2 Saran Kebijakan KESIMPULAN DAN SARAN

RAPPAM 2004. Report Workshop: Indonesia Case Study Management Effectiveness Assessment of National Parks Using WWF’s RAPPAM Methodelogy. Diterbitkan atas Kerjasama Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, BirdLife Indonesia, Conservation International Indonesia Program, Fauna and Flora International- Indonesia Program, The Nature Conservacy - Indonesia Program, USAID - The Nature Resoucers Management III, Wetlands International- Indonesia Program, Wildlife Conservation Society - Indonesia Program, and WWF - Indonesia. Rapport J. 1984. Studies in Empowerment: Introduction to the Issues, Prevention in Human Issue. Ribot JC, Peluso NL. 2003. A Theory of Access. The Rural Sosiological Society. Robbins P. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. USA UK: Blackwell Publishing. Rice PL, Ezzy D. 2000. Qualitative Research Methods. South Melbourne: Oxford University Press. Salmi J. 2006. Violence and Democratic Society, Holiganisme dan Masyarakat Demokrasi. Jakarta: Pilar Media. Saparjadi K. 1998. Kerjasama Kemitraan dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam KPA dan Kawasan Suaka Alam KSA: Makalah dalam Lampiran II. Laporan Lokakarya Pengembangan Kerjasama Kemitraan dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam KPA dan Kawasan Suaka Alam KSA. Pelaksana Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Natural Resources Management Program, Disponsori United States Agency for International Development USAID, Jakarta, 21 April 1998. Santosa I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Satria, A. 2002. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Kelautan, Belajar dari Pengalaman Jepang, Jurnal Analisis CSIS Tahun XXXI2002. No. 4. CSIS Jakarta. Schlager E, Ostrom E. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economica 68 3. Scott JC. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scott P, Sullivan S. 2000. Editors. Political Ecology, Science, Myth and Power. London: School of Oriental and African Studies, University of London. Singarimbun M, Peny DH. 1976. Penduduk dan Kemiskinan. Jakarta: Bhatara Karya. Soetaryono R. 2004. Kebijakan Pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup. Jakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Solow RM .1999. Notes on Social Capital and Economic Perfomance. Di dalam Dasgupta P, Serageldin I editors. Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank. Sugiono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R D. Bandung: Alfa Beta. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial JPS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Supaeri. 2005. Institusi untuk mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kabupatren Bekasi Provinsi Jawa Barat [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutarto E, Sitorus F, Maguantara YN. 2001. Desentralisasi Kebijakan dan Administrasi yang Mempengaruhi Hutan di Kabupaten Ketapang [Draft Paper] Bogor: CIFOR. Swift C, Levin G1987. Empowerment: An Emerging Mental Healt Technology. J Primary Prevention, USA. Upp S. 1995. Pedoman Penerapan Metodelogi Report Card System RCS. Bangalore: LJB School of Public Affairs, Texas University Public Affairs Center PAC India. Thomson JB. 2003. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Penterjemah; H Yaqin. Dari Judul Asli:Studies in the Theory of the Ideology. 1984. Yogyakarta: IRCiSoD. Weber M. editor. 1978. Economy and Society. Berkeley: University of California Press. Whelan J, Oliver P. 2005. Regional community based planning: the challenge of participation environmental governance. Australian J Environemental Management. 12: 126-135. [WCED] World Commision on Environmnetal and Development. 1987. Our Common Future. New York Oxford: Oxford University Press. Wrangham R.2003. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat, 1960-1999; Di Dalam: Resosudarmo`et al. Ke mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wuisman JJM. 