D. Efektifitas kelembagaan KetanMerahOPR dalam pengelolaan konflik
Kegiatan koordinasi anggota internal kelompok, dan apalagi antar kelompok, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Ini terjadi karena masalah
kesadaran berorganisasi bagi masyarakat petani, secara umum masih sangat rendah. Kecuali itu, jarak tempat tinggal antar anggota kelompok relatif jauh, dan
koordinasi kebanyakan hanya diwakili oleh pengurus Ketua. Akibatnya, hal-hal penting yang semestinya disosialisasikan tidak dapat disampaikan secara optimal,
sehingga terjadi konflik --perbedaan kepentingan dan cara pandang berdasarkan kebiasaan dan pengalaman masing-masing-- di lapangan, antara petani dengan
petugas Balai TNMB. Petugas Balai TNMB membagi bibit tanaman dan menganjurkan menanamnya pada waktu yang tidak tepat belum musim hujan,
berdasarkan kebiasaan dan pengalaman petani tidak mungkin tumbuh, sementara petugas harus menjalankan ”perintah yang tidak lazim” membagi bibit agar segera
ditanam oleh petani. Rehabilitasi adalah program intervensi pemerintah ”berbaju kemitraan”
sebagai pintu masuk ”berdamai” dengan masyarakat, sementara masyarakat yang menduduki lahan, sebelum program rehabilitasi masuk sudah mendahuluinya
dengan menanam sejumlah tanaman musiman dan tanaman tahunan buah- buahan. Para petani dihadapkan pada pilihan untuk tetap mempertahankan atau
membabat tanaman tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan rehabilitasi yang telah ditetapkan oleh Balai TNMB. Demikian juga dengan konflik jarak
tanam, para petani menanam melebih ketentuan Balai TNMB, yakni 5 X 5m. Menurut para petani jarak tersebut telalu rapat dan jika berbuah hasil buahnya
sedikit. Para petugas Balai TNMB merasa telah menyampaikan sejumlah
informasi dan peringatan, namun diabaikan para petani. Dalam situasi ini, para petugas Balai TNMB dihadapkan pada dilema, jika melakukan tindakan represi
hukum dan kekerasan fisik, hanya akan menimbulkan kerusakan kawasan yang lebih parah. Pada sisi lain, jika dibiarkan, maka masyarakat menganggap tidak
apa-apa atau diperbolehkan oleh petugas Balai TNMB. Preposisi Zander 1990 menyatakan;
”Preposisi 6: Efektifitas upaya yang dilakukan oleh aktifis dalam mempengaruhi pihak yang dituju target persons akan melemah jika upaya tersebut melahirkan
oposisi atau kendala di antara kelompok sasaran”
Kecuali konflik di atas, konflik serius lainnya adalah konflik internal keturunan ”ahli waris” dari anggota KetanMerahOPR. Hak bertani dan
berladang yang mereka dapatkan, pada situasi keterbatas lahan, sangat berat untuk dikembalikan kepada Balai TNMB atau dilimpahkan secara gratis kepada warga
yang lain, karena mereka sebagai turunannya secara defacto telah ikut membantu proses rehabilitasi. Potensi konflik lainnya adalah konflik eksternal antar
kelompok masyarakat yang belum mendapatkan kesempatan mengakses lahan dalam kawasan TNMB. Apa yang sudah didapat dan dinikmati oleh kelompok
petani saat ini, pada situasi sosial ekonomi, budaya dan ekologi tertentu akan diikuti oleh warga masyarakat yang lain yang belum mendapatkan lahan dalam
kawasan TNMBN.
5.2.5.2.3 Partisipasi dan kontribusi kemimpinan nonformal desa-desa penyangga dalam pengelolaan TNMB
Pola hubungan kepemimpinan yang umum terjadi dalam masyarakat agraris, termasuk di desa-desa penyangga TNMB, adalah pola hubungan yang
bersifat paternalistik samii’an wathaa atan atau sandhiko dawuh pada pemimpin non formal. Intervensi media massa elektoronik dalam ruang hidup masyarakat
agraris hingga kini belum memudarkan apalagi menghilangkan eksistensi dan dominasi peran pemimpin non formal secara total dalam kehidupan sosial
masyarakat agraris, seperti; adat istiadat, pengenalan teknologi dan juga dalam bidang keagamaan.
Kekuatan kepemimpinan non formal ini belum difungsikan atau dilibatkan secara maksimal oleh Balai TNMB, sehingga kontribusi mereka dalam bentuk
pemikiran, nilai, sikap dan berperilaku konservasionis juga sangat sedikit --untuk tidak mengatakan tidak ada-- ketika terutama ajaran agama dan perhatian serta
kesadaran pemimpin agama-agama terhadap masalah lingkungan hidup sangat tinggi dan massif.
