40 jenis pakan dengan nilai korelasi Pearson r sebesar 95,70. Hasil perhitungan
analisis regresi berganda selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.
5.1.4. Preferensi Habitat Maleo
Untuk menganalisis tipe habitat yang disukai maleo digunakan asumsi bahwa semakin besar pemanfaatan suatu tipe habitat oleh maleo, maka semakin
disukai tipe habitat tersebut karena proporsi pemanfaatannya usage lebih besar dibanding proporsi ketersediaan availability.
Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kehadiran maleo dengan tipe habitat dilakukan pengujian
menggunakan pendekatan metode Neu indeks preferensi. Metode Neu merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menentukan indeks preferensi habitat oleh satwa. Proses pengolahan datanya disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Indeks Neu untuk preferensi habitat maleo berdasarkan lokasi a
Lokasi ha
p n
u e
w b
Rang- king
Bora 2.584,53
58,13 1
0,47 12.497,78
0,01 0,002
3 Kadidia
400,57 9,01
8 3,72
1.937,00 0,41
0,124 2
Saluki 1.461,08
32,86 206
95,81 7.065,22
2,92 0,874
1 Jumlah
4446,18 100,00 215
100 21.500,00
3,34 1,00
Keterangan: p = proporsi luas lokasi tempat kehadiran maleo, n = jumlah kehadiran maleo di suatu lokasi, u = proporsi jumlah kehadiran maleo, e = nilai harapan, w = indeks
preferensi, b = indeks preferensi yang distandarkan
5.2. Pembahasan
5.2.1. Komponen Fisik Habitat Burung Maleo
Komponen habitat terdiri atas komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dan biotik ini membentuk suatu sistem yang dapat
mengendalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat adalah hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci komponen fisik terdiri dari air, udara,
iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri dari vegetasi, mikro dan makro fauna, serta manusia Alikodra 1990.
Maleo menempati wilayah yang memiliki ketinggian beragam, dari tepi pantai hingga hutan sub pegunungan. Dari tiga lokasi tempat dilakukannya
41 penelitian, maleo terkonsentrasi pada ketinggian 201-400 m dpl di lokasi Saluki.
Hal ini memperkuat hasil penelitian Butchart et al. 1998 dan Butchart Baker 2000 yang menemukan bahwa untuk tipe lokasi bertelur di dalam hutan dengan
sumber panas geothermal maleo menempati wilayah mulai dari ketinggian 90 m dpl hingga 1065 m dpl dengan konsentrasi maleo terbesar pada lokasi dengan
ketinggian 235-305 m dpl. Beragamnya ketinggian tempat yang dikunjungi oleh maleo diduga karena
adanya faktor kunci berupa keberadaan sumber panas bumi di lokasi-lokasi tersebut. Saluki lebih sering dikunjungi oleh maleo diduga karena lokasi ini
memiliki sumber panas bumi yang cukup besar yaitu 9 sumber air panas. Panas bumi diperlukan maleo untuk menetaskan telurnya. Maleo akan berusaha
mendatangi lokasi bertelurnya meskipun harus melintasi habitat yang telah terdegradasi Butchart Baker 2000.
Meskipun Saluki didominasi oleh kelerengan tempat yang agak terjal dan curam Tabel 4, di lokasi ini maleo lebih menyukai kelerengan tempat yang
relatif datar dan landai pada kelas kelerengan 0-15. Maleo kurang menyukai daerah yang curam dan sangat curam yang memiliki kelerengan 15. Hasil ini
mengindikasikan bahwa maleo di TNLL lebih menyukai lokasi-lokasi yang relatif datar dan landai dengan jumlah sumber air panas bumi yang besar. Diduga hal ini
terkait dengan perilaku maleo yang lebih sering beraktivitas di permukaan tanahlantai hutan terutama untuk aktivitas bertelur dan mencari pakan. Lokasi
yang memiliki kelerengan tempat yang datar dan landai lebih memudahkan maleo dalam proses penggalian lubang peneluran dan mencari pakan.
Selain itu, pada lokasi Saluki banyak ditumbuhi dengan tumbuhan pakan maleo pada tingkat tiang dan pohon dengan tajuk yang relatif rapat. Banyaknya
tumbuhan pakan lebih menjamin ketersediaan pakan maleo. Rapatnya tajuk pohon menyebabkan peluang terjadinya pencucian tanah oleh hujan relatif lebih rendah
sehingga di lokasi Saluki pH tanah mendekati netral. Kadidia dan Bora yang memiliki vegetasi kurang rapat memiliki pH lebih rendah dari Saluki. Daerah
yang relatif terbuka akan mendapat peluang terjadinya pencucian tanah oleh hujan lebih tinggi sehingga akan mengandung pH tanah yang lebih rendah. Soepardi
1983. Gunawan 2000 menemukan bahwa pH tanah di lokasi bertelur Tapak
42 Kolintang, Tanjung Batikolo, Tambun, Tumokang, Bakan dan Tanjung Binarahan
memiliki pH berkisar antara 5,90-7,10. Keragaman pH pada kisaran tersebut diduga tidak mempengaruhi burung maleo dalam pemilihan habitat tempat
bertelurnya Gunawan 2000. Maleo lebih banyak beraktivitas di lantai hutan untuk mencari pakan baik
yang berbentuk buah atau biji tumbuhan maupun serangga dan cacing tanah. Kebiasaan ini terlihat dengan sering dijumpainya burung tersebut berjalan-jalan di
lantai hutan sambil mematuk-matuk buah dan biji yang sudah berjatuhan dari pohon. Gunawan 2000 meyebutkan bahwa di Tambun, Tumokang dan Tanjung
Binarahan burung maleo menghabiskan sebagian besar waktunya 75 di lantai hutan dengan aktivitas bersosialisasi, mencari tempat sarang, menggali sarang dan
mencari pakan. Lokasi Bora yang didominasi oleh kelerengan tempat yang datar dan landai
Tabel 4 ternyata kurang disukai oleh maleo. Hal ini diduga karena pada lokasi ini hanya terdapat 1 buah sumber panas bumi dan kurangnya ketersediaan pakan.
