Pembahasan .1 Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu

91 Gambar 5.19 Hasil analisis kepentingan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon 5.2 Pembahasan 5.2.1 Analisis Keberlanjutan Dimensi Pengelolaan Rumpon di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Berdasarkan hasil analisis leverage Gambar 5.2 dimensi ekologi, bahwa dari 7 tujuh atribut dimensi ekologi yang dianalisis diperoleh 4 empat atribut sensitif yaitu: 1 atribut zonakawasan pengelolaan rumpon merupakan atribut yang paling tinggi kontribusinya yaitu dengan nilai 12,37, 2 atribut arus perairan dengan nilai 9,37, 3 suhu perairan dengan nilai 8,38, dan 4 salinitas perairan dengan nilai 6,49. Atribut sensitif ini merupakan atribut pengungkit yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekologi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Atribut-atribut ini perlu menjadi perhatian dan dikelola dengan baik dalam penentuan arah dan kebijakan dari dimensi ekologi sehingga atribut sensitif tersebut dapat meningkatkan keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan rumpon. Hal ini karena walaupun saat ini status pengelolaan rumpon sudah termasuk berkelanjutan dalam kategori ”cukup berkelanjutan” maka diperlukan peningkatan kategori keberlanjutan dari dimensi ekologi. Munculnya atribut zonakawasan pengelolaan sebagai atribut sensitif, karena saat ini pemasangan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu belum mempertimbangkan zonakawasan pengelolaan rumpon secara ekologi . Hal ini 0.460 0.149 0.290 0.100 92 merupakan sesuatu yang penting, karena zona merupakan ruang yang berdasarkan karateristik biologis dan potensi sumberdaya yang merupakan daya dukung yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Zona ini merupakan suatu hasil dari analisis ruang yang menyangkut kualitas-kualitas fisik dan sesuatu pernyataan mengenai pola kesesuaian dan penggunaan sumberdaya yang ada serta dapat merupakan petunjuk menyeluruh bagi perencanaan. Dengan tidak adanya pengaturan dari zona pemanfaatan dan pemasangan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, maka sumberdaya yang dimanfaatkan dalam jangka panjang akan terancam. Selain itu, akibat belum adanya zonakawasan pemasangan rumpon cenderung akan menimbulkan konflik penggunaan ruang di laut tersebut yang sangat menentukan keberlanjutan rumpon. Berdasarkan data dilapangan bahwa konflik yang terjadi berkaitan dengan rumpon adalah perebutan fishing ground , pencurianpengrusakan rumpon, jalur pelayaran dan konflik wilayah pengelolaan. Mengacu pada nilai sensitifitas atribut zonakawasan cukup besar, oleh karena itu perlu pengaturan zonakawasan agar pemasangan rumpon dilakukan pada zonakawasan pemanfaatan atau pada zonakawasan pemanfaatan terbatas yang telah disepakati oleh semua yang berkepentingan dan ditetapkan secara hukum sehingga secara sifnifikan meningkatkan status keberlanjutan rumpon secara ekologi. Atribut arus, salinitas dan suhu perairan muncul sebagai atribut sensitif muncul karena berkaitan kesesuaian penempatan rumpon dengan parameter fisika dan kimia yang merupakan daya dukung perairan dalam arti lingkungan perairan tempat kehidupan ikan yang berasosiasi dengan rumpon. Produktivitas jangka panjang suatu stok ikan berkaitan dengan daya dukung atau lingkungan perairan. Apabila daya dukung perairan terhadap ikan target rendah maka produktifitasnya juga rendah sehingga mempengaruhi keberlanjutan dari rumpon yang dipasang atau yang dimanfaatkan. Berdasarkan data diperoleh di lapangan, di lokasi pemasangan rumpon suhu perairan adalah 22,2-22,7°C, salinitas 29,34‰ dan arus sebesar 0,75 knot. Menurut Cayre 1991, bahwa suhu optimal dari ikan madidihang adalah 25-27°C, salinitas perairan yang optimal bagi ikan tuna sebesar 33‰ dan arus perairan 0,75 knot Gooding dan 93 Magnuson 1967. Nilai ini mencerminkan bahwa untuk daya dukung perairan cukup baik sehingga tingkah laku ikan berasosiasi dengan rumpon juga cukup mendukung, namun diperlukan lokasi yang optimal untuk mendukung kesesuaian ikan target yang akan ditangkap. Menurut Batubara 1981, bahwa kisaran suhu optimum dari jenis ikan tuna mata besar adalah 17 - 23°C pada kedalaman 50 – 400 meter, madidihang adalah 14 - 22ºC pada kedalaman 200 – 300 meter. Selanjutnya disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada umumnya menghuni perairan dengan salinitas 18 - 38‰. Khusus untuk atribut arus, penempatan rumpon di laut sangat dipengaruhi oleh kekuatan arus. Jika arus perairan di laut besar maka keberadaan rumpon dapat terancam karena rumpon bisa hanyut, dan sebaliknyai jika arus terlalu rendah juga tidak mendukung produktifitas perairan. Oleh karena itu arus merupakan parameter yang harus diperhatikan untuk keberlanjutan pemasangan dan pemanfaatan rumpon di laut. Saat ini, penempatan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu mendukung keberlanjutan rumpon, hal ini dapat dibuktikan bahwa jenis ikan yang ditangkap di rumpon selalu meningkat yang didominasi ikan