Political ecology in managing national park of meru betiri Jember Regency and Banyuwangi Regency in Reform Era of National Politic

(1)

EKOLOGI POLITIK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

MERU BETIRI (TNMB) KABUPATEN JEMBER DAN

KABUPATEN BANYUWANGI ERA REFORMASI

POLITIK NASIONAL

ABD. QADIM HS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Abd. Qadim HS P 062030101


(4)

(5)

ABSTRACT

ABD. QADIM HS. Political Ecology in Managing National Park of Meru Betiri Jember Regency and Banyuwangi Regency in Reform Era of National Politic. Supervised by HADI S. ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, dan SUMARDJO.

National park of Meru Betiri (TNMB) is 58,000 ha. Since 1960, more than 2,000 ha of national park of Meru Betiri (TNMB) has given to PT. New Sukamade Banyuwangi and PT. Bandealit Jember as Cultivation Rights Title/HGU. Through the Director General of PHPA Decree and Forestry Minister Decree No: 131/Kpts-II/1998, the government lengthened HGU of 2,155 ha in buffer zone of TNMB (Director General of PKA Decree No: 185/Kpts/DJ-V/1999). The lengthening of HGU in chaos national political condition triggered people to loot land of TNMB. This action occurred as a result of imbalance and scarcity of property right and narrow life space of community. Realizing chaos sociopolitical condition (2001-2003), TNMB invited national and local NGOs in order to take back looted/occupied land through rehabilitation program based on community development. Ramifications were social consequences of political co-operation of rehabilitation. Rehabilitation cooperation legalized access for planting. Impact of this cooperation was tenure issues lead to insecurity tenure for both parties. This study applied political ecology analysis to find that there was conflicts of access and natural resources benefits of and impact load caused by disparity of power, land ownership, and income between community groups in buffer villages with TNMB and community groups given access and privilages. This conflict triggered looting and occupation of land. The policy to legalize land distribution for planting resulted positive implication to economic people but negative to socio-culture people (local wisdom) and to ecological aspects (fail rehabilitation program) as results of conflict interests and treatment difference in rehabilitation.

Keywords: ramifications, legal access to planting, land occupation, tenurial insecurity


(6)

(7)

RINGKASAN

ABD. QADIM. Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, HARIADI KARTODIHARDJO, DAN SUMARDJO.

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) memiliki luas 58.000 Ha. Sejak tahun 1960, lebih dari 2.000 Ha lahan dalam kawasan TNMB telah diberi HGU kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember karena faktor kesejarahan kawasan. Melalui SK Dirjen PHPA dan SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998), pemerintah telah mengeluarkan perpanjangan izin HGU kepada PT tersebut untuk kedua kalinya atas lahan dalam kawasan TNMB seluas 2.154 atau seluas 2.155 Ha pada zona penyangga (SK DirJend PKA No: 185/Kpts/DJ-V/1999). Izin HGU diberikan untuk masa pemanfaatan selama 25 tahun ke depan dan selanjutnya dapat diperpanjang lagi dalam kurun waktu yang sama (SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998).

Pemberian izin HGU kepada pihak minoritas dominan tersebut, telah menjadi preseden buruk yang mendorong masyarakat untuk menjarah dan mengokupasi lahan dalam kawasan TNMB. Tindakan itu terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan dan kelangkaan hak milik dan sempitnya ruang hidup masyarakat. Pengambilan-alihan kembali lahan yang terlanjur diokupasi oleh kelompok masyarakat ketika reformasi politik nasional berlangsung menjadi sesuatu yang tampaknya sulit dapat dilakukan sendiri oleh negara (Balai TNMB), dengan tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Berdasarkan pertimbangan situasi sosial politik di wilayah Tapal Kuda belum kondusif ketika itu (2001-2003), maka pihak Balai TNMB menggandeng LSM-L nasional dan lokal dalam rangka “mengambil kembali” lahan untuk direhabilitasi bersama kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga, melalui program rehabilitasi berbasis pemberdayaan masyarakat.

Masalah ramifikasi muncul pasca kesepakatan kerja-sama rehabilitasi melalui pembukaan akses dan hak menanam tanaman musiman dan tahunan berlangsung. Ramifikasi merupakan konsekuensi sosial politik yang terjadi dalam kerjasama rehabilitasi. Saat ini telah bergulir isu yang mengarah kepada “ketidakpastian tenurial“ (tenurial insecurity) baik pada pihak pengelola TNMB maupun pada pihak masyarakat desa penyangga TNMB. Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis “pengambilalihan kembali” lahan yang terlanjur didistribusikan kepada kelompok masyarakat, pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis pembukaan akses dan hak menanam dalam zona rehabilitasi yang telah berakhir Agustus 2008. Masalah lainnya adalah keberlanjutan peran dan fungsi serta pola hubungan antara organisasi petani rehabilitasi (OPR) dengan pihak Balai TNMB yang menginisiasi lahirnya OPR. Perhatian terhadap OPR menjadi penting, agar eksistensi OPR ke depan tidak berbalik menjadi kontra konservasi, karena merasa ditinggalkan oleh Balai TNMB.

Sejumlah kegiatan dalam program rehabilitas berbasis pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) simbolis telah dilakukan oleh Balai TNMB dan mendapatkan respon positif dari masyarakat. Program tersebut belum


(8)

menunjukkan hasil yang nyata dilihat dari aspek ekologi, aspek sosial budaya maupun aspek sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Rehabilitasi zona penyangga TNMB tersebut dilakukan dengan pendekatan populis, mengingat hampir seluruh prosesnya lahir dari proses kesadaran (consciousness) bersama antara para pihak.

Berdasarkan analisis ekologi politik ditemukan adanya; 1. Konflik akses SDA yang mulai bersifat manifest, 2. Konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan, 3. Konflik yang bersifat laten yang dipicu oleh kesenjangan kekuasaan, keterbatasan kepemilikan tanah, dan kesenjangan pendapatan, 4. Perbedaan perlakukan dalam hal jenis bibit tanaman yang harus ditanam selama program kerja sama berlangsung (antara OPR VS PT. LDO Jember yang diberi HGU), bermuara pada gagalnya program rehabilitasi, sekalipun intervensi Balai TNMB sudah maksimal dan memakai simbol berbasis pemberdayaan masyarakat, dan 5. Distribusi lahan atau pemberian akases dan hak menanam tanaman dalam zona rehabilitasi bagi kelompok masyarakat desa penyangga tidak linier atau tidak serta merta diikuti dengan dukungan penegakan hukum dari kelompok masyarakat OPR. Artinya, eksistensi OPR tidak berkontribusi secara nyata dalam ikut menekan angka tindak pidana hutan (tipihut) yang terjadi dalam kawasan TNMB. Kebijakan distribusi lahan untuk membuka akses dan hak menanam tanaman dalam kawasan TNMB, berimplikasi positif pada aspek sosial ekonomi rumahtangga kelompok masyarakat desa penyangga. Di sisi lain, kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap aspek sosial budaya masyarakat (kearifan lokal) dan aspek ekologi (program rehabilitasi gagal).

Kata kunci: ramifikasi, legalisasi akses menanam tanaman, dan ketidak pastian tenurial


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

EKOLOGI POLITIK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

MERU BETIRI (TNMB) KABUPATEN JEMBER DAN

KABUPATEN BANYUWANGI ERA REFORMASI

POLITIK NASIONAL

ABD. QADIM HS

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup :

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS...

2. Dr. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc...

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, MS...


(13)

Judul Disertasi : Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional

Nama : Abd. Qadim HS

NRP : P062030101

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Hadi S. Alikodra, MS

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri Kabupaten Jember dan Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor.

Penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Tidak sempurna syukur seorang hamba kepada Allah Swt, tanpa rasa terima kasih kepada yang telah membantunya. Oleh karena itu, penulis wajib mengucapkan terima kasih yang sangat tulus dan tidak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr.Ir. H Hadi S Alikodra, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikirannya dalam membimbing pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini;

2. Prof. Dr. Ir. H Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Prof. Dr. Ir H Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku mantan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, beserta staf yang telah memberikan semangat, nasihat dan dukungan serta pelayanan akademik yang maksimal selama masa studi;

3. Rektor Universitas Islam Jember Drs. H. Achmad Zein, M.Pd beserta stafnya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di SPS IPB;

4. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan dan berbagai layanan akademik kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di SPS program Doktor IPB;

5. Seluruh staf pengajar Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) SPS IPB dan staf layanan akademik yang telah banyak memberikan bantuan akademik bagi penulis selama menempuh pendidikan Doktor;

6. Para narasumber dari akademisi, Kepala-kepala Dinas terkait di Pemkab Jember dan Banyuwangi, kawan-kawan Polhut dan para staf Balai TNMB, kawan-kawan LSM-L Jember dan Banyuwangi, kawan-kawan Ormas mahasiswa dan OPA Jember, para Kepala Desa dan Kasun desa-desa penyangga TNMB dan stafnya, Para Ketua dan anggota OPR dan LMDH di delapan desa penyangga, Bapak David Kesuma sekeluarga (Sukamade), para


(16)

petani Ketan Merah, dan tokoh masyarakat di tujuh desa penyangga TNMB, atas dukungan informasi dan penjelasannya.

7. Keluarga Bapak/Ibu Haji Sullam (Sarongan) atas keramahan dan kebaikannya menyediakan tempat tinggal/ menginap dan menjadi keluarga baru bagi penulis selama melakukan penelitian di dua desa di Banyuwangi.

