5
Foto : BKSDA Sulawesi Tengah
Gambar 1. Burung maleo yang ditemukan di Sulawesi Tengah Pada bagian kepala terdapat mahkota berwarna kelabu kehitam-hitaman
yang disebut kapseti dan berfungsi untuk mengukur temperatur ketika burung tersebut menggali lubang untuk peletakan telur MacKinnon 1981. Mahkota
kapseti maleo jantan lebih besar dari maleo betina. Mata burung maleo
berwarna cerah dengan paruh yang besar, kokoh serta lancip dan berwarna hitam dengan bagian ujungnya merah kekuningan. Paruh yang besar ini berguna untuk
membantu memecah makanannya yang keras dan besar. Burung maleo mempunyai pengaturan suhu tubuh yang tetap homoithermal dan bulu badan
yang tebal Hendro 1974, Wiriosoeparto 1979, Nurhayati 1986, Santoso 1990. Ukuran telur maleo dengan berat 16 dari bobot badan betina dewasa pada
telur ayam hanya 3 dari bobot badan induk atau sekitar 190–280 g, dengan panjang 9,00 cm dan diameter 6 cm sehingga perbandingan antara telur ayam
dengan telur burung maleo sama dengan 5 kali telur ayam. Dalam keadaan segar telur maleo berwarna merah jambu dan kemudian berubah menjadi kecoklat-
coklatan Hendro 1974, MacKinnon 1981
2.2. Populasi dan Distribusi
Burung maleo hanya dapat dijumpai di Pulau Sulawesi yaitu di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara
6 Whitten et al. 1987, Gazi 2008. Populasi maleo terbanyak ditemukan di daerah
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah Hendro 1974. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Ma’dika et al. 2001, maleo
di TNLL tersebar di 10 lokasi. Lokasi peneluran Saluki memiliki ukuran populasi maleo besar dan habitat berdekatan dengan tanaman coklat. Lokasi peneluran
Kadidia memiliki ukuran populasi maleo kecil dan habitat berdekatan dengan tanaman kopi sedangkan lokasi peneluran Bora memiliki ukuran populasi maleo
kecil dengan habitat berupa semak dan perdu Tabel 1. Tabel 1. Penyebaran maleo di kawasan Taman Nasional Lore Lindu Ma’dika et
al. 2001
Koordinat Lokasi
Habitat Jumlah
Lubang Ukuran
Populasi Perkiraan
Populasi LS
BT Pakuli
Semak dan perdu 164
Sedang 70 – 130
01
o
13’50” 119
o
57’48” Saluki
Tanaman coklat 722
Besar 325 – 650 01
o
17’54” 119
o
58’32” Mapane
Semak belukar 49
Kecil 22 – 44
01
o
19’23” 119
o
58’33” Kadidia
Tanaman kopi 14
Kecil 6 – 13
01
o
11’30” 120
o
07’13” Hulurawa
Hutan primer 258
Besar 116 – 232 01
o
13’44” 120
o
06’13” Mangku
Semak belukar 48
Kecil 27 – 47
01
o
39’25” 120
o
05’90” Kaya
Tanaman bambu 94
Sedang 42 – 85
01
o
39’56” 120
o
05’17” Kertambe
Hutan primer 8
Kecil 4 – 7
01
o
49’52” 120
o
08’07” Taveki
Sempadan sungai 130
Sedang 59 – 117 01
o
21’58” 120
o
11’45” Bora
Semak dan perdu 59
Kecil 27 – 53
01
o
03’32” 119
o
56’32”
Keterangan : Penentuan ukuran populasi mengikuti Butchart et al. 1998 dengan kriteria:1 Besar 200
lubang; 2 Sedang 75–200 lubang; 3 Kecil 75 lubang
Secara keseluruhan populasi maleo di semua tempat dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu selama 10 tahun terakhir telah mengalami penurunan.
Ma’dika et al. 2001 dalam laporannya menyebutkan bahwa pengambilan telur maleo merupakan penyebab utama menurunnya populasi burung tersebut di
habitat alaminya, selain aktivitas manusia yang merusak habitat maleo. Pada tahun 1978 populasi maleo diperkirakan 5.000–10.000 ekor, dengan produksi
telur tahunan sebanyak 30 butir per individu betina MacKinnon 1978.
2.3. Habitat
Garshelis 2000 mendefinisikan habitat sebagai tempat dimana hewan dapat hidup secara normal, atau lebih spesifik lagi, sekumpulan sumberdaya dan
kondisi yang diperlukan oleh hewan untuk hidup. Bailey 1984 menyatakan
7 bahwa habitat memiliki fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung.
Dari segi komponennya habitat terdiri atas komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dan biotik ini membentuk suatu sistem yang dapat mengen-
dalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat adalah hasil interaksi dari sejumlah komponen. Komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan
ruang; sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi, mikro dan makro fauna, serta manusia Alikodra 1990.
