6 Kebaruan Novelty Penelitian PENDAHULUAN

optimum, 4 prinsip subsidi silang, 5 prinsip pengakuan, apresiasi dan partisipasi, 6 prinsip passing out, 7 prinsip pengalihan tekanan, dan 8 prinsip kemandirian. Pada praktiknya, Mitchell et al. 2003 menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan selalu berhadapan dengan empat masalah penting, yakni; 1 perubahan, 2 kompleksitas, 3 ketidak- pastian, dan 4 konflik sumberdaya alam. Keempat masalah tersebut dapat menjadi masalah sekaligus menjadi peluang bagi semua pihak. Ia akan menjadi peluang ketika keempat masalah tersebut, proses interaksi dan hubungan sebab- akibatnya dapat dipahami secara kritis serta mengetahui bagaimana menjadi agen perubahan yang positif. Menurut Kartodihardjo Jamtani 2006, implementasi kebijakan politik lingkungan di Indonesia tidak dikelola secara komprehensif, sehingga menimbulkan ketidak-amanan sumberdaya hutan, seperti banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidak-pastian usaha. Ekologi politik sebagai konsep menurut Bryant 1992 dalam Mitchell et al. 2003 telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi, kondisi dan kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara berkembang. Ekologi politik dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami hubungan sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan alami. Ekologi politik memiliki tiga dimensi penting, yakni:

1. Sumber politik; kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global, yang

kesemuanya memacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap masalah lingkungan;

2. Kondisi; konflik-konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini

menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Pemahaman terhadap hal ini membutuhkan pemahaman terhadap latar belakang sejarah dan dinamika setiap konflik;