8. Bapak H. Sarbini dan Ibu Hj. St Hasanah (Almrh)), kakak dan adik-adik penulis yang telah membantu membangun fondasi keilmuan dan merawat serta mengawal cita-cita penulis dengan kiriman do’a yang tiada henti-hentinya kepada penulis;

9. Bapak Achamad Hadiroesmono (Alm) dan Ibu Hj. Kibtiyah (Mertua) yang terus mendorong dan memberi dukungan do’a, moral dan moril dan semangat untuk segera menyelesaikan tugas belajar;

10.Isteri tercinta Retno Handawiyah dan dua puteri kami: Rif’at Saidatul Hasanah Mataroakancilo dan Raziqa Malika Ilmi Mataroakancilo atas cinta, kasih sayang, dukungan moral, kesabaran dan pengertiannya yang tiada terkira selama mengikuti tugas belajar, menjadi semangat untuk menyelesaikan tugas belajar ini;

11.Keluarga besar Mas H. Sumadi dan Mbak Hj. Mariya Sumadi, memberi dukungan moral, semangat dan moril untuk segera menyelesaikan tugas belajar ini;

12.Sahabat-sahabat PCNU Kabupaten Jember, FPKB DPR-RI dan FPPP DPRD Kabupaten Jember yang telah banyak membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;

13.Kawan-kawan mahasiswa PSL angkatan 2003, 2004, 2005 dan 2006 atas kebersamaan, dukungan dan penerimaannya menjadi teman diskusi tentang topik-topik yang terkait dengan penelitian ini.

Peneliti berharaqp disertasi ini secara substantif akurat, dan dapat memicu peneliti dan para peminat masalah Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional lainnya, untuk menaruh penelitian lebih lanjut. Semoga Disertasi ini mendapat tanggapan dari khalayak akademis dan kaum intelektual yang berminat terhadap objek penelitian ini. Terima kasih atas doa dan kebaikan yang telah diberikan bapak, ibu, para sahabat dan keluarga kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas semua doa dan kebaikan bapak, ibu, para sahabat dan keluarga. Aamiin.

Bogor, Februari 2012


(17)

RIWAYAT HIDUP

Abd. Qadim HS, lahir di Bima NTB pada tanggal 07 Desember 1967 adalah anak kedua dari 4 bersaudara dari ayah H. Sarbini dan ibu Hj. St Hasanah. Pendidikan SDN, SMPN 3 Bima dan SMAN 1 Bima diselesaikan di Kota Bima NTB. Pendidikan Sarjana Ilmu Pendidikan diperoleh dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember tahun 1992. Tahun 1995, melanjutkan pendidikan di PPs Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Program Studi Ilmu Lingkungan, dengan beasiswa dari Bapedal PCI Australia (Kontrol Polusi Jawa Timur), sebagai penggiat LSM-L Jawa Timur, selesai tahun 1998. Tahun 2003 diterima sebagai mahasiswa program Doktor (S3/BPPS) PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana (SPS) Institut Pertanian Bogor (IPB). Menikah dengan Dra. Retno Handawiyah tahun 1996 dan telah dikaruniai dua orang puteri yaitu : Rif’at Saidatul Hasanah Mataroakancilo (10 tahun), dan Raziqa Malika Ilmi Mataroakancilo (6 tahun).

Pengalaman bekerja dimulai dari menjadi Staf Pelatih dan Peneliti pada Divisi Pelatihan dan Penelitian YPSM Jember tahun 1991-1995, selanjutnya Divisi Pelatihan dan Advokasi LAKPESDAM NU Jember 1994-1999. Pada tahun 1999 sampai saat ini menjadi staf pengajar pada FKIP Universitas Islam Jember. Tahun 2003 menjadi staf pengajar pada Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Jember sampai saat ini. Selain aktif mengajar, peneliti juga aktif di Ormas keagamaan sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jember, dengan tugas khusus menangani masalah Lingkungan Hidup, HAM dan Kebijakan Politik Pembangunan Daerah, periode tahun 2004-2009 dan 2009 -2014. Tahun 2007 - 2009 ditunjuk oleh PBNU/PCNU Jember menjadi Ketua Tim Mediasi konflik okupasi 8.660-an Ha lahan hutan lindung dan produksi di Babansilosanen (batas utara TNNB), antara masyarakat desa hutan dengan Perum Perhutani KPH Jember. Tahun 2010 - 2015 penulis kembali ditunjuk oleh PWNU Jawa Timur sebagai Ketua Divisi Mitigasi dan Advokasi Bencana Pembangunan, Lingkungan dan Konflik Agraria pada Social Emergency Respons (SER) PWNU Jawa Timur.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 6

1.3 Permasalah Penelitian ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 13

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perspektif Ekologi Politik ... 19

2.2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional ... 23

2.2.1 Sejarah gerakan konservasi ... 23

2.2.2 Kategori tujuan, manfaat dan permasalahan Taman Nasional ... 26

2.2.3 Konsep dan karakterisitk Taman Nasional ... 28

2.2.4 Rehabilitasi kawasan penyangga TNMB ... 31

2.3 Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 33

2.4 Hak-hak Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L ... 35

2.5 Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L .. 38

2.6 Aktor (Elite) dan Konflik dalam Pengelolaan SDA-L ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

3.2 Penentuan Substansi Penelitian ... 45

3.3 Paradigma Penelitian dan Posisi Peneliti ... 46

3.4 Rancangan Penelitian ... 48

3.5 Jenis dan Sumber Data ... 48

3.6 Penentuan Sampel ... 53

3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 55

3.8 Validitas dan Reliabilitas Data ... 57

3.9 Metode Analisis Data ... 58

3.9.1 Analisis efektivitas dan polarisasi implementasi kebijakan ... 60

3.9.2 Analisis akses dan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 62

3.9.3 Analisis kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 63

BAB IV KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN ... 65

4.1 Sejarah, Letak Geografis, Luas dan Batas Administratif ... 65


(19)

Halaman

4.3 Kondisi Hidrogeologi dan Sumberdaya Air ... 67

4.4 Keadaan Tanah, Geologi dan Topografi ... 69

4.5 Keadaan Flora dan Fauna ... 70

4.5.1 Keadaan flora ... 70

4.5.2 Keadaan fauna ... 71

4.6 Kondisi Sosial Budaya dan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa-desa Penyangga TNMB ... 72

4.6.1 Jumlah penduduk ... 72

4.6.2 Tingkat pendidikan ... 74

4.6.3 Jenis mata pencaharian ... 75

4.7 Tata Guna dan Pemilikan Lahan ... 77

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79

5.1 Kebijakan pengelolaan TNMB dalam perspektif ekologi politik ... 79

5.1.1 Sumber-sumber politik pengelolaan TNMB sebagai sumber polarisasi dan konflik kepentingan aktor ... 79

5.1.1.1 Pola hubungan Balai TNMB dengan Pemerintah Kabupaten ... 81

5.1.1.2 Pola hubungan Balai TNMB dengan kelompok LSM-L ... 90

5.1.1.3 Pola hubungan Balai TNMB dengan masyarakat desa-desa penyangga ... 99

5.1.1.4 Pola hubungan Balai TNMB dengan PT. Perkebunan LDO dan Masyarakat Kebun ... 115

5.1.1.5 Pola hubungan PT. LDO Jember (PT. Sukamade dan PT. Bandealit) dengan masyarakat ... 120

5.1.1.6 Pola hubungan masyarakat dengan LSM: Kasus Desa Wonoasri ... 123

5.2 Kondisi Faktual dan Ramifikasi;... 129

5.2.1 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial budaya ... 132

5.2.2 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek sosial ekonomi ... 136

5.2.3 Konsekuensi kebijakan kemitraan rehabilitasi pada aspek ekologi ... 143

5.2.4 Kondisi faktual; dilema konservasi alam klasik versus konservasi alam populis dalam pemberdayaan masyarakat ... 153

5.2.5 Efektivitas penegakan Hukum Kehutanan dan Lingkungan ... 158

5.2.5.1 Efektivitas penegakan hukum ... 158

5.2.5.2 Efektivitas kelembagaan konservasi masyarakat ... 169


(20)

Halaman 5.2.6 Aktor, pertarungan kepentingan dan perannya

dalam pengelolaan TNMB ... 188

5.3 Dinamika dan ragam akses, hak dan kelembagaan masyarakat ... 200

5.3.1 Dinamika dan ragam akses masyarakat desa-desa penyangga ... 200

5.3.1.1 Akses sumberdaya hutan TNMB konvensional ... 200

5.3.1.2 Akses mafia pertambangan; ancaman pengelolaan TNMB ... 216

5.3.1.3 Gus Dur; Spirit akses pendudukan lahan ... 253

5.3.2 Dinamika dan ragam hak masyarakat desa-desa penyangga ... 257

5.3.2.1 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan hukum ... 257

5.3.2.2 Hak-hak masyarakat desa penyangga berdasarkan pendekatan teoritik ... 263

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 269

6.1 Kesimpulan ... 269

6.2 Saran Kebijakan ... 271


(21)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1 Perbedaan antara preservasi dengan konservasi ... 25

2 Kategori internasional kawasan hutan Taman Nasional berdasarkan tujuan pelestarian ... 27

3 Kegiatan yang dibolehkan (√) d an dilarang (X) d alam zon a tradisional taman nasional ... 29

4 Kegiatan-kegiatan yang dilarang (X) dalam berbagai kategori kawasan yang dilindungi ... 31

5 Desa-desa penyangga TNMB yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian ... 43

6 Tahapan penelitian yang dilakukan ... 45

7 Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian ... 49

8 Pokok penelitian, jenis dan sumber data ... 50

9 Pertemuan lokal tentang pengelolaan kawasan hutan di Jember yang diikuti ... 52

10 Distribusi responden untuk analisis implementasi kebijakan, akses, hak dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 56

11 Kriteria dan teknik pemeriksaaan keabsahan/validitas data dinamika akses, hak dan kelembagaan ... 57

12 Analisis wacana dan fenomena-fenomena penting yang diamati ... 59

13 Kelembagaan konservasi TNMB (Ketan Merah/OPR) bentukan Balai TNMB ... 64

14 Tipe ekosistem pada setiap zonasi TNMB ... 67

15 Sumberdaya air dalam kawasan TNMB ... 68

16 Potensi sumberdaya air sungai-sungai dalam kawasan TNMB ... 68

17 Jenis-jenis pemanfaatan sumberdaya air dalam kawasan TNMB ... 69

18 Jumlah penduduk dan kepala keluarga desa-desa penyangga TNMB ... 73

19 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di desa-desa penyangga TNMB ... 74

