Tingkah Laku Ikan Pelagis yang Berasosiasi dengan Rumpon

21 Penangkapan ikan menggunakan mini purse seine dapat dilakukan pada siang hari maupun malam hari, sedangkan penangkapan pada malam hari menggunakan alat bantu yang dipasang pada rakit di sekitar rumpon Muchtar, 1999. Untuk menjaga agar rumpon memiliki umur teknis yang tinggi, maka pemeliharaan dan perawatan terhadap rumpon harus senantiasa dilakukan. Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP 2007, pemeliharaan dan perawatan terhadap rumpon meliputi : a. Penggantian dan perbaikan bambu setiap tiga bulan b. Penggantian pelepah daun kelapa setiap satu bulan c. Pengecekan secara rutin tali jangkar pada rumpon d. Pengawasan posisi rumpon terhadap lalu lintas pelayaran Oleh karena itu selain aspek teknologi rumpon, pengelolaan rumpon yang berkelanjutan yang sesuai dengan tujuan dan fungsinya harus memperhatikan aspek ekologi, biologi ikan, alat penangkapan ikan, sosial budaya dan ekonomi, aspek legal yang meliputi lokasi pemasangan, jumlah pemanfaatan dan izin pemasangan serta lingkungan sosial sehingga rumpon sebagai alternatif alat bantu penangkapan ikan di laut berbasis rumpon dapat berlanjut Baskoro, 2005.