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jilid I. Azaz-azas. Hisyam M editors. Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia. Zander A. 1990. Effective Social Action by Community Groups. San Francisco: Jossey-Bass Inc. Zurcher S. 2005. Public Participation in Community Forest Policy in Thailand: The Influence of Academics as Brokers. J Geography 105 1: 77-88. 244 ABSTRACT ABD. QADIM HS. Political Ecology in Managing National Park of Meru Betiri Jember Regency and Banyuwangi Regency in Reform Era of National Politic. Supervised by HADI S. ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, dan SUMARDJO. National park of Meru Betiri TNMB is 58,000 ha. Since 1960, more than 2,000 ha of national park of Meru Betiri TNMB has given to PT. New Sukamade Banyuwangi and PT. Bandealit Jember as Cultivation Rights TitleHGU. Through the Director General of PHPA Decree and Forestry Minister Decree No: 131Kpts-II1998, the government lengthened HGU of 2,155 ha in buffer zone of TNMB Director General of PKA Decree No: 185KptsDJ-V1999. The lengthening of HGU in chaos national political condition triggered people to loot land of TNMB. This action occurred as a result of imbalance and scarcity of property right and narrow life space of community. Realizing chaos sociopolitical condition 2001-2003, TNMB invited national and local NGOs in order to take back lootedoccupied land through rehabilitation program based on community development. Ramifications were social consequences of political co-operation of rehabilitation. Rehabilitation cooperation legalized access for planting. Impact of this cooperation was tenure issues lead to insecurity tenure for both parties. This study applied political ecology analysis to find that there was conflicts of access and natural resources benefits of and impact load caused by disparity of power, land ownership, and income between community groups in buffer villages with TNMB and community groups given access and privilages. This conflict triggered looting and occupation of land. The policy to legalize land distribution for planting resulted positive implication to socio-economic people but negative to socio- culture people local wisdom and to ecological aspects fail rehabilitation program as results of conflict interests and treatment difference in rehabilitation. Keywords: ramifications, legal access to planting, land occupation, tenurial insecurity

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

Taman Nasional Meru Betiri TNMB, dari aspek Biological Importance Value BIV merupakan Taman Nasional terkaya nomor 1 satu dari 42 empat puluh dua Taman Nasional yang ada di Indonesia, dengan nilai BIV: 47 point Gambar 1, peringkat kedua ditempati oleh TN Lorenzt, TN Danau Sentarum dan TN Karimun Jawa, dengan nilai BIV: 45 point, dan pada peringkat ketiga ditempati oleh TN Gunung Leuser, TN Komodo, TN Gunung Halimun Salak, TN TN Ujung Kulon, dan TN Sembilang, dengan nilai BIV: 42 point. TNMB dengan luas total 58.000 Ha merupakan Taman Nasional terluas di propinsi Jawa Timur, jika dibandingkan dengan 3 tiga Taman Nasional lainnya yang ada, yakni; 1 TN Bromo TS dengan luas 50.276,3 Ha, 2 TN. Alas Purwo dengan luas 43.420 Ha, dan 3 TN Baluran dengan luas 25.000 H BAPEDDA 19971998. Di lihat dari aspek Social Economic Importance Value SEIV, urutan peringkat nilai sebagai berikut; peringkat pertama adalah TN Gunung Leuser dengan nilai SEIV: 48,5 point, peringkat kedua adalah TN Kerinci Sebelat dengan nilai SEIV: 47 ponit, peringkat ketiga ditempati oleh TN Danau Sentarum dengan nilai SEIV: 45 point, dan pada peringkat ke empat ditempati oleh TN Meru Betiri, TN Bukit Barisan, dan TN Wasur, dengan nilai SEIV: 42 point RAPPAM 2004. Kekayaan tersebut merupakan potensi positif bagi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan SDA-L Indonesia. Hal ini menjadi modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai-macam kepentingan pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk peningkatan derajat kesejahteraan ekonomi dan sosial budaya masyarakat perdesaan di sekitarnya. Potensi peringkat pertama untuk BIV dan keempat untuk SEIV nasional tersebut, ternyata menghadapi masalah kompleksitas sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Masalah tersebut berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan politik pengelolaan Taman Nasional. Gambar 1 Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi Taman Nasional di Indonesia RAPPAM 2004 Kebijakan politik pengelolaan taman nasional era rezim Orde Baru -- termasuk pengelolaan TNMB-- di satu sisi, demi perlindungan SDA-L yang ada di dalamnya, telah memotong dan merintangi akses access dan hak rights serta represif terhadap kelembagaan institution masyarakat sekitarnya. Pada sisi lain, dengan legalitas Surat Izin Hak Guna Usaha HGU, ia memberi akses dan hak ekslusif terhadap kelompok minoritas dominan PT. Ledokombo Jember PT. LDO untuk memanfaatkan SDA-L dalam kawasan Taman Nasional. Pembatasan dan kontrol atas akses dan hak-hak masyarakat lokal terhadap SDA-L merupakan bentuk-bentuk kekerasan ekologis eco-violence yang sering terjadi dalam praktik kebijakan pengelolaan SDA-L di banyak negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin Salmi 2006. Pemberian akses dan hak eksklusif private property tersebut menunjukan inkonsistensi sekaligus keberpihakan UU No. 51990 dengan memeperdagangkan tradable title zona kawasan pada kelompok minoritas dominan. Dalam kebijakan pengelolaan TNMB, dengan mengandalkan argumentasi sejarah, akses dan hak privasi dapat diberikan kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember sebagai anak perusahaan PT. Ledokombo LDO Jember, untuk mengelola zona pemanfaatan khusus seluas 2.154 Ha 1994 1,2 atau zona penyangga 2.155 Ha 1999 3 1 SK DirJend PHPA Nomor: 68KPTSDJ-VI1994, tanggal 30 April 1994 dalam kawasan TNMB. Akses dan hak ekslusif diberikan dan atau diperoleh seseorang atau suatu perseroan merupakan bentuk penghargaan serta pengendalian politik yang bermuara pada ketidak-adilan distribusi SDAL. Pengendalian atas SDA-L, dimaksudkan untuk menundukan masyarakat atau pengusaha ke dalam kendali sosial politik dan ekonomi pemerintah Gorz 2002. Mitchell et al. 2003 menunjukkan bahwa akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang dapat menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak milik yang terkonsentrasi kepada kelompok kecil masyarakat, sehingga menimbulkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain, yang kemudian memicu lebih banyak akibat lain. Ketidak-adilan akses, hak dan kelembagaan masyarakat atas SDA-L bersumber dari kebijakan politik pemerintah, yang berakumulasi dengan masalah rendahnya tingkat pendidikan, tekanan ekonomi dan penguasaan lahan yang sangat terbatas, pertumbuhan penduduk, serta stabilitas politik nasional dan lokal. Akumulasi masalah tersebut, ketika situasi politik nasional, regional atau lokal chaos memicu masyarakat untuk terus menekan dan mengancam secara massif eksistensi kawasan TNMB sebagai kawasan konservasi Gambar 2. Perspektif politik konservasi ecofasisme, tekanan masyarakat adalah ancaman konservasi SDA-L yang harus ditekan melalui pengawasan control oleh institusi yang kuat badan supranasional Dietz 1998. Kontrol dan penutupan akses yang kuat selama rezim Orde Baru berkuasa terhadap masyarakat desa-desa penyangga dalam pengelolaan kawasan TNMB telah mempersempit ruang gerak masyarakat; Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga berada dalam kategori miskin kronis dengan penguasaan lahan yang sangat terbatas dan tidak merata. 