target yaitu ikan cakalang K.Pelamis dan jenis tuna Thunnus,sp. Sesuai hasil penelitian Martosubroto dan Malik 1989 bahwa sebaran kedua jenis ikan tersebut diantaranya banyak terdapat di perairan Selatan Jawa dan hidup berasosiasi dengan rumpon Subani,1958. Hasil tangkapan ikan di perairan Pelabuhanratu dengan adanya rumpon menjadi meningkat yaitu pada tahun 2004 sebelum ada rumpon poroduksi ikan tuna dan cakalang sebesar 793.813 kg, sedangkan pada tahun 2005, 2006, 2007 berturut-turut setelah ada rumpon yaitu 1.912.369 kg, 1.383,673 kg, 2.030.657 kg. Peningkatan dari produksi tuna pada tahun 2005 disebabkan karena meningkatnya jumlah armada penangkapan ikan dan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat bantu rumpon. Sesuai dengan teori Hochachka 1979 dalam Longhurst dan Pauly 1987 yang menyatakan secara universal ikan tertarik pada benda terapung dan berasosiasi dengan benda tersebut dalam hal ini rumpon sehingga membentuk scooling dan menjadikan fishing ground baru bagi nelayan Monintja,1995. Namun berdasarkan hasil penelitian Nahib 2007, harga ikan semakin meningkat maka cenderung effort penangkapan meningkat sehingga produksi meningkat, namun 94 dampak jangka panjang keberadaan rumpon akan menimbulkan produksi semakin meningkat sehingga mengakibatkan penurunan stok ikan dan pada titik tertentu akan menimbulkan keuntungan sumberdaya tidak lagi diperoleh. Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi ekonomi Gambar 5.4, diketahui bahwa atribut pendapatan nelayan rumpon terutama nelayan kecil merupakan atribut yang paling sensitif yaitu dengan nilai 8,72, kemudian berturut-turut diikuti oleh atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon dengan nilai 6,96, pertumbuhan usaha pendukung penangkapan dengan nilai 5,45, dan konsumsi rumah tangga nelayan RTN rumpon terutama nelayan skala kecil dengan nilai 5,08. Atribut pendapatan nelayan yang memanfaatkan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekonomi muncul sebagai atribut sensitif dengan nilai yang paling besar dibandingkan dengan atribut sensitif lainnya dimensi ekonomi, karena dengan adanya rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan jumlah hasil tangkapan meningkat sehingga pendapatan nelayan meningkat dengan kata lain memberikan manfaat yang signifikan. Begitu juga dengan munculnya atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon sebagai atribut sensitif disebabkan karena dengan pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan rasio usaha penangkapan ikan yang bergantung pada rumpon semakin meningkat. Atribut sensitif lainnya pada pengelolaan rumpon yang berkelanjutan dimensi ekonomi adalah pertumbuhan usaha pendukung penangkapan karena dengan semakin berkembangnya usaha rumpon maka semakin meningkatnya usaha pendukung penangkapan ikan lainnya. Hal ini dapat dilihat bahwa, jumlah nelayan yang menangkap dengan alat bantu rumpon semakin meningkat dan jumlah armada penangkapan juga meningkat maka usaha perikanan tangkap yang berkaitan dengan rumpon juga semakin meningkat. Atribut lainnya yang muncul sebagai atribut sensitif adalah konsumsi rumah tangga nelayan, karena dengan meningkatnya pendapatan nelayan maka kebutuhan akan konsumsi rumah tangga nelayan yang dicirikan dengan konsumsi beras semakin meningkat. Agar nilai indeks keberlanjutan dapat meningkat maka diperlukan penekanan pada atribut-atribut sensitif tersebut. 95 Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi Gambar 5.6, maka status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk kategori ”kurang” secara teknologi karena nilainya berada pada kisaran 26 – 50, artinya pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi teknologi tidak berkelanjutan. Bila melihat Gambar 5.6 tersebut, maka atribut sensitif yang paling tinggi berurutan adalah tingkat investasi pengusahaan rumpon dengan nilai 8,12, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon dengan nilai 7,64, penerapan teknologi ramah lingkungan dengan nilai 6,23, dan rasio hasil tangkapan terhadap TAC dengan nilai 5,45. Tingkat akuntabilitas tidak memberikan kontribusi besar terhadap indeks keberlanjutan dari dimensi teknologi bisa jadi karena dalam pengelolaan rumpon saat ini belum terlalu dibutuhkan. Berarti dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu atribut sensitif ini tidak dikelola dengan baik Hal ini terlihat bahwa penggunaan teknologi rumpon laut dalam sebagai alat bantu penangkapan ikan tuna dan cakalang memerlukan teknologi yang lebih komplek dibandingkan dengan rumpon laut dangkal. Oleh karena itu diperlukan investasi yang besar. Munculnya atribut tingkat investasi pengusahaan rumpon sebagai atribut sensitif karena pemanfaatan rumpon dilakukan oleh nelayan skala kecil yang mempunyai modal terbatas, dan sesuai dengan CCRF 1995 bahwa, penggunaan teknologi penangkapan dan alat bantu penangkapan hendaknya investasi rendah. Saat ini pemasangan dan pembuatan rumpon berasal dari bantuan pemerintah, dan pengusaha perikanan. Nelayan skala kecil