3. Ramifikasi; konsekuensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada

dampak sosial-ekonomi dan proses politik. Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant Bailey 2000 dipengaruhi atau dimainkan oleh 5 lima aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution, NGOs dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni sebagai aktor pengguna sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami konflik kepentingan. Eksistensi negara secara teoritik dan praksis banyak dikritik dan mendapatkan resistensi, karena; 1. Negara-negara di dunia mempersulit upaya pemecahan masalah lingkungan, demi kepentingan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup sering kali dikorbankan, dan 2. Negara-negara di dunia selalu tidak dalam kapasitas untuk memecahkan masalah lingkungan dalam berbagai level. Peet Watts 1996 menyatakan bahwa ekologi politik adalah sebuah pertemuan antara ilmu sosial yang berakar dari ekologi dan prinsip-prinsip politik ekonomi. Tujuan studinya dalam membentuk “pergerakan yang muncul dari tekanan dan pertentangan krisis dibawah produksi, memahami pemikiran oposisi dan visi untuk hidup yang lebih baik dan perubahan kondisi politik, dan melihat kemungkinan untuk memperluas isu-isu lingkungan ke dalam sebuah pergerakan untuk pemberian hak kehidupan dan keadilan sosial. Scott Sullivan 2000 menyatakan ekologi politik mengidentifikasi persoalan politik yang mendesak masyarakat ke dalam aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan tanpa adanya alternatif peluang yang meliputi permintaan dan pembangunan kembali narasi lingkungan yang sudah mapan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan internasional dan diskursus pembangunan. Tujuannya adalah mengilustrasikan dimensi politik dalam narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mapan mengenai penurunan kualitas dan pemerosotan mungkin bukan tren linier yang cenderung mendominasi. Forsyth 2003 menyatakan ekologi politik, secara strukturalis adalah ekplorasi hubungan antara kapitalisme dan atau kebijakan negara yang opresif yang berdampak pada masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan. Ekologi politik menurut Watts 2000 dalam Robbins 2004 adalah analisis kompleksitas hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis menyeluruh yang menimbulkan akses dan kontrol atas sumberdaya dan dampaknya bagi kesehatan lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menjelaskan konflik lingkungan, terutama dalam hal memperjuangkan “pengetahuan, kekuasaan dan praktik” dan “politik, keadilan dan pemerintahan”. Lebih lanjut Robbins 2004 megidentifikasi masalah lingkungan melalui empat pendekatan, yakni; 1. Degradasi dan marginalisasi, bahwa isu perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak dari over eksploitasi, yang berujung pada kemiskinan peminggiran dan pemiskinan; 2. Konflik lingkungan, bahwa konflik terjadi karena kelangkaan sumberdaya akibat pemanfaatan dari negara, swasta dan elite sosial yang kemudian mempercepat konflik antar kelompok gender, kelas dan etnik; 3. Konservasi dan kontrol, bahwa kegagalan konservasi adalah akibat dari tercerabutnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya, serta pengabaian mata pencaharian dan organisasi ekonomi mereka hanya karena untuk melindungi lingkungan, dan; 4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial, bahwa gerakan sosial politik terkait dengan upaya untuk mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan. Dalam semua proses di atas, kepentingan global dan kepentingan pemerintah untuk mengawetkan lingkungan justeru membasmi sistem mata-pencaharian lokal, produksi, dan orgnaisasi sosial politik. Konservasi bagi pemerintah adalah untuk mensimplifikasi kontrol atas sumberdaya dan lansekap. Hempel 1996 dalam Robbins 2004 menyatakan bahwa politik ekologi adalah studi hubungan antara lembaga politik dan hubungan antara lembaga politik dengan lingkungannya…berkaitan dengan dampak politik perubahan lingkungan. Tujuan dari studi ini adalah menyelidiki dan menjelaskan tingkatan masyarakat dan kebijakan politik regional di wilayah global, sebagai respon terhadap penurunan kualitas lokal dan regional dan kelangkaan sumberdaya. Konservasi lingkungan menurut Bryant dan Bailey 2000, jarang dilihat sebagai upaya konservasi demi konservasi, tetapi ia telah diperalat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Upaya konservasi sering digunakan untuk kepentingan pertahanan dan alat kontrol negara atas rakyat dan lingkungan. Negara tidak ingin kehilangan kontrol dan kewenangannya atas sumberdaya dan lingkungan, sebagai bentuk penegasan hegemoni negara terhadap aktor lain. Kontrol akses dan hak-hak masyarakat oleh negara pemerintah, menurut Anderson 1995 dalam Satria 2002 dilakukan dengan memberlakukan controlled access regulation melalui; 1 pembatasan input para pihak dengan segenap kegiatan eksploitasinya, dan 2 pembatasan output berupa kuantitas eksplotasi SDA-L. Escobar 1998 menyatakan bahwa diskursus konservasi dan keanekaragaman hayati penting dilihat dari perpektif pergerakan sosial 7 Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, perilaku konservasi tersebut mengalami ”pembelotan” ketika dunia Barat Eropa mengalami lompatan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK pada abad pencerahan abad 16-18. . Konsep konservasi dan keaneka-ragaman hayati memang memiliki makna biofisik, namun diskursus ini mendorong bagi munculnya suatu jaringan beragam aktor yang kompleks, mulai dari organisasi internasional dan LSM Lingkungan sampai pada komunitas lokal dan pergerakan sosial. Gerakan sosial social movement terhadap kebijakan konservasi sedang terjadi secara massiv di negara-negara Dunia ke -3. 2. 2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional 2.2.1 Sejarah gerakan konservasi Secara historis, gerakan konservasi dunia, sudah dimulai sejak tahun 252 SM, yang dipelopori oleh Raja Asoka di India. Dalam kebijakan politik kerajaannya, Raja Asoka mengumumkan secara resmi tentang perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang disebut kawasan yang dilindungi. Sementara itu, penetapan tempat suci sebagai daerah perlindungan keagamaan atau taman buru yang eksklusif belum lama berlangsung. Hal yang hampir sama, juga dilakukan oleh Raja William I di Inggris pada tahun 1084 M, yang memerintahkan penyiapan The Domesday Book, yakni suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik Kerajaan yang digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan dan pembangunan negaranya MacKinnon, et.al, 1990. 7 Gerakan perlawanan masyarakat --dengan model yang berbeda-beda-- terhadap kebijakan konservasi telah terjadi di banyak negara. Gerakan Proceso de Commmunidades Negras PCN: Process of Black Communitas pada tahun 1980-an di Kolumbia Amerika Latin. Menurut Ecobar 1998, mereka berjuang melawan pembangunan, kapitalisme dan modernisasi yang merampas hak-hak hidup dan budaya, mengancam keaneka-ragaman hayati mereka. Gerakan perlawanan ini menunjukkan, bahwa; 1 Arus migrasi, investasi modal –pemerintah, pengusaha swasta asing atau nasional—ke wilayah mereka sudah pasti memicu konflik sosial, ekonomi dan sumberdaya, 2 Dalam implementasi kebijakan pembangunan ”pengelolaan SDA dan lingkungan”, pemerintah menganggap dukungan tokah lokal --yang terkooptasi—sebagai bukti dukungan mayoritas masyarakat, sehingga yang muncul adalah pseoudo-partisipasi, 3 investasi modal –pertambangan, agroindustriagrofoerstry, dan proyek ekowisata skala besar-- ke wilayah atau daerah terjadi karena adanya kolusi dan menempatkan SDA sebagai alat transaksinya guna menopang kekuasaan pemerintah. Lebih sadis lagi, institusi keamanan dan pertahanan negara dijadikan alat untuk menekan gerakan perlawanan masyarakat . Gardner dalam Yuliar et al. 1999 menyatakan bahwa renaisans menyajikan suatu pandangan baru tentang manusia dan alam. Manusia harus hidupnya nyaman dan tenang di dunia; Alam adalah budak yang fungsi dan keberadaanya adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dampak negatif dari kesombongan kemajuan IPTEK itu akhirnya harus ditanggung sendiri oleh manusia. Kesadaran baru akan dampak buruk dari tindakan eksploitatif ini menjadi awal mula gerakan pengawetan presevation terhadap sisa-sisa hutan alam Eropa. Gerakan pengawetan presevation menurut Dobson 2004 merupakan gerakan romantisme abad ke 18 dan 19 di seluruh daratan Eropa, bereaksi terhadap apa yang mereka pandang sebagai dampak dari industrialisasi cepat, yang menuntut dijalinnya kembali hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Penganut aliran romantik berpandangan bahwa alam adalah sumber moral dan etika, sehingga menekankan perlunya kesatuan manusia dengan alam, yang telah dihancurkan oleh industrialisasi. Lebih tragis, Capra 2002 menyatakan bahwa pengetahuan adalah power. Nilai dari pengetahuan ditentukan oleh efek praksisnya dalam mendukung kekuasaan politik. Gerakan romantisme para bangsawan Eropa ini, kemudian berkembang melalui penunjukan dan pengukuhan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai cagar atau monumen alam. Tujuan pengukuhan tersebut agar mereka dapat berdekatan dengan alam, menikmati liburan di dalam hutan sambil berburu dan menikmati keindahan alam. Logika preservasi, dalam hal ini terjebak pada perspektif arkeologis yang cendrung melihat sumberdaya alam hayati sebagai sesuatu yang statis, sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk mengawetkan sumberdaya alam. Hal ini berbeda dengan logika biologi, yang melihat hutan dan segala isinya sebagai sesuatu yang dinamis dan terbarui. Koreksi atas cara pandang logika preservasi itu menjadi awal munculnya pemikiran dan gerakan konservasi Wiratno et al. 2004.