2 HGU atas areal TNMB tersebut berdasarkan SK Menhut No: 131Kpts-II1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Sukomade Baru yang terletak di TNMB Kabupaten Banyuwangi, seluas 1.098 Ha; Dan SK Menhut No: 132Kpts-II1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Bandealit yang terletak di TNMB Kabupaten Jember, seluas 1.057 Ha, yang selanjutnya ditetapkan sebagai zona penyangga Taman Nasional, tanggal 23 Pebruari 1998. SK Menhut ini dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan Menhut No: 1194Menhut- II1997 tanggal 7 Oktober 1997, tentang persetujuan pelepasan kawasan hutan bekas areal Perkebunan PT Sukamade Baru dan bekas areal perkebunan PT Bandealit. Tingkat penguasaan lahan pertanian masyarakat desa- 3 SK DirJend PKA No: 185KptsDJ-V1999 tanggal 13 Desember 1999; SK Menhut Nomor: 131Kpts- II1998, pada zona pemanfaatan khusus PT. Sukamade Baru terdapat penambahan luas 1 Ha, dari 1.097 Ha HGU 1960- 1980 menjadi 1.098 Ha HGU 1998-2022 untuk masa operasi 25 tahun, dan dapat diperpanjang lagi hingga 35 tahun kemudian hingga tahun 2057. desa penyangga TNMB di kabupaten Jember dan Banyuwangi rata-rata 1,020 HaKK. Melemahnya kontrol pemerintahan rezim Orde Baru atas sejumlah kawasan hutan dan taman nasional secara nasional, mendorong banyak pihak -- terutama aparat penegak hukum, aparat keamanan, pengelola taman nasional, birokrat dan pengusaha kayu lokal -- melakukan aksi ambil untung, dengan membayar tenaga masyarakat desa penyangga untuk menjarah kayu jati dan kayu rimba yang berada dalam kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen. Stabilitas politik nasional yang sangat labil dan perilaku aparat pemerintah seperti disebut di atas mendorong masyarakat desa penyangga untuk melakukan hal yang sama -- tidak sekedar sebagai tanaga bayaran-- dengan melakukan konsolidasi nilai dan aksi penjarahan dan okupasi lahan secara massal. Kebijakan politik dan situasi sosial politik tahun 1997 hingga 2003, dalam kasus pengelolaan TNMB, mengacu kepada perspektif ekologi politik Bryant 1992, merupakan situasi sosial politik yang tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan kausalitas dari tiga faktor utama, yakni sumber-sumber politik, kondisi dan ramifikasi. Salah satu dampak dari ketiga faktor tersebut adalah melemahnya kontrol badan supranasional dan bahkan badan supranasional memposisikan dirinya sebagai aktor penting dari melemahnya kontrol atas kawasan, sehingga menggiring dan memaksa kawasan TNMB masuk dalam kondisi dan kompleksitas politik perubahan lingkungan di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur. Dampak lanjutan dari penjarahan adalah okupasi lahan. Penanganan masalah okupasi lahan, dalam situasi sosial politik yang labil, bagi Balai TNMB tidak ada pilihan lain untuk keluar dari masalah tersebut kecuali dengan melegalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi secara bersyarat kepada beberapa kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam kendali Balai TNMB. Penjarahan kayu dan okupasi lahan TNMB pada situasi sosial politik yang diuraikan di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk atau gerakan akses yang dikembangkan oleh Ribot dan Pelusso 2003. Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi secara terbatas, menghatarkan kelompok-kelompok masyarakat desa penyangga menjadi “memiliki sejumlah hak” atas lahan dalam kawasan rehabilitasi Schlager dan Ostrom 1992. Gambar 2 Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman nasional di Indonesia RAPPAM 2004 Menghadapi situasi di atas, Balai TNMB berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186Kpts-II2002, ditugaskan untuk ”Menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis Renstra berdasarkan Visi, yakni; ”Terwujudnya pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” BTNMB 2007. Dari visi tersebut, maka ditetapkanlah misi pengelolaan TNMB, yakni; 1 melindungi dan mempertahankan keutuhan kawasan beserta potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, 2 memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan, 3 memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan melalui program kemitraan dengan LSM-L nasional dan lokal, dengan atau tanpa MoU dan 4 meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan manajemen pengelolaan kawasan BTNMB 2007.