hanya sebagai pemanfaatan rumpon dan pendapatan nelayan dilakukan sistim bagi hasil dengan pemilik investasi.. Berdasarkan hasil analisis di lapangan bahwa untuk membuat satu unit rumpon laut dalam di Barat Daya perairan Pelabuhanratu diperlukan biaya di atas Rp. 50.000.000,- bahkan sampai dengan Rp 102.000.000 pada kedalaman 400 m. Apabila nelayan tersebut akan berinvestasi untuk pembuatan teknologi rumpon laut dalam ini maka dalam lima tahun pendapatan bersihnya hanya lebih kurang Rp 45.000.000,-, artinya penerimaan bersih baru dapat diterima pada tahun ke-5 yaitu dalam satu bulan hanya Rp.750.000,-. Oleh karena itu pengelolaan rumpon dengan teknologi rumpon laut dalam sebaiknya dilakukan dengan berkelompok. Dengan demikian atribut ini perlu perhatian 96 dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu agar dapat berkelanjutan. Atribut penggunaan BBM untuk penangkapan ikan menjadi atribut sensitif dimensi teknologi, karena biaya operasional penggunaan BBM untuk penangkapan ikan 50-60 dari biaya total operasional penangkapan ikan. Sesuai dengan CCRF 1995 hendaknya mengkonsumsi bahan bakar minyak rendah. Padahal saat ini, lokasi pemasangan rumpon cukup jauh dengan waktu tempuh menuju rumpon 26- 36 jam maka diperlukan suatu cara untuk menghemat BBM yang digunakan. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing, dimana saat ini belum selektif karena ukuran pancing yang digunakan belum distandarkan sehingga ikan-yang ditangkap cenderung berukuran kecil baby tuna. Saat ini , usaha perikanan tangkap yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pelabuhanratu yang ada lebih mengandalkan hasil tangkapan, dan bukan bagaimana pengelolaan rumpon diantara anggota kelompok nelayan. Atribut sensitif lainnya adalah penerapan teknologi ramah lingkungan, rasio hasil tangkapan terhadap TAC dan keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon disebabkan karena dengan penerapan teknologi ramah lingkungan melalui selektifitas alat tangkap maka rasio penangkapan akan tidak melebihi TAC sehingga keuntungan nelayan menangkap ikan di sekitar rumpon selalu berkelanjutan. Semua atribut sensitif harus menjadi perhatian berdasarkan dengan CCRF 1995 sehingga dapat meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon di barat Daya perairan Pelabuhanratu. Namun demikian, selain atribut sensitif, atribut tingkat akuntabilitas tetap menjadi perhatian karena harus menggunakan prinsip kehati-hatian dengan aturan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi sosial Gambar 5.8, atribut pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi merupakan atribut yang paling tinggi kontribusinya terhadap status keberlanjutan pengelolaan rumpon yaitu dengan nilai 5,25. Sedangkan atribut lainnya yang kontribusinya cukup besar terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi sosial adalah potensi konflik stakeholders dengan nilai 4,42, pengaruh terhadap habitat dengan nilai 4,32, status penggunaan bahan berbahaya dengan nilai 3,94, dan pengaruh terhadap keanekaragaman hayati dengan nilai 3,12. Keamanan hasil 97 tangkapan bagi konsumen merupakan atribut yang paling rendah kontribusinya terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuharatu. Hal ini bisa jadi karena hasil tangkapan rumpon memang tidak berbahaya sehingga tidak terlalu dipermasalahkan secara sosial. Atribut sensitif pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi muncul karena saat ini tingkat sosial dari nelayan yang memanfaatkan rumpon sebagian besar rendah maka mereka tidak mempedulikan jenis dan ukuran ikan yang diperbolehkan di tangkap. Hal ini terbukti dengan banyaknya ikan-ikan yang berukuran kecil baby tuna tertangkap dan tetap dijual. Hal ini sangat penting menjadi perhatian karena apabila tidak dilakukan perhatian melalui penyuluhan oleh pembina sehingga kelestarian sumberdaya ikan tetap lestari. Munculnya atribut sensitif potensi konflik stakeholders karena adanya kecemburuan sosial antara nelayan yang memanfaatkan rumpon dengan nelayan yang tidak memanfaatkan sehingga dalam operasi penangkapan cenderung menimbulkan konflik. Atribut pengaruh terhadap habitat muncul sebagai atribut sensitif karena keberadaan rumpon akan mempengaruhi habitat sumberdaya ikan apabila tidak ditempatkan tidak sesuai dapat mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya laut lainnya. Begitu juga untuk atribut sensitif status penggunaan bahan berbahaya dan pengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Kedua atribut sensitif tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan nelayan yang rendah maka cenderung memperoleh hasil tangkapan dengan cara destruktif sehingga mengakibatkan terancamnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu atribut ini perlu dikelola dengan baik agar kelestarian sumberdaya laut dalam mendukung keberadaan rumpon dapat berkelanjutan. Agar indeks keberlanjutan dimensi sosial dapat ditingkatkan maka diperlukan perhatian terhadap atribut-atribut sensitif disampaing atribut lainnya.