Istilah seleksi atau pemilihan habitat dan preferensi habitat atau habitat yang disukai sering digunakan dan tertukar maknanya satu sama lain. Banyak peneliti
berpendapat bahwa pemilihan habitat sama dengan preferensi habitat , akan tetapi Johnson 1980 menyatakan bahwa seleksi habitat lebih menekankan pada proses
pemilihan habitat atau sumberdaya oleh satwaliar, sedangkan preferensi habitat mencerminkan tingkat kesukaan satwaliar dalam memilih suatu habitat atau
sumberdaya tertentu jika semua habitat tersebut secara bersama-sama ada dan memiliki jumlah yang sama. Tipologi habitat merupakan proses klasifikasi habitat
yang dapat dibedakan melalui definisi habitat, narasi jenis flora dan fauna dan fungsi dari habitat itu sendiri. Definisi tipologi habitat sangat jarang digunakan
dalam banyak literatur, akan tetapi definisi yang pernah digunakan tentang tipologi habitat adalah unit lahan atau perairan yang berisi sekumpulan habitat
yang memiliki kesamaan struktur, fungsi dan respon terhadap gangguan Lengyel Kobler 2007.
Burung maleo tidak membuat sarang, tidak menyimpan telur di sarang, serta tidak mengerami telurnya seperti umumnya jenis burung lain, melainkan hanya
meletakkan telurnya di dalam tanah yang memiliki suhu cukup hangat untuk menetaskan telur tersebut. Kehangatan bersumber dari panas matahari di pantai
terbuka, panas bumi di hutan ataupun gabungan panas matahari dan panas bumi.
Habitat bertelur burung maleo terdapat di hutan-hutan berbukit dengan semak-semak serta hutan dekat pantai yang memiliki sumber panas. Nesting
ground terbagi atas habitat bertelur di pantai coastal nesting ground dan habitat
bertelur di dalam hutan dengan sumber panas geothermal inland nesting ground Dekker 1990. Penyebaran habitat bertelur burung maleo di Provinsi Sulawesi
8 Tengah terdapat di Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, Suaka
Margasatwa Bakiriang, Cagar Alam Tanjung Api, Cagar Alam Tanjung Dako, dan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop BKSDA Sulawesi Tengah 2002.
Jones et al. 1995 menyatakan bahwa lubang pengeraman terletak di tanah vulkanik dan pantai yang terekspos matahari, tepi danau, tepi sungai dan bahkan
jalan berdebu sepanjang tepi pantai. Lubang sangat bervariasi dalam ukuran dan kedalaman tergantung substrat dan temperatur tanah. Lebar lubang dapat men-
capai 300 cm dengan kedalaman lebih dari 100 cm. Masa inkubasi 60–80 hari dengan temperatur tanah 32
o
–39
o
C del Hoyo et al. 1994. Gunawan 2000 menyatakan bahwa suhu tanah di lubang pengeraman yang optimal adalah 34
o
C dengan kelembaban berkisar 50–80 dan pH tanah bervariasi mulai dari 5,1–7,1.
Burung maleo memilih tempat bertelur dengan cara mematuk-matukkan paruhnya ke permukaan tanah. Biasanya tempat bertelur dipilih pada areal yang
lebih banyak penyinaran matahari. Demikian pula dengan keadaan tekstur tanah, maleo memilih tanah yang memiliki tekstur berpasir karena hal ini erat
hubungannya dengan lamanya penggalian lubang dan keadaan posisi telur di dalam lubang Wiriosoepartho 1980.
Gunawan 2000 menyatakan bahwa kedalaman lubang sarang pengeraman telur burung maleo ditentukan oleh kuatnya pengaruh dari sumber panas. Apabila
pengaruh dari sumber panas bumi cukup kuat maka kedalaman lubang pengeraman tidak terlalu dalam, tetapi bila panas bumi kurang maka lubang digali
cukup dalam. Lebar lubang sarang pengeraman telur dipengaruhi oleh kedalaman lubang dan tekstur tanah, semakin dalam lubang yang digali semakin bertambah
ukuran lebar. Terdapat beberapa tipe sarang pengeraman telur bagi burung maleo, yakni:
a. Tipe sarang pengeraman di tempat terbuka, adalah sarang yang dibuat di tempat yang langsung mendapat sinar matahari sepanjang siang, umumnya
ditemukan di habitat pantai dimana sumber panas pengeraman berasal dari radiasi matahari.
b. Tipe sarang pengeraman di bawah naungan tajuk, adalah sarang yang dibuat di bawah tajuk dengan fungsi sebagai pelindung sinar matahari dan hujan.
Tipe sarang ini umum dijumpai di habitat tempat bertelur yang bersumber
9 panas bumi geothermal. Tajuk bambu atau rumpun rotan menjadi naungan
yang disukai maleo untuk bersarang. c. Tipe sarang pengeraman di bawah lindungan pohon tumbang, adalah sarang
yang dibuat di bawah batang pohon tumbang. Maleo cenderung memilih pohon dengan diameter batang yang mampu melindungi sarang dari sinar
matahari, hujan dan longsor. d. Tipe sarang pengeraman di bawah naungan tebing atau batu, adalah sarang
yang dibuat di samping batu-batu yang miring, di celah-celah batu atau di samping tebing.
e. Tipe sarang pengeraman di dalam goa, adalah sarang yang dibuat di dalam lubang-lubang goa di daerah karst sehingga sarang tersebut terlindung dari
sinar matahari dan hujan. f. Tipe sarang pengeraman disamping perakaran pohon, adalah sarang yang
dibuat dengan salah satu sisinya menempel pada sistem perakaran tumbuhan sehingga pada sisi tersebut terhindar dari longsor.
g. Tipe sarang pengeraman di antara banir pohon adalah sarang yang dibuat di sela-sela banir atau sistem perakaran yang rumit sehingga sarang tersebut
terhindar dari satwa predator.
2.4. Pakan