1. 2 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan Taman Nasional –termasuk TNMB— dirancang dan dilaksanakan berdasarkan visi, misi dan strategi yang formulasinya disesuaikan dengan dinamika politik nasional, regional dan lokal. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru 19971998, Balai TNMB harus membuat formula baru mengenai pola hubungannya dengan para pihak, terutama kalangan LSM-L dan masyarakat sekitar kawasan yang menggantungkan hidupnya pada kawasan TNMB. Dinamika dan situasi sosial politik tersebut menunjukan pengaruhnya yang signifikan terhadap eksistensi kawasan dan kinerja Balai TNMB dalam mengelola kawasan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186Kpts-II2002 , tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh Balai TNMB adalah ”menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis Renstra berdasarkan Visi, yakni; ”terwujudnya pengelolaan TNMB secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” BTNMB 2007. Menjalankan tugas pokok dan fungsi tupoksi di atas pada situasi politik yang telah bergeser atau berubah, Balai TNMB berjalan dalam koridor sejumlah sumber-sumber politik, berhadapan dengan sejumlah situasi dan kondisi sosial faktual serta masalah ramifikasi Bryant, 1992 yang muncul hampir secara bersamaan. Kompleksitas situasi dan kondisi sosial demikian, sebagian belum sempat dipikirkan atau diprediksi oleh para penyelenggara birokrasi pemerintah, sehingga para pihak yang bertanggung-jawab relatif kesulitan untuk mengurai masalah, menentukan solusi yang tepat sasaran dan menyelesaikan masalah konflik kepentingan dan perebutan akses dan hak atas SDA-L dalam suatu kawasan. Bahkan tidak jarang, penanggung-jawab suatu institusi pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang sifatnya prematur yang justeru menimbulkan masalah berkelanjutan dan lebih rumit untuk diselesaikan, seperti pada kasus legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB. Terkait dengan masalah di atas, bahwa idea legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dimaksudkan untuk mendukung percepatan program rehabilitasi. Namun, pada praktiknya, rehabilitasi ternyata bukanlah sekedar aksi menanam an sich yang telah menjadi bagian dari hidup masyarakat agraris. Menanan bagi masyarakat desa sekitar kawasan memiliki beragam makna yang harus dicermati dalam banyak dimensi dimensi nilai ekonomi, sosial politik, strategi bertahan dalam kawasan, solidaritas serta kuasa kelompok dan individu, untuk melawan ketidak-adilan akses dan hak atas SDA-L yang diterapkan oleh pemerintah. Pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat organisasi petani rehabilitasi kelompok tani rehabilitasi OPR KetanMerah sebagai syarat legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman juga dimaksudkan untuk mendukung percepatan rehabilitasi zona penyangga berbasis masyarakat. Namun eksistensi lembaga konservasi bentukan Balai TNMB tersebut tidak linier dengan program rehabilitasi, pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran hutan tipihut yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan. Tekanan dan stigma sosial yang mengacu kepada sumber-sumber politik pengelolaan TNMB terhadap kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam mengakses dan mendapatkan hak-hak mereka atas potensi SDA-L, pengabaian sejarah dan keberlanjutan hidup masyarakat sekitarnya, serta secara nyata hanya berpihak kepada kelompok minoritas bermodal, bermuara pada timbulnya