2.3 Tingkah Laku Ikan Pelagis yang Berasosiasi dengan Rumpon

Peran rumpon sebagai wahana pengumpul ikan di perairan Indonesia sejak lama telah banyak dimanfaatkan oleh nelayan karena adanya kecenderungan ikan-ikan pelagis untuk bergerombol di sekitar rumpon. Subani 1972 mengemukaan, bahwa ikan-ikan lemah seperti cakalang kecil yang berada di sekitar rumpon berenang pada sisi sebelah atas rumpon. Kadang- kadang bergerak ke kiri dan kekanan, tetapi selalu kembali ke tempat semula dan umumnya berenang menentang arus. Ikan berenang menghadang arus dan berada di depan rumpon. Ikan yang berukuran sedang biasanga ditemui di bawah gerombolan ikan ukuran kecil dengan gerakan yang sama dengan gerakan yang sama juga dengan ukuran kecil tersebut. Pada umumnya ikan yang bergerombol mempunyai ukuran yang sama umur, panjang, berat, dan akan memudahkan dalam menangkap mangsanya Djatikusumo, 1977. Hochachka 22 1979 dalam Longhurst dan Pauly 1987 mengemukakan, tingginya aktivitas jenis tuna didukung tidak hanya oleh tingginya kompleksitas dan keragaman biokimia otot tetapi juga oleh kemampuan penyimpanan panas pada ototnya yang dapat menimbulkan penambahan metabolisme aerobik dan aerobik sehingga dapat beruaya jauh. Namun dalam perjalanan beruaya tersebut isyarat visual sangat sedikit, navigasi untuk beruaya tidak perlu terlalu akurat tetapi dapat menentukan arah secara umum sesuai dengan musim dan masa air. Namun adanya daya tarik universal ikan pada benda terapung seperti potongan kayu kecil tulang jenis sotong untuk dapat menarik ikan kecil bertahan pada kurun waktu yang lama dan jenis tunapun tidak terkecuali secara teratur berasosiasi dengan benda-benda terapung tersebut. Hal ini diperkuat 15 hasil tangkapan armada purse seine di perairan tropis pasifik Timur pada tahun 1970 melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar benda terapung. Tingkah laku ikan pada daerah penangkapan ikan mempunyai hubungan dengan berbagai faktor lingkungan dan ekologi sehingga dapat diketahui cara yang dapat meningkatkan efisiensi serta penggunaan alat tangkap untuk meningkatkan hasil tangkapan. Gunarso, 1985. Pergerakan horizontal pada jenis cakalang K.pelamis dapat mencapai pergerakan sekitar 2 mil dari rumpon dengan kecepatan renang 1,2 – 2,4 knot. Sedangkan ikan madidihang T.albacores memperlihatkan pergerakan horizontal sejauh 1 mil kemudian menghilang tetapi akhirnya ditemukan pada rumpon lain dalam satu perairan dan esok harinya ikan tersebut kembali lagi ke rumpon semula Cayre, 1991. Hasil pengamatan vertikal menunjukkan bahwa kedalaman renang ikan cakalang menunjukkan pada malam hari cenderung berada di perairan yang lebih dalam 100-150 m sedangkan pada sing hari berada pada kedalaman 0-20 m. Ikan madidihang pada siang hari mencapai kedalaman antara 70-100 m dengan suhu 25-27 C dan pada malam hari 40-70 m dengan suhu 27C. Pada umumnya ikan madidihang berenang mendekati permukaan pada malam hari dan cenderung mulai berenang semakin dalam pada pagi hari sesudah matahari terbit. Nilai tengah kedalaman ikan madidihang yang berasosiasi dengan rumpon sekitar 5,3 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 85,2 meter. 23 Ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon umunya berenang ke permukaan pada pagi hari dan mulai berenang ke dalam pada tengah hari, kemudian kembali lagi mendekati permukaan sesudah matahari terbenam. Kedalam ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon pada siang hari antara 50-60 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 230 meter. Selanjutnya menurut hasil penelitian Nugroho 2000 bahwa, dominasi ikan yang masih belum matang gonad juwana adalah fenomena umum pada perikanan dengan penggunaan alat bantu rumpon. Selain itu dominasi baby tuna dalam hasil tangkapan dengan menggunakan rumpon di perairan Teluk Tomini berkaitan dengan tingkah laku ikan yang berada pada lapisan permukaan perairan pada saat ikan tersebut muda. Hasil penelitian Yusfiandayani 2006 menyatakan bahwa rumpon akan menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan. Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut. Untuk perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia, rumpon sudah dapat dipasang pada kedalaman 25 – 50 m, dan bisa lebih jauh dan dalam tergantung ukuran rumpon dan armada nelayan yang menangkap ikan serta ikan target di sekitar rumpo tersebut. Hal ini ditunjang hasil penelitian Soedharma 1994 tentang perilaku ikan membentuk komunitas menunjukkan bahwa ikan berkumpul atau membentuk komunitas di sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanan yang tersedia. Ikan kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-ikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan lama menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut. Suhu, salinitas dan arus merupakan faktor oseanografis yang secara langsung mempengaruhi migrasi dan penyebaran tuna dan cakalang di suatu perairan. Menurut Batubara 1981, bahwa kisaran suhu optimum dari jenis ikan tuna mata besar adalah 17 - 23°C pada kedalaman 50 – 400 meter, madidihang adalah 14 - 22ºC pada kedalaman 200 – 300 meter. Selanjutnya 24 disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada umumnya menghuni perairan dengan salinitas 18 - 38‰ Menurut Budiono 2006 laju pergerakan ikan dari yang berasosiasi dengan rumpon ke arah yang tidak berasosiasi dengan rumpon l dapat menjadi petunjuk bagi nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai efektif di sekitar rumpon. Hal ini dapat mengurangi konflik yang disebabkan oleh proses dan teknologi produksi. Dengan mempelajari pergerakan tersebut, maka nelayan dapat membagi wilayah penangkapan di antara mereka sehingga hasil tangkap optimal bisa dinikmati bersama. Bila pengaturan penangkapan berdasarkan pola migrasi dan asosiasi tersebut dapat di atur, maka menurut hasil penelitianYusfiandayani 2006 di Pasauran, standing stock sumberdaya ikan yang berada di bawah pengaruh suatu rumpon dan bila tidak ditangkap untuk jangka waktu 1 tahun angka perkiraan akan berkembang menjadi sebesar 30 ton Z. Dalam keadaan seimbang, laju susut populasi ikan di suatu rumpon, yakni l + m Z akan sama dengan laju rekrutmen terhadap rumpon atau pB. Dengan menggunakan nilai 196.18 ton sebagai potensi biomassa yang belum ditangkap maka biomassa ikan pelagis yang tidak berasosiasi dengan rumpon menjadi 1,70 tonkm 2 . Pemanfaatan sumberdaya ikan seperti ini, tentu sangat mendukung kebelanjutan pemanfaatan di kemudian dan pengelolaan rumpon sebagai pengumpul ikan sekaligus pembentuk ekosistem baru termasuk berhasil dan sangat dipertahankan. Hasil tangkapan akan mencapai optimum 154.4 ton per tahun jika jumlah rumpon di Pasauran hanya 4 unit, dan dengan pengelolaan tersebut akan memberikan keuntungan optimum Rp 38.2 juta per tahun. Jumlah rumpon 4 unit pada perairan Pasauran seluas 115.4 km 2 ini menunjukkan bahwa setiap luasan pengaruh area perairan sekitar 23 km 2 atau setiap jarak 5 km 3 mil laut hanya terdapat 1 rumpon. Data ini didapat berdasarkan existing condition 45 buah rumpon yang berhasil dideteksi di perairan dan mencakup luasan pengaruh 2.6 km 2 atau rata-rata jarak antar rumpon sekitar 1.6 km 0.9 mil laut. Bila kepadatan rumpon ini diubah dai 1,6 km2 per rumpon menjadi 5 km2 per rumpon, maka pengelolaan rumpon yang menjadi ketersediaan sumberdaya ikan secara lestari dan keuntungan optimum bagi nelayan dapat selalu terjaga. 25 Beberapa hipotesis tentang fungsi dari benda terapung di lautyang merupakan teori pemasangan rumpon telah dikemukakan oleh peneliti yang kemudian dihimpun oleh Gooding dan Magnusson 1967 yaitu: 1. Ikan mencari tempat berlindung dari predator 2. Ikan besar memangsa ikan kecil 3. Ikan memakan algae atau dedaunan yang terdekomposisi 4. ikan mencari perlindungan di bawah benda apung 5. Ikan menggunakan benda terapung sebagai substrat meletakkan telurnya 6. Bayangan benda membuat zooplankton lebih terlihat bagi ikan 7. Benda terapung merupakan ”cleaning station” dimana ikan pelagis melepaskan parasitnya melalui asosiasi dengan ikan lain. Dari ketujuh hipotesis tersebut baru dapat dibuktikan kebenaranya bahwa benda terapung berfungsi sebagai: 1. Perlindungan dari predator 2. Pengumpul sediaan makanan 3. Cleaning station bagi pada parasit yang menempel

2.4 Jenis-Jenis Ikan Yang Berasosiasi di Rumpon