5.2.2 Analisis Keberlanjutan Multi Dimensi

Pengelolaan Rumpon di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu ini ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh dengan kata lain multidimensi dari dimensi pengelolaan yang ada. Terkait dengan ini, maka dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi teknologi, dan dimensi sosial yang 98 sebelumnya dianalisis secara tersendiri akan digabungkan sehingga didapatkan nilai indeks keberlanjutan terpadu yang disingkat dengan Ikl-PENGRUMPON- Pelabuhanratu. Berdasarkan Gambar 5.9, bahwa nilai indeks keberlanjutan secara multidimensi ekologi, ekonomi, teknlogi, sosial diperoleh 55,96 yang berarti pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk berkelanjutan dengan kategori cukup. Walaupun indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan rumpon di Barat daya perairan Pelabuhanratu saat ini existing condition berkelanjutan, tetapi dimensi teknologi tidak berkelanjutan dengan kategori kurang 47,20. Berdasarkan Tabel 5.1 ada 17 atribut yang sensitif berkontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Untuk mendukung pengelolaan yang berkelanjutan, maka atribut yang sensitif perlu dikelola dengan baik, sehingga memberi manfaat positif bagi keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Hal ini penting supaya berbagai program dan kebijakan terkait dengan rumpon dapat dilakukan secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan pengelolaan di lokasi. Untuk mengetahui apakah hasil analisis MDS untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi multidimensi layak dan menyerupai kondisi sebenarnya kegiatan pengelolaan rumpon di barat Daya perairan Pelabuhanratu, maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien diterminasi R 2 dan stress. Bila hasil uji statistik tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka perlu dilakuan kroscek dan penambahan atribut baru dalam analisis. Tabel 5.2 memperlihatkan hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi R 2 dan stress terkait keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Menurut Kavanagh dan Pitcher 2004, model yang baik ditunjukkan dengan nilai R 2 di atas kepercayaan 95 atau dalam bentuk rasio di atas 0,95 dan nilai stress dibawah nilai 0,25. Terkait dengan ini, maka hasil analisis MDS yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan yang dipersyaratkan baik untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi multidimensi. Terkait dengan ini, maka hasil analisis tersebut layak digunakan untuk menjelaskan keempat dimensi pengelolaan rumon yang dianalisis. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1, maka hasil analisis semakin dipercaya. Sedangkan 99 semakin kecil nilai stress yang diperoleh, maka semakin baik kualitas hasil analisis yang telah dilakukan. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon baik untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi, maka perlu dilakukan kroscek mengunakan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo merupakan analisis yang dikembangkan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu model matematis. Upaya untuk mendapatkan solusi tersebut dilakukan dengan perhitungan berulang-ulang. Dalam kaitan dengan pengujian nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon hasil analisis MDS ini, analisis Monte Carlo dibutuhkan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor untuk atribut dari setiap dimensi pengelolaan yag ditawarkan. Kesalahan tersebut dapat bersumber dari kesalahan prosedur pelaksanaan penelitian, perbedaan pemahaman peneliti dalam memberi nilai untuk setiap atribut, kesalahan dalam pemasukan data atau adanya data yang hilang missing data, stabilitas proses analisis MDS yang terganggu, nilai stress yang terlalu tinggi dan lainnya. Berdasarkan Tabel 5.3 terlihat bahwa hasil analisis MDS terkait indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon identik atau serupa dengan hasil analisis Monte Carlo. Hasil analisis kedua metode tersebut mengindikasikan: 1 kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut tidak ada, 2 variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3 proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan 4 kesalahan pemasukan data dan adaya data yang hilang dapat dihindari. Terkait dengan hasil analisis tersebut, maka nilai indeks keberlanjutan yang digunakan untuk menjelaskan kondisi pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu dari dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan lingkungan, serta keterpaduan semua dimensi tersebut layak untuk dipercaya.