20 Jenis mata pencaharian penduduk desa-desa penyangga di sekitar TNMB ... 75


(22)

xv

Tabel Judul Halaman

22 Keadaan tata guna lahan dan pola penggunaan lahan desa-desa di sekitar TNMB ... 77 23 Sinergitas kerja-sama, konsolidasi dan interaksi antara Balai TNMB

dengan para pihak dalam pengelolaan TNMB pasca penjarahan 1998/1999 ... 82 24 Kualitas interaksi, sumber konflik, kerjasama, kolaborasi dan

kontroversi antar aktor dalam pengelolaan kawasan TNMB 1999-2011 ... 85 25 Persebaran permukiman liar (illegal settlement) dalam kawasan

TNMB menurut pihak Balai TNMB ...….. 105 26 Nama-nama warga desa penyangga dan tempat tujuan perantauan

untuk mengubah nasib, sekarang mereka kembali ke desa asalnya ... 107 27 Upah pekerja perkebunan PT. LDO Jember (PT. Bandealit Jember

dan PT. Sukamade Baru Banyuwangi) berdasarkan jenis pekerjaan ... 114 28 Substansi nilai, sikap dan perilaku sosial budaya yang mengalami

pergeseran dan perubahan ...…...… 135 29 Manfaat program rehabilitasi (MPR) terhadap pendapatan kotor para

petani di lahan rehabilitasi ... 137 30 Kenaikan standar upah harian di desa-desa Sarongan dan

Kandangan ... 138 31 Rerata biaya yang dikeluarkan oleh para petani dalam setiap kegiatan

pertanian dan perladangan ... 139 32 Efektivitas kebijakan distribusi pemanfaatan lahan terhadap

peningkatan pendapatan ekonomi keluarga (rumah tangga) para petani ... 140 33 Manfaat distribusi lahan zona rehabilitasi terhadap peningkatan

pendapatan para petani ... 141 34 Kategori keberhasilan tumbuh dan persentase hidup tanaman hidup

tanaman pokok program rehabilitasi TNMB ... 144 35 Perbandingan rerata persentase hidup per jenis tanaman pokok dalam

zona rehabilitasi ... 147 36 Perbandingan jumlah jenis dan persentase tanaman pokok dalam

zona rehabilitasi TNMB ... 147 37 Efektivitas kebijakan dilihat dari ketaatan para petani OPR

melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak rehabilitasi …... 150 38 Realisasi program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat


(23)

xvi

Tabel Judul Halaman

39 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun

1995/1996-2000 ... 158 40 Akses illegal pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 di

dalam kawasan TNMB ... 159 41 Frekuensi pelanggran hutan dalam kawasan TNMB tahun

2000-2004 ... 160 42 Kasus pelanggaran hutan dan kerugian materi tahun 2000-2004

Balai TNMB ... 162 43 Indeks jenis kasus tindak pidana bidang kehutanan berdasarkan

penyidik tahun 2005-2009 di Balai TNMB ... 164 44 Efektivitas kebijakan dilihat dari dukungan, ketaatan dan

keterlibatan masyarakat dan OPR dalam membantu upaya

penegakan hukum ... 165 45 Kelembagaan intra masyarakat desa; perhatian dan kontribusi

pada masalah pengelolaan TNMB ... 172 46 Kontribusi dan deviasi fungsi dan peran kelembagaan konservasi

desa ... 174 47 Bantuan ternak dan peralatan dan pemberdayaan masyarakat yang

pernah diberikan oleh TNMB ... 181 48 Pelatihan, bantuan modal dan bibit dalam pemberdayaan

masyarakat yang pernah diberikan oleh TNMB ... 182 49 Kontribusi, fungsi dan peran para pemimpin nonformal desa-desa

penyangga dalam pengelolaan TNMB ... 187 50 Aktivitas pemimpin di desa-desa penyangga berkaitan dengan

pengelolaan dan pengambilan hasil hutan dalam kawasan TNMB ... 188 51 Peran dalam mekanisme akses para aktor berdasarkan teori

Ribbot dan Peluso (2003) ... 193 52 Identifikasi aktor, kepentingan, peran, kelemahan dan kekuatan

dalam implementasi kebijakan TNMB ... 194 53 Interaksi antara aktor institusional dalam perlawanan dan

pertarungan akses pengelolaan kawasan TNMB 1999/2009 ... 198 54 Akses pengambilan kayu perkakas tahun 1995/1996-2004 dalam

kawasan TNMB ... 203 55 Penggunaan waktu dan intensitas pemanfaatan kayu bakar dan

bambu oleh para aktor tingkat 1 (satu) di desa-desa penyangga TNMB ...

210

56 Lokasi pengambilan bambu oleh kelompok masyarakat desa


(24)

xvii

Tabel Judul Halaman

57 Jenis, lokasi, waktu, jumlah dan harga tumbuhan obat yang paling banyak diakses oleh warga masyarakat desa penyangga dari dalam kawasan TNMB ... 212 58 Daftar harga beberapa jenis bambu per satuan yang biasa diakses oleh

aktor tingkat pertama di desa penyangga TNMB ... 216 59 Gerakan kontra akses tambang koalisi LSM-L dan organisasi

pencinta alam (OPA) Jember ... 231 60 Perubahan RTRW kabupaten Jember demi memuluskan akses

tambang di sekitar kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen ... 243 61 Tim Ahli Pemkab Jember yang melakukan studi kelayakan dan

legalisasi kegiatan pertambangan secara akademik ... 248 62 Proses akses lahan dalam kawasan TNMB ... 256 63 Luas lahan pendudukan dan jenis tanaman pokok yang dibagikan dan

ditanam tahun 2002 dan 2003 ...

257

64 Hak-hak konkrit kelompok masyarakat desa-desa penyangga atas sumberdaya hutan dan lahan TNMB yang sudah berjalan ... 260 65 Kesepakatan kegiatan rehabilitasi pada zona rehabilitasi TNMB

berdasarkan SK No: 947/Sek.01/VI-TNMB/2003 ……... 262 66 Hak-hak masyarakat dalam pengelolaan TNMB ... 263 67 Proses legalisasi hak berpartisipasi dalam kawasan rehabilitasi


(25)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi taman

nasional di Indonesia ... 2 2 Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman

nasional di Indonesia ... 5 3 Kerangka pemikiran penelitian ... 9 4 Desa-desa penyangga TNMB yang menjadi lokasi penelitian ... 44 5 Proses transisi, perpaduan dan saringan penampakan fenomena

berdasarkan interpretasi informan dan peneliti yang berbeda

selama proses penelitian, modifikasi dari Gőnner (2001) ... 56 6 Tahapan pelaksanaan penelitian ... 58 7 Bagan alir proses verifikasi dan analisis implementasi kebijakan

pengelolaan TNMB; Modifikasi dari Sugiono (2007) ... 61 8 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme

dan hubungan akses atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Ribot & Peluso 2003; Modifikasi dari Sugiono (2007) ... 62 9 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme

dan hubungan tenurial hak-hak atas SDA-L dalam kawasan TNMB (Sumber: Schlager & Ostrom 1992; Lynch 1995; FAO 2002; Modifikasi dari Sugiono 2007) ... 63 10 Bagan alir proses verifikasi dan analisis dinamika, mekanisme

dan interaksi kelembagaan masyarakat dalam kawasan TNMB; Sumber: Merton (1975), Horton & Hunt (1991); Cohen (1992); Ostrom (1992); Kartodihardjo (2006); Modifikasi dari Sugiono (2007) ... 64 11 Denah Rajekwesi ± tahun 1949 menurut tokoh masyarakat

Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan,

2008) ... 111 12 Denah Rajekwesi ± tahun 1949-1950 menurut tokoh masyarakat

Kampung Rajekwesi dan desa Sarongan, setelah terjadi penangkapan warga yang mengankut kayu jati oleh petugas PHPA April 2008, bahwa Rajekwesi bukan dalam kawasan TNMB (Dokumen Sejarah Kampung Rajekwesi Desa Sarongan 2008) Analisis wacana dan fenomena-fenomena penting yang diamati ... 112


(26)

xx

Gambar Judul Halaman

13 Perbandingan pola hubungan antara Balai TNMB dengan LSM-L

dan masyarakat setempat ... 125 14 Dinamika pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB pada situasi

politik nasional chaos tahun 1995/1996-1999/2000 ... 160 15 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB tahun

2000-2004 ...………... 161 16 Frekuensi pelanggaran hutan dalam kawasan TNMB selama

periode tahun 2005-2009 ... 164 17 Petugas TNMB sedang mengecek dan mengukur omtrek tunggak

kayu Garu barang bukti yang ditemukan di TKP ... 169 18 Pertarungan antara kelompok pro akses tambang (instrumen

negara) versus elemen kontra akses tambang dalam kawasan lindung dan konservasi TNMB ... 190 19 Demonstrasi masyarakat anti tambang pada kawasan konservasi

dan kawasan lindung di Jember (TNMB dan Paseban-P Nusa Barong) ... 192 20 Histogram dinamika akses SDH TNMB berdasarkan kasus

pelanggaran hutan tahun 1995/1996-2004 ... 204 21 Grafik jumlah akses ilegal kayu jati dan kayu rimba tahun

1995/1996-2008 (BKSDA, 1995-1998; BTNMB 1998-2009) ... 206 22 Pola interaksi antar aktor dalam mengakses sumberdaya hutan

TNMB ... 207 23 Pengambilan bambu oleh masyarakat untuk berbagai

keperluan ... 209 24 Akses rotan yang berhasil disita Balai TNMB (Dokumentasi

Balai TNMB) ... 211 25 Dinamika akses perburuan satwa dalam kawasan TNMB tahun

2005-2008 ... 213 26 Pertarungan akses industri pertambangan versus akses kayu dan

akses lapar lahan pada kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen dalam situasi ketidak-pastian politik ... 219 27 Akses dan hak pemanfaatan lahan ilegal oleh masyarakat ... 255 28 Pertarungan memperoleh hak dalam kawasan TNMB tahun

1999-2010 ...………... 259 29 Okupasi lahan oleh masyarakat di desa dan di desa


(27)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), dari aspek Biological Importance Value (BIV) merupakan Taman Nasional terkaya nomor 1 (satu) dari 42 (empat puluh dua) Taman Nasional yang ada di Indonesia, dengan nilai BIV: 47 point (Gambar 1), peringkat kedua ditempati oleh TN Lorenzt, TN Danau Sentarum dan TN Karimun Jawa, dengan nilai BIV: 45 point, dan pada peringkat ketiga ditempati oleh TN Gunung Leuser, TN Komodo, TN Gunung Halimun Salak, TN TN Ujung Kulon, dan TN Sembilang, dengan nilai BIV: 42 point. TNMB dengan luas total 58.000 Ha merupakan Taman Nasional terluas di propinsi Jawa Timur, jika dibandingkan dengan 3 (tiga) Taman Nasional lainnya yang ada, yakni; (1) TN Bromo TS dengan luas 50.276,3 Ha, (2) TN. Alas Purwo dengan luas 43.420 Ha, dan (3) TN Baluran dengan luas 25.000 H (BAPEDDA 1997/1998).

Di lihat dari aspek Social Economic Importance Value (SEIV), urutan peringkat nilai sebagai berikut; peringkat pertama adalah TN Gunung Leuser dengan nilai SEIV: 48,5 point, peringkat kedua adalah TN Kerinci Sebelat dengan nilai SEIV: 47 ponit, peringkat ketiga ditempati oleh TN Danau Sentarum dengan nilai SEIV: 45 point, dan pada peringkat ke empat ditempati oleh TN Meru Betiri, TN Bukit Barisan, dan TN Wasur, dengan nilai SEIV: 42 point (RAPPAM 2004).

Kekayaan tersebut merupakan potensi positif bagi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (SDA-L) Indonesia. Hal ini menjadi modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai-macam kepentingan pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk peningkatan derajat kesejahteraan ekonomi dan sosial budaya masyarakat perdesaan di sekitarnya. Potensi peringkat pertama untuk BIV dan keempat untuk SEIV nasional tersebut, ternyata menghadapi masalah kompleksitas sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Masalah tersebut berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan politik pengelolaan Taman Nasional.


(28)

2

Gambar 1 Histogram nilai penting biologi dan sosial ekonomi Taman Nasional di Indonesia (RAPPAM 2004)

Kebijakan politik pengelolaan taman nasional era rezim Orde Baru --termasuk pengelolaan TNMB-- di satu sisi, demi perlindungan SDA-L yang ada di dalamnya, telah memotong dan merintangi akses (access) dan hak (rights) serta represif terhadap kelembagaan (institution) masyarakat sekitarnya. Pada sisi lain, dengan legalitas Surat Izin Hak Guna Usaha (HGU), ia memberi akses dan hak ekslusif terhadap kelompok minoritas dominan PT. Ledokombo Jember (PT. LDO) untuk memanfaatkan SDA-L dalam kawasan Taman Nasional.

Pembatasan dan kontrol atas akses dan hak-hak masyarakat lokal terhadap SDA-L merupakan bentuk-bentuk kekerasan ekologis (eco-violence) yang sering terjadi dalam praktik kebijakan pengelolaan SDA-L di banyak negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin (Salmi 2006). Pemberian akses dan hak eksklusif (private property) tersebut menunjukan inkonsistensi sekaligus keberpihakan UU No. 5/1990 dengan memeperdagangkan (tradable title) zona kawasan pada kelompok minoritas dominan. Dalam kebijakan pengelolaan TNMB, dengan mengandalkan argumentasi sejarah, akses dan hak privasi dapat diberikan kepada PT. Sukamade Baru Banyuwangi dan PT. Bandealit Jember sebagai anak perusahaan PT. Ledokombo (LDO) Jember, untuk mengelola zona pemanfaatan khusus seluas 2.154 Ha (1994)1,2 atau zona penyangga 2.155 Ha (1999)3

1

SK DirJend PHPA Nomor: 68/KPTS/DJ-VI/1994, tanggal 30 April 1994

dalam kawasan TNMB.


(29)

3

Akses dan hak ekslusif diberikan dan atau diperoleh seseorang atau suatu perseroan merupakan bentuk penghargaan serta pengendalian politik yang bermuara pada ketidak-adilan distribusi SDAL. Pengendalian atas SDA-L, dimaksudkan untuk menundukan masyarakat atau pengusaha ke dalam kendali sosial politik dan ekonomi pemerintah (Gorz 2002). Mitchell et al. (2003) menunjukkan bahwa akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang dapat menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh pranata hukum atau hak milik yang terkonsentrasi kepada kelompok kecil masyarakat, sehingga menimbulkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain, yang kemudian memicu lebih banyak akibat lain.

Ketidak-adilan akses, hak dan kelembagaan masyarakat atas SDA-L bersumber dari kebijakan politik pemerintah, yang berakumulasi dengan masalah rendahnya tingkat pendidikan, tekanan ekonomi dan penguasaan lahan yang sangat terbatas, pertumbuhan penduduk, serta stabilitas politik nasional dan lokal. Akumulasi masalah tersebut, ketika situasi politik nasional, regional atau lokal

chaos memicu masyarakat untuk terus menekan dan mengancam secara massif eksistensi kawasan TNMB sebagai kawasan konservasi (Gambar 2). Perspektif politik konservasi ecofasisme, tekanan masyarakat adalah ancaman konservasi SDA-L yang harus ditekan melalui pengawasan (control) oleh institusi yang kuat (badan supranasional) (Dietz 1998). Kontrol dan penutupan akses yang kuat selama rezim Orde Baru berkuasa terhadap masyarakat desa-desa penyangga dalam pengelolaan kawasan TNMB telah mempersempit ruang gerak masyarakat; Sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa penyangga berada dalam kategori miskin kronis dengan penguasaan lahan yang sangat terbatas dan tidak merata.

2

HGU atas areal TNMB tersebut berdasarkan SK Menhut No: 131/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Sukomade Baru yang terletak di TNMB Kabupaten Banyuwangi, seluas 1.098 Ha; Dan SK Menhut No: 132/Kpts-II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Bekas Areal Perkebunan PT. Bandealit yang terletak di TNMB Kabupaten Jember, seluas 1.057 Ha, yang selanjutnya ditetapkan sebagai zona penyangga Taman Nasional, tanggal 23 Pebruari 1998. SK Menhut ini dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan Menhut No: 1194/Menhut-II/1997 tanggal 7 Oktober 1997, tentang persetujuan pelepasan kawasan hutan bekas areal Perkebunan PT Sukamade Baru dan bekas areal perkebunan PT Bandealit.

Tingkat penguasaan lahan pertanian masyarakat

desa-3

SK DirJend PKA No: 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999; SK Menhut Nomor: 131/Kpts-II/1998, pada zona pemanfaatan khusus PT. Sukamade Baru terdapat penambahan luas 1 Ha, dari 1.097 Ha (HGU 1960-1980) menjadi 1.098 Ha (HGU 1998-2022) untuk masa operasi 25 tahun, dan dapat diperpanjang lagi hingga 35 tahun kemudian (hingga tahun 2057).


(30)

4

desa penyangga TNMB di kabupaten Jember dan Banyuwangi rata-rata 1,020 Ha/KK.

Melemahnya kontrol pemerintahan rezim Orde Baru atas sejumlah kawasan hutan dan taman nasional secara nasional, mendorong banyak pihak

--terutama aparat penegak hukum, aparat keamanan, pengelola taman nasional, birokrat dan pengusaha kayu lokal -- melakukan aksi ambil untung, dengan membayar tenaga masyarakat desa penyangga untuk menjarah kayu jati dan kayu rimba yang berada dalam kawasan TNMB dan hutan lindung Babansilosanen. Stabilitas politik nasional yang sangat labil dan perilaku aparat pemerintah seperti disebut di atas mendorong masyarakat desa penyangga untuk melakukan hal yang sama -- tidak sekedar sebagai tanaga bayaran-- dengan melakukan konsolidasi nilai dan aksi penjarahan dan okupasi lahan secara massal. Kebijakan politik dan situasi sosial politik tahun 1997 hingga 2003, dalam kasus pengelolaan TNMB, mengacu kepada perspektif ekologi politik Bryant (1992), merupakan situasi sosial politik yang tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan kausalitas dari tiga faktor utama, yakni sumber-sumber politik, kondisi dan ramifikasi. Salah satu dampak dari ketiga faktor tersebut adalah melemahnya kontrol badan supranasional dan bahkan badan supranasional memposisikan dirinya sebagai aktor penting dari melemahnya kontrol atas kawasan, sehingga menggiring dan memaksa kawasan TNMB masuk dalam kondisi dan kompleksitas politik perubahan lingkungan di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur.

Dampak lanjutan dari penjarahan adalah okupasi lahan. Penanganan masalah okupasi lahan, dalam situasi sosial politik yang labil, bagi Balai TNMB tidak ada pilihan lain untuk keluar dari masalah tersebut kecuali dengan melegalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi secara bersyarat kepada beberapa kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam kendali Balai TNMB. Penjarahan kayu dan okupasi lahan TNMB pada situasi sosial politik yang diuraikan di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk atau gerakan akses yang dikembangkan oleh Ribot dan Pelusso (2003). Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi secara terbatas, menghatarkan kelompok-kelompok


(31)

5

masyarakat desa penyangga menjadi “memiliki sejumlah hak” atas lahan dalam kawasan rehabilitasi (Schlager dan Ostrom 1992).

Gambar 2 Histogram perbandingan derajat total tekanan dan ancaman taman nasional di Indonesia (RAPPAM 2004)

Menghadapi situasi di atas, Balai TNMB berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186/Kpts-II/2002, ditugaskan untuk ”Menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis (Renstra) berdasarkan Visi, yakni; ”Terwujudnya pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” (BTNMB 2007). Dari visi tersebut, maka ditetapkanlah misi pengelolaan TNMB, yakni; (1) melindungi dan mempertahankan keutuhan kawasan beserta potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, (2) memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan, (3) memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan melalui program kemitraan dengan LSM-L nasional dan lokal, dengan atau tanpa MoU dan (4) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan manajemen pengelolaan kawasan (BTNMB 2007).