Lokasi peneluran maleo di Bora merupakan tipe habitat savana yang didominasi oleh semak dan perdu Ma’dika et al. 2001 dengan kekayaan jenis yang rendah
Gambar 6. Pada lokasi penelitian ditemukan sumber air panas bumi dengan jumlah
sumber air panas dan kondisi yang berbeda-beda. Dari ketiga lokasi penelitian, jumlah sumber air panas terbanyak yang ditemukan di satu lokasi terdapat di
Saluki berjumlah sembilan sumber air panas dengan suhu 82,00 ± 1,63
o
C, kemudian di Kadidia dengan tiga sumber air panas dengan kisaran suhu 80,00 ±
4,08
o
C dan di Bora dengan satu sumber air panas dengan kisaran suhu 73,67 ± 14,73
o
C. Hal ini mengindikasikan bahwa maleo di TNLL sangat bergantung pada ketersediaan sumber panas bumi dalam mengerami telurnya.
Pada lokasi Saluki yang memiliki 9 sumber air panas frekuensi kehadiran maleo lebih banyak dari lokasi-lokasi yang memiliki lebih sedikit sumber air
panas. Menurut hasil pengamatan selama penelitian dan catatan petugas TNLL, selama periode penelitian di lapangan 2 Januari-7 April 2009 ditemukan total
247 butir telur maleo di Saluki yang diambil oleh petugas TNLL dari alam untuk ditetaskan di dalam kandang penetasan. Dari 247 butir telur tersebut 42 butir telur
43 maleo ditemukan pada bulan Januari, 71 butir telur maleo pada bulan Februari,
106 butir telur maleo pada bulan Maret dan sampai dengan tanggal 7 April ditemukan 28 butir telur maleo pada bulan April dengan jumlah telur terbanyak
ditemukan dalam satu hari adalah 14 butir telur maleo. Sumber panas bumi geothermal merupakan salah satu komponen fisik
habitat yang sangat penting bagi maleo terutama untuk menetaskan telurnya di daerah pedalaman daratan inland nesting ground. Habitat burung maleo terdapat
di hutan-hutan berbukit dengan semak-semak dan hutan dekat pantai yang memiliki sumber panas.
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa pada lokasi yang memiliki frekuensi aktivitas manusia yang tinggi dan kurangnya kegiatan perlindungan
maleo di suatu tempat diikuti dengan kecilnya frekuensi kehadiran maleo di tempat tersebut. Bora yang memiliki 1 sumber air panas terletak pada suatu
wilayah yang aksesibilitasnya relatif mudah, dekat dengan pemukiman masyarakat dan kota Palu yang berjarak ± 23 km. Kemudahan aksesibilitas ini
menyebabkan sumber air panas Bora ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat menjadi obyek wisata pemandian air panas Gambar 8. Tingginya frekuensi
aktivitas manusia diduga mempengaruhi frekuensi kehadiran maleo di tempat ini. Selain itu, lubang peneluran maleo yang ditemukan semakin jauh dari sumber air
panas ± 300 m. Aktivitas manusia yang relatif tinggi di lokasi peneluran Bora menyebabkan maleo jarang mengunjungi lokasi ini Ma’dika et al. 2001.
Diduga maleo menghindari gangguan manusia dengan meletakkan telurnya jauh dari sumber air panas yang memiliki frekuensi aktivitas manusia yang
tinggi. Pada lokasi penelitian Bora maleo tidak dijumpai secara langsung akan tetapi kehadiran maleo dapat diketahui dari ditemukannya satu lubang peneluran
baru yang berisi telur maleo dan telah digali oleh penduduk setempat yang dijumpai pada saat penelitian berlangsung. Lokasi peneluran maleo di Bora telah
mengalami gangguan berat karena letaknya berdekatan dengan permukiman penduduk dan kadang-kadang areal ini digunakan sebagai tempat penggembalaan
ternak oleh masyarakat Ma’dika et al. 2001.
44
Gambar 8. Kondisi sumber air panas di Bora
Kondisi yang hampir sama terjadi di Kadidia yang memiliki tiga sumber air panas dan berjarak 50 m dari pemukiman masyarakat. Diduga lokasi peneluran
maleo di Kadidia telah mengalami gangguan berat karena letaknya yang sangat berdekatan dengan pemukiman penduduk dan perkebunan kopi milik masyarakat.
Tingginya frekuensi aktivitas manusia di Kadidia diduga mempengaruhi kecilnya kehadiran maleo di tempat ini meski memiliki tiga sumber air panas. Populasi
maleo di tempat ini diperkirakan kecil dan terancam punah Butchart et al. 1998, Butchart Baker 2000, Ma’dika et al. 2001.
5.2.2. Komponen Biotik Habitat Maleo Struktur Vegetasi