelompok LSM-L, Ormas dan Ormas mahasiswa dan Organisasi Pencinta Alam OPA berhadapan dengan kelompok pragmatisme developmentalisme PT. LDO Jember yang bersembunyi dibalik legalitas hukum HGU serta idealisme konservasi dari pihak Balai TNMB. Polarisasi di atas berdampak pada keamanan dan masa depan kawasan yang dapat dijadikan sebagai arena konflik kepentingan, pelampiasan rasa kecewa para pihak, atau menjadi kawasan solusi darurat atas kelangkaan kepemilikan lahan untuk perebutan kekuasaan politik lokal dan nasional Pemilu, atau seperti yang terjadi pada tahun 19971998. 3. Dinamika kepentingan akses, hak, dan kelembagaan masyarakat dan efektifitas pemanfaatan lahan dalam zona rehabilitasi, bagi kelompok dan pimpinan kelompok masyarakat, tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan lahan bertani dan berladang, tetapi juga untuk memperlihatkan kekuatan pengaruh mereka kepada masyarakat, aparat birokrasi lokal dan aparat keamanan. Pengaruh dan jaringan sosial aktor lokal desa-desa penyangga harus mendapatkan perhatian yang cukup, jika ingin mencapai keberhasilan dalam menjalankan program rehabilitasi hutan.

6. 2 Saran Kebijakan

1. Kondisi faktual menunjukkan bahwa rehabilitasi zona tehabilitasi TNMB berbasis masyarakat gagal. Menghadapi kenyataan tersebut, maka pihak Balai TNMB perlu segera menyelesaikan masalah isu tenurial, yang mengarah kepada “ketidakpastian tenurial“ tenurial insecurity dan perluasan lahan okupasi oleh masyarakat; 2. Balai TNMB perlu segera melakukan dialog yang transparan dan renegosiasi dengan kelompok-kelompok masyarakat okupator dan tokoh masyarakat lokal dalam hal penentuan zona. Dialog ini menyangkut rezonasi zona-zona yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup masyarakat desa penyangga, dan pilihan jenis tanaman rehabilitasi yang dibolehkan ditanam dalam lahan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menekan laju deforestrasi pada zona rehabilitasi dapat diminimalkan, yakni dengan memfungsikan kembali lembaga konservasi masyarakat yang ada dan diinisiasi oleh Balai TNMB; 3. Di kalangan masyarakat, dalam kondisi terdesak, berpotensi melahirkan kreatifitas berpikir yang tidak selalu positif terhadap eksistensi kawasan. Konsolidasi dan sosialisasi rehabilitasi zona berbasis pemberdayaan masyarakat yang melibatkan beragam pihak dan keahlian perlu lebih diintensifkan lagi. Hal ini mengingat sikap dan perilaku masyarakat di sekitar kawasn bersifat dinamis, maka perlu dilakukan kajian mendalam tentang perubahan sikap dan perilaku masyarakat sekitar, terutama berkaitan dengan masalah lahan dan eksistensi kelompok masyarakat enklaf dan buruh kebun.