119
119
Dalam Islam, misalnya, saat ini sedang berkembang pesat fiqh lingkungan, fiqh agrarian, fiqh bencana; dalam aagama kristen berkembang theologi lingkungan. Pada Ormas Islam NU dan Muhammadiyah, terutama di Jawa,
diskursus fiqh lingkungan, fiqh agraria, fiqh bencana sudah tersosialisasikan hingga pada tingkat pengurus ranting desa,
Fungsi dan peran kepemimpinan non formal dalam advokasi
konservasi lingkungan dan kontra tambang yang bagus tinggi, dalam 10 sepuluh tahun terakhir, justeru terjadi di desa penyangga perbatasan sebelah
utara TNMB, yakni desa Pace dan Mulyorejo Silo. Namun, fungsi dan perannya diluar kendali dan tidak ada koordinasi langsung maupun tidak langsung dengan
Balai TNMB, seperti dalam Tabel 63. Tabel 49 Kontribusi, fungsi dan peran para
pemimpin non formal desa- desa penyangga dalam pengelolaan TNMB
No. Desa
Pemimpin non formal sosial
budaya Pemimpin
non formal keagamaan
Fungsi, dan peran dalam pengelolaan
TNMB Hubungan
kerja-sama dengan
TNMB Substansi pesan nilai,
sikap dan perilaku dalam
ceramah, dialog dan arahan
tentang konservasi dan
rehabilitasi
Ceramah, dialog dan
arahan Aksi
1. Wonoasri
4 orang 3 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
2. Curahnongko
5 orang 5 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
3. Andongrejo
4 orang 4 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
4. Sanenrejo
5 orang 6 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
5. Curahtakir
3 orang 4 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
6. Mulyorejo
5 orang 6 orang
√ Tinggi
Tidak ada Tinggi, kontra tambang
7. Sarongan
4 orang 4 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
8. Kandangan
3 orang 3 orang
√ Sedikit
Tidak ada Sangat sedikittidak ada
Sumber: Data primer, setelah diolah 2008
Pengaruh pemimpin masyarakat, seperti disebutkan di atas, masih sangat kuat, karena sifat masyarakatnya yang paternalistik. Namun, peran dan proses
komunikasi dengan mereka hanya bersifat insidentil pernah dilakukan tetapi tidak intensif dan berkelanjutan serta tidak dikelola dengan baik oleh pihak Balai
TNMB, sehingga ini menjadi linier dengan fakta tingginya aktivitas masyarakat yang melakukan pengambilan SDH TNMB tabel 79. Angka proporsi
pengambilan SDH yang masih tinggi terjadi di desa Sanenrejo sebesar 87,5, kemudian disusul Curahtakir 85,7, Wonoasri 77,8, Andongrejo 71,4,
Sarongan 65; Kandangan 45, dan Curahnongko 40. Penebangan kayu bangunan menunjukkan angka proporsi tertinggi terjadi di desa Curahnongko
sebesar 80, kemudian disusul secara berurutan Sarongan 75, Kandangan 75, Sanenrejo 70, dan Curahtakir 50 lihat Tabel 64. Pada situasi dan
kondisi tertentu ”terpaksa”, para pemimpin non formal membolehkan mengambil SDH TNMB, bukan dalam konteks boleh halal dan menyuruh melawan hukum,
tetapi sebagai bentuk resistensi terhadap pola pendekatan dan sikap elitisme birokrasi Departemen Kehutanan Balai TNMB dan Perhutani. Sikap dan
sebagai respon terhadap beragama masalah lingkungan, konflik agrarian dan bencana alam dan lingkungan berkelanjutan yang menelan korban jiwa dan harta benda.