(32)

6

1. 2 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan Taman Nasional –termasuk TNMB— dirancang dan dilaksanakan berdasarkan visi, misi dan strategi yang formulasinya disesuaikan dengan dinamika politik nasional, regional dan lokal. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru (1997/1998), Balai TNMB harus membuat formula baru mengenai pola hubungannya dengan para pihak, terutama kalangan LSM-L dan masyarakat sekitar kawasan yang menggantungkan hidupnya pada kawasan TNMB. Dinamika dan situasi sosial politik tersebut menunjukan pengaruhnya yang signifikan terhadap eksistensi kawasan dan kinerja Balai TNMB dalam mengelola kawasan.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No: 6186/Kpts-II/2002 , tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh Balai TNMB adalah ”menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut, maka TNMB menyusun Rencana Strategis (Renstra) berdasarkan Visi, yakni; ”terwujudnya pengelolaan TNMB secara optimal, lestari dan berkeadilan, yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat” (BTNMB 2007).

Menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di atas pada situasi politik yang telah bergeser atau berubah, Balai TNMB berjalan dalam koridor sejumlah sumber-sumber politik, berhadapan dengan sejumlah situasi dan kondisi sosial faktual serta masalah ramifikasi (Bryant, 1992) yang muncul hampir secara bersamaan. Kompleksitas situasi dan kondisi sosial demikian, sebagian belum sempat dipikirkan atau diprediksi oleh para penyelenggara birokrasi pemerintah, sehingga para pihak yang bertanggung-jawab relatif kesulitan untuk mengurai masalah, menentukan solusi yang tepat sasaran dan menyelesaikan masalah konflik kepentingan dan perebutan akses dan hak atas SDA-L dalam suatu kawasan. Bahkan tidak jarang, penanggung-jawab suatu institusi pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang sifatnya prematur yang justeru menimbulkan masalah berkelanjutan dan lebih rumit untuk diselesaikan, seperti pada kasus legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB.


(33)

7

Terkait dengan masalah di atas, bahwa idea legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dimaksudkan untuk mendukung percepatan program rehabilitasi. Namun, pada praktiknya, rehabilitasi ternyata bukanlah sekedar aksi menanam an sich yang telah menjadi bagian dari hidup masyarakat agraris. Menanan bagi masyarakat desa sekitar kawasan memiliki beragam makna yang harus dicermati dalam banyak dimensi (dimensi nilai ekonomi, sosial politik, strategi bertahan dalam kawasan, solidaritas serta kuasa kelompok dan individu), untuk melawan ketidak-adilan akses dan hak atas SDA-L yang diterapkan oleh pemerintah. Pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat organisasi petani rehabilitasi/ kelompok tani rehabilitasi (OPR/ KetanMerah) sebagai syarat legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman juga dimaksudkan untuk mendukung percepatan rehabilitasi zona penyangga berbasis masyarakat. Namun eksistensi lembaga konservasi bentukan Balai TNMB tersebut tidak linier dengan program rehabilitasi, pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran hutan (tipihut) yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan.

Tekanan dan stigma sosial yang mengacu kepada sumber-sumber politik pengelolaan TNMB terhadap kelompok masyarakat desa-desa penyangga dalam mengakses dan mendapatkan hak-hak mereka atas potensi SDA-L, pengabaian sejarah dan keberlanjutan hidup masyarakat sekitarnya, serta secara nyata hanya berpihak kepada kelompok minoritas bermodal, bermuara pada timbulnya beragam resistensi sosial. Persaingan akses, dan hak antar aktor atau kelompok masyarakat untuk mendapatkan SDA-L dalam kawasan TNMB saat ini relatif tinggi. Fakta-fakta sosial dilapangan menunjukkan bahwa integrasi kepentingan antara pihak pengelola TNMB demi idealisme konservasi dengan masyarakat sekitar kawasan demi bertahan hidup (nyoon odi’ pada negaranya)

dan pihak PT. Ledokombo (LDO) Jember demi kepentingan pragmatisme

ekonomi, serta kepentingan para pihak lainnya pada eksistensi TNMB, dalam hal-hal yang mendasar belum berjalan secara optimal. Artinya, para pihak berjalan dengan pikiran dan kepentingannya masing-masing.

Tekanan dan ancaman masyarakat terhadap eksistensi kawasan TNMB, karena itu tidak cukup hanya dibendung dengan argumentasi politik dan hukum positif yang cenderung naif. Analisis ekologi politik model Bryant (1992) untuk


(34)

8

mendalami implementasi kebijakan, dinamika persaingan, jaringan dan pola-pola akses, hak dan kelembagaan masing-masing aktor atau kelompok masyarakat pada kasus pengelolaan TNMB era reformasi politik nasional menjadi sangat penting untuk dilakukan, sehingga tekanan dan ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan TNMB sebagai kawasan konservasi dapat dikelola secara positif. Situasi dan kondisi --saling klaim, sikap dan perilaku serta stigma kebijakan Balai TNMB-- telah mengganggu fokus dan kinerja konservasi Balai TNMB.4

4

Wawancara dengan tokoh masyarakat Rajekwesi Oktober 2007 di Dusun Rajekwesi

Guna mengawal dan mendukung kinerja konservasi, rehabiltasi berbasis pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (PPM) secara simbolis telah dilakukan oleh Balai TNMB. Namun, gerakan tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dilihat dari aspek sosial budaya, aspek sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan aspek ekologi. Hal ini berarti masih ada masalah mendasar yang belum disentuh dan dibahas oleh pihak pengelola dan para pihak terkait, sebagai arah baru pengelolaan TNMB, yakni yang berkaitan dengan tata kuasa dan pendekatan teknis untuk menyelesaiakan masalah-masalah jangka pendek.


(35)

9

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian. PRA REFORMAS:

1. 60% hutan jati habis dibalak 2. Zona penyangga steril dari okupasi 3. Konflik kawasan: Laten

4. Pelanggaran hukum tinggi

ERA REFORMASI:

1. Penjarahan 40% sisa hutan jati 2. Konflik: ketidak-adilan akses & Hak 3. Lapar lahan (Okupasi lahan) 4. Stigma kebijakan

5. Institusi (OPR) Alat perlawanan. 6. Konflik klaim Kawasan

7. Penegakan Hukum : Okupasi lahan dan Pelanggaran Hutan

8. Deforestrasi zona rehabilitasi 9. Kerja sama & integrasi para pihak

KINERJA BTNMB 1. Rehabilitasi

2. PPM & Kemitraan 3. Penegakan hukum &

Kelembagaan Konservasi 4. Legalisasi okupasi

lahan zona

rehabilitasi Rusak

5. Hak kelola ekowitasa?

TUPOKSI TNMB (SK Menhut No: 6186/Kpts-II/2002): 1. Perlindungan, pengamanan & pertahankan keutuhan kawasan serta potensi SDAHE

2. Pengawetan dan pemanfaatan potensi SDAHE berkelanjutan, 3. Pemberdayaan dan peningkatan

kesra/masy (program kemitraan) 4. Peningkatan kualitas SDM dan

manajemen kawasan 5. Bina wisata (BTNMB 2007)

EKOPOLITIK (Bryant 1992):

1. SUMBER POLITIK  Kebijakan negara

 Peran dan tekanan negara & dunia pada LH

2. KONDISI

 Konflik klaim & konflik sejarah kawasan

 Penegakan Hukum : Okupasi & Tipihut

3. RAMIFIKASI

 Konsekuensi politik (produk kebijakan)

 Dampak sosekbud & LH kebijakan politik:

REKOMENDASI KEBIJAKAN: 1. Tata kuasa Rehabilitasi 2. Pendekatan Teknis

KINERJA NAIK (+), JIKA KEBIJAKAN DIPERBAIKI ?


(36)

10

1. 3 Permasalahan Penelitian

TNMB ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 277/Kpts-VI/1997. Perubahan status menjadi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) membutuhkan waktu yang sangat panjang, yakni dari tahun 1938 dengan status sebagai hutan lindung hingga tahun 1997 atau lebih dari 70 (tujuh puluh) tahun. Sejak dulu hingga ditetapkannya sebagai Taman Nasional, TNMB terus menghadapi masalah internal maupun eksternal.

Legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB yang diakses oleh masyarakat pasca penjarahan kayu jati dan kayu rimba dalam kawasan TNMB (1997-2003) dan pembentukan kelembagaan konservasi masyarakat desa penyangga TNMB, dianggap sebagai solusi masalah terbaik untuk memperbaiki pola hubungan dengan kelompok masyarakat desa penyangga, guna mendukung gerakan rehabilitasi dan penegakan hukum dalam kasus tindak pidana hutan (tipihut).

Permasalahan akses dan hak menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB yang dilegalkan pada Agustus 2003 kepada kelompok masyarakat di 7 (tujuh) desa penyangga, saat ini mulai menimbulkan isu tenurial

yang mengarah kepada “ketidak-pastian tenurial“ (tenurial insecurity) bagi masyarakat desa penyangga dan juga bagi pihak pengelola TNMB sendiri.

Tenurial insecurity terutama berkaitan dengan upaya, proses dan teknis “pengambil-alihan” lahan yang telah didistribusikan kepada warga masyarakat pasca program kerja-sama rehabilitasi berbasis kemitraan (pemberdayaan masyarakat)

Secara internal, Balai TNMB berhadapan dengan banyak masalah seperti, masalah profesionalisme dan kemampuan aparat atau sumberdaya manusia

berakhir Agustus 2008. Pembiaran kawasan penyangga TNMB dalam kondisi tenurial insecurity atau pun penegakan hukum yang ketat, memiliki peluang yang sama untuk melahirkan masalah sosial yang lebih rumit pada masa-masa mendatang, sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian secara mendasar dan atau terpaksa harus melenturkan sumber-sumber politik yang sudah ada, menghadapi gerakan masyarakat lapar lahan dan tuntutan keadilan akses, hak dan perlakuan yang sama atas SDA-L yang ada dalam kawasan TNMB.