beragam resistensi sosial. Persaingan akses, dan hak antar aktor atau kelompok masyarakat untuk mendapatkan SDA-L dalam kawasan TNMB saat ini relatif tinggi. Fakta-fakta sosial dilapangan menunjukkan bahwa integrasi kepentingan antara pihak pengelola TNMB demi idealisme konservasi dengan masyarakat sekitar kawasan demi bertahan hidup nyoon odi’ pada negaranya dan pihak PT. Ledokombo LDO Jember demi kepentingan pragmatisme ekonomi, serta kepentingan para pihak lainnya pada eksistensi TNMB, dalam hal-hal yang mendasar belum berjalan secara optimal. Artinya, para pihak berjalan dengan pikiran dan kepentingannya masing-masing. Tekanan dan ancaman masyarakat terhadap eksistensi kawasan TNMB, karena itu tidak cukup hanya dibendung dengan argumentasi politik dan hukum positif yang cenderung naif. Analisis ekologi politik model Bryant 1992 untuk mendalami implementasi kebijakan, dinamika persaingan, jaringan dan pola-pola akses, hak dan kelembagaan masing-masing aktor atau kelompok masyarakat pada kasus pengelolaan TNMB era reformasi politik nasional menjadi sangat penting untuk dilakukan, sehingga tekanan dan ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan TNMB sebagai kawasan konservasi dapat dikelola secara positif. Situasi dan kondisi --saling klaim, sikap dan perilaku serta stigma kebijakan Balai TNMB-- telah mengganggu fokus dan kinerja konservasi Balai TNMB. 4 4 Wawancara dengan tokoh masyarakat Rajekwesi Oktober 2007 di Dusun Rajekwesi Guna mengawal dan mendukung kinerja konservasi, rehabiltasi berbasis pemberdayaan dan pengembangan masyarakat PPM secara simbolis telah dilakukan oleh Balai TNMB. Namun, gerakan tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dilihat dari aspek sosial budaya, aspek sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan aspek ekologi. Hal ini berarti masih ada masalah mendasar yang belum disentuh dan dibahas oleh pihak pengelola dan para pihak terkait, sebagai arah baru pengelolaan TNMB, yakni yang berkaitan dengan tata kuasa dan pendekatan teknis untuk menyelesaiakan masalah-masalah jangka pendek. Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian. PRA REFORMAS: 1. 60 hutan jati habis dibalak 2. Zona penyangga steril dari okupasi 3. Konflik kawasan: Laten 4. Pelanggaran hukum tinggi ERA REFORMASI : 1. Penjarahan 40 sisa hutan jati 2. Konflik: ketidak-adilan akses Hak 3. Lapar lahan Okupasi lahan 4. Stigma kebijakan 5. Institusi OPR Alat perlawanan. 6. Konflik klaim Kawasan 7. Penegakan Hukum ↓ : Okupasi lahan dan Pelanggaran Hutan 8. Deforestrasi zona rehabilitasi 9. Kerja sama integrasi para pihak KINERJA BTNMB 1. Rehabilitasi 2. PPM Kemitraan 3. Penegakan hukum Kelembagaan Konservasi 4. Legalisasi okupasi lahan zona rehabilitasi Rusak 5. Hak kelola ekowitasa ? TUPOKSI TNMB SK Menhut No: 6186Kpts-II2002 : 1. Perlindungan, pengamanan pertahankan keutuhan kawasan serta potensi SDAHE 2. Pengawetan dan pemanfaatan potensi SDAHE berkelanjutan, 3. Pemberdayaan dan peningkatan kesramasy program kemitraan 4. Peningkatan kualitas SDM dan manajemen kawasan 5. Bina wisata BTNMB 2007 EKOPOLITIK Bryant 1992 : 1. SUMBER POLITIK  Kebijakan negara  Peran dan tekanan negara dunia pada LH

2. KONDISI  Konflik klaim konflik sejarah kawasan

 Penegakan Hukum : Okupasi Tipihut

3. RAMIFIKASI  Konsekuensi politik produk kebijakan

 Dampak sosekbud LH kebijakan politik: REKOMENDASI KEBIJAKAN: 1. Tata kuasa Rehabilitasi 2. Pendekatan Teknis KINERJA NAIK +, JIKA KEBIJAKAN DIPERBAIKI ?