perilaku ini didukung oleh pemimpin formal aparat aksi aji mumpung, yang ingin mendapatkan upeti langsung dari pengambilan SDH dan penebangan serta
pengangkutan kayu ilegal. Tabel 50 Aktivitas pemimpin di desa-desa penyangga berkaitan dengan
pengelolaan dan pengambilan hasil hutan dalam kawasan TNMB
No. Desa
Aktivitas pemimpin masyarakat berkaitan dengan pengelolaan TNMB dalam bentuk
ceramah, sosialisasi dan dialog Proporsi
pengambilan hasil SDH
Proporsi penebangan
kayu bangunan Formal
Non formal
01. Wonoasri Pernah
Pernah Tinggi 77,8
- 02. Curahnongko
Tidak pernah Tidak pernah
Sedang 40 Tinggi 80
03. Andongrejo Pernah
Tidak pernah Tinggi 71,4
- 04. Sanenrejo
Pernah Pernah
Tinggi 87,5 Tinggi 70
05. Curahtakir Pernah
Pernah Tinggi 85,7
Sedang 50 06. Mulyorejo
Tidak pernah Tidak pernah; GNKL NU
Sedang ±45 - hutan lindung
07. Sarongan Pernah
Pernah Tinggi 65
Tinggi 75 08. Kandangan
Pernah Pernah
Sedang 45 Tinggi 75
Sumber: BTNMB 2006 Keterangan:
5.2.6 Aktor, polarisasi kepentingan dan perannya dalam pengelolaan TNMB
Hasil wawancara 2008
Fokus analisis akses para aktor pada bahasan di atas lebih kepada upaya individu-individu untuk mendapatkan keuntungan sosial ekonomi di internal
kelompok pengakses SDH TNMB. Aktor pada bahasan ini adalah aktor institusional non individu, yang terdiri dari 26 aktor yang bergerak secara
indepent maupun dalam bentuk koalisi atau konsorsium yang saling sinergis, antara institusi pemerintah versus institusi sosial kemasyarakatan atau NGOs.
Aktor institusi tersebut meliputi aktor dari unsur jaringan birokrasi pemerintah, pemanfaat atau pengguna SDH dan non SDH, Ormas, ormas mahasiswa dan
mahasiswa pecinta alam PA, dan LSM-L. Aktor yang mengambil keuntungan dan atau yang mengawal eksistensi TNMB, dari segi jumlah relatif sangat besar
Tabel 65. Mekanisme akses dilihat dari aktualisasi kepentingan aktor terhadap
eksistensi kawasan TNMB dilakukan dalam beberapa bentuk, yakni aktualisasi dalam; 1 Penataan, 2 Pemanfaatanpenggunaan gain, 3
Pengembangan, 4 Pemeliharaan maintenance access, 5 Pemulihan, 6
Pengawasanpengontrol control access
dan 7
Pengendalian
UU No.231997 Pasal 1 ayat 2
120
Gerakan lingkungan environtmental movement dari masing-masing aktor dimaksud lebih banyak bersifat independent, kecuali pada kasus akses energi dan
sumberdaya mineral ESDM –mangan, emas, tembaga, dll--, kelompok Pencinta Alam, semuanya mensub-ordinasikan diri dalam gerakan LSM-L. Konsolidasi
gerakan yang massif antar aktor --LSM dan Ormas-- juga terjadi ketika ada upaya dari pihak pertambangan mengakses energi dan sumberdaya mineral ESDM --
tambang emas, tembaga, perak, mangan dll-- pada kawasan tersebut. Akses tambang bagi kebanyakan aktor adalah akses yang sangat berbahaya dan
mengancam keberlanjutan hidup dan kehidupan masyarakat sekitar dan KSDAHE TNMB, sehingga harus dilawan atau ditolak secara bersama-sama dan sinergis.
Polarisasi dan kontra akses tambang telah berlangsung sejak tahun tahun 1999- 2000, kemudian muncul lagi pada tahun 2008 sampai saat ini Tabel 53.
; Ribbot dan Peluso, 2003. Dari ketujuh mekanisme dan proses tersebut, tidak semua institusi melakukan keseluruhan
peran yang dapat ia mainkan untuk memperjuangkan kepentingannya. Pola hubungan untuk memperjuangkan sejumlah kepentingan institusi dikonstruksi
dalam dua bentuk, yakni; 1 Pola hubungan formal melalui kerja-sama MoU -- ada atau pernah ada hubungan kerja-sama--, dan 2 Tidak pernah ada hubungan
kerja-sama MoU dengan pihak Balai TNMB, tetapi bersifat sinergis dan memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap eksistensi kawasan TNMB
sebagai kawasan konservasi Tabel 66. Kepentingan dari masing-masing aktor, mencakup 6 enam point penting,
yakni; 1 kelompok kepentingan pro-kawasan konservasi konservasionis, 2 kelompok kepentingan anti tambang anti kapitalis anti developmentalism,
3 kelompok kepentingan pemberdayaan, pembelaan hak, akses, kelembagaan, demokrasi, keadilan distribusi SDA dan masalah agraria anti hegemoni,
dehumanisasi pemanfaatan SDH, 4 kepentingan riset pengembangan research and development, 5 Kepentingan penataan tata ruang, pengendalian dan
penegakan hukum dan
6 kelompok kepentingan sosial ekonomi
penggunapemanfaat SDH dan PAD.
120
UU Nomor: 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah uapaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan; penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.