(37)

11

(SDM) dalam menjaga dan mengelola kawasan, keterbatasan dalam melakukan sosialisasi kebijakan lembaga pada masyarakat desa-desa penyangga. Selain itu, juga keterbatasan sarana dan prasarana dalam mempertahankan keutuhan kawasan agar berfungsi optimal, penataan dan pembinaan daya dukung kawasan, pemanfaatan potensi kawasan, efektifitas pemeliharanan dan pemantauan pal batas zonasi yang belum maksimal dan belum jelas antara masing-masing zonasi karena keterbatasan dana, pembuatan batas luar kawasan dengan desa-desa penyangga belum ada atau belum dilakukan, pembagian zonasi di lapangan masih belum jelas dan batas-batas zonasi di lapangan ditentukan berdasarkan perbedaan vegetasi yang ada (bersifat imajiner), sehingga memungkinkan bagi masyarakat atau PT. Bandealit dan PT. Sukamade melakukan perluasan kawasan secara sepihak tanpa sepengetahuan pihak Balai TNMB.

Secara eksternal, Balai TNMB juga berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti, konflik kepentingan yang bersifat laten antara idealisme konservasi pihak Balai TNMB dengan pragmatisme pihak PT. Ledokombo (PT LDO) yang membawahi PT. Bandealit dan PT. Sukamade. Kedua perusahaan perkebunan tersebut bertindak curang, merusak ekosistem hutan cadangan dengan menggerogoti batas kebun, menanam tanaman keras seperti PTPN, yang memicu kecemburuan masyarakat desa penyangga yang melakukan rehabilitiasi. Eksistensi PT. LDO sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi upaya konservasi TNMB, dan juga bagi perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa-desa di sekitarnya. Keberadaan masyarakat pekerja di dua perusahaan tersebut juga mengancam keberlanjutan kawasan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kinerja Balai TNMB. Terkait dengan eksistensi PT. Bandealit dan PT. Sukamade, pihak Balai TNMB telah mengajukan permohonan kepada Dirjen PHKA, melalui Surat No. 5.552.1/BTNMB.01/2008, untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 132/Kpts-II/1998, serta izin Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Bandealit Jember.

Klaim hak atas kawasan antara Balai TNMB dengan masyarakat sekitar dan TNI AD, mulai menimbulkan konflik. Bagi pihak Balai TNMB, masyarakat yang bermukim dalam kawasan TNMB adalah pemukim liar dan illegal (illegal settlements); Sementara dari pihak masyarakat di sejumlah lokasi dalam kawasan


(38)

12

TNMB, baik Jember maupun Banyuwangi, mulai mencuat dampak dari masalah latent, yakni resistensi atas klaim legalitas huku m positif versus legalitas akses dan hak atas SDA-L berdasarkan fakta sejarah, seperti kasus Rajekwesi 2008. Masalah ini untuk sebagian besar sudah mengalami proses pembusukan, sebagai akibat perbedaan akses, hak dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat desa penyangga dengan pihak PT. Sukamade dan PT. Bandealit. Proses pembusukan ini sangat berbahaya bagi eksistensi Balai TNMB.

Dampak dari akumulasi masalah pengelolaan TNMB adalah tekanan dan ancaman berupa tindak pencurian flora dan fauna (non timber forest product) untuk kebutuhan domestik dan komersial, kebakaran hutan (forest fire), perburuan illegal (illegal hunting) dan pencurian kayu (illegal logging) yang setiap tahunnya cenderung mengalami kenaikan5

1. Bagaimanakah bentuk pola hubungan (relasi sosial), sumber-sumber politik, dan konflik kepentingan sebagai konsekuensi dari kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB dalam perspektif ekologi politik?

. Selain harus mengurai hubungan dengan PT. LDO dan masyarakat desa penyangga, masalah dukungan dari para pihak terkait juga masih relatif minim, konflik antara Balai TNMB dengan kelompok LSM-L, dan konflik antar LSM-L yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di beberapa desa penyangga TNMB. Dari banyak permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut :

2. Bagaimanakah kondisi faktual, ramifikasi, konsekuensi kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB dan respon para aktor, peran dan kepentingannya terhadap program rehabilitasi lahan okupasi TNMB berbasis PPM dalam perspektif ekologi politik?

3. Bagaimanakah ragam bentuk dinamika kepentingan akses, hak-hak dan

kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB?

5

Permasalahan illegal logging atas hutan jati (Tectona Grandis) di dalam zona rehabilitasi dari luas total zona: 5.470 Ha (1995) atau turun menjadi 4.023 (2005) yang ditanam oleh Perum Perhutani pada tahun 1967-1969, sekitar 60% telah dibabat habis pada masa tenang era Orde Baru hingga jatuhnya rezim tersebut pada bulan Mei tahun 1997. Sisanya, sekitar 40% dibabat habis secara sistematis dan berjama’ah oleh aparat TNI/Polri, Polhut/Jagawana dan masyarakat desa (sebagai tertuduh) pada awal era reformasi tahun 1998/1999, ketika situasi politik nasional chaos (Balai TNMB, 1998; Hamim dan P3PK UGM, 1999).


(39)

13

1. 4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis aspek yang terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri Jember Banyuwangi. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Menggali dan menganalisis bentuk pola hubungan (relasi sosial), sumber-sumber politik, dan konflik kepentingan sebagai konsekuensi dari kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB dalam perspektif ekologi politik;

2. Menganalisis kondisi faktual, ramifikasi, dan konsekuensi kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi serta respon para aktor, peran dan kepentingannya terhadap program rehabilitasi lahan okupasi TNMB berbasis PPM dalam perspektif ekologi politik;

3. Menganalisis bentuk-bentuk dinamika kepentingan akses, hak-hak dan kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan akses menanam tanaman keras dan musiman dalam lahan zona rehabilitasi TNMB.

1. 5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pihak, sebagai berikut:

1. Memberi kontribusi keilmuan dan perluasan wawasan bagi para ilmuan, peneliti maupun praktisi yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman nasional yang memperhatikan aspek, sosial budaya, ekonomi masyarakat dan ekologi;

2. Meningkatkan kesadaran, kebanggaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNMB sebagai kawasan konservasi;

3. Pengembangan landasan kebijakan untuk meratifikasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan pengelolaan taman nasional, yang memenuhi rasa keadilan sosial, ekonomi dan kelestarian kawasan konservasi;

4. Mengembangkan kebijakan pengelolaan taman nasional berbasis masyarakat yang dapat memenuhi tujuan ekonomi, keadilan, pemberdayaan para partisipan dan kelestarian kawasan konservasi.


(40)

14

1. 6 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kebaruan (novelty) dan keaslian (originality) dari penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan, dapat dilihat dari fokus kajian sebagai berikut.

1. Penelitian tentang Private, Collective, and Centralized Institutional Arrangement for Managing Forest ”Commons” in Nepal, yang dilaksanakan oleh Acharya (2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi intreraksi masyarakat sekitar hutan dalam proses pembentukan kelembagaan masyarakat desa hutan. Rancangan kelembagaan yang bersifat homogen, untuk mengelola kehutanan masyarakat, dengan validitas yang kaku dan hanya satu-satunya untuk diterapkan dalam sebuah Negara, tidak direkomendasikan. Dengan kata lain, Kebijakan yang kaku, top down dan seragam (uniform) sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika sosial di internal masyarakat desa hutan. Rancangan kelembagaan yang direkomendasikan oleh Acharya (2005) adalah yang mempertimbangkan otonomi lokal dan variasi antar komunitas di wilayah yang berbeda-berbeda;

2. Penelitian tentang Regional Community Based Planning: The Challenge of Participation Environmental Governance, yang dilaksanakan oleh Whelan & Oliver (2005). Penelitian ini menunjukan bahwa kekuasaan, konflik dan pertukaran pengetahuan adalah sesuatu yang saling terkait dalam suatu kolaborasi pengelolaan sumberdaya alam regional ( Natural Resources Management) yang bersifat partisipasi publik;

3. Penelitian tentang Exploring Priority Problems of the Forest Dependent Poor in Nepal, yang dilaksanakan oleh Luintel & Bhattarai (2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat miskin pada sumberdaya hutan, bersifat kompleks dan tidak hanya berkaitan dengan masalah kehutanan semata. Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini tidakcukup hanya dengan pendekatan teknis semata, tetapi diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan serta pendekatan politis yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan social budaya. Menekan angka kemiskinan, maka diperlukan penguatan dan perluasan ruang bagi Civel Society Organization dan sektor swasta.


(41)

15

Menuju pada perubahan di atas, diperlukan perubahan tata pemerintahan, termasuk redefinisi peran Negara, civil society dan pasar;

4. Penelitian tentang Public Participation in Community Forest Policy in Thailand: The Influence of Academics as Brokers, yang dilaksanakan oleh Zurcher (2005). Penelitian ini menyimpulkan beberapa point penting, yakni; 1. bahwa kemampuan masyarakat dalam mengartikulasi keinginan dan pendapatnya masih lemah dan atau terbatas, sehingga perannya seringkali lemah, tidak memiliki kekuatan dan pengaruh apa-apa dalam proses formulasi kebijakan, 2. bahwa konflik atas hak akses terhadap sumberdaya hutan pada tingkat lokal tidak akan mendapat perhatian yang luas secara nasional, jika tidak didukung oleh kelompok akademisi dan kaum intelektual yang mendukung ide pengelolaan lokal;

5. Penelitian tentang Institusi untuk mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kabupatren Bekasi Provinsi Jawa Barat, yang dilakukan oleh Supaeri (2005). Penelitian ini menyimpulkan bahwa institusi yang dapat mengendalikan kerusakan hutan mangrove adalah kontrak yang sistematika penciptaan hingga penghapusannya memberikan kepastian hak, dan telah memperhitungkan biaya linkungan serta pilihan masyarakat dalam proses alokasi manfaatnya. Peraturan perundang-undangan bidang kepemilikan yang diimplementasikan ke dalam pengelolaan hutan mangrove memberikan insentif bagi terjadinya kebebasan akses pada kawasan huatn mangrove. Kecuali itu, hak pemilikan yang diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove tidak memberikan kepastrian hak penguasaan lahan garapan, sehingga tidak mampu secara efektif mengendalikan kerusakan bahkan memberikan insentif terciptanya kebebasan akses;