1. 3 Permasalahan Penelitian

TNMB ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 277Kpts-VI1997. Perubahan status menjadi Taman Nasional Meru Betiri TNMB membutuhkan waktu yang sangat panjang, yakni dari tahun 1938 dengan status sebagai hutan lindung hingga tahun 1997 atau lebih dari 70 tujuh puluh tahun. Sejak dulu hingga ditetapkannya sebagai Taman Nasional, TNMB terus menghadapi masalah internal maupun eksternal. Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB yang diakses oleh masyarakat pasca penjarahan kayu jati dan kayu rimba dalam kawasan TNMB 1997-2003 dan pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat desa penyangga TNMB, dianggap sebagai solusi masalah terbaik untuk memperbaiki pola hubungan dengan kelompok masyarakat desa penyangga, guna mendukung gerakan rehabilitasi dan penegakan hukum dalam kasus tindak pidana hutan tipihut. Permasalahan akses dan hak menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB yang dilegalkan pada Agustus 2003 kepada kelompok masyarakat di 7 tujuh desa penyangga, saat ini mulai menimbulkan isu tenurial yang mengarah kepada “ketidak-pastian tenurial“ tenurial insecurity bagi masyarakat desa penyangga dan juga bagi pihak pengelola TNMB sendiri. Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis “pengambil-alihan” lahan yang telah didistribusikan kepada warga masyarakat pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis kemitraan pemberdayaan masyarakat Secara internal, Balai TNMB berhadapan dengan banyak masalah seperti, masalah profesionalisme dan kemampuan aparat atau sumberdaya manusia berakhir Agustus 2008. Pembiaran kawasan penyangga TNMB dalam kondisi tenurial insecurity atau pun penegakan hukum yang ketat, memiliki peluang yang sama untuk melahirkan masalah sosial yang lebih rumit pada masa- masa mendatang, sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian secara mendasar dan atau terpaksa harus melenturkan sumber-sumber politik yang sudah ada, menghadapi gerakan masyarakat lapar lahan dan tuntutan keadilan akses, hak dan perlakuan yang sama atas SDA-L yang ada dalam kawasan TNMB. SDM dalam menjaga dan mengelola kawasan, keterbatasan dalam melakukan sosialisasi kebijakan lembaga pada masyarakat desa-desa penyangga. Selain itu, juga keterbatasan sarana dan prasarana dalam mempertahankan keutuhan kawasan agar berfungsi optimal, penataan dan pembinaan daya dukung kawasan, pemanfaatan potensi kawasan, efektifitas pemeliharanan dan pemantauan pal batas zonasi yang belum maksimal dan belum jelas antara masing-masing zonasi karena keterbatasan dana, pembuatan batas luar kawasan dengan desa-desa penyangga belum ada atau belum dilakukan, pembagian zonasi di lapangan masih belum jelas dan batas-batas zonasi di lapangan ditentukan berdasarkan perbedaan vegetasi yang ada bersifat imajiner, sehingga memungkinkan bagi masyarakat atau PT. Bandealit dan PT. Sukamade melakukan perluasan kawasan secara sepihak tanpa sepengetahuan pihak Balai TNMB. Secara eksternal, Balai TNMB juga berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti, konflik kepentingan yang bersifat laten antara idealisme konservasi pihak Balai TNMB dengan pragmatisme pihak PT. Ledokombo PT LDO yang membawahi PT. Bandealit dan PT. Sukamade. Kedua perusahaan perkebunan tersebut bertindak curang, merusak ekosistem hutan cadangan dengan menggerogoti batas kebun, menanam tanaman keras seperti PTPN, yang memicu kecemburuan masyarakat desa penyangga yang melakukan rehabilitiasi. Eksistensi PT. LDO sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi upaya konservasi TNMB, dan juga bagi perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa di sekitarnya. Keberadaan masyarakat pekerja di dua perusahaan tersebut juga mengancam keberlanjutan kawasan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kinerja Balai TNMB. Terkait dengan eksistensi PT. Bandealit dan PT. Sukamade, pihak Balai TNMB telah mengajukan permohonan kepada Dirjen PHKA, melalui Surat No. 5.552.1BTNMB.012008, untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 132Kpts-II1998, serta izin Hak Guna Usaha HGU atas nama PT. Bandealit Jember. Klaim hak atas kawasan antara Balai TNMB dengan masyarakat sekitar dan TNI AD, mulai menimbulkan konflik. Bagi pihak Balai TNMB, masyarakat yang bermukim dalam kawasan TNMB adalah pemukim liar dan illegal illegal settlements; Sementara dari pihak masyarakat di sejumlah lokasi dalam kawasan