5.2.3 Analisis Atribut Kunci dalam Pengelolaan Rumpon

Peningkatan indeks keberlanjutan secara multidimensi sebaiknya dilakukan dengan mengintervensi semua atribut sensitif dari masing-masing dimensi. Namun demikian, untuk mendapatkan artribut kunci sebagai dasar alternatif 100 kebijakan, dilakukan analisis keterkaitan antar atribut sensitif. Atribut kunci yang diperoleh mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi atau minimal mempunyai pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Tingkat ketergantungan dan pengaruh tingggi tersebut dapat dilihat dari tingkat gangguan atribut yang serius terhadap pengelolaan bila tidak diperhatikan, peran atribut yang hilang atau meningkat drastis tergantung kondisi atribut, ketergantungan tinggi pelaku atau komponen pengelolaan terhadap atribut, dan lain-lain. Untuk lebih akurat dan konprehensifnya arah dan kebijakan yang diambil, maka tingkat pengaruh dan ketergantungan dari setiap atribut yang sensitif tersebut perlu dianalisis. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antar atribut sensitif yang dianalisis Gambar 5.11, terdapat empat atribut dengan ketergantungan dan pengaruh tinggi dan tiga atribut dengan pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon. Atribut yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi adalah tingkat investasi pengusahaan rumpon, zonakawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon terutama nelayan kecil dan potensi konflik. Sedangkan atribut yang mempunyai pengaruh tinggi adalah pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, dan rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon. Ketujuh atribut tersebut menjadi “atribut kunci” yang akan dikelola dengan baik dalam suatu skenario kebijakan pengelolaan sehingga terjadi keberlanjutan dalam pengeloalan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Munculnya atribut tingkat investasi pengusahaan rumpon, zonakawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon dan potensi konflik sebagai faktor kunci yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi disebabkan keempat atribut ini saling mempengaruhi dan saling ketergantungan. Nelayan yang memanfaatkan rumpon adalah nelayan usaha skala kecil, sedangkan investasi pemasangan rumpon cukup mahal maka saat ini modal pemasangan dan pembuatan rumpon dilakukan oleh pemilik modal dan pendapatan dilakukan dengan sistim bagi hasil sehingga pendapatan nelayan tidak optimal. Jumlah nelayan yang belum memanfaatkan rumpon jauh lebih besar dari yang telah memanfaatkan sehingga terjadi kecemburuan sosial yang 101 berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, potensi konflik juga dapat dipicu karena belum adanya penetapan zona pengelolaan rumpon. Sesuai hasil analis keterkaitan atribut sensitif, maka diperoleh atribut kunci yang merupakan kunci dalam opsi atau alternatif kebijakan yang akan di terapkan di lokasi penelitian, sehingga alternatif tersebut ditempatkan dilevel 5 pada struktur AHP. Berdasarkan atribut kunci tersebut maka diperoleh alternatif kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang terdiri dari: 1. Penetapan zona pengelolaan rumpon 2. Pengaturan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang memanfaatkan rumpon 3. Penyediaan BBM khusus untuk penangkapan ikan di rumpon 4. Perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon

5.2.4 Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan di

Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Rancangan hierarki ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau interaksi terpadu semua komponen yang terkait dengan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Propinsi Jawa Barat. Hal ini penting supaya alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan yang dipilih benar- benar merupakan alternatif terbaik yang telah mempertimbangkan berbagai aspekkomponen yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka digunakan AHP atau Analitical hierarkhi Process AHP . Model AHP digunakan untuk memilih kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari empat alternatif kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kriteria yang digunakan dalam model AHP penentuan kebijakan pengelolaan rumpon adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait: aktorstakeholders, dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing- masing prinsip pengelolaan untuk menentukan prioritas kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas. Keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Propinsi Jawa Barat ditentukan oleh kondisi pengelolaan yang 102 ada saat ini, pihak yang berkepentingan aktor, dimensi dan sub kriteria yang mempengaruhi pengelolaan rumpon, alternatif kebijakan pengelolaan yang ditawarkan serta strategi implementasi kebijakan yang akan diterapkan. Hasil kajian pendahuluan di lokasi penelitian ada 4 empat pihak yang berkepentingan atau disebut juga aktor yang ditempatkan pada level 2 yaitu pemerintah, pengusaha, ilmuan dan nelayan. Pada level 3 merupakan dimensi yang mempengaruhi pengelolaan rumpon saat ini, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial. Hasil analisis MDS pada Sub-Bab sebelumnya telah dikaji status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang kemudian menjadi perhatian penting dalam analisis hierarki menggunakan AHP ini. Berdasarkan analisis akhir dari MDS terkait tingkat kepentingan berbagai atribut yang sensitif baik dari dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan sosial, diperoleh 17 tujuh belas atribut yang sensitif artinya yang memberikan kontribusi atau pengungkit terhadap keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Atribut sensitif ini yang kemudian digunakan untuk pencapaian dimensi yang dikelompokkan ke dalam empat dimensi sesuai dengan dimensi pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu yang telah dianalisis sebelumnya. Atribut sensitif ini dalam struktur AHP merupakan sub- kriteria dimensi, sehingga di tempatkan pada level 4 pada struktur AHP pengelolaan rumpon yang berkelanjutan. Pada level 5, ditempatkan alternatif kebijakan yang akan direkomendasikan untuk pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Analisis terhadap alternatif kebijakan ini merupakan tahapan akhir dari analisis AHP terkait penentuan kebijakan terbaikprioritas dalam pengelolaan rumpon yang berkelanjutan untuk mengakomodir pihak yang berkepentingan dengan dipengaruhi dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial yang mempunyai kepentingan yang lebih dibandingkan dengan dimensi yang lain. Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholders yang prominent di wilayah kajian. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, pengusaha, nelayan, dan ilmuan terhadap kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Pelabuhanratu, baik untuk kepentingan saat ini 103 maupun di masa yang akan datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan dalam pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Pada level 2 aktor diperoleh hasil analisis yaitu nelayan mempunyai nilai paling besar bobot 0,542 yang berarti merupakan aktor yang mempunyai kepentingan utama dalam penentuan kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi nelayan menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan yang akan diterapkan dalam keberlanjutan rumpon. Hal ini sesuai dengan tujuan dari keberadaan rumpon yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan di barat Daya perairan Pelabuhanratu. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah pengusaha bobot 0,247. Pengusaha merupakan aktor penting dalam tahap implementasi kegiatan karena investasi rumpon modalnya berasal dari pengusaha, sehingga keberlanjutan rumpon perlu melibatkan pengusaha dalam tiap tahap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Oleh karena itu pengusaha dan nelayan merupakan dua aktor yang bermitra dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Selain itu, pengusaha juga memegang peranan penting dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat merupakan aktor prioritas ketiga dalam pengelolaan rumpon karena memegang otoritas dalam pengaturan keberlanjutan rumpon mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi untuk menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan masyarakat dengan didukung peran aktif ilmuwan dalam membuat kajian ilmiah. Pada level 3, hasil analisis rasio kepentingan setiap dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan 104 Pelabuhanratu diperoleh bahwa kepentingan dimensi ekonomi diperoleh pada urutan pertama dengan rasio kepentingan sebesar 0.565, kemudian diikuti diemnsi sosial sebesar 0.262, dimensi ekologi 0,118 dan dimensi tekonologi sebesar 0.055 Gambar 5.14. Hasil ini sesuai dengan urutan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu keberlanjutan dimensi ekonomi mempunyai nilai indeks paling besar yaitu 82,72, setelah itu diikuti oleh dimensi sosial sebesar 66,52, ekologi sebesar 57,14 dan terakhir dimensi teknologi sebesar 47,20. Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya stakeholder mementingkan aspek ekonomi karena tujuan dari keberadaan rumpon adalah untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya nelayan yang memanfaatkan rumpon dan mendukung usaha yang berkaitan dengan keberadaan rumpon dalam usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Pada dimensi ekologi dan sub-kriteria zonakawasan 0.5940 yang mempunyai kepentingan utama dibandingkan dngan sub-kriteria lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan zonakawasan pengelolaan rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan khususnya bagi ikan target. Apabila ikan target dari keberadaan rumpon tidak lestari maka mengakibatkan ketidak berlanjutan rumpon dalam hal ini rumpon laut dalam karena daya dukung sumberdaya ikan yang menurun. Namun yang lebih penting lagi, dengan adanya zona pengelolaan rumpon maka rumpon yang dipasang dapat lebih bermanfaat dan dapat mengurangi konflik sehingga dapat diterima oleh semua yang berkepentingan pemanfaatan lokasi barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Sub-kriteria penggunaan BBM 0.571 dari dimensi teknologi, merupakan paling utama dan setelah itu baru sub-kriteria rasio total awalable catch TAC 0.235 dalam keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini disebabkan karena bahwa penggunaan BBM yang rendah merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut tergantung pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen biaya operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan BBM sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon. Penggunaan BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan 105 merupakan salah satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries. TAC merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap karena penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan dengan jumlah ikan target yang akan ditangkap, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dengan pengaturan penangkapan ikan yang tidak melebihi TAC. Apabila jumlah ikan yang ditangkap di Barat Daya perairan Pelabuhanratu melebihi TACnya, maka kelestarian sumberdaya ikannya dapat menurun sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dikelola. Dimensi sosial mempunyai prioritas kedua dalam kepentingan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan disebabkan keberadaan rumpon telah memberikan manfaat yang nyata bagi nelayan maupun bagi usaha yang berkaitan dengan rumpon dan usaha pendukung perikanan tangkap lainnya. Namun jumlah nelayan yang belum dapat memanfaatkan rumpon jauh lebih besar dibandingkan dengan yang telah memanfaatkannya dan memicu potensi konflik. Untuk itu diperlukan pengaturan dimensi sosialnya sehingga dapat meminimalkan konflik. Pentingnya dimensi ekologi dalam pengelolaan rumpon adalah karena mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan pada pengusahaan rumpon dan daya dukung perairan sehingga rumpon dapat berkelanjutan. Dimensi teknologi pada urutan kepentingan paling rendah disebabkan karena para responden masih beranggapan dengan menggunakan alat tangkap yang ada sudah cukup mendapatkan hasil tangkapan dibandingkan dengan sebelum keberadaan rumpon. Pada level 4, sub-kriteria dari setiap dimensi pengelolaan, diperoleh hasil analisis kepentingan setiap sub-kriteria tersebut. Pada dimensi ekonomi Gambar 5.15 yang merupakan prioritas kepentingan utama, diperoleh sub- kriteria pendapatan nelayan 0.568 memiliki kepentingan utama dan kemudian diikuti oleh