6. Penelitian tentang Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk

Penyelesaian Konflik di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan oleh Pratiwi (2008). Penelitian ini menggunakan konsep Institutionalist Tenure Security dan konsep ekowisasta untuk mengkaji masalah Tenurial Insecurity

dan konflik tenure resources di masyarakat sebagai akibat dari penetapan kawasan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa melibatkan


(42)

16

masyarakat sekitar atau di dalam kawasan TNGHS). Penetapan TNGHS tidak dilakukan berdasarkan persepsi kolektif masyarakat, sehingga kurang mendapat dukungan para pihak. Pearaturan penundang-undangan penetapan taman nasional dan implementasinya tidak dapat menjamin kepastian hak dan akses bagi masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan, keterbatasan sumberdaya dan masalah administrasi dan birokrasi pemabngunan. Pengembangan ekowisata dan institusinya dapat berperan sebagai solusi penyelesaian konflik ketidak-pastian akses;

7. Penelitian tentang Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah dilakukan oleh Lahandu (2007). Penelitian ini menggunakan konsep akses untuk mengkaji dampak kebijakan penetapan Tahura terhadap akses masyarakat dalam memperoleh SDA dalam kawasan Tahura. Dampak kebijakannya adalah terbatas atau menyempitnya ruang akses masyarakat pada sektor produksi SDA, yang bermuara pada konflik antara masyarakat versus pemerintah;

8. Penelitian tentang Konservasi Sumberdaya Alam di TN Gunung Merapi,

Analisis Ekologi Politik oleh Kuswijayanti (2007). Penelitian ini menggunakan konsep akses untuk memetapakn mekanisme akses dan hak serta mengkaji konflik para pihak dalam penetapan kawasan Gunung Merapi sebagai Taman Nasional. Penetapan kawasan Gunung Merapi sebagai TNGM hanya menguntungkan kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan wisata alam, tetapi menimbulkan ketidak-pastian pada masyarakat yang di kawasan permukiman yang berstatus sebagai petani-peternak;

9. Penelitian tentang Ekologi Politik Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Era Reformasi Politik Nasional oleh Qadim (2012). Penelitian ini mengkaji implementasi kebijakan pengelolaan TNMB menggunakan konsep akses, hak dan kelembagaan masyarakat dalam perpektif ekologi politik. Proses penelitian ini menggunakan pendekatan pardigma fenomenologi dan bersifat deskriptif kualitatif


(43)

17

berdasarkan pada teknik distribusi frekuensi. Penelitian ini menemukan bahwa akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB ketika situasi politik nasional chaos terjadi sebagai reaksi atas ketidak adilan akses dan hak. Kelompok masyarakat berhasil memaksa pemerintah (Balai TNMB) untuk melegalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB, hanya dengan syarat sederhana, berupa pembentukan lembaga konservasi masyarakat (OPR/KetanMerah). Kebijakan legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB ini berbasis pemberdayaan masyarakat, pada aspek sosial budaya telah menggeser sejumlah nilai-nilai sosial budaya setempat. Pada aspek sosial ekonomi, legalisasi akses menanam tanaman keras dan musiman dalam zona rehabilitasi TNMB belum mampu meningkatkan derajat sosial ekonomi masyarakat. Pada aspek ekologi juga gagal merehabilitasi zona rehabilitasi, sebagai akibat dari perbedaan kepentingan dan perlakuan dalam hal jenis tanaman yang harus ditanam oleh anggota OPR/KetanMerah.


(44)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Perpektif Politik Ekologi

Kebijakan pelestarian nasional menurut MacKinnon et al. (1990) harus mencakup suatu pernyataan mengenai tanggung-jawab bangsa terhadap pemanfaatan sumberdaya milik bangsa secara berkelanjutan, termasuk perlindungan wakil-wakil ekosistem, dan species melalui suatu program pengelolaaan kawasan yang dilindungi. WCS secara garis besar memberikan petunjuk umum mengenai isi dan tujuan yang perlu dirumuskan dalam kebijakan pelestarian tiap-tiap negara, menekankan perlunya menggaris-bawahi kepentingan pelestarian dan pengelolaan kawasan yang dilindungi dalam mengisi pembangunan berkelanjutan6

Dalam pengelolaannya, Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) menurut Saparjadi (1998) memiliki prinsip-prinsip dasar, yakni; (1) prinsip komitment nasional, (2) prinsip irreversible, (3) prinsip manfaat

.

Kebijakan dan program pemerintah di bidang pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan menurut Soetaryono (2004) dirancang untuk mendukung antara lain, prioritas percepatan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Hal tersebut dimaksudkan agar terwujudnya keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan.

Djayadiningrat (2001) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, antara lain dimaksudkan; (1) memberi akses kepada masyarakat adat dan lokal, (2) pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran aktif masyarakat adat dan lokal, dan, (3) secara simultan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.

6

WCS menekankan kepada setiap Negara untuk menegaskan kebutuhan pelestariannya dan mendifinisikan kebijakan pelestariannya melalui penyiapan strategi pelestarian nasionalnya sendiri,…….secara umum pemanfaatan sumberdaya alam berkaitan dengan pembangunan bidang ekonomi; Sebagai jawaban atas keharusan WCS tersebut, maka eksistensi, peran dan fungsi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan komitmen nasional yang menjadi kewajiban semua pihak –pemerintah, swasta dan masyarakat—untuk ikut mengamankan, mengelola dan memanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat generasi sekarang maupun yang akan dating (MacKinnon et al. 1990).


(45)

20

optimum, (4) prinsip subsidi silang, (5) prinsip pengakuan, apresiasi dan partisipasi, (6) prinsip passing out, (7) prinsip pengalihan tekanan, dan (8) prinsip kemandirian.

Pada praktiknya, Mitchell et al. (2003) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan selalu berhadapan dengan empat masalah penting, yakni; (1) perubahan, (2) kompleksitas, (3) ketidak-pastian, dan (4) konflik sumberdaya alam. Keempat masalah tersebut dapat menjadi masalah sekaligus menjadi peluang bagi semua pihak. Ia akan menjadi peluang ketika keempat masalah tersebut, proses interaksi dan hubungan sebab-akibatnya dapat dipahami secara kritis serta mengetahui bagaimana menjadi agen perubahan yang positif. Menurut Kartodihardjo & Jamtani (2006), implementasi kebijakan politik lingkungan di Indonesia tidak dikelola secara komprehensif, sehingga menimbulkan ketidak-amanan sumberdaya hutan, seperti banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidak-pastian usaha.

Ekologi politik sebagai konsep menurut Bryant (1992) dalam Mitchell et al. (2003) telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi, kondisi dan kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara berkembang. Ekologi politik dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami hubungan sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan alami. Ekologi politik memiliki tiga dimensi penting, yakni:

1. Sumber politik; kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global, yang kesemuanya memacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap masalah lingkungan;

2. Kondisi; konflik-konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Pemahaman terhadap hal ini membutuhkan pemahaman terhadap latar belakang sejarah dan dinamika setiap konflik;

3. Ramifikasi; konsekuensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik.

Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant & Bailey (2000) dipengaruhi atau dimainkan oleh 5 (lima) aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution, NGOs dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni sebagai aktor pengguna sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami konflik kepentingan. Eksistensi negara secara teoritik dan praksis banyak dikritik


(46)

21

dan mendapatkan resistensi, karena; 1. Negara-negara di dunia mempersulit upaya pemecahan masalah lingkungan, demi kepentingan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup sering kali dikorbankan, dan 2. Negara-negara di dunia selalu tidak dalam kapasitas untuk memecahkan masalah lingkungan dalam berbagai level.

Peet & Watts (1996) menyatakan bahwa ekologi politik adalah sebuah pertemuan antara ilmu sosial yang berakar dari ekologi dan prinsip-prinsip politik ekonomi. Tujuan studinya dalam membentuk “pergerakan yang muncul dari tekanan dan pertentangan krisis dibawah produksi, memahami pemikiran oposisi dan visi untuk hidup yang lebih baik dan perubahan kondisi politik, dan melihat kemungkinan untuk memperluas isu-isu lingkungan ke dalam sebuah pergerakan untuk pemberian hak kehidupan dan keadilan sosial.

Scott & Sullivan (2000) menyatakan ekologi politik mengidentifikasi persoalan politik yang mendesak masyarakat ke dalam aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan tanpa adanya alternatif peluang yang meliputi permintaan dan pembangunan kembali narasi lingkungan yang sudah mapan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan internasional dan diskursus pembangunan. Tujuannya adalah mengilustrasikan dimensi politik dalam narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mapan mengenai penurunan kualitas dan pemerosotan mungkin bukan tren linier yang cenderung mendominasi.

Forsyth (2003) menyatakan ekologi politik, secara strukturalis adalah ekplorasi hubungan antara kapitalisme dan atau kebijakan negara yang opresif yang berdampak pada masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan. Ekologi politik menurut Watts (2000) dalam Robbins (2004) adalah analisis kompleksitas hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis menyeluruh yang menimbulkan akses dan kontrol atas sumberdaya dan dampaknya bagi kesehatan lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menjelaskan konflik lingkungan, terutama dalam hal memperjuangkan “pengetahuan,


(47)

22

Lebih lanjut Robbins (2004) megidentifikasi masalah lingkungan melalui empat pendekatan, yakni;

1. Degradasi dan marginalisasi, bahwa isu perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak dari over eksploitasi, yang berujung pada kemiskinan (peminggiran dan pemiskinan); 2. Konflik lingkungan, bahwa konflik terjadi karena kelangkaan sumberdaya akibat

pemanfaatan dari negara, swasta dan elite sosial yang kemudian mempercepat konflik antar kelompok (gender, kelas dan etnik);

3. Konservasi dan kontrol, bahwa kegagalan konservasi adalah akibat dari tercerabutnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya, serta pengabaian mata pencaharian dan organisasi ekonomi mereka hanya karena untuk melindungi lingkungan, dan;

4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial, bahwa gerakan sosial politik terkait dengan upaya untuk mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan. Dalam semua proses di atas, kepentingan global dan kepentingan pemerintah untuk mengawetkan lingkungan justeru membasmi sistem mata-pencaharian lokal, produksi, dan orgnaisasi sosial politik. Konservasi bagi pemerintah adalah untuk mensimplifikasi kontrol atas sumberdaya dan lansekap.

Hempel (1996) dalam Robbins (2004) menyatakan bahwa politik ekologi adalah studi hubungan antara lembaga politik dan hubungan antara lembaga politik dengan lingkungannya…berkaitan dengan dampak politik perubahan lingkungan. Tujuan dari studi ini adalah menyelidiki dan menjelaskan tingkatan masyarakat dan kebijakan politik regional di wilayah global, sebagai respon terhadap penurunan kualitas lokal dan regional dan kelangkaan sumberdaya.

Konservasi lingkungan menurut Bryant dan Bailey (2000), jarang dilihat sebagai upaya konservasi demi konservasi, tetapi ia telah diperalat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Upaya konservasi sering digunakan untuk kepentingan pertahanan dan alat kontrol negara atas rakyat dan lingkungan. Negara tidak ingin kehilangan kontrol dan kewenangannya atas sumberdaya dan lingkungan, sebagai bentuk penegasan hegemoni negara terhadap aktor lain. Kontrol akses dan hak-hak masyarakat oleh negara (pemerintah), menurut Anderson (1995) dalam Satria (2002) dilakukan dengan memberlakukan controlled access regulation melalui; (1) pembatasan input (para pihak dengan segenap kegiatan eksploitasinya), dan (2) pembatasan output berupa kuantitas eksplotasi SDA-L.


(1)

Homer-Dixo T F, JH Boutwell dan GW Rathjens. 1993. Environmental Change and Violent Conflict. Scientific American.

Hunt RC.1998. Concepts of Property: Introduction of Tradition. Di dalam Hunt RC, Gilman A (editors). Property in Economic Context, Monographs in Economic Anthropology No. 14. Lanham: University Press of America. Kanto S. 2003. Sampling, Validitas dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif.

Di dalam Mungin B (editors). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodelogis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kartodihardjo H, Jamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia.

Keating M. 1994. Bumi Lestari menuju Abad 21, Agenda 21 dan Hasil KTT Bumi. Jakarta: Konphalindo.

Krishna. A. 1999. Creating and Harnessing Social Capital. Di dalam Dasgupta P, Serageldin (editors). Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank.

Krisna A, Sharader E. 1999. Social Capital Assesment Tool. Makalah pada Conference on Social Capital and Poverty Reduction 22-24 Juni 1999. Washington DC: The World Bank.

Kusumah, Muljana. W. 1982. Realitas Social Kejahatan. Prisma. No. 5. Mei 1982. Tahun XI. Jakarta: LP3ES.

Kuswijayanti ER .2007. Konservasi Sumberdaya Alam di TN Gunung Merapi:Analisis Ekologi Politik [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Lahandu J. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (Tahura) Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Lindayati R 2003. Gagasan dan Kelembagaan dalam Kebijakan Perhutanan Sosial. Di Dalam: Resosudarmo et`al.(editors) Ke mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Luintel H, Bhattarai B. 2006. Exploring Priority Problems of the Forest Dependent Poor in Nepal, J Forest and Livehood 5 (1): 1-13.


(2)

Lynch OI, Talbot K. 1995. Balancing Act. Community Based Forest Management and National Law in Asia and The Pacific. Washington: World Resources Institute.

MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Penterjemah: Amir HH dari Edisi Asli: Managing Protected Areas in the Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

McMullin SL, Nieslen LA. 1991. Resolution of Natural Resources Allocation Conflicts Trough Effective Public Involvement. Policy Studies J 19 (3-4): 553-559.

MacPherson CB. 1978. Property: Mainstream and Critical Positions. Toronto: University of Toronto Press.

Maemunah S et al. 2002. Menambang Petaka di Meru Betiri. Jakarta: Penerbit Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Maryunani. 1999. Model Pemberdayaan Penduduk Lokal dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan, Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moleong LJ. 1990. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir N. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positifistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realisme Methaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Naisbitt J, Aburdene P. 1990. Mega Trends 2000. London: Sidgwick & Jackson. Narayan D, Cassidy MF .2001. A Dimensional approach to measuring social

capital: development and validation of social capital inventory. Current Sociology. 49(2). New Delhi: Sage Publication, London Thousands Oaks Ca-.

Nasr SH. 2003. Antara Tuhan, Manusia dan Alam Penterjemah: Ali Noer Zaman dari Edisi Asli: The Encounter Man and Nature. 1984. Yogyakarta: IRCISoD.


(3)

Neale WC. 1998. “Property: Law, Cotton –pickin” Hands, and Impact Cultural Imperialism. Di Dalam Hunt RC, Gilman A, Lanhamin (Editors). Property in Economic Contecxt.University Press of America: Monographs in Economic Antropology No.14.pp 47-66.

Olson M. 1971. The Logic of Collective Action: Public Goods and The Theory of Groups. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Ostrom E.1992. Crafting Institution, Self Governing Irrigation System. San Fransisco: ICS Press.

Parson RJ, Jorgensen JD, Hernandez SH. 1994. The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole.

Parsons W. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Penterjemah: Tri Wibowo, Budi Santoso, Dari Edisi Asli: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Jakarta: Penerbit Kencana.

Peet R, Watts M. 2004. Liberation Ecologies, Environment, Development, Social Movement.Edisi ke-2. London: Routledge.

Popkin S. 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press.

Pratiwi S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di TN Gunung Halimun Salak (TNGHS). [Disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Putnam R et al. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princenton: Princenton University Press.

Qadim, A. 2002. Pereseran Nilai Keagamaan dan Sosial Budaya Masyarakat Petani; Suatu Tinjauan dalam Perspektif Ekologi Pembangunan Perdesaan. Al ‘Adaalah. Jurnal Ilmiah Kajian Ke-Islaman dan Kemasyarakatan. Vol. 5, Nomor. 3 Dember 2002. Jember: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember.

Ragin CC. 1994. Construction Social Research, Sosiology for a New Century. London: Cine Forge Press.

Rambo, AT. 1985. Penelitian Ekologi Manusia pada Agroekosistem Tropis di Asia Tenggara. Singopore Journal of Tropical Geography 3 (1).

Rangan H. 1997. Property Vs Control: The State and Forest Management in the Indian Himalaya. Development and Change.


(4)

RAPPAM 2004. Report Workshop: Indonesia Case Study Management Effectiveness Assessment of National Parks Using WWF’s RAPPAM Methodelogy. Diterbitkan atas Kerjasama Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, BirdLife Indonesia, Conservation International Indonesia Program, Fauna and Flora International- Indonesia Program, The Nature Conservacy - Indonesia Program, USAID - The Nature Resoucers Management III, Wetlands International- Indonesia Program, Wildlife Conservation Society - Indonesia Program, and WWF - Indonesia.

Rapport J. 1984. Studies in Empowerment: Introduction to the Issues, Prevention in Human Issue.

Ribot JC, Peluso NL. 2003. A Theory of Access. The Rural Sosiological Society. Robbins P. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. USA & UK:

Blackwell Publishing.

Rice PL, Ezzy D. 2000. Qualitative Research Methods. South Melbourne: Oxford University Press.

Salmi J. 2006. Violence and Democratic Society, Holiganisme dan Masyarakat Demokrasi. Jakarta: Pilar Media.

Saparjadi K. 1998. Kerjasama Kemitraan dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA): Makalah dalam Lampiran II. Laporan Lokakarya Pengembangan Kerjasama Kemitraan dalam Mendukung Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). Pelaksana Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Natural Resources Management Program, Disponsori United States Agency for International Development (USAID), Jakarta, 21 April 1998.

Santosa I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Satria, A. 2002. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Kelautan, Belajar dari Pengalaman Jepang, Jurnal Analisis CSIS Tahun XXXI/2002. No. 4. CSIS Jakarta.

Schlager E, Ostrom E. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economica 68 (3).

Scott JC. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(5)

Scott P, Sullivan S. 2000. (Editors). Political Ecology, Science, Myth and Power. London: School of Oriental and African Studies, University of London. Singarimbun M, Peny DH. 1976. Penduduk dan Kemiskinan. Jakarta: Bhatara

Karya.

Soetaryono R. 2004. Kebijakan Pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup. Jakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

Solow RM .1999. Notes on Social Capital and Economic Perfomance. Di dalam Dasgupta P, Serageldin I (editors). Social Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank.

Sugiono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfa Beta.

Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Supaeri. 2005. Institusi untuk mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove, Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kabupatren Bekasi Provinsi Jawa Barat [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutarto E, Sitorus F, Maguantara YN. 2001. Desentralisasi Kebijakan dan

Administrasi yang Mempengaruhi Hutan di Kabupaten Ketapang [Draft Paper] Bogor: CIFOR.

Swift C, Levin G1987. Empowerment: An Emerging Mental Healt Technology. J Primary Prevention, USA.

Upp S. 1995. Pedoman Penerapan Metodelogi Report Card System (RCS). Bangalore: LJB School of Public Affairs, Texas University & Public Affairs Center (PAC) India.

Thomson JB. 2003. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Penterjemah; H Yaqin. Dari Judul Asli:Studies in the Theory of the Ideology. 1984. Yogyakarta: IRCiSoD.

Weber M. (editor). 1978. Economy and Society. Berkeley: University of California Press.

Whelan J, Oliver P. 2005. Regional community based planning: the challenge of participation environmental governance. Australian J Environemental Management. 12: 126-135.


(6)

[WCED] World Commision on Environmnetal and Development. 1987. Our Common Future. New York & Oxford: Oxford University Press.

Wrangham R.2003. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat, 1960-1999; Di Dalam: Resosudarmo`et al. Ke mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wuisman JJM. 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jilid I. Azaz-azas. Hisyam M (editors). Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia.

Zander A. 1990. Effective Social Action by Community Groups. San Francisco: Jossey-Bass Inc.

Zurcher S. 2005. Public Participation in Community Forest Policy in Thailand: The Influence of Academics as Brokers. J Geography 105 (1): 77-88.