sub-kriteria pertumbuhan usaha pendukung rumpon 0.244 dan rasio usaha perikanan yang bergantung dengan keberadaan rumpon 0.122. Hal ini disebabkan karena keberadaan rumpon memang sangat penting bagi nelayan karena dapat meningkatkan pendapatannya dan meningkatkan pertumbuhan 106 usaha pendukung rumpon serta keberadaan rumpon akan meningkatkan ketergantungan usaha perikanan lainnya. Pada dimensi sosial, sub-kriteria potensi konflik 0.497 merupakan prioritas utama disamping sub-kriteria lainnya karena keberadaan rumpon sangat berpotensi terjadinya konflik antar nelayan karena kecemburuan sosial, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.16. Untuk itu perhatian dalam penanganan konflik sangat menentukan keberlanjutan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Pada dimensi ekologi, sub-kriteria zonakawasan 0.5940 yang mempunyai kepentingan utama Gambar 5.17 dibandingkan dngan sub-kriteria lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan zonakawasan pengelolaan rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan khususnya bagi ikan target. Apabila ikan target dari keberadaan rumpon tidak lestari maka mengakibatkan ketidak berlanjutan rumpon dalam hal ini rumpon laut dalam karena daya dukung sumberdaya ikan yang menurun. Sub-kriteria penggunaan BBM 0.571 dari dimensi teknologi Gambar 5.18, merupakan paling utama dan setelah itu baru sub-kriteria rasio total awalable catch TAC 0.235 dalam keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini disebabkan karena bahwa penggunaan BBM yang rendah merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut tergantung pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen biaya operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan BBM sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon. Penggunaan BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan merupakan salah satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab Code of Conduct for Responsible Fisheries. TAC merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap karena penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan dengan jumlah ikan target yang akan ditangkap, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dengan pengaturan penangkapan ikan yang tidak melebihi TAC. Apabila jumlah ikan yang ditangkap di Barat Daya perairan Pelabuhanratu 107 melebihi TACnya, maka kelestarian sumberdaya ikannya dapat menurun sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dikelola. Berdasarkan Gambar 5.19, alternatif penetapan zona pengelolaan rumpon mempunyai rasio kepentingan paling tinggi yang berarti merupakan prioritas pertama dibandingkan empat alternatif kebijakan pengelolaan rumpon lainnya, yaitu sebesar 0,460 pada inconsistency terpercaya 0,05. Kepentingan alternatif kebijakan perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon diperoleh pada urutan kedua dengan rasio kepentingan 0,290. Sedangkan alternatif kebijakan pengaturan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang memanfaatkan rumpon dan alternatif kebijakan penyediaan BBM khusus untuk penangkapan ikan di rumpon merupakan urutan ke tiga dan keempat dengan masing-masing rasio kepentingan sebesar 0,149 dan 0,100. Penetapan zona pengelolaan rumpon mempunyai rasio kepentingan paling tinggi dibandingkan empat opsi kebijakan lainnya. Kepentingan zona pengelolaan rumpon sebenarnya sudah terlihat pada persepsi kepentingan pada sub-kriteria dimana mempunyai kepentingan paling tinggi dibandingkan dengan sub-kriteria lainnya. Menurut Dahuri 2000 pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan yang diarahkan pada aspek teknis, ekologis, sosial ekonomi dan hukum. Keterpaduan aspek ini untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang harus memperhatikan keharmonisan spasil ruang, daya dukung perairan dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Pengaturan ruang laut memang sesuatu yang sudah harus diperlukan dan merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Zona merupakan ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. Penetapan zona khususnya di Selatan perairan Pelabuhanratu bertujuan sebagai dasar dalam rangka penataan ruang laut untuk perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Dengan adanya zona maka diperoleh zonasi-zonasi yang mempertimbangkan keselarasan, keserasian keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial serta ekonomi dan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya. Hal ini mengingat bahwa 108 di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk Teluk Pelabuhanratu yang merupakan perairan Samudera Hindia merupakan perairan yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya laut. Perairan Barat Daya pelabuhanratu mempunyai potensi juga untuk pengembangan sumberdaya laut lainnya yaitu budidaya laut, daerah penangkapan ikan, lokasi pemijahan penyu dan ikan-ikan tertentu dan juga merupakan suatu kawasan wisata laut yang indah dan alur perairan kapal-kapal penangkap ikan yang akan mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pelabuhanratu. Berdasarkan hasil penelitian Nahib 2008, bahwa keberadaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu telah menyebabkan peningkatan kemampuan daya tangkap sebesar 7-10, peningkatan produksi sebesar 22, dan penurunan kapasitas daya dukung 3-10. Hal ini berarti bahwa dengan keberadaan rumpon sangat memberikan tingkat keuntungan yang relatif baik bagi nelayan sehingga kecenderungan semakin banyaknya rumpon yang akan diusahan. Dalam jangka pendek memang memberikan keuntungan yang nyata bagi nelayan, apalagi ikan hasil tangkapan rumpon mempunyai harga lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dirumpon atau penambahan jumlah rumpon semakin meningkat, sehingga ekploitasi ikan di rumpon semakin meningkat. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka jangka panjang dapat menurunkan hasil tangkapan karena kapasitas daya dukungnya dalam hal ini stok sumberdaya ikan menurun sehingga keuntungan yang diperoleh juga akan menurun. Berdasarkan penelitian bahwa dengan keberadaan rumpon Catch Per Unit Effort CPUE meningkat, namun stok atau biomass ikan pada suatu lokasi tersebut tetap sama sehingga ketersediaan sumberdaya ikan dapat menurun. Pengaturan zona pengelolaan rumpon merupakan hal yang sangat penting dan prioritas utama dilakukan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya pengaturan zona, maka zonasi dari pengelolaan dapat ditentukan sehinga jumlah rumpon dan jumlah nelayan yang akan memanfaatkan rumpon dapat diatur dan dipertanggung jawabkan oleh pengguna dan pemanfatan rumpon. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa, di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk Samudera Hindia merupakan daerah migrasinya ikan-ikan ekonomis penting yaitu ikan target pada rumpon laut dalam. Oleh karena itu rumpon- 109 rumpon dipasang di sekitar perairan tersebut sehingga ikan target dapat berkumpul dan mudah ditangkap di sekitar rumpon yang dipasang. Dtambah lagi mengingat keberadaan rumpon tersebut termasuk perairan Samudera Hindia yang pemanfaatan ikan pelagis besar telah berstatus secara penuh, maka Samudera Hindia yang dalam pengelolaan bersama regional yang disebut Indian Ocean Tuna Commission IOTC merupakan salah satu organisasi Regional Fisheries Management Orgazation RFMO di bawah FAO, pada sidang the 10 Th session of the Scientific Committee of Indian Ocean Tuna Commission, IOTC FAO, 2007 merekomendasikan untuk menurunkan hasil tangkapan jenis- jenis ikan tersebut sampai pada hasil tangkapan sebelum tahun 2003 di Samudera Hindia, bahkan IOTC telah memberikan warning terhadap rumpon- rumpon yang dipasang di Samudera Hindia. Dengan adanya penetapan zona pengelolaan rumpon, maka kapasitas rumpon dapat ditentukan di suatu zonasi yang merupakan zona dengan mempertimbangkan kesesuaian ekologi, ekonomi, sosial nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, sehingga daya dukung sumberdaya ikan target dapat berlanjut dalam jangka panjang. Selain itu dengan penetapan dan pengaturan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, pelaku usaha yang berkepentingan harus mentaatinya sehingga akan dapat meminimalisasikan potensik konflik antar nelayan bahkan antar pengguna kawasan laut lainnya yang merupakan ancaman yang cukup besar dalam keberlanjutan rumpon tersebut. Penetapan zona pengelolaan rumpon dapat dilakukan oleh pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah dan instansi lainnya yang terkait yang harus ditatati oleh pelaku usaha rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Untuk itu kepentingan ilmuan dalam meneliti zona pengelolaan tersebut sangatlah penting dalam mendukung keberlanjutan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Saat ini, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Nomor 30 tahun 2004 tentang Pemanfaatan dan Pemasangan Rumpon menimbulkan beberapa kerancuan dalam pemasangan rumpon. Pada Keputusan ini, bahwa belum diatur secara jelas penetapan zona pemasangan rumpon, hanya lebih mengatur kewenang pemasangan rumpon. Kewenangan pemberian izin pemasangan 110 rumpon di laut pada Keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang kewenangan Pemerintah Daerah yaitu, pemasangan rumpon di perairan 12 mil dibeikan izin oleh pemerintah pusat, di perairan 4 mil – 12 mil diberikan izin oleh pemerintah provinsi dan di perairan 4 mil diberikan izin oleh pemerintah KabupatenKota. Selanjutnya pada keputusan tersebut diatur bahwa pemasangan rumpon mempunyai jarak minimal 10 mil antar rumpon yang lainnya, sedangkan KabupatenKota hanya mempunyai kewenangan 4 mil, dan provinsi hanya berkewenangan 6 mil. Hal ini juga menimbulkan permasalah baik bagi pelaku usaha maupun bagi pemerintah.

5.2.5 Stategi Implementasi Pengelolaan Rumpon yang berkelanjutan di

Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Berdasarkan analisis kebijakan, penetapan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat direkomendasikan sebagai prioritas pertama kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan, maka diperlukan strategi implementasinya yaitu : 1. Pemerintah dalam hal ini pusat dan daerah sebagai regulator menyediakan kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk perairan Teluk perairan Pelabuhanratu. Dengan adanya penetapan zona pengelolaan rumpon, maka dengan mengajak pelaku usaha pengelolaan rumpon nelayan dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyepakati zona pengelolaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka antar nelayan dan pengusaha yang akan memanfaatkan rumpon bersepakat untuk menetapkan lebih lanjut titik pengusahaan rumpon di perairan tersebut dan akan diperoleh rasio jumlah rumpon yang akan dipasang berdasarkan daya dukung dimensi pengelolaan rumpon. Dengan adanya penetapan tersebut maka setiap yang memanfaatkan rumpon merasa bertanggung jawab atas rumpon yang dipasang. Bagi pengusaha dan nelayan yang memanfaatkan rumpon, penetapan zona tersebut merupakan jaminan keamanan atas pengusahaan rumpon dan kepastian daerah penangkapan ikan, sehingga keuntungan optimal dapat diperoleh. 111 2. Setelah penetapan zona pengelolaan, perlu dilakukan sosialisasi oleh pemerintah kepada seluruh pemangku kepentingan pengelolaan rumpon di selatan perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. 3. Penetapan zona pengelolaan rumpon ini secara ilmiah harus diteliti berdasar daya dukung dimensi pengelolaan rumpon. Hal ini penting karena terkait dengan jaminan kelestarian sumberdaya ikan, habitat dan plasma nutfah yang dibutuhkan bagi pengembangan IPTEKS dalam rangka pengelolaan rumpon yang berkelanjutan. Selain itu, mengingat potensi konflik yang besar dalam pemanfaatan rumpon, maka dimensi sosial juga merupakan pertimbangan penelitian dalam penetapan zona pengelolaan rumpon. 4. Pelaku usaha nelayan, pengusaha perikanan tangkap yang memanfaatkan rumpon mentaati aturan kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon. 5. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan rumpon Monitoring dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan rumpon yang dipasang berada pada zona yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengetahui kelestarian sumberdaya ikan yang ditangkap di Selatan perairan Pelabuhanratu. 6. Pembinaan oleh pemerintah terhadap nelayan pemanfatan rumpon di Selatan Perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Agar keberadaan rumpon dapat berlanjut perlu dilakukan pembinaan terhadap pengelolaan rumpon tersebut. 112 VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan